cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana
Published by Universitas Udayana
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 110 Documents
PERAN APOPTOSIS PADA KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI Suryantha, I G N
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 4 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan dimulai. Sedangkan pecahnya selaput ketuban sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut sebagai ketuban pecah dini preterm (preterm premature rupture of membrane / PPROM). Meskipun pecah ketuban biasanya terjadi akibat adanya kontraksi uterus, terdapat 10% kejadian pecah ketuban sebelum munculnya kontraksi uterus pada kehamilan aterm dan 1% pada kehamilan preterm. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan kontraksi yang menyebabkan peregangan bukan merupakan faktor satu-satunya penyebab pecahnya selaput ketuban. Terdapat perubahan yang menyebabkan pelemahan struktur selaput ketuban yang nyata diluar remodelling yang fisiologi. Pada selaput ketuban yang pecah sebelum inpartu (ketuban pecah dini) defek yang ditemukan lebih bersifat fokal dan dideskripsikan sebagai “restricted zone of extreme altered morphology”. Zona ini secara histologi ditandai oleh adanya pembengkakan dan kerusakan jaringan fibriler kolagen pada masing-masing lapisan kompak, fibroblas dan lapisan berongga. Zona ini ditemukan pada daerah selaput ketuban supraservikal yang muncul sebelum terjadinya pecah selaput ketuban. Secara fisika selaput ketuban pada daerah ini memiliki kekuatan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan area lainnya dan berperan sebagai initial breakpoint. Perubahan morfologi pada daerah supraservikal ini sangat berkaitan dengan peningkatan aktivitas MMP dan apoptosis. Apoptosis merupakan bagian yang normal dari perkembangan dan pemeliharaan dari suatu organisme multiseluler. Kematian sel ini merupakan respon terhadap berbagai stimulus, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Apoptosis terjadi melalui dua jalur utama, yaitu jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik merupakan jalur yang dominan berperan pada proses apoptosis pada selaput ketuban aterm. Jalur intrinsik terpusat pada mitokondria, dengan regulator utamanya adalah famili protein Bcl-2. Protein-protein famili Bcl-2 dapat bersifat pro-apoptosis ataupun anti-apoptosis. Tempat kerja utama protein-protein Bcl-2 ini adalah membran luar mitokondria. Dimana pada membran ini tersimpan faktor apoptogenik (sitokrom c, Smac, Diablo, AIF dan endonuklease G), yang apabila dilepaskan akan mengaktifkan eksekutor dari apoptosis, yaitu caspase. Protein famili Bcl-2 yang bersifat antiapoptosis menghambat pelepasan faktor apoptogenik ini, sebaliknya anggota kelompok yang bersifat proapoptosis memicu pelepasan tersebut. Apoptosis dan degradasi matriks ekstraselluler pada selaput ketuban menyebabkan perubahan bentuk fisik amnion dari lembaran yang elastis menjadi jeli tidak berbentuk, sebelum onset persalinan. Akhirnya selaput ketuban menjadi semakin lemah dan semakin rentan untuk pecah.
PERBANDINGAN KADAR SERUM PROGESTERON PADA WANITA HAMIL INPARTU DAN TIDAK INPARTU Artana Putra, Wayan
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 4 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pentingnya peran progesteron dalam mempertahankan kehamilan telah dapat diterima secara umum. Berbagai bukti menyatakan, pada plasenta manusia dan mamalia lain, progesteron memegang peranan penting dalam mempertahankan ketenangan uterus selama masa kehamilan. Pelucutan progesteron merupakan suatu syarat mutlak untuk mengaktivasi miometrium, menginisiasi persalinan dan terminasi kehamilan. Pada kebanyakan spesies mamalia, awal persalinan ditandai oleh penurunan konsentrasi progesteron sirkulasi dan peningkatan konsentrasi estrogen. Namun, tidak seperti pada kebanyakan spesies lainnya, kadar progesteron sirkulasi tidak menurun pada manusia. Pada manusia kadar progesteron tetap tinggi selama persalinan, menimbulkan suatu paradox bagaimana inisiasi persalinan bisa terjadi. Kondisi ini membawa pada suatu pendapat bahwa terdapat suatu mekanisme aktif untuk menginduksi terjadinya pelucutan progesteron pada saat usia kehamilan mencapai aterm. Namun mekanisme apa yang menekan fungsi progesteron  hingga persalinan dapat terjadi masih terselubung dan tidak pasti. Pada kebanyakan plasenta mamalia subprimata, pelucutan progesteron sebelum inisiasi persalinan di manifestasi oleh penurunan yang signifikan dari kadar progesteron di sirkulasi, yang disebabkan oleh luteolisis atau perubahan steroidogenesis plasenta, dimana hal ini menyebabkan diproduksinya estrogen. Namun peristiwa tersebut tidak terjadi pada kehamilan manusia. Sejak Csapo mengumumkan teorinya tentang pelucutan progesteron pada tahun 1977, investigasi selanjutnya menemukan kesulitan dalam menyimpulkan adanya penurunan konsentrasi progesteron dalam hubungannya dengan persalinan manusia. Arpad Csapo menyatakan bahwa miometrium tikus dan kelinci hamil kebal terhadap oksitosin dan menyimpulkan bahwa uterus gravid berada dibawah pengaruh progesteron, dimana penyebaran aktivitas elektrik yang merangsang membran miosit ditekan atau dihapuskan. Lebih lanjut Csapo berargumentasi, bila progesteron sangat diperlukan untuk mempertahankan kehamilan maka pelucutan progesteron merupakan suatu syarat mutlak terjadinya terminasi kehamilan. Persoalan ini membingungkan para ahli biologi reproduksi selama beberapa dekade, karena kurangnya bukti tentang adanya pelucutan progesteron pada wanita yang akan melahirkan. Pada tahun 1994, Chaliss dan Lye menyatakan bahwa kadar  progesteron plasma tetap tinggi dan baru menurun setelah plasenta dilahirkan. Bukti yang berlawanan ini telah menelurkan konsep “pelucutan progesterone fungsional”. Walau berbagai usaha telah dilakukan dan berbagai hipotesis telah diajukan untuk mengungkap pelucutan progesteron fungsional, mekanisme yang mendalam mengenai kunci proses persalinan manusia masih belum diketahui. Hipotesis bahwa penurunan respon miometrium terhadap progesteron memediasi terjadinya pelucutan progesteron fungsional. Represor endogen (miometrial) dari progesteron reseptor dapat menginduksi terjadinya pelucutan progesteron fungsional dan membawa pada terjadinya inisiasi persalinan. Respon progesteron membutuhkan ekspresi dan kompetensi fungsional dari reseptor progesteron (PR). Untuk itu perubahan dari kadar dan fungsi reseptor progesteron dapat menjadi suatu langkah penting dalam mengungkap mekanisme terjadinya pelucutan progesteron fungsional. Kemungkinan ini telah menginspirasi peneliti hingga menghasilkan kesimpulan baru. Jadi pada persalinan tidak terjadi penurunan progesteron plasma tetapi penurunan terjadi secara fungsional dimana terjadi penurunan kadar progesteron reseptor (PR).Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar serum progesteron wanita hamil inpartu tidak lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak inpartu, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar serum progesteron wanita hamil inpartu dengan yang tidak inpartu.
REKONSTRUKSI AGENESIS VAGINA Fajar Marta, Kadek
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 4 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Agenesis vagina merupakan suatu bentuk kelainan kongenital dimana tidak terbentuknya vagina dengan perkembangan seks sekunder yang normal.Paling sering ditemukan pada sindrom Mayer Rokitansky Kuster Hauser ( MRKH Syndrome). Penyebab secara pasti belum diketahui, diperkirakan berhubungan dengan kelainan yang bersifat genetik. Agenesis vagina perlu mendapat penanganan yang serius. Pada sari pustaka ini dipaparkan empat strategi yang diketahui secara baik untuk penanganan sindrom MRKH, yang pertama adalah metode non bedah dengan menggunakan dilator, bersifat minimal invasif namun memerlukan kerjasama, kesabaran dan motivasi kuat  dari penderita, karena hasil yang baik baru tercapai setelah penggunaan dilator selama berbulan bulan. Pada setiap pasien dengan agenesis vagina dianjurkan memakai strategi yang pertama. Strategi kedua dengan pembedahan yaitu membuat ruang vagina baru pada cekungan vagina kemudian dilapisi dengan graft dan kemudian digunakan suatu bentuk cetakan untuk mempertahankan graft. Strategi ketiga adalah membuat vagina  memakai jaringan vagina sendiri dengan melakukan traksi dari abdomen dan memasang akrilik yang berbentuk seperti buah zaitun pada cekungan vagina. Strategi keempat yang merupakan strategi terbaru adalah balloon vaginoplasty yaitu membuat vagina dengan traksi menggunakan balon kateter
HIDRASI MATERNAL PADA KASUS OLIGOHIDRAMNION Purnama Adimerta, Made
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 5 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Oligohidramnion pada kehamilan ditegakkan bila indeks cairan amnion kurang dari 5 cm atau kurang dari 5 persentile dari  rentang volume yang sesuai dengan usia kehamilan. Oligohidramnion dikaitkan dengan kelainan pada janin seperti kelainan ginjal, pertumbuhan janin terhambat dll. Penanganan oligohidramnion pada kehamilan aterm umumnya akan dilakukan penanganan aktif dengan  induksi persalinan. Keberhasilan induksi persalinan tergantung pada jumlah paritas, skor bishop, dan respon terhadap obat yang digunakan. Beberapa penelitian menemukan bahwa induksi persalinan pada indeks cairan amnion kurang dari 5 akan meningkatkan angka seksio sesaria karena intoleransi janin terhadap persalinan  (fetal distress). Pada oligohidramnion yang tidak disertai komplikasi pada ibu dan bayi, maka penanganan ekspektif perlu dipertimbangkan. Salah satu cara yang dinilai non invasif dan efektif adalah cara hidrasi maternal. Hidrasi maternal dapt dilakukan dengan cara sederhana dengan minum air 2 liter dalam satuan waktu maupun dengan memberikan cairan melalui intra vena. Beberapa penelitian menemukan baik secara oral maupun intra vena akan meningkatkan volume cairan amnion dan akan bertahan selama lebih kurang24 jam, dan bisa diulang lagi pada keesokan harinya. Penanganan ekspektatif dengan pemantauan pemantauan fetus 2 kali seminggu adalah alternatif yang efektif dan kebanyakan wanita akan masuk ke dalam persalinan spontan dalam 3 hari setelah diagnosis ditegakkan. Pelaksanan hidrasi maternal sangat sederhana, tapi efektif meningkatkan volume cairan amnion dan menghindari seksio sesaria akibat fetal distress akibat induksi persalinan. Pada studi-studi tersebut diatas hampir tidak ditemukan efek samping yang serius terhadap ibu hamil dan bayinya. Bagaimanapun, kebanyakan penelitian tersebut dibatasi oleh jumlah  sampel yang terbatas dan pemeriksaan dilakukan pada kehamilan aterm . Jadi, dibutuhkan penelitian dengan jumlah sampel yg lebih besar dan kisaran umur kehamilan yg lebih lebar  untuk memperoleh validitas dari metode ini pada ibu hamil padakehamilan  preterm dengan oligohidramnion, untuk menghindari induksi persalinan preterm dan mencegah konsekuensi  yang serius bagi ibu bayi  yang baru lahir.
PENGARUH KOLESTASIS INTRAHEPATIK TERHADAP KEMATIAN JANIN DALAM RAHIM Mulyana, Ryan Saktika
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 5 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kolestasis Intrahepatik pada Kehamilan atau Intrahepatic Cholestasis of Pregnancy (ICP) merupakan gangguan hepar terbanyak yang khas terjadi dalam periode kehamilan. Sebagian besar muncul pada trimester ketiga kehamilan dengan keluhan gatal sebagai gejala khas, disertai dengan gangguan fungsi hepar pada pemeriksaan laboratorium. Kelainan lain yang bisa menjadi penyebab kolestasis yakni kelainan hepar, endokrin, maupun dermatologis harus dapat disingkirkan terlebih dahulu. Kelainan ICP menyebabkan komplikasi maternal yang ringan, namun secara nyata meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas perinatal.  Komplikasi yang terbanyak antara lain persalinan preterm, kematian janin dalam rahim, dan fetal distress. Kolestasis adalah retensi sistemik unsur-unsur pokok sistem bilier akibat dari gangguan pembentukan dan sekresi serta gangguan aliran empedu, diikuti dengan berkurangnya jumlah asam empedu dalam saluran cerna, serta akumulasi zat toksik dalam hepar dan sirkulasi sistemik. Kolestasis disebabkan oleh penyebab ekstrahepatik maupun intrahepatik. Pengetahuan tentang etiologi yang mendasari kelainan ICP telah menunjukkan perkembangan dalam dekade terakhir bahwa kelainan ini didasari oleh kelainan mutifaktorial yang melibatkan faktor hormonal, genetik serta lingkungan. Tujuan utama penanganan farmakologis pada kasus kehamilan dengan komplikasi ICP adalah meperbaiki gejala maternal serta luaran perinatal. Penggunaan ursodeoxycholic acid (UDCA) kini merupakan penanganan yang menjanjikan dalam penanganan ICP dibandingkan dengan terapi lainnya. UDCA merupakan asam empedu hidrofilik, tanpa efek samping baik pada ibu maupun janin. Belum ada metode yang paling ideal dalam memprediksi luaran perinatal yang terbaik pada kasus ICP. Secara tidak langsung pengobatan untuk mengurangi kadar asam empedu pada ibu juga dapat mengurangi risiko komplikasi pada janin. Kasus kematian janin pada ICP tidak dapat diprediksi dengan pemantauan antenatal yang rutin dilakukan, namun demikian pemantauan status janin adalah tetap direkomendasikan pada kasus-kasus ICP. Manajemen obstetri yang terbaik adalah mempertimbangkan risiko prematuritas dengan risiko kematian janin dalam rahim. Belum ada data yang memadai untuk mendukung ataupun menolak prosedur induksi persalinan lebih awal pada usia kehamilan 37 minggu untuk mengurangi risiko kematian janin. Pertimbangan waktu terminasi bersifat sangat individual pada masing-masing kasus.
RISK OF IRON DEFICIENCY ANEMIA AND CERVICAL LESIONS IN INTRAUTERINE DEVICE TYPE Cu T 380 A APPLICATION Mayun Mayura, I Gusti Putu
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 5 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract Background: Since expansion of population number became global issue, contraception programme had primary role, one contraception methods was IUD Cu T 380 A, that succesfully reduce total fertility rate from 6,4 to 3,2. In application of IUD Cu T 380 were found high rate of discontinuity as 15 percent, bleeding and infection were the main reason of discontinuity. The study objective was to know risk of iron deficiency anemia and cervical lesion on IUD Cu T 380 A application at least one year.Methods: Case-Control analytic study at the Obstetrics and Gynaecology Department of Sanglah Hospital was conducted on Jully 1, 2011 until July 15, 2015. Research samples were obtained from women who were reproductive age  and attended Obstetrics Gynecology Outpatient clinic of Sanglah Hospital, Denpasar. Samples were selected based on the random sampling of the reachable population after fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Peripheral blood sampling of haemoglobin and profile iron level conducted by ELISA technique at Prodia laboratory and done gynecology examination at Obstetrics Gynecology Outpatient clinic of Sanglah Hospital to obtained cervical lession. Data was statistically analyzed with Shapiro Wilk test for normality, homogeneity test with the T independent  test and comparative test with the Chi-Square , by using the SPSS 17 for windows® version.Results: The average age, education and economic on both groups were homogeneous. The odds ratio was 4,8 in IUD Cu T 380 A group for iron deficiency anemia, Aplication of Intrauterine device type Cu T 380 A  increase  risk of iron deficiency anemia 4 time (OR = 4,80; CI 95% = 1,04-22,10; p =0,036) than non user. The odds ratio was 7,65 in IUD Cu T 380 A group for cervical lession, Aplication of Intrauterine device type Cu T 380 A  increase  risk of cervical lession 7 time (OR = 7,65; CI95% = 1,37-42,71; p =0,012) than non userConclusion : Risk of iron deficiency anemia are four times greater and cervical lesions are seven times greater after Intraterine device type Cu T 380 A application in one year.   Keywords: Iron deficiency anemia, cervical lesion, type Cu T 380 A IUD
PERANAN PELUCUTAN PROGESTERON FUNGSIONAL PADA PERSALINAN Mulyana, Ryan Saktika
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 5 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peranan progesteron dalam mempertahankan kehamilan telah diakui secara umum. Bukti-bukti menyatakan bahwa progesteron memegang peranan penting selama kahamilan, dari saat implantasi hingga proses terjadinya persalinan. Pada proses implantasi progesteron menekan respon T-limfosit agar tidak terjadi penolakan jaringan terhadap hasil konsepsi. Selama kehamilan progesteron mempertahankan ketenangan dan relaksasi miometrium sehingga menciptakan suasana kondusif untuk pertumbuhan hasil konsepsi.Dan pada akhir kehamilan pelucutan progesteronmenyebabkan terjadinya konversi dari miometrium sehingga miometrium yang tenang dan kebal menjadi miometrium yang reaktif dan kontraktil sehingga terjadilah pengeluaran hasil konsepsi. Pelucutan progesteron merupakan syarat mutlak untuk mengaktivasi miometrium sehingga kehamilan di terminasi dan persalinan terjadi.Pada kebanyakan spesies mamalia, awal persalinan ditandai oleh penurunan konsentrasi progesteronsirkulasi dan peningkatan konsentrasi estrogen. Namun pada manusia kadar progesteronsirkulasi tetap tinggi selama persalinan. Hal ini membingungkan para ahli biologi selama beberapa dekade, hingga akhirnya menelurkan konsep adanya pelucutan progesteron fungsional pada proses persalinan manusia. Respon miometrium terhadap progesteron ditentukan oleh tingkat dan aktifitas dari reseptor progesteron (PR) dan koregulatornya.PR manusia terdiri dari dua isoform mayor, yaitu PRA dan PRB. Kedua bentuk PR ini memiliki hormon steroid dan afinitas yang sama untuk mengikat DNA namun mereka memiliki aktivitas yang berbeda. Aksi progesteron sebagai penenang diduga dimediasi oleh PRB. PRA memiliki afinitas yang sama untuk mengikat progesteron namun PRA menekan aktivitas transkripsional yang dimediasi oleh PRB. PRA dan PRB membentuk dual sistem dalam mengontrol aksi progesteron melalui mediasi target sel, dimana PRB memediasi dan PRA menekan respon terhadap progesteron. Tingkatan dimana penekanan PRA terhadap respon progesteron tergantung pada kelimpahan relatif PRB.Disimpulkan bahwa pelucutan progesteron pada persalinan manusia dimediasi oleh peningkatan rasio PRA/PRB di miometrium. Pelucutan progesteron fungsional juga dimediasi oleh interaksi PRB dengan target DNA yang terhambat. Selain daripada itu juga terdapat peran berbagai faktor yang  meningkatkan/menghambat kerja PR. Pelucutan progesteron fungsional dimediasi oleh peningkatan ekspresi PRA kemudian pelucutan progesteron fungsional mengaktivasi estrogen fungsional dengan peningkatan ekspresi ER? miometrium. Aktivasi estrogen fungsional bersama-sama dengan estrogen dalam sirkulasi meningkatkan ekspresi CAP miometrium dan uterotonin sehingga uterus berada dalam fenotip kontraktil yang akan membawa kepada proses persalinan. Sebagai kesimpulan, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa korepresor PR, seperti aktivator PR, mengatur aktivitas PR dengan suatu cara agar dapat terjadi penurunan respon progesteron pada miometrium aterm. Penelitian lebih lanjut akan membawa penemuan baru pada bidang endokrinologi molekular yang rumit ini.
PERANAN PROCALCITONIN DALAM DIAGNOSTIK INFEKSI INTRAUTERIN Widiyanti, Endang Sri
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 5 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Persalinan preterm yang menjadi kelahiran preterm merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal di dunia. Komplikasi persalinan preterm terhadap janin dapat melibatkan berbagai sistem organ tubuh, hematologi, endokrin, dan sistem saraf pusat. Dimana komplikasi yang ditimbulkan tentunya akan mengakibatkan dampak merugikan dari segi ekonomi, sosial, dan terutama kualitas hidup janin yang dapat bertahan hidup.1 Penyebab pasti persalinan preterm tidak diketahui, namun infeksi intrauterin dianggap sebagai penyebab terbanyak terjadinya persalinan preterm. Diagnosa infeksi intrauterin pada neonatus sulit ditegakkan oleh karena tanda-tanda klinis yang muncul tidak spesifik, selain itu pemeriksaan laboratorium rutin memiliki sensitifitas yang rendah.2 Procalcitonin (PCT) merupakan prohormon calcitonin yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid dan terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul 13kDa protein. PCT tidak selalu dapat dideteksi pada serum orang sehat, namun konsentrasi serum akan meningkat saat terjadi infeksi bakteri, oleh karena itu PCT digunakan sebagai alat diagnostik infeksi bakteri. Konsentrasi serum PCT akan meningkat secara cepat dalam  2-6 jam sebagai respon tubuh terhadap stimulasi endotoksin. Serum PCT memiliki waktu paruh 25-30 jam.32 Dari karakteristik seperti yang tersebut diatas, konsentrasi serum PCT dapat digunakan sebagai penanda sepsis bakterial perinatal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PCT dapat digunakan sebagai penanda infeksi intrauterin dan terjadinya persalinan preterm. Penggunaan PCT dalam praktek klinis modern terus meningkat, namun hanya sedikit data tentang PCT dalam kehamilan dan atau komplikasi kehamilan dan masa tumbuh kembang, oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan PCT dalam diagnostik infeksi intrauterin dan terjadinya persalinan preterm.
THE DIFFERENCES OF PROTEIN 53 EXPRESSION IN OVARIAN EPITHELIAL TUMOR BENIGN, BORDERLINE AND MALIGNANT TYPE Mega Putra, I Gede
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 5 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ovarian tumor is a gynecologic oncology problemthroughoutthe worldand is thefifthcause of deathfrom cancerin women. Ovarian tumor classification into benignepithelial ovariantumors, borderlineandmalignanthas causeddifficulties inits management, especially for borderlinetypein young womenwhostillwant to preservetheir reproductivefunction. Variousstudies have been conductedtofindamarkerthatcan beusedforearly detection, prognosisandguidanceinits management,which are expected todecreasemorbidity andmortalityandimprove survival. Therefore, someresearchers performedgeneticapproach torevealthe occurrence ofthetumoretiopathogenesis. One of the genesthat play a rolein the occurrence ofatumorisP53whichis a genethat expressesa protein53(p53).The purpose ofthis study wastodeterminethe expression ofp53andthe differenceintypesof epithelial ovariantumorsbenign, borderlineandmalignant. This was a cross-sectional study in Obstetrics and Gynecology, Pathology Anatomy and Medical Records Departments of Sanglah Central Public Hospital Denpasar, which was conducted from July 2011 until December 2013 with sample of 49 paraffin blocks pieces. Paraffin block samples were grouped based on the type of epithelial ovarian tumors which are benign, borderline and malignant. Eachgroupof tumortypes was then examined for its p53 expressionbyimmunohistochemical technique. Furthermore, the differencesbetweenbenignepithelial ovariantumors, borderlineandmalignant were determined usingChi-Square test. The averages ofage, Body Mass Index(BMI), parity, andhistory ofhormonal contraceptionin all threetypesof epithelial ovariantumors groups werehomogeneous. P53 expression in ovarian epithelial tumor was 6,25% in benign type, 15,38% in borderline type, and 40% in malignant type. Based on Chi square test, there was a significant difference in p53 expression between the benign epithelial ovarian tumor and malignant type (p=0,024), no significant difference in p53 expression between the benign type and borderline type (p=0,448), and no significant difference in p53 expression between the borderline type and the malignant type (p=0,202).   Key word : p53 expression, benign epithelial ovarian tumor, borderline and malignant type.
RENDAHNYA KADAR IL-4 SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA ABORTUS IMINEN Widiyanti, Endang Sri
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 5 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar belakang : Kehamilan merupakan keadaan patologis fisiologi dimana ekspresi antigen paternal janin di dalam tubuh ibu tentu dapat memicu reaksi penolakan sistem imun maternal. Sistem imun memegang peranan dalam kejadian abortus iminen akibat tidak adanya keseimbangan Th1 dan Th2, yang menyebabkan kehamilan mendapatkan penolakan dari sistem maternal. IL-4 memegang peran yang penting dalam menjaga keseimbangan tersebut.   Tujuan : Untuk mengetahui peran rendanya IL-4 sebagai faktor risiko kejadian abortus iminen.   Rancangan Penelitian : Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol. Dari 60 orang ibu hamil, didapatkan 30 ibu hamil dengan abortus iminen dan 30 dengan kehamilan normal. Dan telah dilakukan pemeriksaan kadar serum IL-4 di bagianoratorium Prodia Denpasar. Dari data yang terkumpul dilakukan pengujian normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov, kemudian dilakukan analisa data dengan independent sample test dengan tingkat kemaknaan ? = 0,05. Untuk mengetahui kadar IL-4 terhadap abortus iminen dipakai uji Chi-Squere.   Hasil : Dari penelitian ini didapatkan kadar rerata IL-4 pada abortus iminen 0,04±0,01 pg/ml lebih rendah dari kehamilan normal dengan kadar rerata IL-4 0,22±0,31 pg/ml. Analisa kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 3.198 dan nilai p = 0.002. Hal ini berarti bahwa rerata kadar IL-4 pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p < 0,05). Berdasarkan nilai titik potong 0,052 pg/ml, didapatkan bahwa risiko relatif terjadinya abortus iminen adalah 6 kali (RO = 6,42, IK 95% = 2,08-19,76, p=0,001) Kesimpulan : Kadar IL-4 pada abortus iminen berbeda secara bermakna dibandingkan dengan kadar IL-4 kehamilan normal. Dan adanya kadar serum IL-4 yang lebih rendah berisiko terjadinya abortus iminen sebesar 6 kali dibandingkan dengan kadar IL-4 yang lebih tinggi . Kata kunci : Abortus iminen, kehamilan normal, IL-4

Page 11 of 11 | Total Record : 110