cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
Mahasiswa S1 Filsafat Timur
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Memuat jurnal hasil penelitian mahasiswa Strata 1(satu) Program Studi Filsafat Timur Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar.
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
RERAJAHAN KEKUDUNG BARONG KET DAN RANGDA DI PURA NATAR SARI DESA PAKRAMAN BELAYU KECAMATAN MARGA KABUPATEN TABANAN (Kajian Filsafat Hindu) Bagus, I Wayan Kariarta
Mahasiswa S1 Filsafat Timur Vol 1, No 1 (2013): E-Journal Filsafat
Publisher : Mahasiswa S1 Filsafat Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Barong Ket dan Rangda merupakan pralingga dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang dipergunakan oleh umat manusia sebagai alat konsentrasi perasaan dan pikiran agar lebih mantap dalam melaksanakan pemujaan terhadap Beliau (Tuhan). Ada satu hal yang sangat menarik dari Barong Ket dan Rangda ini, yaitu menggunakan rerajahan pada kekudungnya. Rerajahan itu sendiri merupakan gambar-gambar sakral yang dalam penggunaannya sering dipadukan dengan aksara sakral /aksara modre. Rerajahan pada Kekudung Barong Ket dan Rangda di desa Pakraman Belayu memiliki keunikan tersendiri baik dari segi penyajian, corak (motif), maupun perasaan religius yang ditimbulkannya.
PERSEPSI MASYARAKAT HINDU TERHADAP ILMU PANGLEAKAN DI DESA PAKRAMAN SUSUT, KECAMATAN SUSUT, KABUPATEN BANGLI Wibawa Putra, Anak Agung
Mahasiswa S1 Filsafat Timur Vol 1, No 1 (2013): E-Journal Filsafat
Publisher : Mahasiswa S1 Filsafat Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Penelitian ini sangat menarik, karena dalam ilmu Pangleakan yang dalam sejarahnya merupakan ajaran yang terdapat dalam kitab suci Hindu yakni kitab Atharwaweda dan merupakan bagian dari kitab suci Weda, perkembangan Hindu di Bali mendapat pengaruh dari Majapahit yang berkaitan dengan Calon arang yang berhubungan dengan ilmu pangleakan, tetapi dalam perkembangannya ilmu pangleakan dianggap sesat, negative dan cenderung Black Magic. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui jika benar ilmu pangleakan ajaran negative, mengapa ia berasal dari kitab suci Hindu, padahal dalam Hinduisme mengajarkan ajaran dharma menuju moksa (panglepasan). Berdasarkan latar belakang masalah, untuk memudahkan analisis masalah ada beberapa permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini: 1). Bagaimana persepsi masyarakat Hindu terhadap ilmu pangleakan di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli? 2). Bagaimana penerapan aksiologi ilmu pangleakan di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli? 3). Apa makna ilmu pangleakan bagi masyarakat Hindu di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli? Berdasarkan tiga permasalahan ini akan dibahas dalam penulisan ini pemaparan mengenai persepsi masyarakat Hindu di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli terhadap ilmu pangleakan, penerapan aksiologi ilmu pangleakan, makna ilmu pangleakan bagi kehidupan masyarakat.Penelitian ini mengunakan tiga teori yaitu 1). Teori Persepsi, 2). Teori Aksiologi, 3). Teori Makna. Kontribusi yang diberikan oleh masing-masing teori ialah untuk membedah permasalahan mengenai persepsi masyarakat, penerapan aksiologi dan makna dari ilmu pangleakan. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif data-datanya diperoleh melalui: observasi, wawancara, dokumenrasi, study kepustakaan;, pengolahan data.Persepsi masyarakat Hindu di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli terhadap ilmu pangleakan memiliki berbagai macam persepsi, seperti pangiwa dan panengen, dalam konsep pangiwa dan panengen keduanya saling melengkapi, pangleakan memiliki sarana yang dapat dibagi beberapa bagian yang diantaranya ada pengasih-asih, rerajahan, cetik dan pangleakan itu sendiri.Penerapan ilmu pangleakan di Desa Pakraman Susut, susut, Bangli dalam sosioculture, etika dan estetika. Penerapan sosio culture memandang penerapannya di masyarakat masih dirahasiakan (aja wera), penerapan etika, yakni terdapatnya kode etik dalam ilmu pangleakan, sedangkan estetikanya ilmu pangleakan mengandung nilai seni di dalamnya. Makna dalam ilmu pangleakan di Desa Pakraman Susut, Susut, Bangli terdiri dari makna sarana, makna kebahagia, makna kebebasan, makna pendidikan.Kata Kunci: Persepsi masyarakat, Ilmu Pangleakan, Penerapan Aksiologi
MAKNA FILOSOFIS UPACARA PENGEROPYOKAN DI DESA PAKRAMAN GADUNGAN KECAMATAN SELEMADEG TIMUR KABUPATEN TABANAN PUSPITA SARI, NI MADE AYU
Mahasiswa S1 Filsafat Timur Vol 1, No 1 (2013): E-Journal Filsafat
Publisher : Mahasiswa S1 Filsafat Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

            Pulau Bali yang mayoritas penduduknya agama Hindu memiliki   keanekaragaman kebudayaan dan kesenian yang tersebar keseluruh pelosok daerah baik di daerah pantai, daratan dan pegunungan. Masyarakat menciptakan kesenian yang unik, indah dan nantinya akan menjadi sebuah tradisi yang menjadikan ciri khas masyarakat di daerah tertentu. Kehidupan beryadnya dalam masyarakat Bali sangat menonjol dan  sentral serta bersifat dinamis, karena sistem di Bali memiliki kaitan yang erat, dan sistem-sistem lainnya seperti religi, pengetahuan, bahasa dan sosial kebudayaan serta mencakup keseluruhan aspek kehidupan masyarakat sehingga masyarakat Bali menganggap bahwa beryadnya itu merupakan bagian yang integral dalam kehidupan. Upacara yadnya merupakan wahana untuk menggerakkan semua isi alam dan termasuk manusianya untuk ditingkatkan menuju kehidupan phisisk material maupun mental spiritual. Salah satu pelaksanaan yadnya adalah upacara pengeropyokan yang merupakan salah satu bagian dari upacara nangluk merana. Upacara pengeropyokan dilaksanakan karena adanya serangan hama tikus yang menyerang pertanian warga. Pelaksanaannya dilaksanakan pada sasih kaenem karena merupakan sasih peralihan dari musim panas menuju ke musim penghujan. Penelitian ini memiliki keunikan dilihat dari sarana dan prasarana yang digunakan bagi masyarakat yang memiliki makna sangat jelas di dalamnya, maka dari itu perlu diadakan penelitian lebih lanjut.Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pakraman Gadungan dengan rumusan masalahnya adalah: (1) Bagaimanakah bentuk upacara pengeropyokan di Desa Pakraman Gadungan? (2) Apakah fungsi upacara pengeropyokan di Desa Pakraman Gadungan? (3) Apakah makna upacara Pengeropyokan di Desa Pakraman Gadungan?. Adapun teori yang digunakan adalah teori fungsi, teori religi dan teori simbol yang dipergunakan untuk membedah rumusan masalah tersebut.            Pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Jenis data yang digunakan adalah primer dan sekunder. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik observasi, wawancara dan studi dokumen. Teknik penentuan informan yang digunakan dengan cara snowball yang berpusat pada informan inti yang kemudian meluas ke informan-informan lainnya.            Hasil penelitian ini meliputi: (1) bentuk upacara pengeropyokan di Desa Pakraman Gadungan yang dilaksanakan pada sasih kaenem yang dilaksanakan di pura bedugul atau pura subak dengan prosesi inti yaitu dengan melaksanakan hatur piuning kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa sebagai salah satu perwujudan rasa bakti agar pelaksanaan upacara pengeropyokan dapat berjalan dengan lancar. Sarana dan prasarana yang dipergunakan sangat sederhana, seperti banten peras daksina dan segehan jangkep/gede. Kegiatan upacara dipuput oleh seorang Pamangku Subak. (2) Fungsi upacara pengeropyokan adalah sebagai fungsi dari peningkatan roh terhadap hama tikus agar tidak kembali merusak lahan pertanian petani. Fungsi  pendukung lainnya adalah sebagai fungsi  kesejahteraan masyarakat, fungsi religius, fungsi estetika dan fungsi sosial. (3) Makna upacara pengeropyokan, terdapat dua makna yaitu makna simbolik yang menjelaskan berbagai arti simbol yang terdapat pada sarana dan prasarana dari upacara pengeropyokan seperti: a) daksina sebagai lambang penstanaan dari Ida Sang Hyang Widi Wasa, b) peras sebagai lambang Tri Guna Sakti, c) segehan gede/jangkep sebagai lambang menetralisir antara yang panas dengan yang dingin sehingga menjadi seimbang, d) tetimpug sebagai lambang memanggil dan mengeluarkan dan berlanjut untuk pergi meninggalkan atau kembalinya hama tikus keasalnya dan tidak kembali merusak lahan pertanian, e) prayascita sebagai lambang kesejahteraan, f) suci sebagai lambang pebersihan. Sedangkan makna filosofinya yaitu terdapat di dalam pelaksanaan pemburuan tikus berlangsung di harapkan menggunakan senjata tumpul seperti salah satunya menggunkan pentungan. Dalam upacara pengeropyokan disebutkan ketajaman senjata akan menyebabkan cuntaka. Kegiatan ini bermakna peningkatan roh dan kesejahteraan bagi hama tikus agar setelah diadakan upacara pengeropyokan hama tikus tidak menjelma kembali menjadi hama yang merugikan petani. Kata kunci : nangluk merana, upacara pengeropyokan
ANGKLUNG TIRTHANIN TAMBLINGAN DI DESA PAKRAMAN SELAT KECAMATAN SUKASADA KABUPATEN BULELENG (Kajian Bentuk, Fungsi Dan Makna) Dharmayasa, I Wayan Widya
Mahasiswa S1 Filsafat Timur Vol 1, No 1 (2013): E-Journal Filsafat
Publisher : Mahasiswa S1 Filsafat Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Angklung Tirthanin Tamblingan adalah gamelan berlaras slendro, tergolong barungan madya yang dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang. Nama Tirthanin Tamblingan berarti air suci yang berasal dari Pura Puncak Ulun Danu Tamblingan, yang berlokasi di pinggir Danau Tamblingan. jumlah peralatan tabuh secara keseluruhan sebanyak 23 buah, dengan 14 jenis peralatan tabuh yang berbeda
ESENSI LINGGA YONI DI PURA BATUR NING DESA PAKRAMAN SAYAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR Sudiana, I Nyoman
Mahasiswa S1 Filsafat Timur Vol 1, No 1 (2013): E-Journal Filsafat
Publisher : Mahasiswa S1 Filsafat Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Sarana pemujaan berupa Lingga Yoni, yang dipercaya masyarakat sebagai sarana untuk mendekatkan diri kehadapan Tuhan dengan manifestasi beliau sebagai Dewi Danu sebagai dewi penguasa air yang memberikan berkah berupa kesuburan dan kemakmuran di dalam masyarakat. Pentingnya pemahaman tentang simbol-simbol pemujaan dalam masyarakan, penulis tertarik melakukan penelitian tentang Esensi Lingga Yoni di Pura Batur Ning, Desa Pakraman Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar dilihat dari segi bentuk, fungsi serta makna yang terkandung di dalamnya.            Di dalam memecahkan permasalahan tentang sarana pemujaan Lingga Yoni di Pura Batur Ning, Desa Pakraman Sayan, Ubud, Gianyar. dapat dipecahkan dengan menggunakan metode deskriptip kualitatif menggunakan teknik pengumpulan data seperti observasi, dokumentasi, dan studi pustaka, serta mempergunakan teori-teori sebagai pembedahnya antara lain mempergunakan teori religi untuk membedah bentuk, teori fungsionalisme struktural untuk membedah permasalahan tentang fungsi serta teori simbol untuk membedah permasalahan tentang esensi atau makna yang terdapat dalam sarana pemujaan Lingga Yoni di Pura Batur Ning, Desa Pakraman Sayan, Ubud, Gianyar.Dari permasalahan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan teknik pengumpulan data, observasi, wawancara serta dokumentasi dengan mempergunakan metode deskriptif kualitatif sehingga didapatkan hasil tentang bentuk,fungsi serta makna yang terkandung di dalam Lingga Yoni di Pura Batur Ning, Desa Pakraman Sayan, Ubud, Gianyar. Kata Kunci: Lingga Yoni., Sarana Pemujaan., Dewi Danu
SWADHARMA BALIAN KATAKSON-USADHA PADA ERA GLOBAL DI DESA PAYANGAN, KECAMATAN MARGA, KABUPATEN TABANAN (Kajian Filsafat Hindu) Titra Guna Wijaya, I Wayan
Mahasiswa S1 Filsafat Timur Vol 1, No 1 (2013): E-Journal Filsafat
Publisher : Mahasiswa S1 Filsafat Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Balian merupakan profesi seseorang dalam menjalani kehidupan, mencari ilmu kediatmikan merupakan syarat untama dari seorang Balian. Balian digolongkan menjadi empat bagian yaitu Balian Katakson, Balian Kapica, Balian Usadha, dan Balian Campuran. Dari semua jenis Balian tersebut sesuai dengan Lontar Budha Kacapi harus bersifat bijaksana serta tidak mengharapkan hasil atau imbalan lebih dari sebuah daksina. Fenomena tersebut melatar belakangi mengapa dilaksanakan penelitian Balian Katakson-usada di tengah era global dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana Proses menjadi Balian Katakson-usada di Desa Payangan, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, (2) apa saja fungsi Balian Katakson-usada di Desa Payangan, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, dan (3) bagaimana Kajian Filsafat Hindu Balian Katakson-usada di Desa Payangan, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Tujuan yang ingin dicapai secara khusus dalam penelitian ini yaitu: (1) untuk mengetahui proses seseorang menjadi Balian Katakson-usada, (2) mengetahui bagaimana fungsi Balian Ketakson-usada, dan untuk mengetahui bagaimana kajian filsafat Hindu mengenai Balian Ketakson-usada di Desa Payangan. Serta secara umum penelitian ini bertujuan untuk menambah refrensi kepada dunia pendidikan mengenai Balian.Untuk memperoleh pemahaman mengenai permasalahan dalam penelitian ini digunakan teori: (1) Teori Perubahan Sosial yang digunakan untuk mengkaji permasalahan mengenai Proses serta fungsi seorang Balian Katakson-usada, (2) teori etika digunakan untuk mengkaji permasalahan mengenai kajian filsafat Balian ketakson-usadha di Desa Payangan, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Jenis penelitian adalah kualitatif, jenis dan sumber data yaitu: (1) data primer bersumber dari lapangan dan (2) data sekunder bersumber dari literature2yang ada relevansinya terhadap penelitian ini. Data yang dikumpulkan dengan metode wawancara, observasi, kepustakaan, dan metode dokumentasi.Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diuraikan beberapa hal sebagai hasil penelitian sebagai berikut: (1) Proses menjadi Balian Katakson-usada di Desa Payangan terdiri dari beberapa tahap, diawali dari Calon Balian Katakson-usada dalam Lontar Buda Kacapi harus memiliki guru penuntun yang disebut dengan guru waktra dengan ritual yang harus dilaksanakan. Dilanjutkan mempelajari Katikelaning Genta Panara Pitu, Sastra Sanga, Bodha Kacapi dan Kali Mosadha. Selanjutnya dilaksanakan pawintenan untuk menjadi sorang Balian Katakson-usada pada merajan, mohon kepada Bhatara Hyang Guru untuk menjadi seorang Balian Katakson-usada. (2) Fungsi Balian Katakson-usada dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Payangan adalah sebagai berikut: (a). Meningkatkan sraddha bhakti masyarakat, hal tersebut terjadi karena peranan Balian dalam masyarakat sebagai orang yang disucikan dan wajib meluruskan pandangan masyarakat mengenai keberadaan Ida Sang Hyang Widi Wasa. (b) Fungsi penyembuhan atau usada, Balian Katakson-usada dalam masyarakat tidak terlepas dari fungsi utamanya yaitu menyembuhakan warga yang menderita sakit tanpa menghiraukan imbalan yang diperoleh. (c) Fungsi keharmonisan, meningkatkan keharmonisan antara anggota masyarakat karena kesehatan terjaga, selain itu Balian Katakson-usada di Desa Payangan senantiasa memabantu pembangunan pura atau tempat umum baik material atau tenaga, sehingga meringankan beban masyarakat.Kajian filsafat Hindu mengenai Balian Katakson-usada di Desa Payangan dikaji dari segi filsafat Sad Darsana mengkhusus kepada yoga, samkya dan mimamsa, dimana ketiga aliran filsafat tersebut yang diterapkan oleh Balian Katakson-usada di Desa Payangan terlihat secara nyata,Kata Kunci: Balian Katakson-usada, Kajian Filsafat Hindu
TRADISI MEGOAK-GOAKAN DI DESA PAKRAMAN PANJI, KECAMATAN SUKASADA, KABUPATEN BULELENG (Analisis Bentuk, fungsi, dan Makna) Buda Supada, I Nyoman
Mahasiswa S1 Filsafat Timur Vol 1, No 1 (2013): E-Journal Filsafat
Publisher : Mahasiswa S1 Filsafat Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Budaya merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, sehingga budaya sangat penting dalam kehidupan bersosial masyarakat. Tradisi Magoak-goakan merupakan salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya di pulau Bali. Seperti di Desa Pakraman Panji, masyarakat terus saling bekerja sama dalam melaksanakan tradisi Magoak-goakan demi kelestarian tradisi tersebut.            Metode yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik observasi, teknik wawancara, teknik studi kepustakaan, dan teknik analisis hasil.            Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa: tradisi Magoak-goakan merupakan salah satu kebudayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali yang dilaksanakan dengan penuh keakraban dan keharmonisan yang terjadi di antara para pemain Magoak-goakan. Kata Kunci: Magoak-goakan tradisi Desa Panji
EKSISTENSI CETIK DALAM USADA BALI DI DESA PAKRAMAN PAYANGAN, MARGA, TABANAN (KAJIAN FILOSOFI HINDU) Adi Purna jaya, I Made
Mahasiswa S1 Filsafat Timur Vol 1, No 1 (2013): E-Journal Filsafat
Publisher : Mahasiswa S1 Filsafat Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Cetik adalah istilah bahasa Bali yang sering digunakan untuk menyebutkan racun yang khas di Bali. Cetik adalah sejenis racun khas Bali, yang digunakan untuk "mencelakai"orang lain. Cetik juga dalam persepsi masyarakat Bali tidak hanya sebagai racun, namun juga sebagai salah satu sarana untuk membunuh orang lain yang juga didukung dengan kekuatan gaib dan mantra-mantra. Dalam penelitian ini dirumuskan suatu permasalahan yaitu (1) Bagaimana Cetik dalam perspektif filsafat Hindu. (2) Apa sajakah yang termasuk dalam golongan  jenis-jenis Cetik di Desa Pakraman Payangan, Marga, Tabanan .(3) Bagaimana cara menanggulangi Cetik sesuai dengan Usada Bali di Desa Pakraman Payangan, Marga, Tabanan.Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Untuk mengetahui Eksistensi Cetik dalam perspektif Filsafat Hindu, (2). Untuk mengetahui racun apa saja yang masuk dalam golongan jenis-jenis Cetik di Desa Pakraman Payangan, Marga, Tabanan,(3) Untuk mengetahui cara menanggulangi Cetik dalam Usada Bali di Desa Pakraman Payangan, Marga, Tabanan (Kajian Filosofi Hindu). Penelitian ini menggunakanpendekatan kualitatif dengan teori yang digunakan yakni teori animisme, teori simbol, teori religi. Data yang dipakai dalam karya ilmiah ini adalah data primer yang bersumber dari lapangan dan data skunder yang bersumber dari pustaka, sehingga data dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara, dokumentasi, kepustakaan, analisis data.Penelitian ini dapat dikemukakan hasilnya sebagai berikut : (1) Cetik dalam perspektif filsafat Hindu, keterkaitan cetik dengan filsafat Hindu terdapat dari cara memperolehnya. Dalam filsafat Hindu suatu pengetahuan dapat diperoleh dari pengamatan langsung maupun secara tidak langsung. Begitu juga dalam ilmu cetik, jika dikaji dari cara penanggulangannya dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung dapat diperoleh dengan berobat kepada balian dan secara tidak langsung dapat dengan mapakeling ke hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, (2) Golongan  jenis-jenis Cetik di Desa Pakraman Payangan, Marga, Tabanan yakni Cetik Warangan, Cetik Kerawang, dan Cetik Grinsing.(3) cara menanggulangi Cetik dalam Usada Bali di Desa Pakraman Payangan, Marga, Tabanan. Pengobatannya dengan menggunakan,sesikepan, mirah, serta mempercayai intuisi (kleteg bayu) yang didukung dengan keyakinan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata kunci: Cetik, Usada Bali, Filosofis Hindu.
MAKALA-KALAAN DALAM PAWIWAHAN DI SANGGAH GEDE DESA ADAT KEROBOKAN KECAMATAN KUTA UTARA KABUPATEN BADUNG Rai yeni, Ni Made
Mahasiswa S1 Filsafat Timur Vol 1, No 1 (2013): E-Journal Filsafat
Publisher : Mahasiswa S1 Filsafat Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Upacara keagamaan yang terbesar dalam Agama Hindu berjumlah lima golongan yang disebut dengan Panca Yajnya, yaitu : Dewa Yajnya, Pitra Yajnya, Rsi Yajnya, Bhuta Yajnya dan Manusa Yajnya. Upacara perkawinan termasuk dalam manusa yajnya. Pada upacara pawiwahan terdapat upacara Makala-kalaan yang mempunyai keunikan tersendiri. Desa Adat Kerobokan terdapat keunikan yaitu suatu Pawiwahan yang prosesi Upacara Makala-kalaan dilaksanakan di Sanggah Gede. Adapun signifikasi rumusan permasalahan tentang bentuk, fungsi, dan makna Makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat   Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.            Pemecahan rumusan masalah tentang Makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat   Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung dengan menggunakan metode kualitatif, menggunakan teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara, dokumentasi dan studi kepustakaan.Bentuk Makala-kalaan di sanggah gede, sarana yang dipakai meliputi : Pebersihan, Isuh-isuh, Amel-amel, Sasak mentah, Satu tanding soroan,Lis babuu, padma, tirtha pabyakaonan, Kekeb, daksina, Tikeh dadakan, gegaluh, peras mejapit tumpeng 7, 11. Tempat pelaksanaannya di sanggah gede pada hari yang telah ditentukan, prosesi upacaranya dipimpin oleh pemangku yang diawali dengan separikramaning pemujaan oleh pemangku, pabyakaonan, panglukatan, menggigit lis, merobek tikeh dadakan, mengelilingi tetimpug, natab banten pekala-kalaan, terakhir mandi di sungai. Fungsi religius yaitu menyucikan bibit mempelai wanita dan mempelai laki-laki, fungsi sosial adanya interaksi sosial yang kuat dengan sistem menyama braya, fungsi biologis yaitu pemenuhan hasrat biologis untuk melakukan swadharma perkawinan dalam rumah tangga. Makna filosofis yaitu kesucian, kebersamaan, pengorbanan, makna moralitas tingkal laku yang harus diterapkan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, dan makna penyatuan dua energi kama bang dan kama petak untuk melahirkan anak yang suputra, sehingga tercapainya keluarga yang harmonis, damai dan sejahtera. Kata Kunci : Makala-kalaan., Sanggah Gede., Pawiwahan
MAKNA FILOSOFIS PELAKSANAAN SUDDHI WADANI DALAM PERKAWINAN HINDU DI DESA PAKRAMAN LUMINTANG, KECAMATAN DENPASAR UTARA, KOTA DENPASAR SRI WAHYUNI, KADEK
Mahasiswa S1 Filsafat Timur Vol 1, No 1 (2013): E-Journal Filsafat
Publisher : Mahasiswa S1 Filsafat Timur

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (33.87 KB)

Abstract

Perkawinan di dalam agama Hindu biasa dikenal dengan konsep wiwaha samskara. Upacara wiwaha samskara merupakan salah satu yadnya yang silakukan oleh umat Hindu. Korban suci secara tulus iklas yang merupakan bagian dari manusa yadnya. Suddhi wadani merupakan media penyucian bagi seseorang yang mulai menganut agama Hindu, namun upacara suddhi wadani ini tidak hanya berkaitan dengan status seseorang yang akan melaksanakan upacara perkawinan secara agama Hindu, melainkan kepada siapa saja yang mulai masuk atau menjadi penganut agama Hindu. Pentingnya peranan upacara suddhi wadani terhadap peralihan status seseorang dalam upacara perkawinan agama Hindu khususnya di desa pakraman Lumintang, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengadakan suatu penelitian. Dari latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain : bagaimana proses pelaksanaan suddhi wadani dalam perkawinan agama Hindu di desa pakraman Lumintang, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar ?, apa fungsi pelaksanaan suddhi wadani dalam perkawinan agama Hindu di desa pakraman Lumintang, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar ?, dan apa makna filosofis yang terkandung dalam pelaksanaan suddhi wadani dalam perkawinan agama Hindu di desa pakraman Lumintang, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar ?.            Proses penelitian diawali dengan merancang proposal, penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif, lalu menentukan lokasi penelitian, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis data kualitatif dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder, penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling. Dalam pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif dan analisis hasil penelitian disajikan dalam bentuk laporan ilmiah. Untuk menjawab rumusan masalah peneliti menggunakan tiga teori yaitu teori religi yang digunakan untuk mengetahui proses pelaksanaan suddhi wadani, teori fungsi yang digunakan untuk mengetahui fungsi pelaksanaan suddhi wadani , dan juga teori simbol yang digunakan untuk mengetahui makna sarana upakara suddhi wadani.            Pelaksanaan suddhi wadani terdiri dari berbagai bagian atau proses dalam pelaksanaannya diantaranya, yaitu administrasi perkawinan suddhi wadani, proses pelaksanaan suddhi wadani dalam perkawinan Hindu, proses upacara suddhi wadani, dan proses pengesahan. Suddhi wadani mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi sebagai penentuan status, fungsi melanjutkan keturunan, dan fungsi untuk meyelamatkan leluhur. Serta memiliki makna filosofis yaitu suatu penyucian lahir bathin. Membersihkan segala hal-hal yang kotor dari masing-masing mempelai dan ungkapan rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi guna untuk mencapai keluarga harmonis.Kata Kunci : Makna Filosofis, Suddhi Wadani, Perkawinan Hindu.

Page 1 of 2 | Total Record : 11