Articles
1,270 Documents
INTERVENSI PIHAK ASING DALAM PENYELESAIAN KONFLIK INTERNAL SUATU NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Leatemia, Ardiyah
LEX ET SOCIETATIS Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis
Publisher : Sam Ratulangi University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Hukum adalah serangkaian peraturan yang hadir ditengah-tengah masyarakat untuk mengatur pergaulan hidup manusia satu dengan yang lain. Tetapi isi hukum dimana-mana tidak sama.Di tengah-tengah berbagai macam variasi hukum, ada suatu hukum yang tercipta untuk menjaga perdamaian dan keamanan serta menjadi penengah apabila terjadi permasalahan antara bangsa-bangsa, yaitu Hukum Internasional. Praktek intervensi yang terjadi dalam dunia internasional sekarang ini menjadi salah satu hal yang hangat diperbincangkan oleh masyarakat. Masyarakat internasional mempertanyakan mengenai sah atau tidaknya suatu intervensi yang dilakukan oleh pihak asing terhadap konflik internal suatu Negara. Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metodepengumpulan data dan analisis data.Dari hasil pembahasan yang penulis kaji bahwa penerapan intervensi yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap Negara lain pada umumnya melanggar kedaulatan Negara tersebut. Bahwa apabila suatu Negara melakukan suatu tindakan kekejaman terhadap warga Negaranya sedemikian rupa bahkan mengabaikan nilai-nilai hak asasi manusia, maka suatu intervensi kemanusiaan secara hukum dibenarkan. Hal inilah yang menjadi dasar bagi beberapa Negara untuk mengintervensi Negara lain, yaitu dengan alasan telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Intervensi kemanusiaan dapat dikatakan sah apabila tidak melanggar batasan yang ditentukan dalam pasal 2 (4) Piagam. Legalitas intervensi kemanusiaan ini selanjutnya dihubungkan dengan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghormati hak asasi manusia. Selanjutnya Hukum Internasional pada umumnya melarang suatu Negara atau pihak asing untuk campur tangan dalam urusan Negara lain. Terlebih lagi apabila campur tangan atau intervensi tersebut sudah disertai dengan tindakan yang mengganggu kemerdekaan dan kedaulatan Negara yang bersangkutan. Dalam hal ini intervensi bisa saja melibatkan atau tidak melibatkan pengerahan kekuatan bersenjata atau kekerasan. Seringkali intervensi ini terjadi pada Negara yang berkuasa yang ingin melemahkan kedaulatan Negara lain dengan cara seperti pemberian embargo atau penolakan pengakuan terhadap pemerintahan yang baru. Kata Kunci: Intervensi
PENGGUNAAN KEKUATAN BERSENJATA TERHADAP KELOMPOK TERORIS DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Yowanda, Yowanda
LEX ET SOCIETATIS Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis
Publisher : Sam Ratulangi University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Peristiwa 11 September 2001 menjadi peristiwa yang tak terlupakan sepanjang sejarah Amerika. Kelompo kteroris Al Qaeda mengambil alih kemudi 4 pesawat swasta milik Amerika, menerbangkan pesawat-pesawat tersebut dan dengan sengaja menabrakkan pesawat pada bangunan tertinggi kebanggaan Amerika, World Trade Center, Pentagon, dan  di daerah pingir kota Pennsylvania. Akibatnya, kurang lebih 3000 nyawa tidak bersalah meninggal karena aksi teroris tersebut, dan kerugian ekonomi pun tidak dapat dihindarkan.Ditinjau dari sudut pandang hukum internasional, perang terhadap teroris yang sedang marak terjadi ini memang masih menjadi sebuah kontroversi. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam berbagai kampanyenya jelas mencita-citakan perdamaian dunia yang diwujudkan dengan pelarangan digunakannya kekuatan bersenjata. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kejelasan tentang penggunaan kekuatan bersenjata terhadap kelompok teroris ditinjau dari perspektif hukum humaniter internasional.  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, penelitian ini didasarkan pada Hukum Internasional khususnya dalam bidang penggunaan kekuatan bersenjata khususnya oleh suatu negara terhadap negara lainnya dalam keterkaitan negara tersebut dengan suatu kelompok teroris. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana penggunaan kekuatan bersenjata terhadap kelompok teroris menurut Piagam PBB, serta Penggunaan Kekuatan Bersenjata terhadap kelompok teroris menurut Hukum Humaniter. Pertama, Piagam PBB mengatur secara jelas bahwa inti dari pengecualian terhadap pelarangan penggunaan kekuatan bersenjata adalah tindakan penegakkan secara kolektif yang terdapat di dalam Bab VII mengenai tindakan paksa. Kedua Hukum humaniter internasional dalam Konvensi Jenewa 1949 membagi kategori konflik bersenjata kedalam dua bagian yaitu konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional. Setiap konflik bersenjata memiliki kategori dan persyaratan masing-masing. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terkait dengan perdebatan mengenai penanganan teroris dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang dilakukan oleh negara-negara, bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan dan jurisdiksi masing-masing yang harusnya tidak boleh diganggu-gugat oleh negara lainnya. Oleh karena itu perlu dibentuk suatu hukum baik berupa konvensi, perjanjian internasional, maupun protokol yang secara menyeluruh mengatur dan memberikan batasan-batasan yang dipandang pantas untuk diterapkan untuk penggunaan kekuatan bersenjata terhadap kelompok teroris. Kata Kunci: Teroris, Humaniter
PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL
Rai, Raditya N
LEX ET SOCIETATIS Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.35796/les.v1i4.2771
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui prinsip-prinsip apa yang ada dalam hukum kontrak dagang internasional dan bagaimanakah macam dan bentuk hukum yang berlaku dalam menyelesaikan sengketa kontrak dagang internasional. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan Skripsi ini, yaitu metode penelitian hokum normative dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Terdapat 3 (tiga) prinsip utama dalam pilihan hukum, yaitu Pertama, prinsip kebebasan para pihak, dimana untuk dapat menerapkan hukum yang akan berlaku dalam suatu kontrak didasarkan pada kebebasan atau kesepakatan dari para pihak. Kedua, prinsip bonafide, dimana pilihan hukum tersebut didasarkan pada itikad baik. Ketiga, prinsip real connection, yaitu bahwa hukum yang dipilih oleh para pihak harus memiliki hubungan atau kaitan dengan para pihak atau kontrak. Prinsip lainnya antara lain, prinsip separabilitas atau keterpisahan klausul pilihan hukum dengan kontrak keseluruhannya, yaitu bahwa klausul pilihan hukum sifatnya terpisah dari keseluruhan kontrak itu sendiri. Dan prinsip pilihan hukum menurut ILA (The Institute of International Law), yang kesemuanya itu pada prinsipnya berdasarkan pada kebebasan para pihak. 2. Menurut bentuknya, pilihan hukum dapat berupa pilihan yang secara tegas dinyatakan oleh para pihak dalam suatu klausul kontrak yang di dalamnya ditegaskan suatu sistem hukum tertentu yang mereka pilih. Pilihan hukum dapat dilakukan secara diam-diam atau tersirat. Pilihan hukum juga dapat diserahkan kepada pengadilan berdasarkan kesepakatan dari para pihak, yang biasanya ditempuh bilamana para pihak gagal atau kesulitan dalam mencapai kesepakatan mengenai hukum yang akan dipilih. Apabila tidak ada pilihan hukum dan terjadi sengketa, maka pengadilan akan memutuskan sengketanya berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata internasional. Kata kunci: Sengketa, Internasional
Hak Negara Dalam ZEE Menurut Konvensi Hukum Laut Tahun 1982
Manengal, Ferghi
LEX ET SOCIETATIS Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.35796/les.v1i4.2773
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan bagaimana pengaturan Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 mengenai hak Negara di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan bagaimana Implementasi Pengaturan ZEE di Indonesia. Metede penelitian yang digunakan dalam penulisan Skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan Penulis dapat berkesimpulan, bahwa 1. Dengan adanya aturan zona ekonomi eksklusif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang memberikan hak berdaulat dan jurisdiksi kepada negara pantai sebagaimana yang tertuang dalam Pasal. 55-75 Konvensi, yang pada intinya bahwa setiap negara pantai memiliki hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi dan konservasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif tersebut. 2. Indonesia sudah mengadopsi ketentuan zona ekonomi eksklusif sebagaimana yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Ketentuan tersebut terdapat dalam implementing legislation, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif yang dilanjutkan dengan pembuatan undang-undang sebagai tindakan implementasi, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Dengan demikian Indonesia memmpunyai hak berdaulat dan yurisdiksi dalam pemanfaatan zona ekonomi eksklusif menurut UNCLOS 1982. Kata kunci: Hak Negara, ZEE
KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBERIAN GRASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Sjachrial, Rizky
LEX ET SOCIETATIS Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.35796/les.v1i4.2774
Grasi adalah salah satu dari lima hak yang dimiliki Kepala Negara di bidang Yudikatif yang dijamin oleh konstitusi dan PerUndang-undangan. Sesuai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan UU Nomor 05 Tahun 2010 perubahan UU No 22 Tahun 2002 tentang grasi, Presiden dalam memberi grasi memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi pada dasarnya merupakan pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Kendati pemberian Grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Terpidana mempunyai hak untuk mengajukan Permohonan Grasi, tetapi tidak semua terpidana yang berhak mengajukan upaya hukum Grasi tersebut, Hanya Terpidana yang mendapatkan hukuman vonis dari Pengadilan yaitu yang berupa Pidana Mati, Pidana penjara Seumur hidup atau pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun dan permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan Grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana. Permohonan Grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan Grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. Kata kunci: Kewenangan Presiden, Narkotika
USAHA BANK MENJAGA RAHASIA BANK DALAM RANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP NASABAH
Sarapi, Nancy
LEX ET SOCIETATIS Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.35796/les.v1i4.2775
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah bagaimana usaha bank menjaga rahasia bank dan bagaimanakah sanksi terhadap pelanggaran rahasia bank. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan Skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan penulis dapat berkesimpulan, bahwa: 1. Setiap bank wajib memegang teguh prinsip rahasia bank. Sebagaimana yang termuat dalam Undang-undang No.23 Prp 1960 tentang Rahasia Bank dan dalam Undang-undang N0.14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Bentuk usaha yang dapat dilakukan bank di dalam menjaga keamanan rahasia bank adalah apabila ada orang yang menanyakan identitas dari nasabah atau aktivitasnya di bank selain dari ketiga pihak yang berwenang yaitu Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan, maka bank tidak memberikan informasi apapun. Bank akan merahasiakannya. Dengan melakukan upaya menjaga rahasia bank berarti secara tidak langsung juga menjaga keamanan keuangan nasabah karena rahasia bank mencakup perlindungan terhadap nasabah dan simpanannya. 2. Masalah tindak pidana perbankan merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan dalam membahas Hukum Perbankan melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank dikategorikan sebagai “tindak pidana kejahatanâ€. Oleh karena itu pelanggar ketentuan rahasia bank, apabila dibandingkan dengan hanya sekedar pelanggran, perlu diberi sanksi hukum pidana. Sanksi pidana tersebut bukan hanya sebagai pelengkap suatu peraturan dalam bidang perbankan melainkan diperlukan guna di taatinya peraturan tersebut. Kata kunci: Rahasia Bank, Nasabah.
PENEGAKAN HUKUM DI PERAIRAN PROVINSI SULAWESI UTARA
Gandaria, Jantje
LEX ET SOCIETATIS Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.35796/les.v1i4.2776
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengungkapkan bagaimana penegakan hukum di perairan provinsi Sulawesi Utara dan bagaimana kendala-kendala dalam penegakan hukum di perairan provinsi Sulawesi Utara. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dan dapat penulis simpulkan, bahwa: 1. Penegakan hukum di perairan provinsi Sulawesi Utara telah diupayakan semaksimal nya oleh Dit Pol Air Polda Sulut dan telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui proses penangkapan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Dalam proses penyelesaian perkara banyak terjadi tindak berat berupa perampokan, penyelundupan, pencurian bahkan pembunuhan tetapi tidak sedikit juga terjadi tindak pidana ringan yang telah diselesaikan dan kasus-kasus lain tidak dapat diproses lebih lanjut karena tidak cukup bukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan beberapa kasus sementara dilimpahkan ke Polda Sulut untuk diproses selanjutnya. Untuk pelanggaran administrasi pelayaran diselesaikan melalui pembinaan dan kewajiban nahkoda dan awak kapal untuk mengurus dokumen pelayaran yang diperlukan. 2. Kendala-kendala dalam penegakan hukum di perairan provinsi Sulawesi Utara, yaitu Kurangnya personil Dit Pol Air Polda Sulut di bandingkan dengan luas wilayah Teritorial perairan Sulawesi Utara untuk melaksanakan tugas oeprasional di lapangan dan kurangnya fasilitas armada yang di miliki. Kendala lainnya seperti biaya operasional terbatas dan sumber daya manusia. Dalam proses penyelesaian perkara pelanggaran hukum di perairan sulawesi utara banyak mengalami hambatan, karena informasi mengenai status kewarganegaraan para awak kapal memerlukan waktu yang relatif lama dari negara lain para awak kapal berasal. Kata kunci: Parairan, Sulawesi Utara
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP MASYARAKAT
Ticoalu, Sartika Sasmi
LEX ET SOCIETATIS Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis
Publisher : Sam Ratulangi University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah substansi hukum tanggung jawab pemerintah dalam pelayanan kesehatan masyarakat dan kebijakan kesehatan di Indonesia dan bagaimana implementasi kewajiban negara/pemerinÂtah dalam tugas-tugas mengurus dan mengatur dalam merealisasikan hak atas kesehatan. Penelitian menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dapat disimpulkan bahwa : 1. Dengan ditegaskannya tanggung jawab pemerintah dalam pelayanan kesehatan masyarakat yang telah di atur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 20 menjelaskan berbagai macam sarana dan prasana pelayanan kesehatan masyarakat yang diselenggarakan oleh Pemerintah agar bisa mencapai Indonesia Sehat 2010-2014 yang bisa menjadikan masyarakat yang sehat dan bisa bersaing dengan Negara lain. sehingga pemeÂrintah merumuskan kebijakan Sistem Kesehatan Nasional pada 2 Maret 2004 melalui Kep.Men.Kes. RI No. 131/Men.Kes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Sistem kesehatan nasional (SKN) mencerminkan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan, kemauan dan kesadaran untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum. 2. Kewajiban pemerintah dalam rangka merealisasikan hak atas kesehatan yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi, dapat ditempuh melalui tugas mengurus yaitu menyediakan sarana/layanan kesehatan serta melalui tugas-tugas mengatur dalam hal membentuk aturan hukum, law-making, baik dilakukan berÂsama-sama antara eksekutif dan legislatif, disebut legislasi, atau oleh pemerintah sendiri, disebut regulasi. Kata kunci: Tanggung jawab, pemerintah, kesehatan.
HUKUMAN BAGI KORUPTOR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 DAN HUKUM ISLAM
Kiba, Abdul Ryan Hidayat
LEX ET SOCIETATIS Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.35796/les.v1i4.2778
Pluralisme yang mewarnai tata hidup antar anggota masyarakat Indonesia turut memperkaya pandangan hukum dalam masyarakat Indonesia, termasuk pandangan dan opini hukum terhadap korupsi. Achmad Ali mengatakan “ Hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah yang dibuat atau diakui eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik sebagai aturan tertulis (peraturan) ataupun tidak tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturanâ€. Oleh sebab itu di Indonesia, selain hukum yang di buat pemerintah ada juga bentuk hukum yang tidak dibuat oleh pemerintah tetapi diakui eksistensinya, yaitu Hukum Adat dan Hukum Islam. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisa persoalan korupsi secara umum menurut hukum positif yang berlaku, serta mengenai penerapan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam hukum Negara. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang bersifat yuridis normatif. Dalam penerapannya bahwa penelitian ini pada fokus masalah yaitu penelitian yang mengaitkan penelitian murni dengan penelitian terapan, dan menurut ilmu yang dipergunakan adalah penelitian monodisipliner, artinya laporan penelitian ini hanya didasarkan pada satu disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum. Hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa: 1. Undang-undang No.31 tahun 1991 junto Undang-Undang No.20 tahun 2001 telah mengatur secara jelas mengenai segala sesuatu tentang Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor. 2. Islam mengistilahkan korupsi dalam beberapa etimologi sesuai jenis atau bentuk korupsi yang dilakukan, diantaranya : Risywah, Al-Ghasbu, Mark up, Pemalsuan data, Penggelapan uang negara. Ketiga korupsi menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia dengan korupsi yang dimaksudkan dalam Hukum Islam adalah sama. Yang membedakan kedua hukum ini hanyalah pada efektifitas dan validitasnya. dimana Hukum positif adalah aturan hukum yang berlaku dan diakui di Indonesia, sedangkan Hukum Islam merupakan bagian dari domain kultural keagamaan dengan menekankan pada sisi moralitas. Kata kunci : Hukuman, koruptor
EKSISTENSI GARIS BATAS LANDAS KONTINEN ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL
Palenewen, Rialindy Justitia
LEX ET SOCIETATIS Vol 1, No 4 (2013): Lex et Societatis
Publisher : Sam Ratulangi University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah laut yang luas. Sebagai suatu negara kepulauan, perbatasan tidak hanya ditentukan pada wilayah konvensional seperti daratan, udara, maupun lautan, namun dengan banyaknya pulau dan wilayah daratan yang berhubungan atau berbatasan langsung dengan negara lain, tentunya akan menimbulkan permasalahan tersendiri jika batas yang dimaksud adalah pada bagian landas kontinen. Batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kejelasan tentang garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia demikian juga untuk menjamin keutuhan wilayah dan kejelasan terhadap pemberlakuan yurisdiksi negara pada wilayah tersebut. Oleh karena ruang lingkup penelitian ini adalah pada disiplin Ilmu Hukum, maka penelitian ini merupakan bagian dari penelitian hukum kepustakaan yakni dengan “cara meneliti bahan pustaka” atau yang dinamakan penelitian hukum normatif dan dapat disimpulkan, bahwa : 1. Kontribusi dari Hukum laut Internasional dalam hal mencakup penentuan batas landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia menghasilkan konferensi-konferensi yang membahas lebih lanjut tentang masalah tersebut diantaranya, Konferensi Jenewa tahun 1958 dan 1982, konferensi tersebut merujuk pada tercapainya kesepakatan semua pihak yang dibuat berdasarkan ketentuan hukum Internasional. Dengan hasil bahwa negara dimungkinkan untuk mengajukan klaim atas landas kontinen yang melebihi 200 mil laut. Karena banyak kasus dimana kondisi geologi dan geomorfologis suatu negara pantai yang mengharuskan menarik batas landas kontinen melebihi 200 mil atau pada umumnya dimungkinkan sepanjang 350 mil laut. 2. Usaha Pemerintah dalam menjaga keutuhan negara yang dituang dalam UU No: 17 tahun 1985 dll, dimana Indonesia mempunyai hak penuh atas wilayah-wilayah dan pulau-pulau terluar milik negara, terutama di wilayah Landas Kontinen yang berbatasan langsung dengan negara-negara lain sehingga tidak terjadi permasalahan yang besar menyangkut wilayah, eksplorasi ataupun eksploitasi di atas daratan kontinen. Kata kunci: Landas kontinen, Indonesia dan Malaysia