cover
Contact Name
Ramadhita
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
dejure@uin-malang.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
DE JURE
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
de Jure adalah jurnal yang mengkaji permasalahan syariah dan hukum baik hasil penelitian atau artikel telaah. Terbit dua kali dalam setahun pada bulan Mei dan November. de Jure diterbitkan oleh unit Penelitian, Penerbitan dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penyunting menerima naskah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain.
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 13, No 1 (2021)" : 11 Documents clear
Revitalizing Divorce Ethical Values in Verstek Decisions in Religious Courts/Revitalisasi Nilai Etika Perceraian dalam Putusan Verstek Di Pengadilan Agama Izzuddin, Ahmad; Rofiq, Ahmad; Hapsin, Abu
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i1.12191

Abstract

AbstractDivorce is still a social problem in Indonesia. Divorce must be done in court. Ironically, most divorce cases are decided verstek because the defendants are not present in court. One of the courts that deal with divorce cases is the Malang Religious Court. This article is doctrinal legal research with a conceptual approach and a case approach. The primary data source is the divorce decision in the Malang religious court. The results of this study indicate that the verstek decision in the religious court should not be a gap for husbands to escape responsibility for their wives and children after divorce. The panel of judges also needs to use ethical values in divorce such as the principles of ma'rf, islâh, ihsân and afw in giving verstek decisions. It is necessary to revitalize the ethical values of divorce in the Verstek decision in the Religious CourtsKeywords: divorce; religious court; verstek.AbstrakPerceraian masih menjadi problem sosial masyarakat di Indonesia. Perceraian harus dilakukan di pengadilan. Ironisnya, sebagian besar perkara perceraian di putus secara verstek karena pihak tergugat tidak hadir di pengadilan. Salah satu pengadilan yang banyak menangani perkara perceraian adalah Pengadilan agama Malang. Artikel ini merupakan penelitian hukum doktrinal dengan pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Sumber data primer adalah putusan perceraian di pengadilan agama Malang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa putusan verstek di pengadilan agama tidak boleh menjadi celah bagi suami untuk lepas tanggung jawab terhadap istri dan anak-anak pasca perceraian. Majelis hakim juga perlu menggunakan nilai-nilai etis dalam perceraian seperti prinsip ma’rûf, islâh, ihsân dan afw dalam memberikan putusan verstek. Sehingga perlu dilakukan revitalisasi nilai-nilai etika perceraian dalam putusan verstek di Pengadilan AgamaKata Kunci: perceraian; pengadilan agama; verstek
The Legal Policy of Judicial Power: The Idea of Implementation of Small Claim Courts in Religious Courts Sukadi, Imam; Zuhriah, Erfaniah
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i1.10913

Abstract

Abstract: Religious Court is a judicial environment under the Supreme Court as a perpetrator of judicial power independent of organizing religious court to enforce the law and justice. The implementation of a small claim court in religious courts following simple, quick, and low-cost principles. The Small Claims Court is a simple judicial mechanism outside of the regular judicial mechanisms to resolve disputes quickly and cost lightly. The purpose of this study was to determine the meaning of the principle of fast, simple, and low cost and the legal politics of applying a simple lawsuit in a religious court. This type of research is normative legal research with a statutory approach and a conceptual approach. The technique of analyzing legal materials uses prescriptive. The study results found that the principle of simple, fast, and low cost in religious courts must meet the expectations of justice seekers who always want a speedy, fair, and low-cost trial. Applying the principle of a simple, fast, and low-cost justice has an intrinsic value of justice, inseparable from the service function. The legal politics of implementing a small claims court in a religious court is a breakthrough step, the proceedings are also fast and inexpensive, decided by a single judge, and the trial mechanism is simple So that implementation of Small Claims Court will be able to help the dispute burden in religious courts.Keywords: legal policy; small claim court, religious court.Abstrak: Peradilan Agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri menyelenggarakan peradilan agama untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penyelenggaraan sidang gugatan kecil di pengadilan agama menganut asas sederhana, cepat, dan murah. Small Claims Court adalah mekanisme peradilan sederhana di luar mekanisme peradilan biasa untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat dan biaya ringan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian asas cepat, sederhana, dan biaya rendah serta politik hukum penerapan gugatan sederhana di pengadilan agama. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teknik analisis bahan hukum menggunakan metode preskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa asas sederhana, cepat, dan biaya rendah dalam peradilan agama harus memenuhi harapan para pencari keadilan yang selalu menginginkan peradilan yang cepat, adil, dan berbiaya rendah. Penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya rendah memiliki nilai keadilan yang hakiki, tidak terlepas dari fungsi pelayanan. Politik hukum pelaksanaan peradilan gugatan kecil di pengadilan agama merupakan langkah terobosan, proses beracara juga cepat dan murah, diputuskan oleh hakim tunggal, dan mekanisme persidangan sederhana Sehingga pelaksanaan peradilan gugatan kecil akan dapat membantu beban sengketa di pengadilan agama.Kata Kunci: kebijakan hukum; small claim courts; pengadilan agama.
Teori Ajaran Cita Hukum (Idee Das Recht) Di Dalam Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Di Indonesia Setyawan, Fadjar Ramdhani; Sudarsono, Sudarsono; Yuliati, Yuliati
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i1.10025

Abstract

Abstract:Indonesia is a country that has a pluralistic culture. The original cultural diversity of the Indonesian nation needs to be guaranteed and protected by law that is in line with the ideals of the law. This study aims to describe the legal protection of traditional cultural expressions in Indonesia and their conformity with the teachings of legal ideals (idee das recht). This article is based on doctrinal law research with a statutory approach and a conceptual approach. The results of this study indicate that the teachings of legal ideals require that a regulation must be able to provide guarantees of legal certainty, justice, and expediency. The regulation of the protection of traditional cultural expressions is not in accordance with the teachings of legal ideals. Legal justice cannot be achieved because there is still no clear identification process for the custodian. The government needs to immediately revise Law no. 5 of 2017 concerning the Advancement of Culture.Keywords: cultural expressions; ideals of the law; intellectual property.Abstrak:Indonesia merupakan negara yang memiliki kebudayaan yang majemuk. Ragam kebudayaan asli bangsa Indonesia perlu dijamin dan dilindungi oleh hukum yang selaras dengan cita hukum. Penelitian ini bertujuan mendeksripsikan perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional di Indonesia dan kesesuainnya dengan ajaran cita hukum (idee das recht). Artikel ini berdasarkan penelitian hukum doctrinal dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ajaran cita hukum menghendaki suatu peraturan harus mampu memberikan jaminan akan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Pengaturan perlindungan ekspresi budaya tradisional belum sesuai dengan ajaran cita hukum. Keadilan hukum tidak dapat tercapai dikarenakan masih belum ada proses identifikasi yang jelas terhadap custodian. Pemerintah perlu segera melakukan revisi terhadap Undang-undang No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.Kata Kunci: ekspresi budaya; ajaran cita hukum; kekeyaan intelektual.  
The Interpretation of Misconduct Act as A Reason to Dismiss President: An Ethical Approach Antari, Putu Eva Ditayani
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i1.12122

Abstract

Abstract: The President of Indonesia gets the supervision of the Senate as regulated by the constitution. The Senate has the authority to dismiss the president at the recommendation of the House of Representatives if the president is deemed to have committed treason against the state, corruption or bribery, serious crimes, and misconduct acts or is deemed no longer eligible for president. Misconduct act is a reason for dismissing a president does not have legal certainty because the constitution does not limit the intent of the misconduct act itself. At the same time, the Constitutional Court Act in Indonesia has extended the meaning of this misconduct act. This paper will discuss the meaning of the misconduct act from an ethical perspective and comparative study. Furthermore, it also describes the appropriateness of the limits on misconduct as regulated in the Constitutional Court Act with the intention of constitution drafting for amendment. These legal problems will then be studied using normative methods through historical, comparative, and interpretation approaches then presented on a descriptively-analysis paper. The results of the study indicate that a misconduct act is an act that degrades the dignity of the position as president. Misconduct acts have a broader meaning than criminal acts but can also violate unwritten norms that are determined as law in society.Keywords: dismissal of president; interpretation; misconduct act.Abstrak: Presiden Indonesia mendapat pengawasan dari Senat sebagaimana diatur dalam konstitusi. Senat memiliki kewenangan untuk memberhentikan presiden atas rekomendasi DPR jika presiden dianggap telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi atau penyuapan, kejahatan berat, dan tindakan tidak senonoh atau dianggap tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi presiden. Perbuatan tercela menjadi alasan memberhentikan seorang presiden yang tidak memiliki kepastian hukum, karena konstitusi tidak membatasi maksud dari perbuatan tercelaitu sendiri. Padahal UU MK di Indonesia telah memperluas makna dari maksud perbuatan maksiat ini. Makalah ini akan membahas tentang pengertian perbuatan salah dari sudut pandang etika. Lebih lanjut, juga menggambarkan kesesuaian batasan perbuatan tercela sebagaimana diatur dalam UU MK dengan maksud penyusunan konstitusi untuk diubah. Permasalahan hukum tersebut kemudian akan dikaji dengan menggunakan metode normatif melalui pendekatan historis, komparatif, dan interpretasi, kemudian disajikan dalam makalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbuatan tercela merupakan perbuatan yang merendahkan martabat jabatan sebagai presiden. Perbuatan tercela memiliki makna yang lebih  luas dari tindak pidana, namun bisa juga pelanggaran atas norma-norma tak tertulis yang berlaku sebagai hukum di masyarakat.Kata Kunci: Interpretasi, pemberhentian presiden; perbuatan tercela.
Implementation of the Minority Fiqh Concept for the Papuan Muslim Community/Implementasi Konsep Fikih Minoritas Bagi Komunitas Muslim Papua Wahib, Moh.
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i1.11930

Abstract

Abstract:The discussion about fiqh minority is the new matter in the Islamic world. This idea blowed up after many imigran were came to many countries in European and American territory. In the term of Arabic, fiqh minority was called fiqh al-aqalliyyat. This article aims at describing the substansion and fatwa product of fiqh minority and it relevansion with Papua Muslims. The study used the qualitative method with the normative dan sociological approach. The technical of collecting data by searching library literature, observation and interviews. The results reveal that fiqh minority is the law islamic that implemented by minorities of muslim who live in majority non muslim areas. Fiqh minority is fiqh taysir because it is attenting the muslim difficult condition. The implementation of fiqh minority that related on muslim Papua are related to the impurity of dog fur, saying Merry Christmas, and marrying women of the Ahl al-Kitāb such as Jews and Christians, and participation of political vote.Keywords: Fiqh Of Moslem Minority, The Minority of Papua Moslem  Abstrak: Kajian fikih minoritas merupakan hal baru di dunia Islam. Gagasan ini muncul setelah banyak imigran muslim berdatangan ke berbagai negara di benua Eropa dan Amerika. Dalam bahasa Arab, term fikih minoritas dikenal dengan istilah fiqh al-aqalliyyat. Penelitian  ini  bertujuan menganalisis substansi dan produk fatwa fikih  minoritas  serta menjelaskan relevansinya terhadap minoritas musim Papua. Jenis penelitian bersifat deskriptif kualitatif. Pendekatan penelitian normatif (syar‘i), dan sosiologis. Metode pengumpulan data dengan dokumentasi, yaitu penelusuran literatur kitab klasik dan kontemporer serta observasi dan wawancara lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, fikih minoritas adalah hukum Islam yang berkaitan dengan solusi terhadap problematika muslim minoritas yang berada di tengah mayoritas non muslim. Fikih minoritas adalah fikih taysir, karena menjaga prinsip kemudahan dalam fatwa. Praktik  fikih minoritas yang relevan dan bisa diterapkan oleh muslim Papua, adalah hukum kenajisan anjing dan babi, kebolehan mengucapkan selamat natal, dan menikahi wanita Ahlul –Kitāb, yaitu penganut agama Kristen serta memilih pemimpin non muslim. Kata kunci: Fikih Minoritas- Minoritas Muslim Papua
Self-Declare Halal Products for Small and Micro Enterprises: Between Ease of Doing Business and Assurance of Consumer Spiritual Rights/Self Declare Produk Halal Usaha Kecil Mikro: Antara Kemudahan Berusaha dan Jaminan Hak Spiritual Konsumen Musataklima, Musataklima
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i1.11308

Abstract

AbstractLaw Number 11 of 2020 concerning Job Creation has a crucial impact on Law Number 33 of 2014 concerning Halal Product Guarantee, namely Article 4A "halal statement" as the basis for halal certification obligations for micro and small business actors. This paper aims to test the constitutionality of Article 4A, which discusses the constitutional basis of halal products as the constitutional rights of Indonesian Muslim consumers and examines the constitutionality of Article 4A itself. Based on the study results, it can be seen, and firstly, those halal products are the constitutional rights of Muslim consumers, which the 1945 Constitution gives as part of the right to religion because halal products are related to Allah SWT. After all, as His commandments, the constitutional rights of these halal products can be said to be spiritual rights. Second, Article 4A is out of sync with the constitution so that it is thus unconstitutional and has no power to apply based on the lex superior derogat legi inferiori principle. In addition, it does not have the legitimacy to be considered a law because it does not meet the minimum threshold of morality criteria introduced by Lon L. Fuller. The unconstitutionality of Article 4A has a severe impact on the legal uncertainty of protecting Muslim consumers from accessing halal products as their spiritual right.Keyword: halal statement; consumer protection; undang-undang cipta kerjaAbstrakUndang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berdampak krusial terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yaitu Pasal 4A “pernyataan halal” sebagai dasar kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Tulisan ini bertujuan untuk menguji konstitusionalitas Pasal 4A yang membahas tentang dasar konstitusional kehalalan produk sebagai hak konstitusional konsumen muslim Indonesia dan mengkaji konstitusionalitas Pasal 4A itu sendiri. Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui, pertama, produk halal tersebut merupakan hak konstitusional konsumen muslim, yang diberikan oleh UUD 1945 sebagai bagian dari hak beragama karena produk halal berkaitan dengan Allah SWT. Lagi pula, sebagai perintah-Nya, hak konstitusional produk halal tersebut dapat dikatakan sebagai hak spiritual. Kedua, Pasal 4A tidak sinkron dengan konstitusi sehingga inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan untuk diterapkan berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori. Selain itu, tidak memiliki legitimasi untuk dianggap sebagai undang-undang karena tidak memenuhi ambang batas minimum kriteria moralitas yang diperkenalkan oleh Lon L. Fuller. Inkonstitusionalitas Pasal 4A berdampak parah pada ketidakpastian hukum untuk melindungi konsumenSKeyword: pernyataan halal; perlindungan konsumen; undang-undang cipta kerja
Eksistensi Pidana Penjara Seumur Hidup Di Indonesia Ditinjau Dalam Perspektif Tujuan Hukum Pidana Modern Marwan, Satria Manda Adi
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i1.12025

Abstract

Abstract:Life imprisonment by giving sorrow to violators of statutory provisions is still widely applied in various countries. Indonesia is still such a classic trend. Along with developments and in the perspective of human rights, imprisonment lives in the perspective of modern criminal law. The purpose of this study is to examine the relevance of the objectives of modern criminal law to life imprisonment in Indonesia by using the normative method. The result of this research is that life imprisonment is still in the provisions of the applicable laws in Indonesia and is no longer relevant to the objectives of modern criminal law, namely restorative justice.Keywords: life imprisonment; modern legal purpose.Abstrak:Hukuman pidana penjara seumur hidup aliran klasik dengan memberikan nestapa terhadap pelanggara ketentuan undang-undang masih banyak diterapkan di berbagai negara. Indonesia hingga saat ini masih mengadopsi aliran klasik tersebut. Seiring dengan perkembangan dan dalam perspektif Hak Asasi Manusia, hukuman pidana penjara seumur hidup dianggap irelevan dalam pandangan hukum pidana modern. Tujuan penelitian ini untuk menguji relevansi tujuan hukum pidana modern terhadap pidana penjara seumur hidup di Indonesia dengan menggunakan metode normatif. Hasil dari penelitian ini adalah pidana penjara seumur hidup masih terdapat pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan sudah tidak relevan dengan tujuan hukum pidana modern yaitu restorative justice.Kata Kunci: penjara seumur hidup; tujuan hukum modern.
Tunggu Tubang as a Method for Peaceful Inheritance Distribution of Semende Indigenous Peoples/Tunggu Tubang Sebagai Metode Pembagian Harta Waris secara Damai Masyarakat Adat Semende Salmudin, Salmudin -; Muntaqo, Firman; Hasan, KN. Sopyan
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i1.11028

Abstract

AbstractTunggu Tubang is a system of komunal woman inheritance in Semende Islamic society, which is still used today. This article aims to describe the position of Tunggu Tubang as the institution of the Customary Inheritance system and its relation to Islamic inheritance law. This research is classified as qualitative research, combining normative and empirical legal research. The results of this study indicate that Tunggu Tubang is a part of the implementation of Islamic inheritance law based on urf (habit), which has beneficial benefits (maqashid syariah) for managers and families, to be continued to generations of children and grandchildren and the preservation of the function of inheritance. Customary Inheritance Law with Tunggu Tubang Institution is an optional option, as a lex specialis Islamic inheritance law is based on the heirs agreement for islah (peace) in the distribution of inheritance, if they do not agree, they must return according to the provisions of Islamic Inheritance Law.Keywords: tunggu tubang; Islamic inheritance; adat law.AbstrakTunggu Tubang merupakan sistem kewarisan mayorat perempuan dalam masyarakat Islam Semende yang masih berlaku hingga saat ini. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan kedudukan Tunggu Tubang  sebagai pranata kewarisan hukum adat dalam hubungannya dengan hukum kewarisan Islam. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, penggabungan penelitian hukum normatif dan empiris.  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Tunggu Tubang adalah bagian dari pelaksanaan hukum kewarisan Islam berdasarkan urf (kebiasaan) yang mempunyai manfaat kemaslahatan (maqashid syariah) bagi pengelola dan keluarga, untuk diteruskan kepada generasi anak cucunya serta kelestarian fungsi harta waris. Hukum kewarisan adat dengan pranata Tunggu Tubang merupakan opsi pilihan, sebagai lex specialis hukum kewarisan Islam berdasarkan adanya kesepakatan ahli waris untuk islah (perdamaian) dalam pembagian harta waris, apabila tidak sepakat harus kembali menurut ketentuan hukum kewarisan Islam.Kata Kunci: tunggu tubang; kewarisan Islam; hukum adat.
Soul Shaking as Reason for Criminal Abolition: The Dilemma Between Legal Certainty and Justice/Keguncangan Jiwa Sebagai Alasan Penghapus Pidana: Dilema Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Gumelar, Krishna
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i1.12056

Abstract

Abstract: The forced defense that goes beyond the limits (Noodweer Exces) is still interesting to study. Criminal law experts still debate criteria for a mental shock that cause excessive defense. This study aims to describe the criteria for acts that can be referred to as noodweer exces in criminal cases and analyze the meaning of mental shock in noodweer exces so that there are no multiple interpretations. This article is the result of doctrinal legal research with a statutory approach. The results of this study indicate that a person's behavior is called a noodweer exces if it begins with an immediate attack that is against the law and the victim feels the need to defend himself. The grammatical interpretation of Article 49 of the Criminal Code shows that feelings of discomfort, anger, confusion, and fear that result in great mental shock in a person can be a reason for someone to carry out an excessive forced defense. However, severe mental agitation must get information from a psychologist.Keywords: noodweer exces; shock of the soul; criminal offenses.Abstrak: Pembelaan terpaksa (Noodweer Exces) akibat kegoncangan jiwa masih menarik untuk dilakukan kajian. Kriteria keguncangan jiwa yang menyebabkan pembelaan berlebihan masih diperbedatkan oleh para pakar hukum pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kriteria perbuatan yang dapat disebut sebagai noodweer dalam perkara tindak pidana dan menganalisis terkait makna keguncangan jiwa dalam noodweer exces sehingga tidak terjadinya multitafsir. Artikel ini adalah hasil penelitian hukum doktrinal dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa perilaku seseorang disebut sebagai noodweer jika diawali dengan serangan seketika yang bersifat melanggar hukum dan korban merasa perlu melakukan pembelaan. Penafsiran gramatikal terhadap Pasal 49 KUHP menunjukkan bahwa perasaan tidak nyaman, amarah, bingung, dan ketakutan sehingga berakibat pada kegoncangan jiwa yang hebat pada diri seseorang dapat menjadi sebab pembenar seseorang melakukan pembelaan terpaksa secara berlebihan. Meskipun demikian, kegoncangan jiwa yang hebat harus mendapat keterangan dari psikolog.
Quo Vadis Constitutional Complaint in Indonesia: Authority and Discretion of Constitutional Judges/Quo Vadis Constitusional Complaint di Indonesia: Antara Kewenangan dan Diskresi Hakim Konstitusi Mahfiana, Layyin; Lisma, Lisma
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i1.11574

Abstract

AbstractThe guarantee of citizens' constitutional rights is one of the conditions for realizing an excellent legal state. However, several studies show that there is no precise mechanism for filing constitutional complaints. Although since 2003, a Constitutional Court has been established. This article aims to describe the problems of filing a constitutional complaint in Indonesia. This article is based on doctrinal legal research with a statutory and conceptual approach. The results of this study indicate that there is no regulation that authorizes the handling of constitutional complaint cases to the Constitutional Court. Judges of the Constitutional Court are rigid in examining cases under their authority and have never exercised discretion over them. This condition has the potential to ignore the constitutional rights of citizens. So there is a need for an amendment to the 1945 Constitution and a revision to the Constitutional Court Law. However, this change requires political will from the authorities.Keywords: constitusional complaint; constitutional court; discretion.Abstrak Jaminan hak konstitusi warga negara merupakan salah satu syarat terwujudnya negara hukum yang baik. Namun, sejumlah riset menunjukkan bahwa belum ada mekanisme yang jelas pengajuan constitutional complain. Meskipun sejak tahun 2003 telah dibentuk Mahkamah Konsititusi. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan problematika pengajuan constitutional complain di Indonesia. Artikel ini berdasarkan penelitian hukum doktrinal dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa belum ada regulasi yang memberikan kewenangan penanganan perkara constitutional complaint kepada Mahkamah Konsitusi. Hakim Mahkamah Konstitusi rigid dalam memeriksa perkara yang menjadi kewenangannya dan tidak pernah melakukan diskresi terhadapnya. Kondisi ini berpotensi mengabaikan hak-hak konstitusi warga negara. Sehingga perlu adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Namun, perubahan ini membutuhkan political will dari penguasa.Kata Kunci: constitutional complaint; mahkamah konstitusi; diskresi.

Page 1 of 2 | Total Record : 11