cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX ET SOCIETATIS
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education, Social,
Arjuna Subject : -
Articles 1,270 Documents
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ANAK KORBAN PRAKTEK PROSTITUSI DARI WISATAWAN Lang, Lanny Carolina Maria
LEX ET SOCIETATIS Vol 2, No 1 (2014): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35796/les.v2i1.3982

Abstract

Hasil penelitian untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan anak-anak menjadi korban prostitusi dari wisatawan dan perlindungan hukum terhadap anak-anak korban praktek prostitusi dari wisatawan. Pertama, diberbagai komunitas, yang namanya prostitusi, diakui atau tidak merupakan akses yang tak terhindarkan dari perkembangan moderenisasi, kapitalisme, industri pariwisata dan industri jasa layanan yang makin kompetitif. Penyebab anak-anak terjerat dalam bisnis pelacuran adalah motivasi untuk mencari uang, karena salah pergaulan, akibat ditelantarkan orang tua semasa kecil, katanya juga penyebab lain adalah seorang anak broken home. Kedua, perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Hukum yang mengatur tentang hak anak harus lebih mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak asasi anak sebagaimana yang telah diatur dibeberapa ketentuan yang berlaku lintas negara, yang beberapa diantaranya telah diratifikasi menjadi hukum nasional. Penyusunan karya tulis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan dapat disimpulkan bahwa prostitusi anak-anak yang dilacurkan adalah disebabkan karena faktor-faktor internal keluarga seperti: kemiskinan, penghasilan orang tua tidak mencukupi untuk menunjang kehidupan ekonomi keluarga, pendidikan yang rendah, budaya, putus sekolah,  pekerjaan menyerupai perbudakan, perkawinan dini. Untuk itu perlu adanya perlindungan hukum terhadap anak-anak korban praktek prostitusi dari wisatawan yaitu dengan melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap bentuk-bentuk kegiatan praktek prostitusi anak. Kata kunci: Anak, Prostitusi
KEWENANGAN TIM DENSUS 88 DALAM PENANGGULANGAN TERORISME DI INDONESIA Bawole, Marshaal Semuel
LEX ET SOCIETATIS Vol 2, No 1 (2014): Lex Et Societatis
Publisher : Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tim Densus 88 adalah Tim Detasemen Khusus 88 yang merupakan satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menanggulangi aksi teror di Indonesia. Tim Densus 88 bertindak atau bergerak berdasarkan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pergerakan atau tindakan dari Tim Densus 88  menuai aksi pro dan kontra yang menyebabkan timbulnya  polemic dalam masyarakat yang dapat mengancan keamanan, ketentraman bahkan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Masyarakat menganggap Tim Densus 88 dalam tindakannya telah melakukan tindak pidana dan melanggar hak asasi manusia karenakorban yang timbul akibat dari proses pemberantasan tindak pidana terorisme. Kata kunci: Densus 88, Terorisme
SANKSI PIDANA DALAM PENYIARAN AUDIOVISUAL (TELEVISI) DI INDONESIA Tumbelaka, Gabriela
LEX ET SOCIETATIS Vol 2, No 1 (2014): Lex Et Societatis
Publisher : Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana aturan hukum tentang Penyiaran Audiovisual (Televisi) Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2002dan bagaimanaImplementasi Sanksi Pidana dalam program penyiaranAudiovisual (Televisi)Di Indonesia. Pertama, Deregulasi kegiatan penyiaran di Indonesia dimulai dengan diberlaku­kannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.UU Penyiaran telah mem­bentuk suatu badan khusus dalam sistem pengaturan penyiaran di Indonesia, yaitu adanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Kedua, berdasarkan UU Penyiaran, maka penyiaran di Indonesia harus diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Penyiaran telah mengatur tentang ancaman sanksi terhadap berbagai pelanggaran aturan dalam undang-undang tersebut. Sanksi dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuiridis normative dan dapat disimpulkan, bahwa proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik.Aspek hukum pidana penyiaran televisi (audio visual) meliputi aturan tentang boleh dan tidak boleh suatu program siaran disiarkan, standar program dan isi siaran, serta aturan‑aturan hukum lain yang harus dipatuhi oleh praktisi penyiaran. Kata kunci: Penyiaran, Audiovisual (televisi)
IMPLEMENTASI HUKUMAN SEUMUR HIDUP DALAM PRAKTIK DI INDONESIA MENURUT KUHP Husain, Fitrawaty U.
LEX ET SOCIETATIS Vol 2, No 1 (2014): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35796/les.v2i1.3985

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan pidana penjara seumur hidup KUHP serta bagaimana eksistensi pidana penjara seumur hidup dikaitkan dengan sistem pemasyarakatan. Pertama, Pidana penjara seumur hidup diatur dalam KUHP Pasal 12 ayat (1), dan pengaturan pidana penjara seumur hidup tidak serinci pengaturan pidana penjara selama waktu tertentu. Pengancaman pidana penjara seumur hidup sebagian besar ditujukan kepada kejahatan yang membahayakan nyawa orang yang menyebabkan kematian. Kedua,  Pidana merupakan suatu alat atau sarana  untuk mencapai tujuan. Pidana bukan merupakan tujuan, dan memang tidak mungkin menjadi tujuan. Yang mempunyai tujuan disini justru adalah pemidanaan itu sendiri. Jenis pidana seumur hidup ini justru tidak menunjukkan relevansi jika dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan sarana pemidanaan. Secara manusiawi, terdapat kecenderungan bahwa orang yang telah dijatuhi pidana seumur hidup dan telah dikuatkan dengan penolakan grasi akan berbuat semaunya dalam Lembaga Pemasyarakatan. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dapa disimpulkan, bahwa: pidana penjara seumur hidup hampir selalu menjadi pidana alternatif dari pidana mati, karena pidana penjara seumur hidup adalah jenis sanksi yang terberat satu peringkat di bawah pidana mati. Hukum pidana positif yang mengatur masalah pidana seumur hidup sebagaimana diatur dalam KUHP dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, dalam arti bahwa pemidanaan itu adalah bertujuan untuk pembalasan terhadap terpidana atas apa yang sudah dibuatnya, dapat dikatakan tidak mendapatkan titik temu dikaitkan dengan keberadaan dari terpidana yang dipidana dengan pidana seumur hidup dalam praktek penyelenggaran hukum pidana. Kata kunci: Seumur hidup, Indonesia.
PERANAN JAKSA SEBAGAI PENYIDIK DALAM MENGUNGKAP KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Montolalu, David Karel
LEX ET SOCIETATIS Vol 2, No 2 (2014): Lex Et Societatis
Publisher : Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah yang menyebabkan terjadinya Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan bagaimana peran jaksa sebagai penyidik dalam menangani Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pebelitian yuridis normative dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Korupsi di Indonesia adalah merupakan suatu kejahatan yang extra ordinary crimes yang merusak berbagai aspek kehidupan bangsa, keuangan Negara, potensi ekonomi serta meluluhlantakkan pilar-pilar sosial budaya, moral, politik dan tatanan hukum serta keamanan nasional sehingga perlu penanganan  yang serius dalam upaya pemberantasan oleh jaksa sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Terjadinya korupsi di Indonesia antara lain disebabkan sistem penyelenggara negara yang keliru, konpensasi PNS yang rendah, keserakahan, Law Enforcement yang tidak jalan, hukuman yang ringan terhadap koruptor, pengawasan tidak efektif, tidak ada keteladanan kepemimpinan, serta budaya masyarakat yang kondusif dengan KKN. Penyebab lain adalah hanyut dalam paham hedonisme yang sarat dengan konsumerisme, dan seksualisme. 2. Peranan jaksa sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia di atur dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dengan tahapan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Jaksa sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi berpegang pada Doktrin Kejaksaan TRI KRAMA ADIYAKSA yaitu Satya (kesetiaan); Adhi (kesempurnaan); Wicaksana (kebijaksanaan), sebagai pedoman yang menjiwai setiap warga Kejaksaan agar mampu memperkokoh pengenalan dan pemahamannya (orientasi) akan makna amanah serta tugas yang dipercayakan Negara dan Bangsa. Hal yang sangat penting dalam penanganan tindak pidana korupsi oleh jaksa sebagai penyidik adalah berkaitan dengan kekuatan alat-alat bukti yang sah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menjadi dasar melanjutkan suatu kasus tindak pidana korupsi sampai pada dilimpahkannya ke pengadilan. Kata kunci: Penyidik, Korupsi
PENGGELAPAN BARANG SITAAN NARKOTIKA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA Mamalu, Jastinra
LEX ET SOCIETATIS Vol 2, No 2 (2014): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35796/les.v2i2.3987

Abstract

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aturan hukum terhadap Penggelapan Barang-Barang Sitaan Narkotika di Indonesia serta upaya penegakkan hukum terhadap Tindak Pidana Penggelapan Barang-Barang Sitaan Narkotika tersebut. Pertama, di Indonesia tindak pidana penggelapan di atur dalam pasalPenggelapan diatur dalam pasal 372-377 KUHP,dan Narkotika di atur dalam Undang-undang No. 35 tahun 2009. Kemudian mengenai Penyitaan adalah salah satu upaya paksayang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, Pasal 38 s/d 46 KUHAP, Pasal 82 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP dalam konteks Praperadilan, Pasal 128 s/d 130 KUHAP, Pasal 194 KUHAP, dan Pasal 215 KUHAP. Kedua, upaya hukum untuk menindak bagi para oknum yang melakukan tindak pidana penggelapan terhadap barang sitaan narkotika yang dalam hal ini sudah di atur dalam Undang-Undang baik dari intern instansi mereka maupun tentang hukum pidana umum yang berlaku di negara kita Indonesia. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normative dan dapat disimpulkan, bahwa Aturan Hukum mengenai penggelapan terhadap barang-barang sitaan Narkotika telah memberikan jaminan kepastian Hukum bagi para pelanggarnya. Kemudian Pelaksanaan penegakkan Hukum terhadap Tindak Pidana Penggelapan terhadap Barang sitaan Narkotika ini khusus untuk instansi yang terkait dengan masalah tersebut mempunyai kewenangan sendiri untuk menindak dan memberikan hukuman kepada para oknum-oknum yang nakal yang terdapat pada instansi tersebut. Kata kunci:  Barang sitaan, Narkotika
PROSES PENYELESAIAN TIPIRING LALU LINTAS Garusu, Octavia Shendy
LEX ET SOCIETATIS Vol 2, No 2 (2014): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35796/les.v2i2.3988

Abstract

Penelitian dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya Pelanggaran Tindak Pidana Ringan (TIPIRING) Lalu Lintas dan bagaimana tindakan aparat penegak hukum khususnya Polisi Lalu Lintas  dalam menangani dan menyelesaikan masalah Tindak Pidana Ringan (TIPIRING) Lalulintas. Pertama, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tipiring, diantaranya: karena kelalaian daripada setiap pengendara bermotor dan pemberian Surat Ijin Mengemudi atau SIM yang bukanpadaperuntukannya atau tidak melalui prosedur yang sesuai. Kedua, pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 dijelaskan bahwa terdapat berbagai upaya-upaya penegakkan hukum mengenai pelanggar lalulintas yang akan diselesaikan dengan porsi penyelesaian tindak pidana ringan lalulintas. Penindakan yang mendasar yang sebagaimana yang kita temui dijalan yakni penilangan yang merupakan salah satu momok bagi pengendara jalan saat berkendara. Selanjutnya, aparat penegak hukum dapat juga melakukan tindakan Represif yaitudidasarkan para peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, maka dapat simpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Tindak Pidana dalam  berlalu lintas yakni akibat dari kelalaian atau human eror dari para pengendara dan juga akibat dari ketidak profesionalismenyaaparat kepolisian khususnya polisi lalulintas dalam melaksanakan tugas mereka, itu dikarenakan ada beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dalam menerbitkan SIM  atau memberikan SIM kepada masyarakat dengan tidak melewati prosedur pengambilan SIM yang selayaknya. Kemudian dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 mengenai Lalulintas mengatur tentang upaya-upaya penegakkan hukum mengenai pelanggar lalulintas yang diselesaikan dengan porsi penyelesaian tindak pidana ringan lalulintas, seperti penanganan kecelakaan lalulintas  dengan tidak adaunsur kesengajaan. Tidak ada unsur kesengajaan itulah biasanyayang dijadikan alasan untuk menyelesaikan perkara tanpa melaluiproses Pengadilan. Kata kunci: Tipiring, Lalaulintas
PENGHENTIAN PENUNTUTAN DEMI KEPENTINGAN HUKUM Legoh, Romel
LEX ET SOCIETATIS Vol 2, No 2 (2014): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35796/les.v2i2.3989

Abstract

Hasil penelitian bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi wewenang Jaksa Penuntut Umum yang ditentukan oleh Undang-undang dan bagaimana Proses Penghentian Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pertama, Penuntut Umum mempunyai wewenang (Pasal 14 KUHAP): Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik; mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan; memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.; membuat surat dakwaan; melimpahkan perkara ke pengadilan; melakukan penuntutan dan menutup perkara demi kepentingan hukum. Kedua, Penghentian penuntutan Demi Kepentingan Hukum dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang didasarkan dengan: Perkara tidak mempunyai pembuktian yang cukup; perkara telah memperoleh kekuatan hukum tetap; perkara sudah kadaluwarsa dan tersangka telah meninggal dunia; yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif dan dapat disimpulkan bahwa wewenang jaksa penuntut umum yaitu meneliti berkas perkara apakah tersangka dapat dilimpahkan  pemeriksaan ke sidang pengadilan ataukah tidak, selanjutnya penghentian penuntutan demi kepentingan hukum oleh jaksa penuntut umum sangatlah adil karena jaksa penuntut umum telah meneliti berkas perkara tersebut. Kata kunci: Penuntutan, Kepentingan Hukum
KAJIAN TENTANG PERINTAH JABATAN YANG DIATUR PASAL 51 KUH PIDANA Butarbutar, Ines
LEX ET SOCIETATIS Vol 2, No 2 (2014): Lex Et Societatis
Publisher : Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana substansi (materi pokok) dari Pasal 51 ayat (1) KUHPidana dan bagaimana substansi (materi pokok) dari Pasal 51 ayat (2) KUHPidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan, bahwa: 1. Substansi (materi pokok) dari perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang adalah: pejabat, penguasa, pegawai negeri (Belanda: ambtenaar), menurut yurisprudensi adalah setiap orang yang diangkat oleh pemerintah dan diberi tugas, yang merupakan sebagian dari tugas pemerintah, dan yang melakukan pekerjaan yang bersifat atau untuk umum. 2. Substansi dari perintah jabatan tanpa wewenang, yaitu perintah jabatan tanpa wewenang ini pada dasarnya tidak dapat melepaskan orang yang diperintah dari pidana.  Pengecualian terhadap ketentuan umum mengenai perintah jabatan yang tanpa wewenang ini hanyalah apabila yang diperintah memenuhi dua syarat yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (2) KUHPidana, yaitu: Jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang; dan, Pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah. Kata kunci: Perintah, Jabatan.
TINJAUAN YURIDIS ATAS ABORSI DI INDONESIA (Studi Kasus di Kota Manado) Langie, Yuke Novia
LEX ET SOCIETATIS Vol 2, No 2 (2014): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35796/les.v2i2.3991

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban yuridis tindakan aborsi provucatus ditinjau dari aspek pidana berdasarkan hukum berlaku dan bagaimana faktor-faktor yang menjadi  kendala  dalam penanganan tindakan abortus provacatus criminalis beserta upaya-upaya penanggulangan dan pencegahannya. Pertama, menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”. Tindakan aborsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Dengan diundangkannya UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi, maka pasal-pasal tentang aborsi dalam KUHP ini tidak berlaku lagi atas dasar Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Kedua, kendala dalam penanganan tindakan abortus.  Kendala yang pertama adalah dari masyarakat itu sendiri. Kendala yang lain yang menjadi penyebab sulitnya mengungkap kasus abortus provocatus kriminalis adalah pihak kepolisian sering sekali sulit mengidentifikasi hasil dari barang bukti abortus provocatus kriminalis. Ruang lingkup penelitian ini adalah pada disiplin ilmu hukum, maka penelitian ini merupakan bagian dari penelitian hukum kepustakaan yakni dengan “cara meneliti bahan pustaka” atau yang dinamakan “penelitian hukum normatif” dan dapat  disimpulkan bahwa dalam perundang-undangan Indonesia, pengaturan tentang aborsi terdapat dalam dua undang-undang yaitu KUHP & UU Kesehatan. Dalam KUHP & UU Kesehatan diatur ancaman hukuman melakukan aborsi (pengguguran kandungan, tidak disebutkan soal jenis aborsinya), sedangkan aborsi buatan legal (terapetikus atau medisinalis), diatur dalam UU Kesehatan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, baik teknologi maupun hukum sampai saat ini, para dokter kini harus berhadapan dengan adanya hak otonomi pasien. Dalam hak otonomi ini, pasien berhak menentukan sendiri tindakan apa yang hendak dilakukan dokter terhadap dirinya, maupun berhak menolaknya. Sedangkan jika tidak puas, maka pasien akan berupaya untuk menuntut ganti rugi atas dasar kelalaian yang dilakukan dokter tersebut. Kata kunci: Aborsi, Indonesia

Page 10 of 127 | Total Record : 1270


Filter by Year

2013 2023


Filter By Issues
All Issue Vol. 11 No. 1 (2023): Lex Et Societatis Vol. 10 No. 4 (2022): Lex Et Societatis Vol. 10 No. 3 (2022): Lex Et Societatis Vol. 10 No. 2 (2022): Lex Et Societatis Vol. 10 No. 1 (2022): Lex Et Societatis Vol. 9 No. 4 (2021): Lex Et Societatis Vol 9, No 3 (2021): Lex Et Societatis Vol 9, No 2 (2021): Lex Et Societatis Vol 9, No 1 (2021): Lex Et Societatis Vol 8, No 4 (2020): Lex Et Societatis Vol 8, No 3 (2020): Lex Et Societatis Vol 8, No 2 (2020): Lex Et Societatis Vol 8, No 1 (2020): Lex Et Societatis Vol 7, No 12 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 11 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 10 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 9 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 8 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 7 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 6 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 5 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 4 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 3 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 3 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 2 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 2 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 1 (2019): Lex Et Societatis Vol 7, No 1 (2019): Lex Et Societatis Vol 6, No 10 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 10 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 9 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 9 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 8 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 8 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 7 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 7 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 6 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 6 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 5 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 5 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 4 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 4 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 3 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 3 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 2 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 2 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 1 (2018): Lex Et Societatis Vol 6, No 1 (2018): Lex Et Societatis Vol 5, No 10 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 10 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 9 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 9 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 8 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 8 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 7 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 6 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 6 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 4 (2017): Lex et Societatis Vol 5, No 4 (2017): Lex et Societatis Vol 5, No 3 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 3 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 2 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 2 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 1 (2017): Lex Et Societatis Vol 5, No 1 (2017): Lex Et Societatis Vol 4, No 2.1 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 2.1 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 9 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 9 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 8 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 8 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 7 (2016): Les Et Societatis Vol 4, No 7 (2016): Les Et Societatis Vol 4, No 6 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 5 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 5 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 4 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 4 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 3 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 3 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 2 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 2 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 1 (2016): Lex Et Societatis Vol 4, No 1 (2016): Lex Et Societatis Vol 3, No 10 (2015): Lex et Societatis Vol 3, No 10 (2015): Lex et Societatis Vol 3, No 9 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 9 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 8 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 8 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 7 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 7 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 6 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 6 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 5 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 5 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 4 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 4 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 3 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 3 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 2 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 2 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 1 (2015): Lex Et Societatis Vol 3, No 1 (2015): Lex Et Societatis Vol 2, No 9 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 9 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 8 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 8 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 7 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 7 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 6 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 6 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 5 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 5 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 4 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 4 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 3 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 2 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 2 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 1 (2014): Lex Et Societatis Vol 2, No 1 (2014): Lex Et Societatis Vol 1, No 5 (2013): Lex et Societatis Vol 1, No 5 (2013): Lex et Societatis Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis Vol 1, No 3 (2013): Lex et Societatis Vol 1, No 3 (2013): Lex et Societatis Vol 1, No 2 (2013): Lex et Societatis Vol 1, No 2 (2013): Lex et Societatis Vol 1, No 1 (2013): Lex et Societatis Vol 1, No 1 (2013): Lex et Societatis Vol 5, No 5 (5): Lex Et Societatis Vol 5, No 5 (5): Lex Et Societatis More Issue