cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
Mahasiswa S1 Teologi Hindu
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Memuat jurnal hasil penelitian mahasiswa Strata 1(satu) Program Studi Teologi Hindu Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar.
Arjuna Subject : -
Articles 9 Documents
EKSISTENSI MAKANAN SATWIKA DI SAI POOJA ASRHAM KELURAHAN PADANG SAMBIAN DENPASAR Kurniajaya, Made
Mahasiswa S1 Teologi Hindu Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Mahasiswa S1 Teologi Hindu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Makanan memiliki peran yang penting dalam kehidupan, banyak masyarakat tidak bisa memilih, menentukan makanan yang baik untuk kesehatan fisik dan spiritual di Sai Pooja Ashram ada suatu pola makan yang disebut satwika yang memberikan dampak yang baik bagi kesehatan tubuh, mental, dan spiritual. Bahan makanan satwika di Sai Pooja Ashram berasal dari tumbuh-tumbuhan (nabati), makanan satwika diolah di ashram oleh para bhakta, dan sebelum dikonsumsi terlebih dahulu dipersembahkan pada Tuhan. Fungsi makanan satwika, antara lain: fungsi religius, fungsi kesehatan, dan fungsi meningkatkan rasa bhakti. Fungsi religius pola makan vegetarian secara tidak langsung menerapkan salah satu ajaran dalam agama Hindu salah satunya adalah ajaran Ahimsa, fungsi kesehatan dari segi kesehatan makanan satwika memiliki asupan gizi yang baik untuk tubuh dan rendah kolesterol yang sangat baik untuk kesehatan, fungsi meningkatkan rasa bhakti dengan mengkonsumsi makanan satwika rasa bhakti para bhakta menjadi meningkat karena makanan satwika membuat seseorang bisa mengontrol pikiran dan perasaan yang berimbas pada peningkatan rasa bahkti para bhakta. Makna makanan satwika antara lain makna teologi, makna spiritual, dan makna psikologi. Makna teologi terlihat dari proses pembuatan dan penyajian makanan satwika yang tidak terlepas dari doa kepada Tuhan, makna spiritual terlihat dari manfaat makanan satwika yang menunjang spiritual seseorang, dan makna psikologi terlihat dari mudahnya seseorang mengendalikan emosi, amarah, dan nafsu ketika mengkonsumsi makanan satwika yang berdampak positif pada pola tingkah laku seseorang.(Kata Kunci: Makanan satwika, Sai Pooja Ashram)
KEBERADAAN PURA BEDUGUL DI SUBAK GEBANG GADING ATAS DESA PAKRAMAN TEGALMENGKEB KECAMATAN SELEMADEG TIMUR KABUPATEN TABANAN (Perspektif Teologi Hindu) ERI PARMITA SARI, NI MADE
Mahasiswa S1 Teologi Hindu Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Mahasiswa S1 Teologi Hindu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Pura bedugul adalah tempat suci untuk para krama subak mempersembahkan banten yang berfungsi untuk memuja prawaba Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan pura bedugul dalam wilayah subak selalu berpedoman pada konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Adanya pura bedugul di tengah-tengah masyarakat petani (krama subak) karena adanya kepercayaan/sraddha akan manifestasi Tuhan saktinya Dewa Wisnu (Dewi Danu/Dewi Sri) sebagai penguasa lahan pertanian, pemberi kemakmuran dan kesejahteraan petani yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pura bedugul adalah spirit dari penguasa urip (jiwa) segala makhluk persawahan. Lima tahun terakhir ini lahan subak Gebang Gading Atas Desa Tegalmengkeb, Kecamatan Selemadeng Timur, Kabupaten Tabanan mengalami penyusutan akibat alih fungsi lahan menjadi pembangunan villa. Pada tahun 2008 tercatat luas subak Gebang Gading Atas adalah 135 hektar dan sampai pada tahun 2012 tercatat masih 120 hektar. Alih fungsi lahan sawah pada subak menyebabkan pengurangan pengempon pura bedugul dari 174 menjadi 163 pengempon. Ketika hal ini akan terus berlangsung, pura bedugul akan terancam lenyap.              Melihat penjelasan di atas, akibat konversi lahan sawah menjadi sarana akomodasi pariwisata (villa) khususnya melihat sistem perangkat subak dengan konsep Tri Hita Karana, tentu yang sangat relevan adalah persoalan keberadaan pura bedugul  sebagai salah satu unsur ketuhanan dalam sistem subak Gebang Gading Atas yang sulit untuk diubah karena menyangkut masalah niskala. Untuk itu diangkat tiga rumusan masalah (1) bagaimana struktur pura bedugul yang dibedah dengan menggunakan teori religi, (2) apa fungsi pura bedugul yang dibedah dengan menggunakan teori fungsional struktural, dan (3) apa makna teologi pura bedugul yang dibedah dan dianalisis menggunakan teori simbol.              Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yakni data primer yang bersumber dari informan dan data skunder bersumber dari literatur/pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, kepustakaan, dan dokumentasi. Untuk menganalisis data yang didapat menggunakan metode deskriptif kualitatif.              Struktur pura bedugul menggunakan konsep dwi mandala di mana Dewa utama yang dipuja adalah Dewi Danu yang diwujudkan berupa  palinggih padmasana. Pura bedugul mempunyai fungsi yaitu sebagai fungsi religi, fungsi sosial, fungsi ekonomi, fungsi kesuburan dan fungsi estetika. Makna teologi Hindu yang terkandung di dalam Pura Bedugul yaitu makna widhi sraddha, makna simbolis bhuana agung, makna sosial, makna ekonomi, dan makna kesuburan. Dengan adanya pengembangan pariwisata di subak Gebang Gading Atas mampu memberi perubahan fungsi pada pura bedugul, namun makna pura bedugul tetap seperti dulu yaitu sebelum ada pengembangan pariwisata di subak Gebang Gading Atas. Kata kunci: Keberadaan, Pura Bedugul, Subak Gebang Gading Atas
KAJIAN STRUKTURAL KETUHANAN DALAM TATTWA JÑÀNA Subrahmaniam Saitya, Ida Bagus
Mahasiswa S1 Teologi Hindu Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Mahasiswa S1 Teologi Hindu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Teks Tattwa Jñàna merupakan karya sastra agama Hindu yang berbentuk tutur dan penyajiannya berbentuk gancaran atau prosa. Teks Tattwa Jñàna terdapat unsur-unsur intrinsik yang membangun suatu cerita, yaitu insiden, plot tema, penokohan, amanat. Teks Tattwa Jñàna mempunyai makna teologi yang dalam ajarannya berisikan ajaran ketuhanan, kosmologi, dan kamokûan.Makna teologi yang terkandung di dalam teks Tattwa Jñàna menempatkan Bhaþàra Úiwa sebagai dewa tertinggi dalam Úiwaisme dan sebagai Sanghyang Widhi, dan juga berisikan ajaran karmaphala dan punarbhawa.Makna kosmologi yang terkandung di dalam teks Tattwa Jñàna, dimulai dari penciptaan yang pertama adalah puruûa dan pradhàna sampai ciptaan yang terakhir adalah segala makhluk.Untuk mencapai kamokûan, maka seseorang diamanatkan melakukan prayogasaòdhi dengan tuntunan samyagjñàna yang diperoleh melalui tapa, brata, yoga, dan samàdhi.Sang Yogìúwara memiliki kàûþaiúwaryan menyebabkan Sang Yogìúwara mencapai kamokûan yang menyatu dengan Bhaþàra Úiwa.Di dalam teks Tattwa Jñàna memiliki koherensi intrinsik dalam membangun suatu cerita di dalam Tattwa Jñàna.Unsur-unsur intrinsik di dalam teks Tattwa Jñàna saling berhubungan dan saling berkaitan dalam membangun suatu cerita Tattwa Jñàna. Kata Kunci : Ketuhanan, Tattwa Jñàna.
MAKNA TEOLOGI TRADISI TER-TERAN DALAM UPACARA TAWUR KASANGA DI DESA PAKRAMAN JASRI KECAMATAN KARANGASEM KABUPATEN KARANGASEM UTAMI WIDYANTARI, NI NYOMAN
Mahasiswa S1 Teologi Hindu Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Mahasiswa S1 Teologi Hindu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Yajna merupakan upacara korban suci yang dilandasi dengan rasa tulus ikhlas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta alam semesta beserta isinya. Tradisi Ter-teran adalah salah satu bentuk upacara Bhuta Yajna yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur warisan yang ada di Desa Pakraman Jasri Kelurahan Subagan,Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem.            Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimankah Proses Tradisi Ter-teran Dalam Upacara Tawur Kasanga di Desa Pakraman Jasri? 2) Bagaimanakah Fungsi Tradisi Ter-teranDalam Upacara Tawur Kasangadi Desa Pakraman Jasri? Dan 3) MaknaTeologi Hindu apakah yang terkandung Tradisi Ter-teran Dalam Upacara Tawur Kasangadi Desa Pakraman Jasri?.            Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Desa Pakraman Jasri Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem yaitu pada saat berlangsungnya Tradisi Ter-teran  dalam Pecaruan Tawur Kesanga yang dilakukan pada hari  senin, 11 Maret 2013. Penelitian ini untuk mengetahui lebih mendalam mengenai pelaksanaan Tradisi Ter-teran dalam Upacara Pecaruan Tawur Kesanga di Desa Pakraman Jasri, Kabupaten Karangasem.            Penelitian ini mempergunakan teori religi untuk mengkaji proses Tradisi Ter-teran dan teori Fungsional Struktural dipergunakan untuk mengkaji Fungsi Tradisi Ter-teran teori simbol untuk mengkaji makna Teologi yang ada dalam Tradisi Ter-teran.            Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif bersumber dari data primer yang diperoleh melalui penelitian lapangan dan data sekunder yang diperoleh dari beberapa dokumentasi kepustakaan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti.            Hasil penelitian adalah 1. Proses Tradisi Ter-teran dalam Upacara Pecaruan Tawur kasanga di Desa Pakraman Jasri, diawali dengan mempersiapkan sarana-sarana upacara yang berupa Banten dan Caru yang akan di pergunakan. Sebelum pelaksanaan Tradisi Ter-teran di mulai karma Jasri telebih dahulu melaksanakan pacaruan gunanya untuk menetralisir kekuatan negatif menjadi positif dan membersihkan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Upacara pecaruan dilakukan pada hari senin, 11 maret 2013 pukul 18.30 wita dan Ter-teran dilaksanakan pukul 19.00 wita. Ada beberapa fungsi upacara Tradisi Ter-teran seperti: a)Fungsi Religi daru upacara Tradisi Ter-teran yaitu untuk meningkatkan Sraddha kepada TYME. b)Fungsi sosial upacara Ter-teran yaitu dapat meningkatkan dan menerapkan sikap gotong royong yg sudah mentradisi c)Fungsi Pelestarian Kebudayan upacara Ter-Teran dilakukan secara turun temurun maka budaya tersebut terlestarikan. 3. Makna Teologi dalam upacara Ter-teran terbukti dengan adanya kepercayaan masyarakat Desa Pakraman Jasri yang selalu melaksanakan upacara Ter-teran dengan keyakinan memuja Sang Hyang Widhi dan mengusir roh-roh jahat/bhuta kala agar kembali ke laut atau ke alamnya. Kata kunci: Makna Teologi Tradisi Ter-teran dalam Upacara Tawur Kasanga
TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu) HERI YANTI, KOMANG
Mahasiswa S1 Teologi Hindu Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Mahasiswa S1 Teologi Hindu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Agama Hindu mengajarkan banyak jalan menuju Tuhan.Khusus umat Hindu yang ada di Bali, memiliki beraneka ragam ritual keagamaan dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan beserta manifestasi Beliau.Salah satu ritual itu adalah tradisi Nyakan di Rurungyang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pakraman Bengkel, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng. Tradisi Nyakan diRurungmerupakan suatu upacara yang berbentuk kegiatan memasak di depan gerbang rumah yang dilaksanakan dalam rangkaian hari raya Nyepi, tepatnya pada hari Ngembak Geni. Pelaksanaan tradisi ini dimulai pada tengah malam yang merupakan peralihan dari hari Sipeng menuju Ngembak Geni.Adapun teori yang dipakai yaitu: (1) teori religi untuk membahas pelaksanaan tradisi Nyakan di Rurung, (2) teori fungsional struktural untuk membahas fungsi tradisi Nyakan di Rurung, (3) teori simbol untuk membahas makna tradisi Nyakan di Rurung. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: (1) metode observasi adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan oleh indra manusia yang disertai dengan melakukan pencatatan secara sistematis, (2) metode wawancara adalah metode yang dilakukan dengan mencari nara sumber atau informan untuk diwawancarai, yang dipakai nara sumber adalah orang yang langsung berkecimpung  dalam bidang yang diteliti, (3) studi dokumen adalah suatu metode yang mana cara mendapatkan data dengan jalan mempelajari buku-buku  dan foto-foto yang ada hubungannya dengan objek yang akan diteliti.Adapun hasil penelitian yang diperoleh yaitu  tradisi Nyakan di Rurung di Desa Pakraman Bengkel dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat kepada Dewa Agni serta tradisi Nyakan di Rurung  mampu menciptakan persatuan antar warga. Fungsi tradisi Nyakan di Rurungantara lain: fungsi religius yaitu untuk menambah keyakinan umat dengan adanya Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Agni, fungsi sosial untuk menjaga rasa solidaritas warga, fungsi susila yaitu menuntun masyarakat untuk bertingkah laku dengan baik, fungsi estetika yaitu terdapat dalam kemeriahan dan semaraknya pada saat tradisi berlangsung dan fungsi ekonomis yaitu masyarakat tidak mengeluarkan banyak biaya untuk melaksanakan tradisi Nyakan di Rurungkarena bentuk upakara yang digunakan sangat sederhana. Makna tradisi Nyakan di Rurung antara lain: makna spiritual yaitu masyarakat mengembangkan kasih terhadap material alam dengan menggunakan bahan-bahan alam untuk dinyadnyakan seperti kayu bakar. Makna teologi tradisi Nyakan di Rurungyaitu masyarakat memberi penghormatan kepada Dewa Agni yang disimbolkan dengan api yang menyala pada saat tradisi berlangsung. Makna penerang yaitu api memberi cahaya, jika diibaratkan bagaikan ilmu pengetahuan yang membakar kebodohan yang disimbolkan dengan kayu bakar. Kata Kunci   :     Tradisi Nyakan di Rurung, Masyarakat Desa Bengkel, Hari Raya Nyepi.
IMPLEMENTASI KONSEP PEMUJAAN SAGUNA BRAHMAN DI PURA SAMUANTIGA DESA BEDULU KECAMATAN BLAHBATUH KABUPATEN GIANYAR Sriani, Ni Nyoman
Mahasiswa S1 Teologi Hindu Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Mahasiswa S1 Teologi Hindu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Pura Samuantiga yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar merupakan Pura Khayangan Jagat. Keberadaan arca dan pratima sebagai media pemujaan merupakan penerapan konsep pemujaan Saguna Brahman yaitu pemujaan terhadap Tuhan yang Saguna. Namun uniknya, di pura ini ada beberapa palinggih yang terdapat lebih dari satu arca yang berbeda yang dipuja dengan satu penyebutan gelar Tuhan. Selain itu penyebutan gelar Tuhan yang dipuja di Pura Samuantiga berbeda dengan penyebutan gelar Tuhan yang dipuja umat Hindu di India. Merujuk pada persoalan di atas maka penelitian ini diarahkan untuk menemukan 1) implementasi konsep Saguna Brahman di Pura Samuantiga, 2) konsep Īṣṭadevatā yang dipuja di Pura Samuantiga, 3) cara umat Hindu memuja Īṣṭadevatā yang ber-stana di Pura Samuantiga.Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dekonstruksi dan teori simbol. Teori dekonstruksi digunakan untuk mengetahui secara menyeluruh mengenai konsep Saguna Brahman di Pura Samuantiga dalam penerapannya sebagai sistem pemujaan. Sedangkan teori simbol akan digunakan untuk mengungkap konsep Īṣṭadevatā yang dipuja di Pura Samuantiga dan mengungkap metode pemujaan terhadap Īṣṭadevatā yang di-stana-kan di pura tersebut.Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Selanjutnya, data tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan tiga tahapan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi konsep Saguna Brahman di Pura Samuantiga berdasarkan ajaran mengenai konsep Saguna Brahman yang termuat dalam susastra Hindu dan dibalut dengan kebudayaan Bali. Bentuk mūrtipūjā dan penyebutan gelar Tuhan yang dipuja merupakan penggambaran dari manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Samuantiga. Konsep Īṣṭadevatā yang dipuja di Pura Samuantiga adalah eka aneka. Konsepsi ini menunjukkan bahwa Tuhan yang satu mewujudkan diri dalam yang banyak dan yang banyak itu sesungguhnya adalah perwujudan dari yang satu. Cara pemujaan Īṣṭadevatā di Pura Samuantiga yaitu dengan melaksanakan upacara. Pelaksanaan upacara merangkaikan beberapa kegiatan antara lain ngayah, menghaturkan upakara, sembahyang, mekidung, menyelenggarakan tari wali, megambel dan lain-lain. Secara menyeluruh dalam pelaksanaan upacara pemujaan oleh umat Hindu di Pura Samuantiga, didominasi oleh penerapan ajaran bhakti dan karma mārga.Kata Kunci : Pemujaan; Saguna Brahman; Mūrtipūjā; Īṣṭadevatā
TRADISI KEBERAGAMAAN PADA UPACARA WALI DI PURA DALEM KAHYANGAN KEDATON DESA ADAT KUKUH MARGA TABANAN ANIK ADRIANI, NI KADEK
Mahasiswa S1 Teologi Hindu Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Mahasiswa S1 Teologi Hindu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Bali dengan keunikan budaya yang terpadu dengan sistem relegi merupakan suatu warisan yang mesti ditelusuri asal- usulnya dan dijaga kelestariannya. Salah satu keunikan tersebut ditampilkan melalui tradisi Keberagamaan yang dilaksanakan dari sebuah Pura yakni salah satunya Pura Dalem Kahyangan Kedaton yang terletak di Desa Adat Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Layaknya sebuah tradisi Keberagamaan Hindu, keberadaan api dalam bentuk dupa, asepan, dan sebagainya, merupakan salah satu unsur yang penting karena api dalam Hindu merupakan simbolis saksi Hyang Agung yang memantau setiappelaksanaan upacara yang dihaturkan umat secara tulus iklas kepada-Nya, tetapi lain halnya dengan pelaksanaan upacara keberagamaan yang terdapat di Pura Dalem Kahyangan Kedaton, unsur api seperti dupa, asepan, tidak diperbolehkan. Terdapat juga ceniga yang terbuat dari daun pisang batu, dan dilihat dari struktur Tri Mandala, dan Madya Mandala lebih rendah dari Nista Mandala. Terdapat juga (4) buah pintu masuk ke Utama Mandala. Keunikan inilah sebagai latar belakang yang menarik perhatian peneliti.            Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah bentuk tradisi keberagamaan pada pelaksanaan upacara wali di Pura Dalem Kahyangan Kedaton. 2. Bagaimanakah hubungan tradisi keberagamaan dengan upacara wali di Pura Dalem Kahyangan Kedaton. 3. Makna Teologi apakah yang terkandung dalam tradisi upacara wali di Pura Dalem Kahyangan Kedaton. Sesuai dengan pokok permasaalahan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk tradisi keberagamaan pada pelaksanaan upacara wali di Pura Dalem Kahyangan Kedaton. 2. Untuk mengetahui hubungan tradisi keberagamaan dengan upacara wali di Pura Dalem Kahyangan Kedaton. 3. Untuk mengetahui makna Teologi yang terkandung dalam tradisi upacara wali di Pura Dalem Kahyangan Kedaton.Bertitik tolak dari pokok permasalahan tersebut maka untuk memecahkan masalah digunakan teori relegi,funfsional struktural,dan simbol. Kajian pustaka melalui dokumen-dokumen yang memuat informasi terkait dengan masalah penelitian seperti buku-buku yang relevan, skripsi penelitian ilmiah yang sejenis dan sumber bacaan lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara, kepustakaan, dan dokumentasi yang disajikan secara deskritif yang sifatnya kualitatif.Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tradisi keberagamaan yang dilaksanakan di Pura Dalem Kahyangan Kedaton dalam pelaksanaan upacara yang tidak memakai unsur api dan dipergunakannya ceniga dari daun pisang batu ini, erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Pura, berdasarkan isi lontar Pra Arya Tatwa , diceritakan, api yang digunakan dalam upacara telah bersemayam di gedong pelinggih Tri Purusa Geni, dan ceniga dari daun pisang batu bukan  suatu penyimpangan, hanya persentasa pemakainnya yang kurang.Tradisi keberagamaan di Pura Dalem Kahyangan Kedaton, dapat dilihat dari lima (5) aspek yakni emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara, dan umat beragama. Secara garis besar runtutan upacara yang dilaksanakan seperti, nunas pasupada, mejaya-jaya, ke baji, memendak bhatara kabeh, metabuh enak, dam mabiasa.Makna Teologi yang terdapat pada Pura Dalem Kahyangan Kedaton antara lain,makna teologi dan malna simbol. Berdasarkan makna yang terkandung dalam pelaksanaan  tradisi keberagamaan di Pura Dalem Kahyangan Kedaton, masyarakat Desa Adat Kukuhpada khususnya wajib menghormati kebudayaan dan tradisi yang telah ada secara turun-temurun karena merupakan suatu kearifan lokal yang patut dilestarikan. Kata kunci: Tradisi, Keberagamaan, Upacara Wali, Pura Dalem Kedaton
RELIGIUSITAS UMAT ISLAM SETELAH KONVERSI KE AGAMA HINDU DI DESA PAKRAMAN NYITDAH KECAMATAN KEDIRI KABUPATEN TABANAN (Kajian Teologi Hindu) MANIK ASTA JAYA, KETUT
Mahasiswa S1 Teologi Hindu Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Mahasiswa S1 Teologi Hindu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Indonesia sebagai negara multi agama menjadikan religiusitas sebagai ukuran untuk menunjukan ketaatan terhadap agama diyakini, namun  kerukunan antara umat beragama tetap diprioritaskan. Interaksi antara umat beragama terkadang menimbulkan ketertarikan antara agama yang berujung pada konversi agama, seperti umat Islam yang konversi ke Hindu di Desa Pakraman Nyitdah. Religiusitas umat Islam setelah konveri ke Hindu menjadi suatu penelitian penting agar diketahui religiusitas umat Islam setelah konversi ke Hindu dalam memahami Tiga Kerangka Dasar agama Hindu, agar penelitian ini  dapat dimanfaatkan sebagai kontribusi dan  acuan mempertahankan dan meningkatkan eksistensi agama Hindu di Bali ataupun di luar Bali.            Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah 1) Bagaimanakah religiusitas umat Islam setelah konversi ke Hindu dalam memahami ajaran tattwa atau filsafat agama Hindu di Desa Pakraman Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan? 2) Bagaimanakah religiusitas umat Islam setelah konversi ke Hindu dalam memahami ajaran susila atau etika agama Hindu di Desa Pakraman Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan? 3) Bagaimanakah religiusitas umat Islam setelah konversi ke Hindu dalam memahami ajaran upacara atau ritual agama Hindu di Desa Pakraman Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan? Penelitian ini menggunakan teori yaitu teori religi, teori etika, teori religiusitas. Pengumpulan data yang dipergunakan yaitu; observasi, wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi, sedangkan analisis dilaksanakan melalui tiga tahapan, yaitu reduksi data, display/penyajian data dan kesimpulan atau verifikasi data.            Religiusitas dalam memahami tattwa melalui keyakinan pada ajaran panca sraddha meliputi; widhi sraddha, atma sraddha, karmaphala sraddha, punarbhawa sraddha dan moksa sraddha, namun kurang mengetahui ajaran dari kitab suci Veda, sebab sistem pembelajaran diterima  secara informal dari keluarga dan masyarakat. Religiusitas terhadap susila diimplementasikan melalui ajaran; 1) tri kaya parisudha dengan berfikir, berbicara baik seperti mengucapkan Om swastyastu dan berbuat baik. 2) Catur paramitha  diimplementasikan agar hidup harmonis dengan kasih sayang, simpati dan toleransi, tanpa membedakan ras, suku dan agama. 3) Tri mala sebagai ajaran yang perlu dikondisikan agar waspada mengambil tindakan. Religiusitas terhadap upacara dilaksanakan melalui ajaran panca yadnya meliputi; 1) dewa yadnya dengan bersembahyang pada hari tertentu seperti tumpek wariga atau piodalan. 2) Rsi yadnya dengan menghaturkan daksina atau dengan mewinten, 3)pitra yadnya dengan menyangi orang tua dan melaksanakan upacara penguburan atau ngaben, 4) manusa yadnya dengan upacara nyambutin, otonan, dan suddhi wadhani, 5) bhuta yadnya dengan upacara byakala, caru dan menghaturkan segehan. Kata Kunci : Religiusitas, Konversi, Islam, Hindu, Desa Pakraman
EKSISTENSI PALINGGIH RATU AYU MAS SUBANDAR DI PURA DALEM BALINGKANG DESA PAKRAMAN PINGGAN KECAMATAN KINTAMANI KABUPATEN BANGLI (Perspektif Teologi Hindu) KADI, I NENGAH
Mahasiswa S1 Teologi Hindu Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Mahasiswa S1 Teologi Hindu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Pura Dalem Balingkang merupakan salah satu Pura Kahyangan Jagat yang terletak di Desa Pakraman Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, sebagai tempat untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam aneka prabhawa-Nya. Di Pura Dalem Balingkang terdapat akulturasi budaya Hindu dengan budaya Tionghoa. Dengan bukti adanya bangunan suci Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar sebagai tempat pemujaan warga keturunan Cina dan umat Hindu pada umumnya. Fenomena ini belum dipahami secara jelas oleh masyarakat Hindu, sehingga perlu diadakan penelitian secara mendalam. Yang akan membahas mengenai eksistensi, fungsi, dan makna yang terdapat pada Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, data dikumpulkan melalui observasi, wawancara (interview), studi kepustakaan, dan studi dokumentasi.Eksistensi Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang merupakan bangunan suci untuk memuliakan atau memuja permaisuri kedua Sri Haji Jayapangus. Yaitu Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna atau Kang Cing We yang berasal dari Cina. Struktur Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar berbentuk gedong memiliki tiga bagian yaitu bagian dasar, bagian badan, bagian atas atau atap. Pemuja Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar yaitu desa-desa yang menjadi anggota Banua Kanca Satak, Desa Panyucuk, warga keturunan Cina, dan umat Hindu pada umumnya. Piodalan pada Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar bersamaan dengan piodalan di Pura Dalem Balingkang yaitu Purnama Kalima, yang secara langsung dipimpin oleh Pemangku Pamucuk Pura Dalem Balingkang. Banten yang dipersembahkan pada Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar yaitu Banten Tebasan bersinergi dengan sarana persembahan oleh warga keturunan Cina. Mantra yang digunakan pada Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar disebut dengan istilah Puja Sana.Palingih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang mempunyai fungsi religi yaitu meningkatkan sradha dan bhakti. Fungsi social yaitu dapat meningkatkan persatuan serta terjalinnya hubungan yang harmonis. Fungsi akulturasi yaitu kebudayaan baru dalam bentuk bangunan, sarana upacara dan seni tari. Fungsi kerukunan yaitu meningkatkan kerukunan umat beragama Hindu dengan umat yang beragama Buddha. Dan fungsi ekonomi sebagai tempat bagi umat untuk memohon kelancaran dalam setiap usaha yang dimilikinya. Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang juga memiliki makna tattwa, susila, upakara dan makan teologi. Makna teologi yang terkandung pada Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar yaitu sebagai tempat untuk memuja roh suci leluhur dan sinkretisasi Śiwa-Buddha tampak dari adanya tempat pemujaan untuk Dewa Śiwa dan Buddha di Pura Dalem Balingkang. Kata Kunci      : Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar, Pura Dalem Balingkang

Page 1 of 1 | Total Record : 9


Filter by Year

2013 2013