Articles
12 Documents
Search results for
, issue
"1996: HARIAN BALI POS"
:
12 Documents
clear
KESUKARELAAN SUMBANGAN BP3
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN BALI POS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (116.344 KB)
      Baru-baru ini Presiden Soeharto berpesan kepada Pak Wardiman Djojonegoro selaku menteri pendidikan agar supaya praktek penarikan sumbangan pendidikan di sekolah-sekolah, baik yang dilakukan oleh pimpinan sekolah maupun pengurus Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3), dilaksanakan secara hati-hati dan didasarkan pada prinsip kesukarelaan. Artinya: sumbangan pendidikan harus bersifat suka rela karena tidak semua orangtua mampu membayar. Di samping itu disarankan oleh presiden agar penentuan besarnya sumbangan itu didasarkan pada hasil musyawarah antara unsur sekolah dengan orang tua siswa.      Apa yang disampaikan oleh Pak Harto tersebut kiranya berkaitan dengan banyaknya kasus mengenai banyaknya orang tua yang benar-benar tak mampu memikul beban dana pendidikan bagi anaknya; yang terkadang menyebabkan status ketersekolahan sang anak menjadi ter-putus di tengah jalan.     Saran presiden tersebut rupanya juga berkait erat dengan semakin banyaknya kasus protes dan mogok belajar yang dilancarkan oleh para siswa di berbagai sekolah. Seperti kita ketahui akhir-akhir ini banyak siswa yang melancarkan aksi protes dan/atau mogok belajar dikarenakan kurang transparansinya manajemen keuangan sekolah; tentu saja menurut anggapan mereka.      Kaitannya dengan BP3? Para siswa dan orang tua siswa banyak yang mengeluh dengan besarnya sumbangan pendidikan yang ditentukan oleh pengurus BP3. Meski banyak orang tua yang tak mengalami masalah dengan sumbangan BP3 akan tetapi banyak pula yang merasa berat dan keberatan untuk membayar sumbangan pendidikan tersebut. Muncullah kemudian keluhan; dan keluhan ini sebagian tersalurkan secara destruktif melalui siswa yang ditampilkan secara kurang edukatif dalam bentuk aksi protes dan/atau mogok belajar.      Apabila sampai terjadi mogok belajar memang akhirnya siswa itu sendiri yang akan dirugikan. Wajarlah kalau kemudian banyak orang tua, guru dan pejabat, termasuk Mendikbud Wardiman Djojonegoro, yang menyayangkan terjadinya peristiwa mogok belajar yang "hanya" dikarenakan keluhan mengenai beratnya sumbangan BP3 atau kurang-nya transparansi pengelolaan uang sekolah.
MENCERMATI KETERBUKAAN SEKSUAL REMAJA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN BALI POS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (117.697 KB)
      Kiranya benar bahwasanya hubungan seksual yang menyimpang merupakan penyebab potensial penyebaran AIDS serta tempat-tempat prostitusi merupakan tempat-tempat strategis untuk "berpangkalnya" penyakit tersebut. Permasalahannya sekarang adalah kenapa muncul kekhawatiran terhadap remaja sekolah kita terhadap berjangkitnya pe-nyakit tersebut; apakah remaja sekolah kita banyak yang melakukan hubungan seksual menyimpang atau sering berkunjung ke tempat-tem-pat prostitusi sehingga menjadi berpotensi terjangkiti AIDS.      Kalau kita cermati akhir-akhir ini memang sering muncul kekha-watiran anggota masyarakat mengenai kekhawatirannya atas remaja sekolah kita. Mereka mengharapkan agar supaya pemerintah dan para peduli AIDS untuk mencegah berjangkitnya penyakit yang mengerikan tersebut pada remaja sekolah kita.       Lebih daripada itu konon bahkan ada yang mengusulkan kepada Menteri Pendidikan agar AIDS dapat dimasukkan di dalam formulasi kurikulum sekolah. Adapun maksudnya supaya anak-anak dan remaja sekolah mengerti semenjak dini mengenai seluk beluk AIDS; dengan demikian atas kesadarannya sendiri mereka akan menghindari berjangkitnya AIDS, setidak-tidaknya pada diri sendiri.     Meskipun usulan tersebut belum dapat dipenuhi akan tetapi cukup simpatik dan bermanfaat sebagai bahan renungan. Usulan tersebut di atas juga mencerminkan kekhawatiran yang mendalam mengenai ke-mungkinan berjangkitnya AIDS pada remaja sekolah kita. Kalau kita mau jujur, banyak diantara kita yang juga memiliki kekhawatiran yang sama. Bagaimana pun remaja sekolah merupakan pemimpin bangsa di masa depan. Sangat sulit dibayangkan bangsa ini kelak akan dipimpin oleh mereka yang menderita AIDS; cacat medis dan cacat sosial.
PERLU DIBENTUK BPS SWASTA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN BALI POS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (119.597 KB)
      Baru-baru ini Pemerintah RI melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Moerdiono menetapkan tanggal 26 September sebagai Hari Statistik Nasional. Dipilihnya tanggal tersebut disebabkan secara historis pada tanggal 26 September 1960 terjadi peristiwa bersejarah dalam dunia perstatistikan di Indonesia; yaitu ditetapkannya Undang-Undang (UU) Nomer 7 Tahun 1960 tentang Statistik sebagai pengganti dari Statistiek Ordonnantie 1934 yang merupakan produk kolonial. Sudah barang tentu produk kolonial ini tidak relevan lagi diaplikasi bagi masyarakat kita yang makin berkembang.     Latar belakang dicanangkannya Hari Statistik Nasional antara lain agar masyarakat kita lebih "melek" statistik. Dengan terperingatinya hari statistik dimaksudkan untuk menggugah dan menumbuhkan sadar statistik bagi responden, penyelenggara dan konsumen data menuju terwujudnya Sistem Statistik Nasional (SSN) yang handal, akurat, dan terpercaya.      Dicanangkannya Hari Statistik Nasional tersebut di atas kiranya tidak terlepas dari lembaga Biro Pusat Statistik (BPS). BPS sebagai lembaga pemerintah yang memperoleh tugas untuk menyelenggarakan aktivitas kestatistikan dari berbagai disiplin merasa terpanggil untuk memprakarsai dan mengusulkan adanya hari statistik tersebut.      Adapun tema yang telah dipilih dalam memperingati hari statistik yang pertama tahun 1996 ini ialah Pemberdayaan Responden, Produsen dan Konsumen Data dalam Pembangunan. Kiranya maksud yang terkandung dalam tema itu adalah agar supaya siapa pun yang terkait dalam pengumpulan dan pemakaian data (gathering and using) dapat memberikan kontribusi dan tanggungjawabnya masing-masing secara lebih profesional.
AKREDITASI PTS TAHUN INI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN BALI POS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (118.955 KB)
Badan Akreditasi Nasional (BAN) tahun ini akan segera memulai kegiatannya dengan mengakreditasi PTS, Perguruan Tinggi Swasta. Dijelaskan oleh Ketua BAN Soekadji Ranoewihardjo bahwa tahun ini akan dimulai kegiatan akreditasi untuk PTS dengan jurusan kedokteran, dan tahun berikutnya akan dilanjutkan dengan jurusan-jurusan atau bidang-bidang lain pada umumnya. Tentu saja ini khabar baik. Good news; kata orang Barat. Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju, seperti di Jepang dan Amerika Serikat (AS) misalnya, secara umum sampai sekarang ini mutu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia masih berada di bawah mutu Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Bahwa secara khusus ada PTS yang mutunya jauh di atas mutu PTN pada umumnya hal itu memang benar adanya; namun demikian hal itu lebih bersifat kasus. Keadaan yang demikian itu menciptakan tradisi akademik yang acapkali kurang proporsional; misalnya kebanyakan lulusan SMA (dan SMK) baru mau mendaftarkan diri pada PTS setelah yakin bahwa dirinya tidak kebagian kursi kuliah pada PTN. Ketika hasil UMPTN baru saja diumumkan maka kandidat mahasiswa baru yang gagal baru ramai-ramai "menyerbu" PTS.Tradisi akademik semacam ini memang kurang proporsional karena sebenarnya pendaftaran pada PTS dapat dilakukan bersamaan dengan pendaftaran pada PTN. Dengan demiki-an kegiatan akademik pada PTS bisa dilakukan bersama-sama dengan PTN; tidak selalu PTS tertinggal "start". Hal tersebut di atas bisa terjadi karena mutu PTS pada umumnya memang belum dapat dibanggakan, bahkan ada sebagian yang masih sangat memprihatinkan. Menghadapi kenyataan ini kiranya tidak salah kalau Presiden Soeharto segera menganjurkan dilakukan pembatasan dan seleksi terhadap munculnya PTS baru.
OTONOMI MANAJEMEN PERGURUAN TINGGI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN BALI POS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (115.668 KB)
Direktur Pembinaan Sarana Akademik Direktorat Jenderal Dikti Depdikbud Harsono Taroepratjeko dalam suatu seminar di Surakarta baru-baru ini menyatakan perlunya segera dilakukan penataan ulang sistem pendidikan tinggi kita berdasarkan pendekatan paradigma baru yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Pak Harsono menyatakan bahwa otonomi, akreditasi, evaluasi dan akuntabilitas merupakan komponen dari suatu paradigma manajemen pendidikan tinggi yang baru dalam penataan sistem pendidikan tinggi tersebut. Meskipun demikian beliau mengingatkan bahwa penataan kembali sistem pendidikan tinggi ini bukanlah semata-mata menjadi tujuan. Sebab,suksesnya program tersebut tetap diindikasikan dari hasil keluaran pendidikan tinggi maupun dampak yang ditimbul-kannya. Program akan dinyatakan sukses kalau keluaran pendidikan tinggi makin bermutu dan memberikan dampak positif dalam perkembangan masyarakat; demikian pula yang sebaliknya. Otonomi bukan semata-mata menyangkut kebebasan pada bidang keilmuan, melainkan juga meliputi otonomi pengelolaan perguruan tinggi secara keseluruhan. Otonomi yang terakhir inilah yang harus lebih direalisasikan di dalam rangka penataan ulang sistem pendidikan tinggi kita. Selama ini otonomi dalam bidang pengembangan keilmuan memang sudah direalisasikan, namun demikian otonomi manajemen perguruan tinggi secara keseluruhan menurut Pak Harsono memang belum sepenuhnya terbentuk. Lontaran gagasan Pak Harsono tersebut memang sangat menarik untuk dicermati, meski bukan barang baru bagi masyarakat perguruan tinggi itu sendiri. Persoalan otonomi manajemen perguruan tinggi di negara kita memang sudah lama didiskusikan; meski demikian sampai sekarang tetap saja menjadi topik yang sangat menarik untuk diangkat ke permukaan.
KEHADIRAN LEMBAGA KREATIF WANDIKTI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN BALI POS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (108.112 KB)
Belum lama ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro, mengukuhkan Dewan Pendidikan Tinggi (Wandikti) se-bagai lembaga baru di lingkungan departemen pendidikan. Lembaga nonstruktural ini bertugas memberi masukan dalam rangka merumuskan kebijakan dan pengembangan pendidikan tinggi di tanah air. Wandikti nantinya diharapkan dapat menjadi forum pertemuan di antara unsur-unsur konsorsium pendidikan tinggi, lembaga-lembaga penelitian, dan kalangan pengusaha. Seperti yang dinyatakan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Bambang Soehendro, selama ini antara konsorsium pendidikan tinggi dengan lembaga penelitian cenderung berjalan secara terpisah-pisah. Pada hal kedua lembaga ini seharusnya tidak terpisah-pisah, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Di sisi yang lain pengembangan pendidikan tinggi tidak hanya dapat mengandalkan orang-orang pendidikan tinggi saja, akan tetapi perlu melibatkan pemakai hasil pendidikan tinggi. Oleh karena itu, menurut Pak Bambang lebih lanjut, Depdikbud merasa perlu membentuk wadah yang dapat mempertemukan ketiga unsur tersebut; dan akhirnya dibentuklah Wandikti. Kalau kita perhatikan dengan cermat dari 23 nama yang dikukuhkan sebagai anggota Wandikti (yang pertama) terlihat diantaranya beberapa nama pengusaha, disamping petinggi departemen (birokrasi) serta praktisi perguruan tinggi. Nama-nama dari konsorsium pendidikan tinggi dari berbagai disiplin memang ada, demikian juga nama-nama yang diambil dari unsur lembaga penelitian. Wandikti yang baru saja dibentuk serta keanggotaannya baru saja dikukuhkan itu mempunyai wewenang memberikan pendapat, saran, usul, nasihat, dan pemikiran kepada menteri pendidikan dalam rangka perumusan kebijakan yang menyangkut pengembangan pendidikan tinggi kita.
MERGER PTS SULIT DILAKSANAKAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN BALI POS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (113.958 KB)
Seusai membuka pertemuan pimpinan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di lingkungan Kopertis Wilayah VIII di Denpasar beberapa hari yang lalu Direktur PTS, Joetata Hadihardaja, kembali menyatakan bahwa hendaknya PTS kecil yang susah hidup (hidup enggan mati tak mau) segera melakukan merger. Adapun kemana harus melakukan merger dapat dengan PTS besar atau dengan sesama PTS kecil yang bernasib sama. Dengan cara merger ini diharapkan manajemen PTS bisa menjadi lebih sehat hingga aktivitasnya di masyarakat akan lebih bermanfaat lagi. Pernyataan yang bernada anjuran tersebut kiranya bukan pertama kali dilakukan oleh Pak Joetata; meski beliau juga menyadari bahwa pelaksanaan merger bukan hal yang gampang. Beliau sendiri mengi-lustrasikan memerger PTS ibaratnya menggabungkan beberapa raja dan/atau kerajaan sekaligus sehingga akan sulit memilih raja baru di antara raja-raja tersebut. Sudah barang tentu diluar sulitnya menentukan "raja baru" terse-but ada banyak hal lain yang harus disamakan dalam pelaksanaannya; misi dan visi antar PTS yang tidak selalu sama merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Masing-masing PTS umumnya memiliki misi dan visi serta "warna baju" yang khas sehingga sulit bila hal ini harus saling disamakan. Tentu saja istilah sulit bukan berarti tidak mungkin dilaksanakan. Di kalangan praktisi PTS terminologi "merger" memang sangat populer, meskipun pelaksanaannya lebih banyak tidak disukai. Secara empirik memang sudah ada beberapa PTS yang melakukan merger baik antara PTS kecil dengan PTS besar maupun antara PTS kecil dengan sesama PTS kecil lainnya. Dan secara empirik pula banyak kasus merger yang perjalanannya tidak "smooth" baik dalam kurun waktu pramerger maupun pasca merger.
PRAKTEK EKONOMI KERAKYATAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN BALI POS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (109.709 KB)
Sekitar tiga tahun yang lalu (1993) Bank Dunia berhasil membuat laporan studi yang menarik untuk dipelajari mengenai pembangunan negara-negara di dunia di bawah judulnya "The East Asian Miracle : Economic Growth and Public Policy". Ada yang sangat menarik dari laporan ini karena Indonesia meski di urutan "bontot" akan tetapi berhasil masuk dalam jajaran delapan negara yang dianggap cukup cepat pertumbuhan ekonominya. Menurut versi Bank Dunia maka ada dua kategori negara dalam pertumbuhan ekonominya. Kategori pertama disebut dengan "High Performing Asian Economies" (HPAEs); dan, sebagaimana sudah diprediksi oleh para pakar ekonomi, urutan teratas dalam kelompok ini adalah Jepang. Kiranya kita semua akan sependapat dengan kesepantasan Jepang untuk menduduki ranking pertama dalam urutan trsebut di atas karena negara ini memang berhasil "mendongkrak" kinerja ekonomi rakyat-nya menjadi sedemikian pesat dan sedemikian mengagumkan; oleh karenanya Jepang juga sering pula mendapat sebutan "the best eco-nomy performer" di seantero dunia. Di bawah Jepang, dan masih dalam kelompok HPAEs, barulah muncul nama-nama negara yang tergabung di dalam kelompok "The Four Tigers" Singapura, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan. Kategori yang kedua disebut dengan "The Newly Industrializing Economies" (NIE) atau yang dalam terminologi politis sering disebut dengan "New Industrial Countries" (NIC). Negara-negara yang ada dalam kategori ini termasuk negara yang sangat "berpengharapan"; dan dalam kategori inilah nama Indonesia dicantumkan bersama-sama dengan negara Malaysia dan Thailand.
TANTANGAN KULTURAL TAMANSISWA TAHUN 2020
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN BALI POS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (121.671 KB)
Tujuh puluh empat tahun yang lalu, tepatnya tanggal 3 Juli 1922, di persada Indonesia terjadi peristiwa yang sangat bersejarah dengan lahirnya lembaga kejuangan yang berkiprah dalam dunia pendidikan di dalam arti yang luas; lembaga itu bernama Nationaal Instituut On-derwijs Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa), atau yang sekarang dikenal dengan Tamansiswa. Hadirnya Tamansiswa senantiasa mengiringi perjalanan kultural bangsa Indonesia di era pra maupun pasca kemerdekaan. Di era pasca kemerdekaan ini perjalanan kultural bangsa Indonesia telah memasuki era baru yang dikenal dengan era industrialisasi yang ditandai dengan terjadinya transformasi konsentrasi sumber investasi. Kalau selama ini sebagian besar masyarakat kita masih meletakkan konsentrasi sumber investasi pada tanah-tanah pertanian dan perkebunan (preindustrial society), maka kita sedang dituntut untuk mengubahnya ke permesin-an dan jasa (industrial society). Itupun ternyata belum cukup; karena di depan kita ada suatu "mesin budaya" yang menarik masyarakat kita untuk meletakkan konsentrasi sumber investasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi (post industrial society). Sekarang ini kita sedang menghadapi gelombang perubahan yang maha dahsyat; dari kultur yang konvensional menuju kultur yang tek-nologis. Semua ini menjadi tantangan baru bagi bangsa yang sedang menuju ke arah kedewasaan dan kemajuan.
BELAJAR BERKOMPETISI DARI MALAYSIA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN BALI POS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (124.957 KB)
Memasuki periode pertengahan tahun 1996 ini kita "dikejutkan" oleh hasil penelitian tentang daya saing yang dilakukan dua lembaga internasional yang berbeda. Meskipun kedua lembaga internasional ini sama-sama merupakan lembaga tidak resmi, sama-sama pernah saling bekerja sama, sama-sama berkedudukan di negara yang sama (Swiss), sama-sama didukung oleh para pakar yang berkredibilitas, sama-sama mempunyai reputasi internasional, serta sama-sama berkonsentrasi di bidang ekonomi, tetapi hasil penelitiannya mengenai daya saing untuk Indonesia ternyata berbeda. Kedua lembaga yang dimaksudkan masing-masing adalah World Economic Forum (WEF) serta Institute for Management Development (IMD). Bila WEF mengeluarkan laporan studinya yang bertitel "Global Competitiveness Report 1996" maka IMD pun juga mengeluarkan suatu laporan penelitiannya yang senada dengan judul "World Competitiveness Report". Dari kedua laporan tersebut yang sedikit membuat kita "terkejut" ialah perbedaan hasil analisisnya mengenai daya saing pada negara-ne-gara yang menjadi populasi penelitian. Untuk Indonesia, hasil analisis WEF menyatakan terjadinya peningkatan daya saing di pasar internasional; yaitu dari peringkat 33 (dari 48 negara) di tahun 1995 menjadi peringkat 30 (dari 49 negara) di tahun 1996 ini. Dan sebaliknya, hasil analisis IMD justru menyatakan telah terjadi penurunan daya saing Indonesia di pasar internasional dari peringkat 34 di tahun 1995 men-jadi peringkat 41 di tahun 1996 ini. Secara metodologis perbedaan hasil studi seperti itu memang bisa saja terjadi dan itu sah-sah saja meskipun tempat dan waktu studinya adalah sama. Salah satu kemungkinan yang terjadi tentang terjadinya perbedaan tersebut ialah pada kerangka dasar yang membangun suatu konsep; dalam hal ini konsep mengenai daya saing itu sendiri.