Articles
18 Documents
Search results for
, issue
"1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT"
:
18 Documents
clear
DESENTRALISASI PENDIDIKAN JANGAN "KEBABLASAN"
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (115.467 KB)
      Salah satu tema yang dibahas secara detail oleh para peserta Rakernas Persatuan Tamansiswa Tahun 1999 baru-baru ini adalah tentang desentralisasi pendidikan. Memang, dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka gagasan tentang dikembangkannya model desentralisasi pendidikan dalam sistem pendidikan nasional menjadi semakin nyata dan mendekati pelaksanaan.      Terminologi desentralisasi pendidikan itu sendiri sebenarnya tidak pernah ada di dalam dokumen UU; meskipun demikian dengan memahami semangat dan jiwa UU itu sendiri maka "penurunan" we-wenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah di dalam banyak bidang telah memungkinkan, bahkan mewajibkan, dilaksana-kannya desentralisasi pendidikan.      Secara jelas Pasal 11 menyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Mengacu pada kalimat ini maka nantinya pelaksanaan pendidikan nasional kita tidak lagi berpusat "di atas" akan tetapi tersebar di berbagai daerah.      Artinya, kalau kita sekarang memiliki lebih dari 300 daerah tingkat dua maka nantinya kita akan memiliki lebih dari 300 pusat-pusat pendidikan nasional karena setiap daerah mempunyai otoritas dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan kebudayaan menurut kebijakannya masing-masing. Apakah hal seperti ini cukup rasional untuk kondisi objektif pendidikan nasional di Indonesia dewasa ini? Masalah rasionalitas inilah yang akhir-akhir ini banyak didiskusikan oleh banyak kalangan, termasuk kalangan pendidikan.
KUNCI SUKSES REFORMASI PENDIDIKAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (123.759 KB)
      Sekitar sepuluh tahun yang lalu telah diterbitkan dua judul buku tentang reformasi pendidikan (educational reform) yang sangat me-narik untuk kita cermati isinya. Buku yang pertama bernuansa Barat karena berisi konsepsi dan praktik reformasi pendidikan di negara-ne-gara Barat, utamanya di Amerika Serikat (AS); sedangkan buku yang kedua bernuansa Timur karena di dalamnya disertakan konsepsi dan praktik reformasi pendidikan di negara-negara Timur seperti Jepang, Republik Korea, Malaysia, dan sebagainya.      Buku yang pertama, Allies in Educational Reform (1989), di-tulis oleh Jerome M. Rosow dan Robert Zager, antara lain berisikan konsepsi reformasi pendidikan yang menuntut adanya kerja sama yang harmonis antara pengambil keputusan di tingkat atas dengan pelaksana pendidikan di tingkat bawah.       Di dalam satuan sekolah maka reformasi pendidikan hanya dapat berjalan sukses apabila ada kerja sama yang harmonis di antara pihak manajemen yang dalam hal ini adalah kepala sekolah dan tenaga admi-nistratif sekolah dengan pihak pendidik yang dalam hal ini adalah para guru sekolah. Tanpa adanya kerja sama yang harmonis antara kedua belah pihak maka tidak mungkin reformasi pendidikan bisa dijalankan dengan sukses. Tanpa adanya kolaborasi mutualistik di antara kedua pihak maka tidak mungkin reformasi pendidikan dapat diputar dengan berhasil.      Secara empirik Rosow dan Zager pun menuliskan kebenaran atas konsepnya tersebut dalam praktik pada sekolah-sekolah di negara-ne-gara bagian AS; antara lain dilaporkan apa yang telah dipraktikkan di The ABC Unified School dan The Killingsworth Junior High School (California), The Dade County Public School (Florida), The Duluth School (Minnesota), The Hammond School (Indiana), The Montgome-ry County Public School (Cincinnati), dan sebagainya.
KAPAL PENDIDIKAN KINI "TENGGELAM"
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (120.873 KB)
      Masalah pendidikan nasional kita tenggelam oleh hangatnya isu-isu politik seperti soal calon presiden, kasus Bank Bali, dan sebagainya. Padahal permasalahan di bidang pendidikan sangatlah urgen untuk dicarikan jalan keluar karena terkait langsung dengan usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia itu sendiri. Demikian dinyatakan secara eksplisit oleh Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, M.S. selaku Deputi Bidang SDM Bappenas dalam Semiloka Pembangunan Penididikan Nasional di Bandung baru-baru ini (Pikiran Rakyat: 7/9/99).      Lebih lanjut Pak Hidayat menyatakan keprihatiannya bahwa sekarang ini ada fenomena yang menunjukkan para anggota legislatif maupun kandidat legislatif kurang memiliki komitmen yang kuat terhadap visi SDM. Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan sebab dengan kurang dimilikinya komitmen yang kuat terhadap visi SDM maka mereka tidak akan mampu menciptakan kondisi untuk melajukan jalannya kapal pendidikan nasional kita.      Para anggota legislatif nantinya harus mampu menyuarakan permasalahan-permasalahan pendidikan serta menghasilkan sejumlah perundang-undangan yang kondusif, dinamis dan berkualitas untuk memajukaan pendidikan nasional. Mereka juga harus mampu memberi masukan yang berbobot kepada pemerintah sehingga nantinya lahir kebijakan pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat.      Masih menurut Pak Hidayat, siapapun presiden dan pejabat negara di masa yang akan datang hendaknya terdiri dari mereka yang memiliki jiwa amanah serta memiliki visi dan misi yang kuat terhadap pengembangan kualitas SDM. Hanyalah dengan SDM yang berkualitas maka pelaksanaan pembangunan nasional di masa-masa yang akan datang dapat berlangsung baik serta sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat.
MEMBERANTAS TIGA KETIDAKADILAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (111.435 KB)
      Pemerintah (reformasi) sekarang ini mewarisi suatu kondisi yang benar-benar berat, bahkan cenderung "rusak", sehingga un-tuk dapat memulihkannya diperlukan usaha dan kerja yang ekstra keras. Demikian apa yang disampaikan oleh Menteri Penerangan RI M. Yunus Josfiah di dalam Pembukaan Sarasehan Kebudayaan Ke-11 Tamansiswa bertempat di Pendopo Agung Tamansiswa Yogyakarta baru-baru ini.      Pada bagian yang lain dinyatakan bahwa negara kita masih harus menghadapi tiga jenis ketidakadilan sekaligus; masing-masing adalah ketidakadilan secara umum (general unfairness), ketidakadil-an secara primordial (primordializm unfairness), serta ketidakadilan secara kewilayahan (territorial unfairness).      Secara agak gamblang dicontohkan oleh beliau; ketidakadilan secara umum itu banyak dirasakan oleh rakyat bawah yang jauh dari kekuasaan. Makin jauh dari kekuasaan yang nota bene melekat pada pejabat maka ketidakadilan itu makin dirasakan. Orang yang dekat dengan pejabat merasa dirinya aman karena dianggapnya keadilan itu ada pada pejabat, dan ketidakadilan jauh dari pejabat pada umumnya. Dilukiskan lebih jauh, banyaknya pimpinan organi-sasi massa yang "hobby" melakukan audiensi dengan para pejabat tanpa tujuan yang jelas juga mengindikasikan akan hal tersebut.     Sementara itu ketidakadilan primordial bisa berupa primordial almamater, promordial kesukuan, primordial keagamaan, dan sebagainya. Bila ada satu pejabat dari UGM di satu lembaga, misalnya, kemudian stafnya diambil dari UGM secara mayoritas itu merupakan contoh primordial almamater. Sedangkan primordial kewilayahan itu terjadi pada belum meratanya pembangunan antarwilayah; kalau di Bandung gang-gang sempit sudah diaspal sedangkan di luar Jawa jalan besar masih banyak yang becek itu merupakan contoh.
BADAN PERTIMBANGAN PENDIDIKAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (113.108 KB)
      Satu hari setelah dilantik oleh Presiden Habibie sebagai anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) di Istana Negara beberapa hari yang lalu, saya menerima telpon dari seorang teman untuk mengucapkan selamat. Tentu saya pun menyambutnya dengan rasa gembira atas ucapan tersebut. Namun, yang sedikit mengejutkan adalah adanya pertanyaan dari teman tadi semenjak kapan saya pindah haluan dari dunia pendidikan ke dunia bisnis perbankan sehingga mendapatkan kepercayaan dari Presiden RI untuk duduk dalam BPPN yang sangat strategis itu.      Pada tanggal 18 Desember yang lalu Presiden Habibie berkenan melantik anggota BPPN masa bakti 1998-2003. Ada 20 nama anggota dari berbagai latar belakang yang dilantik; antara lain Pak Ali Yafie, Sayidiman Suryohadiprojo, Mien Uno, Clementino dos Reis Amaral, Awaloedin Djamin, Ahmad Amiruddin, dsb, termasuk nama saya.      Dari pertanyaan teman saya tersebut bisa dikonklusi bahwasanya pengertian tentang BPPN sangatlah minim di masyarakat luas; padahal kalau dilihat eksistensi dan fungsinya sangat strategis dalam memajukan pelaksanaan pendidikan nasional kita. Banyak anggota masyarakat lebih mengenal BPPN sebagai Badan Penyehatan Perbankan Nasional daripada Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional.      Kita memang harus jujur mengakui bahwa BPPN belum dikenal secara luas oleh masyarakat meskipun posisi badan ini sangat strategis dalam upaya memajukan pendidikan nasional Indonesia. Meski anggota masyarakat yang peduli terhadap pelaksanaan pendidikan nasional dapat menyalurkan aspirasinya melalui BPPN akan tetapi masyarakat sendiri belum banyak yang memanfaatkannya. Meski badan ini secara formal dapat ikut menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang diambil oleh pemerintah akan tetapi popularitasnya selama ini masih berada dalam garis batas.
ANALISIS MUTU PERGURUAN TINGGI DI ASIA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (119.316 KB)
      Untuk ketiga kali, Asiaweek kembali membuat sensasi akademis dengan memuat daftar perguruan tinggi terbaik di Asia dan Australia. Kali ini majalah tersebut membedakan dua kelompok perguruan tinggi yaitu perguruan tinggi umum (multi disciplinary university) dan per-guruan tinggi iptek (science and technology university). Untuk ke-lompok umum terdiri dari 79 perguruan tinggi, sedangkan untuk iptek terdiri dari 35 perguruan tinggi.      Untuk mengurutkan nama-nama dalam daftar tersebut digunakan sistem evaluasi kuantitatif dengan cara pengumpulan nilai dari lima komponen; yaitu komponen reputasi akademik dengan nilai teoretis 0 s/d 20, selektivitas mahasiswa 0 s/d 25, mutu dosen di masing-masing fakultas 0 s/d 25, hasil penelitian 0 s/d 20, serta sumber keuangan 0 s/d 10. Secara teoretis nilai total maksimal adalah 100; ini hanya bisa dicapai oleh perguruan tinggi yang memiliki kriteria ideal atas kelima komponen itu. Semakin tinggi pencapaian nilai total pada suatu pergu-ruan tinggi makin tinggi pula kualitas akademiknya; sebaliknya, makin rendah nilai total makin rendah pula kualitas akademiknya.      Tidak seluruh perguruan tinggi di Asia dan Australia dikenakan evaluasi karena dari masing-masing negara hanya diambil beberapa perguruan tinggi yang memang layak untuk dinilai. Kali ini hanya ada 149 perguruan tinggi yang dianggap memenuhi kelayakan. Perguruan tinggi yang dianggap kurang bermutu atau kredibilitas akademiknya diragukan tidak termasuk di dalam daftar yang dinilai secara langsung oleh tim yang sudah dipersiapkan sebelumnya.      Di Indonesia misalnya, dari 1.300-an perguruan tinggi (PTN dan PTS) yang ada ternyata hanya lima yang dianggap layak untuk dinilai; yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Airlangga (Unair), dan Istitut Teknologgi Bandung (ITB).
SKENARIO ANAK INDONESIA MASA DEPAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (118.103 KB)
      Penggantian Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum 1999, atau Kurikulum Edisi 1999, Kurikulum 1994 yang Disempurnakan, atau apa pun namanya, sampai kini ternyata belum tuntas. Kebelumtuntasan ini bukan saja menyangkut pelaksanaan di lapangan yang banyak membawa keberatan pada para praktisi pendidikan di sekolah akan tetapi juga menyangkut belum jelasnya konsep kurikulum baru tersebut dalam kaitannya dengan skenario pembentukan anak Indonesia di masa depan.      Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa secara teknis penggantian kurikulum sekolah kita, dari SD s/d SMU dan SMK, tahun ini terasa mendadak. Apabila awal Juli lalu ada pejabat Depdikbud yang menginformasikan kurikulum baru belum selesai disusun itu menandakan bahwa penyusunan Kurikulum 1999 memang dilakukan secara marathon. Dengan demikian tidak terlalu salah apabila ada yang menyatakan bahwa dari sisi produksi, Kurikulum 1999 itu seperti fast food. Kalau kemudian ada yang mempertanyakan mana ada kurikulum "fast food" yang bermutu tentu dapat dimaklumi.      Dari sisi pelaksanaan juga demikian. Tiba-tiba saja pimpinan sekolah mendapatkan instruksi menjalankan Kurikulum 1999 meski banyak di antara mereka belum pernah sekalipun mendapat sosialisasi mengenai kurikulum yang baru. Perubahan sistem periodesasi belajar dari catur wulan ke semester (pada SMK), penambahan jam belajar, penyesuaian materi GBPP per mata pelajaran, dsb, benar-benar membingungkan banyak praktisi pendidikan di sekolah.       Pada sisi yang lain terdapat masalah-masalah yang prinsipial ditanyakan di lapangan; apakah Kurikulum 1999 ini dapat memberi kejelasan tentang skenario anak-anak kita di masa depan? Apakah penggantian kurikulum ini hanya merupakan ide sesaat dari para "penguasa" pendidikan?
DERITA GURU DI TIMOR TIMUR
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (112.071 KB)
      Baru-baru ini seseorang datang menemui saya dengan membawa keluhan tentang keluarganya yang sudah beberapa tahun menjadi guru di Timor Timur. Menurutnya, sudah bertahun-tahun sang guru tersebut telah banyak mengalami penderitaan yang tak terkira; dari hal-hal yang menyangkut psikis, misalnya hinaan dan ancaman dari orang tua apabila anaknya yang tidak rajin masuk sekolah tidak dinaikkelaskan, sampai hal-hal yang menyangkut fisik, antara lain pelemparan dengan batu dan pemukulan.      Lebih daripada itu sekarang ini rumah satu-satunya yang ia miliki sebagai tempat berteduh dan berkumpul dengan keluarga telah diberi tanda khusus oleh penduduk setempat. Maksudnya kalau Timor Timur nantinya jadi melepaskan diri dari kedaulatan RI, dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka, maka sang guru yang berasal dari luar Timor Timur itu harus angkat kaki. Nah, pada saat itulah rumah sang guru tersebut akan dimiliki oleh penduduk yang lebih dulu memberi tanda khusus.      Kedatangan teman saya tadi meminta saya untuk menyampaikan keluhan kepada Menteri Pendidikan, Juwono Sudarsono, atau kepada Presiden Habibie, atau membawanya ke dalam rapat Badan Pertim-bangan Pendidikan Nasional (BPPN), dengan harapan dapat dicarikan jalan keluarnya dengan segera.      Ketika saya tanyakan apakah masalah tersebut sudah pernah dia-jukan kepada pimpinan departemen setempat, misalnya kepada penga-was, Kepala Kantor Pendidikan tingkat kecamatan atau Kepala Kanwil Depdikbud, atau kepada aparat keamanan setempat; mereka menyatakan setiap kejadian hampir selalu dilaporkannya. Namun demikian tak pernah mendapatkan jalan keluar yang memuaskan; bahkan kalau fre-kuensi laporannya agak tinggi dirinya sering justru dianggap "rewel" atau bahkan diberi cap sebagai anak nakal.
MEREVISI UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (123.01 KB)
      Seandainya RM Soewardi Soerjaningrat, yang kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, masih hidup maka hari ini beliau tepat berusia 110 tahun. Lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dari keluarga Pakualaman Yogyakarta; beliau berkiprah di dalam dunia politik dan jurnalistik sebelum akhirnya memutuskan untuk mengabdikan diri dan menghabiskan hidupnya di dunia pendidikan.       Karena pengabdiannya yang luar biasa di dalam membangun dan memajukan pendidikan nasional maka beliau diangkat menjadi Pahla-wan Pendikan Nasional. Pas sudah! Jangan lupa bahwa konsep-konsep pendidikan nasional yang kita kembangkan sekarang ini banyak yang lahir atas pemikiran cemerlang Ki Hadjar. Wajarlah kalau beliau juga sering kita sebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia; bah-kan Presiden Soekarno sahabatnya dalam perjuangan pernah menyebut Ki Hadjar dengan tiga predikat sekaligus; yaitu Tokoh Politik, Tokoh Kebudayaan dan Tokoh Pendidikan.      Ketika Ki Hadjar wafat maka tanggal kelahirannya, 2 Mei, dija-dikan sebagai Hari Pendidikan Nasional yang senantiasa kita peringati pada setiap tahunnya. Banyak momentum pendidikan nasional yang lahirnya ditepatkan pada tanggal yang "baik" tersebut; salah satunya adalah momentum lahirnya Undang-Undang (UU) No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jadi hari ini, undang-undang pendidikan kita sudah genap sepuluh tahun atau satu dasa warsa.      Problematika kita sekarang adalah; apakah secara umum undang-undang pendidikan kita yang sudah berusia sepuluh tahun itu masih relevan dijadikan pedoman bagi penyelenggaraan pendidikan di negara kita. Ataukah, undang-undang pendidikan kita sudah mulai tertinggal oleh lajunya kemajuan jaman.
BUDI PEKERTI SEBAGAI (BUKAN) MATA PELAJARAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1999: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (121.812 KB)
      Tulisan Prof. Ahmad Tafsir mengenai budi pekerti di harian ini, Perlukah Mata Pelajaran Budi Pekerti di Sekolah?" (PR: 20/7/ 1999) sungguh menarik untuk disimak. Tulisan yang mengaplikasi pendekatan filosofis dan keagamaan di dalam mengurai permasalahan yang dianggap penting dan krusial memang perlu kita simak. Bagi pembaca yang selama ini kurang akrab bergaul dengan filsafat maka tulisan tersebut cukup memberikan nuansa dan arti; meskipun apa yang diuarikan oleh penulisnya bukan berarti telah sempurna.      Kiranya ada beberapa hal penting yang dapat kita simpulkan dari tulisan tersebut, yaitu sbb: (1) budi pekerti di dalam konteks pendidikan di sekolah memang sangat penting dan wajib hukumnya, (2) budi pekerti dalam konteks mata pelajaran dianggap tidak perlu atau no way istilahnya, (3) diperlukan adanya klarifikasi filosofis antara budi pekerti, etika dan akhlak, (4) diperlukan peninjauan paradigma dan operasional agar pendidikan kita mampu menghasilkan lulusan berakhlak mulia, dan (5) perlu diletakkan pendidikan keimanan sebagai inti (core) sistem pendidikan nasional di seluruh jenjang dan jenis.      Permasalahan budi pekerti dalam beberapa waktu terakhir ini memang kembali aktual dan banyak dibicarakan masyarakat. Hal itu terjadi karena munculnya banyak kasus anti sosial di masyarakat yang mengindikasikan rendahnya budi pekerti sebagian anggota masyarakat kita.      Kalau kemudian masyarakat kita banyak mengangkat perma-salahan tersebut di dalam wacana sarasehan atau forma kediskusian hal itu dapat dilihat sebagai sesuatu yang cukup positif; artinya masyarakat kita masih menaruh kepedulian (concern) yang tinggi terhadap perilaku sosial bangsanya. Setidak-tidaknya masyarakat kita tidak acuh tak acuh, tanpa peduli, dan "hope lost".