cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana
Published by Universitas Udayana
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 110 Documents
RISIKO TERJADINYA KETUBAN PECAH DINI DAN PERSALINAN PRETERM PADA INFEKSI KUMAN STREPTOKOKUS GRUP BETA KEHAMILAN TRIMESTER KETIGA Wardhiana, I Putu Gede
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 3 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sepsis neonatorum  merupakan penyebab utama kematian  neonatus di negara berkembang sampai saat ini. WHO memperkirakan terdapat 5000 kematian  neonatus setiap tahun dan 98% terjadi di negara berkembang (Vergnano, 2005).  Angka kejadian sepsis neonatorum di Asia  bervariasi  7,1-38 per 1000 kelahiran hidup  dengan angka kematian berkisar 26-36% (WHO,2003). Data yang berhasil diperoleh dari RSCM Jakarta tahun 2005 terdapat angka kejadian sepsis neonatorum 13,68% dengan angka kematian 14,18% (Aminullah, 2008). Sepsis neonatorum dini cenderung berat dan sering menyebabkan kematian.  Kuman patogen dominan yang dikatakan sebagai penyebabnya adalah Group Beta Streptococcus (GBS) dan E.Coli (Vergnano, 2005; Sweet et al., 2009). Budayasa pada penelitiannya di RSUP Sanglah, Denpasar tahun 2002-2003 pada 113 ibu hamil dengan KPD aterm mendapatkan angka kejadian sepsis neonatorum dini 4,4% dimana dikatakan  risikonya meningkat 13,38 % pada ibu yang terinfeksi kuman GBS.    Spektrum infeksi GBS pada maternal dan fetal bervariasi dari asimptomatis sampai dengan sepsis. Implikasi klinis dari infeksi GBS pada maternal adalah persalinan preterm, KPD, korioamnionitis, febris postpartum, bakteriuria. Sedangkan pada fetus yaitu sepsis dan meningitis. Infeksi GBS pada wanita hamil terjadi sekitar 20% (rata-rata 5 - 40%) dan sering tanpa gejala serta tidak menimbulkan masalah kesehatan yang serius  (Meyn et al., 2009). Penelitian Jahromi et al (2008) mendapatkan hasil 9,1% ibu hamil trimester ketiga yang terinfeksi GBS, sebesar 36,3% mengalami persalinan preterm dan 16,3%  mengalami KPD. Risiko terjadinya persalinan preterm dan KPD lebih dari dua kali lipat dengan  p<0,001 dibandingkan ibu hamil yang tidak terinfeksi GBS. Skrining infeksi GBS pada umur kehamilan trimester ketiga memberikan nilai prediktif positif saat inpartu lebih tinggi dibandingkan trimester lebih awal. Umur kehamilan  35-37 minggu merupakan waktu yang optimal karena memiliki nilai prediktif 85-95% untuk terjadinya infeksi GBS saat inpartu (Yancey et a.,l 1996; Hiller et al., 2005) Dengan mendeteksi infeksi GBS pada ibu hamil saat antenatal dan mengidentifikasi risiko yang bisa terjadi bila terifeksi kuman tersebut seperti KPD, persalinan preterm, sepsis neonatorum, diharapkan dapat mengupayakan pencegahan infeksi GBS pada fetus dan neonatus sehingga angka kejadian sepsis neonatorum dini dapat ditekan. Untuk itu, pada penelitian ini terbatas untuk mengetahui seberapa besar risiko terjadinya KPD dan persalinan preterm pada ibu hamil yang terinfeksi GBS (+) pada kehamilan trimester ketiga.
HUMAN KALLIKREIN 6 SEBAGAI BIOMARKER KEGANASAN OVARIUM Upadana Pemaron, I B
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 4 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kanker ovarium merupakan kanker kedua terbanyak pada wanita, dimana angka kejadiannya meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan rasio angka kesakitan dan kematian penderita kanker ovarium adalah sulitnya melakukan deteksi dini.1,2,5 Hingga saat ini belum dapat ditemukan suatu alat deteksi dini yang ideal bagi penderita kanker ovarium. Pendekatan genetik pada manusia, dapat membantu meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas beberapa petanda tumor dalam diagnosis dan prognosis kanker ovarium. 6,7 Potensi kallikrein yang saat ini sedang diteliti adalah perannya dalam proses angiogenesis. Peningkatan kadar kinin akan memacu peningkatan ekstravasasi plasma, vasodilatasi, dan inflamasi lokal. Proses ini akan mengakibatkan terjadinya angiogenesis, menghambat apoptosis dan remodeling jaringan.23,24 Angiogenesis berperan penting dalam pertumbuhan tumor secara primer maupun dalam terjadinya metastase. Enzim proteolitik terlibat dalam perkembangan tumor karena pengaruh degradasi matriks ekstraseluler.29 Migrasi sel kanker dari tumor primer dan invasi sel kanker ke jaringan sekitarnya merupakan langkah awal proses metastasis tumor. 21 Beberapa penelitian tentang hubungan hK6 dengan kanker ovarium menunjukkan bahwa hanya pada kanker ovarium, kadar hK6 pada sirkulasi menunjukkan peningkatan secara bermakna.32,33 Penelitian oleh Diamandis dkk mendapatkan bahwa konsentrasi hK6 preoperatif merupakan indikator prognosis paling kuat terhadap perkembangan pasien. Pasien dengan kadar hK6 preoperatif diatas 4,4 µg/L secara signifikan memiliki prognosis yang lebih jelek.1 Dari berbagai penelitian, menunjukkan bahwa human kallikrein 6 adalah biomarker yang paling menjanjikan, karena secara klinis terkait dengan diagnosis, prognosis dan monitoring kanker ovarium.38
KARAKTERISTIK IBU HAMIL DENGAN HIV DI RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE TAHUN 2005-2010 Dwi Aryana, Made Bagus
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 4 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah didapatkan dalam kurun waktu  6 tahun (1 Januari 2005 – 31 Desember 2010) tercatat 102 kasus kehamilan dengan HIV. Dengan angka kejadian dari tahun 2008 sebesar 0.45%  dan tahun 2009 dan 2010 angka kejadian ibu hamil dengan HIV menetap 2.33%. Dari 102 kasus tersebut terbanyak ditemukan pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 76 kasus (74.51%), sesuai dengan laporan komisi penanggulangan AIDS yang menyatakan bahwa penularan HIV sudah terjadi lebih awal, dimana usia produktif (15-29 tahun) banyak dilaporkan telah  terinfeksi dan menderita AIDS. Kasus terbanyak berasal dari Denpasar sebesar 40 kasus (39.21%). Faktor risiko penularan HIV terbayak disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak aman (heteroseksual)  baik oleh pasien sendiri ataupun oleh suami pasien, dan faktor risiko yang lain adalah IDU baik oleh pasien maupun suami pasien dimana ini berhubungan dengan penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Pekerjaan memiliki pengaruh pada perbedaan penyebaran HIV di populasi. Dimana sebagian besar kasus tidak bekerja dan merupakan ibu rumah tangga. Didapatkan kasus ibu hamil dengan HIV terbanyak merupakan  multiparitas. Dan terbanyak merupakan kasus rujukan, baik dari klinik VCT RSUP Sanglah, dari yayasan, rujukan Spesialis Obstetri, rujukan spesialis penyakit dalam dan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Dari gambaran klinis kasus hamil dengan HIV kami dapatkan ibu hamil dengan HIV yang datang kepoli klinik PMTCT RSUP Sanglah pertama kali terbanyak pada umur kehamilan > 28 minggu. ARV telah diberikan terbanyak pada umur kehamilan > 28 minggu. Tindakan untuk mengakhiri kehamilan terbanyak dilakukan pada umur kehamilan 37-40 minggu. Dan stadium klinis HIV berdasarka Kriteria WHO terbanyak merupakan HIV stadium I. Dimana pada Odha asimptomatik (Stadium I), diagnosa HIV/AIDS sangatlah sulit ditegakkan secara klinis. Oleh sebab itu kualitas pemeriksaan antenatal amatlah penting, sehingga deteksi dini dan pengawasan terhadap ibu-ibu hamil dengan resiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS sebisa mungkin dapat dikerjakan. Tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan sebagian besar kasus dilakukan seksio sesaria elektif, hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menyarankan bahwa seksio sesaria dapat memiliki efek yang penting dalam mengurangi kejadian transmisi HIV dari ibu ke anak. Dan sebagian besar kasus lahir dengan berat badan bayi > 2500 gram. Dan 94 bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir > 500 gram, didapatkan status HIV berupa 39 kasus (41.50%) non reactive, 1 kasus (1.06%) reactive, 10 kasus (10.64%) meninggal, 7 kasus (7.44%) lost to follow up.
KARAKTERISTIK PASIEN ABORTUS INFEKSIOSUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI 1 JANUARI 2010 - 31 DESEMBER 2011 Darmayasa, I Made
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 4 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Terdapat 38 kasus abortus infeksiosus dalam kurun waktu Januari 2010 sampai dengan Desember 2011 di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali dengan karakteristik sebagai berikut : Kelompok umur terbanyak adalah usia 20-35 tahun sebesar 63,2%, sebanyak 65,8% kasus tidak menikah atau dalam status belum menikah, menurut paritas terbanyak adalah paritas 0 sebesar 57,9%, menurut pendidikan terbanyak yaitu menengah (SMP dan SMA) sebesar 84,2%, dengan pekerjaan terbanyak adalah sebagai pegawai swasta sebesar 65,8%, suku terbanyak adalah suku Bali sebesar 63,2%, sistem pembayaran terbanyak adalah umum sebesar 79,0%,  keluhan saat datang adalah perdarahan pervaginam sebesar 76,3%, sebesar 73,7% kasus tidak menggunakan kontrasepsi, seluruh kasus 100% merupakan kehamilan yang tidak diinginkan dengan adanya upaya untuk menggugurkan kandungan, dengan alasan belum siap menikah sebesar 57,9%, metode menggugurkan kandungan terbanyak dengan memasukkan benda asing kedalam vagina sebesar 47,3%, tempat menggugurkan terbanyak adalah didukun sebesar 50%, terbanyak usia kehamilan > 12 minggu sebesar 65,8%, komplikasi yang ditimbulkan DIC sebanyak 2 kasus (5,3%) dan sepsis 1 kasus (2,6%) yang memerlukan perawatan diruang intensif, rata-rata lama perawatan kurang  dari atau sampai dengan 9 hari sebesar 79,0%, sebesar 84,2% kasus pulang dengan keadaan membaik atau sembuh dan 6 kasus (15,8%) pulang paksa, tidak terdapat kasus kematian maternal oleh karena abortus infeksiosus. Hal ini mencerminkan sudah baiknya penanganan abortus infeksiosus disamping kondisi saat penderita datang masih stabil dan adanya dukungan saudara, keluarga bahkan pacar untuk segera berobat.
KETEBALAN SELAPUT KETUBAN DAN PERSALINAN PRETERM Supriatmaja, Agus
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 4 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Untuk dapat mengatasi masalah persalinan preterm yang merupakan masalah terbesar dalam bidang  obstetrik sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan anak, memerlukan  penelitian-penelitian dalam upaya menegakkan diagnosis, terapi, promotif maupun preventif. Salah satu  penelitian prospektif masa depan  yang sangat penting adalah penelitian dalam mencari penanda prediktif persalinan preterm.   Persalinan  preterm  merupakan  masalah  utama  obstetrik  yang  berhubungan  dengan morbiditas perinatal yang tinggi dan mortalitas. Sebagian besar persalinan preterm tidak dapat dijelaskan dan dianggap berasal dari persalinan preterm idiophatik atau ketuban pecah dini. Para ahli percaya bahwa hal ini berhubungan dengan respon inflamasi subklinis pada jaringan ibu dan atau  jaringan  fetus.  Penelitian  dan  studi  terbaru  menemukan  suatu  paradigma  baru  dimana ternyata persalinan preterm dan aterm mempunyai proses yang sama, kecuali usia kehamilannya. Proses tersebut melibatkan jalur umum yang terdiri dari kontraksi uterus, dilatasi  serviks dan aktivasi selaput ketuban. Persalinan aterm melewati aktivasi fisiologi dari jalur umum persalinan, sedangkan persalinan preterm timbul dari satu atau lebih komponen patologis jalur persalinan.   Aktivasi  selaput  ketuban  berhubungan  erat  dengan  persalinan  preterm.  Beberapa penelitian  menemukan  aktivasi  daripada  persalinan  preterm  berhubungan  dengan  ketebalan selaput ketuban. Faktanya  secara penelitian biokimiawi dan biomolekuler mendukung bahwa persalinan merupakan suatu kondisi seperti  inflamasi (inflammation-like condition). Ditambah dengan angka kejadian yang tinggi pada persalinan preterm  yang diakibatkan infeksi terutama chorioamnionitis, yang sebagian besar merupakan chorioamnionitis histology yang berpengaruh pada ketebalan selaput ketuban.   Fakta  tersebut  membuktikan  akan  pentingnya  pengetahuan  tentang  selaput  ketuban. Dicatat  bahwa  penebalan  selaput  ketuban  sebagai  penanda  inflamasi  berhubungan  dengan kejadian persalinan secara biokimiawi dan biomolekuler. Penelitian tentang selaput ketuban akan sangat berguna secara sendiri atau bersama-sama (kombinasi) dengan penanda prediktif lain   (biokimiawi dan atau biofisik) untuk memprediksi persalinan preterm.     Dengan  menggunakan  ultrasonography  untuk  mengukur  ketebalan  selaput  ketuban berguna untuk memprediksi persalinan preterm. Keuntungannya ultrasound merupakan alat yang tidak invasive, selektif, efisien, akurat dan pemeriksaannya pada saat ini dapat terjangkau oleh masyarakat luas di pelayanan-pelayanan kesehatan.   Selain itu pemeriksaan ini mudah, murah, dapat  diulang dan  tidak  menyakitkan.  Dapat  dilakukan  pada  saat  kunjungan  antenatal  care (ANC) di pelayanan kesehatan yang memiliki ultrasound. Kerugiannya pemeriksaan ultrasound untuk mengukur ketebalan selaput ketuban untuk memprediksi persalinan preterm adalah adanya kesalahan yang dapat terjadi karena defek daripada instrumennya (ultrasound) dan pemeriksa (teknik, keahlian, kompetensi). Serta biaya yang kadangkala tidak dapat terjangkau pada daerah tertentu karena tidak ada subsidi untuk kepemilikan ultrasound.
KETEBALAN SELAPUT KETUBAN SEBAGAI FAKTOR RISIKO PERSALINAN PRETERM: STUDI KASUS KONTROL Fajar Manuaba, I B G
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 4 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Persalinan preterm merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan   morbiditas  perinatal.  Dan  aktivasi  persalinan  preterm                                berhubungan  dengan ketebalan  selaput  ketuban  yang  merupakan  inflammation-like  condition. Maka  perlu diteliti berbagai penanda biofisik baru yang berhubungan dengan inflamasi selaput ketuban sebagai  faktor  risiko  untuk  persalinan  prematur,  salah  satunya  dengan  mengukur ketebalan membran menggunakan ultrasound.     Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara ketebalan selaput ketuban dengan kejadian persalinan preterm.     Desain penelitian: Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol tidak berpasangan. Enam puluh  ibu  hamil dijadikan sebagai sampel penelitian, tiga puluh ibu dengan persalinan preterm sebagai  kasus dan ketebalan selaput ketuban sebagai faktor risiko dan  tiga  puluh  ibu  dengan  kehamilan   preterm  yang  tidak  memiliki  tanda-tanda persalinan sebagai kontrol. Pemilihan kelompok kontrol dan kasus ditentukan dengan cara  consecutive sampling dari ibu  hamil  preterm yang  sesuai dengan  kriteria,  dalam waktu 24 jam dilakukan pemeriksaan Trans-abdominal sonografi (TAS) dengan USG 3D di Wings  Amerta RS Sanglah di Denpasar. Data yang terkumpul  dilakukan uji normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov, dan kemudian dianalisis dengan uji t- independent dengan  tingkat signifikansi ? = 0,05. Uji Chi-Square digunakan untuk mengetahui  hubungan  antara  ketebalan  selaput  ketuban  dengan  kejadian  persalinan preterm dan besarnya risiko terjadinya persalinan preterm pada ketebalan selaput ketuban > 1,2 mm.     Hasil: Dari penelitian ini didapatkan  bahwa tidak ada perbedaan antara kelompok   kasus dan kontrol pada rerata umur ibu, rerata umur kehamilan, rerata paritas, rerata   berat dan tinggi badan. Hasil analisis dengan uji Chi-Square menunjukkan bahwa                   rasio odds ketebalan selaput ketuban kelompok kasus terhadap kelompok kontrol sebesar   5,5 kali(RO = 5,5, 95% CI = 1,81-16,68, p = 0,002).     Kesimpulan: Terdapat  hubungan  yang  bermakna  antara  ketebalan  selaput  ketuban dengan kejadian persalinan preterm. Dan ketebalan selaput ketuban > 1,2 mm pada usia kehamilan 28-37 minggu meningkatkan risiko persalinan preterm sebesar 5,5 kali.     Kata kunci: persalinan preterm, ketebalan selaput ketuban ketuban.
SISTEM SKORING SUBGRUP DARI INTERNATIONAL OVARIAN TUMOR ANALYSIS (IOTA) UNTUK MEMPREDIKSI KEGANASAN TUMOR ADNEKSA Upadana Pemaron, I B
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 4 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Karakteristik ultrasonografi dapat digunakan untuk mengkategorikan massa ovarium dan adneksa, dan pengenalan pola dapat mendiagnosa secara akurat kasus – kasus dengan tampilan klasik pada non neoplasia, neoplasia jinak dan keganasan. Fitur sonografi yang dinilai meliputi morfologi tumor, yaitu adanya komponen solid, septa, asites, dan ukuran tumor serta parameter Doppler sonografi. Akan tetapi seringkali tampilan sonografi dari ovarium tidak patognomonik. Pada kasus inilah penentu risiko relative keganasan menguntungkan untuk penanganan pasien. Fitur yang turut menentukan risiko keganasan meliputi usia, riwayat kanker sebelumnya, ukuran dan morfologi dari massa dan parameter Doppler, sehingga model multiparameter untuk penentuan risiko akan lebih sesuai dan akurat dalam membedakan antara massa ovarium jinak dan ganas. Suatu model yang optimal masih terus dikembangan saat ini. Pendekatan terbaik untuk dapat memprediksi keganasan ovarium dengan ultrasonografi harus meliputi kesepakan universal mengenai parameter resiko klinis dan sonografi antara ginekologis, ginekolog onkologis dan radiologis dengan model multiparameter yang telah diorganisasi, menggunakan istilah yang umum dipakai, mudah diterapkan dan interpretasi yang jelas tentang risiko relatif. Analisis multiparameter klinis dan sistem skoring subgrup menurut IOTA adalah yang terbaik untuk keganasan dan menggabungkan prediktor terbaik dari beberapa penelitian sebelumnya menurut variabel klinis dan umur. Kelebihan dari sistem skoring subgrupini adalah lebih mudah diaplikasikan dalam klinis sehari-hari dan sederhana dengan menggunakan variabel yang sedikit. Selain itu keuntungan yang didapatkan dengan menggunakan sistem scoring subgroup adalah sistem referal pasien lebih awal, tindakan operasi lebih tepat dan mengurangi re-operasi.
NEUTROFIL VAGINA DAN PERSALINAN PRETERM Sindhu, I B
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 4 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Persalinan preterm yang menjadi kelahiran preterm merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal baik di dunia maupun di Indonesia. Komplikasi persalinan preterm terhadap janin dapat melibatkan berbagai sistem organ tubuh, hematologi, endokrin, dan sistem saraf pusat. Dimana komplikasi yang ditimbulkan tentunya akan mengakibatkan dampak merugikan dari segi ekonomi, sosial, dan dan terutama kualitas hidup janin yang dapat bertahan hidup.   Komponen penting dari persalinan adalah terjadinya proses pematangan servik. Perubahan yang terjadi selama proses pematangan servik pada fase kedua persalinan ini disertai pula dengan invasi stroma oleh sel inflamasi. Hal ini mencetuskan hipotesa bahwa proses pematangan servik ini merupakan suatu proses inflamasi dimana terdapat kemoatatraktan yang memasukkan sel inflamasi ke dalam servik.   Proses perlunakan servik merupakan akibat dari proses pencernaan kolagen dalam servik serta peningkatan kandungan air. Dengan adanya pematangan servik maka bagian atas dari servik yaitu ostium uteri internum bergerak ke lateral sehingga menjadi sulit dibedakan dengan segmen bawah rahim. Hal ini menandakan bahwa ostium uteri internum merupakan tempat dimana proses pematangan servik menjadi maksimal.59     PGE2 bersama-sama dengan mCSF mempengaruhi sel darah putih dan fibroblas di servik menyebabkan terjadinya sintesis dan pelepasan kolagenase.   48   Kolagenase ini akan memecah jaringan kolagen servik sehingga jumlah kolagen menurun, maka terjadilah proses pelunakan atau pematangan servik. Servik yang   melunak ini akan menyebabkan mudahnya terjadi penipisan dan pembukaan.60     Agen yang dapat digunakan untuk proses pematangan servik adalah kemokin yaitu interleukin-8. Interleukin-8 mempunyai efek yang selektif dalam menstimulasi pelepasan kolagenase dari granula spesifik tanpa pelepasan protease desktruktif yang lainnya.59   Neutrofil merupakan sumber dari enzim kolagenase yang terdapat dalam granula spesifik yang dapat diproduksi melalui proses degranulasi yang diperantarai oleh sitokin yaitu interleukin-8. Dua fungsi utama dari interleukin-8 inilah yaitu proses masuknya neutrofil (recruitment) dan menstimulasi neutrofil untuk memproduksi kolagenase menjadikan interleukin-8 ini merupakan agen yang kuat untuk proses inisiasi pengaturan matriks ekstraseluler pada proses pematangan servik. Kadar neutrofil dalam darah cukup tinggi yaitu 6x106 mL   dengan  produksi  harian  rata-rata  1011 perhari,  sehingga  neutrofil  merupakan   sumber yang tak terbatas dari kolagenase.59   Penelitian sebelumnya menggambarkan adanya hubungan antara penanda infeksi dan atau inflamasi pada saluran genitalia atas dan saluran genitalia bawah   dengan kejadian persalinan preterm.13   Pada kehamilan, ditemukan diantara wanita dengan persalinan preterm spontan dengan membran intak, lebih dari 5 netrofil perlapang pandang (pembesaran x 400 ) sangat sensitif menunjukkan infeksi atau inflamasi dari cairan amnion. 14     49       Tidak semua pasien yang datang dengan tanda persalinan preterm akan menjadi kelahiran preterm. Tes diagnostik yang baik tidak hanya menghindari pasien dari terapi tokolitik dan efek sampingnya, tetapi juga dapat menurunkan angka perawatan rumah sakit dan juga menurunkan angka rujukan ke fasilitas perawatan perinatologi. Telah banyak tes diagnostik untuk memprediksi kelahiran preterm digunakan sebelumnya, namun belum ada yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk digunakan klinisi dalam praktek sehari – hari.   Pemeriksaan neutrofil vagina telah hadir sebagai prediksi diagnostik yang tidak invasif dalam mendiagnosis persalinan preterm dan memprediksi terjadinya kelahiran preterm. Dengan tingginya nilai sensitivitas dan spesifisitas serta nilai prediksi negatif hampir mencapai 100%, pemeriksaan neutrofil vagina dapat membantu klinisi mendiagnosis persalinan preterm lebih baik lagi, dan menurunkan angka perawatan rumah sakit yang tidak diperlukan
PERAN ELASTIN PADA PATOGENESIS PROLAPS ORGAN PANGGUL Suastika, Made
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 4 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prolaps organ panggul penyebabnya multifaktorial, dan sampai dengan saat ini meski faktor risiko telah banyak diketahui, belum dapat disimpulkan etiologi ataupun patogenesisnya secara jelas. Berbagai penelitian pada tingkat biomolekuler telah banyak membantu kita memahami lebih jauh tentang proses yang timbul pada sel dan jaringan dalam hubungannya dengan patogenesis timbulnya POP. Keseimbangan antara sintesis dan degradasi berbagai komponen matriks ekstraseluler diperlukan untuk mempertahankan homeostasis dan integritas jaringan. Komponen utama dalam matriks ekstraseluler seperti kolagen dan elastin memegang peranan penting dalam patogenesis timbulnya POP. Gangguan pada keseimbangan kedua komponen utama tersebut yang dikarenakan aktivitas protease yang meningkat dan sintesis yang abnormal selalu ditemukan pada pasien POP. Beberapa perbedaan hasil mungkin lebih disebabkan karena beragamnya teknik/metoda analisa biokimia, perbedaan lokasi jaringan yang diambil, faktor hormon, dsb. Meski demikian para ilmuwan tetap kesulitan dan tidak mampu menjawab apakah semua gangguan keseimbangan yang ditemukan pada tingkat sel merupakan suatu penyebab dan bukan merupakan suatu akibat dari POP itu sendiri. Hal ini disebabkan karena proses yang terjadi pada tingkat sel memberikan gambaran seperti suatu proses perbaikan dan penyembuhan dari suatu trauma. Mereka meyakini terdapat suatu proses abnormal yang terjadi dan mengganggu keseimbangan homeostasis komponen matriks ekstraseluler. Penelitian terakhir yang dilakukan pada tikus percobaan untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang peranan elastin dan hubungannya dengan timbulnya POP, telah memberikan gambaran lebih jauh bahwa kelainan pada tingkat sel yang menyebabkan gangguan keseimbangan pada elastin bisa menjadi penyebab timbulnya POP secara spontan. Namun bagaimana hubungannya dengan bertambahnya usia, faktor homonal dan hubungannya dengan proses persalinan dan paritas itu sendiri masih belum berhasil dijawab oleh para ilmuwan. Masih dibutuhkan penelitian lebih jauh untuk mencari hubungan antara bertambahnya usia, faktor hormon yang bagaimana dan proses persalinan itu sendiri dalam mempengaruhi keseimbangan komponen matriks ekstraseluler terutama elastin dan kolagen pada jaringan penyokong pelvis dan sekitarnya pada manusia.
HUBUNGAN ANTARA KADAR CD4 DENGAN LESI PRAKANKER SERVIKS PADA WANITA TERINFEKSI HIV Jaya Kusuma, AAN.
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 5 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Virus HIV ialah RNA virus yang termasuk lentivirus famili retrovirus, menyerang komponen sistem imun manusia, yakni sel limfosit T-CD4, makrofag, dan sel langerhans. Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kadar sel CD4 semakin lama semakin menurun melalui mekanisme tertentu. Pada saat kadar CD4 mencapai kadar kurang dari 200 sel/mm³, maka terjadilah kegagalan fungsi dari sistem imun sebagai proteksi, yang pada akhirnya akan membuat tubuh lebih mudah terserang infeksi oportunistik dan keganasan, keadaan  inilah yang disebut dengan AIDS (Nasronudin, 2007). Angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan telah terjadi fenomena gunung es, jumlah penderita yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan pelaporan jumlah penderita HIV/AIDS antara Badan Intel CIA Amerika Serikat dengan Ditjen PPM & PL Depkes RI. Menurut Badan Intel CIA Amerika Serikat, di Indonesia, jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun 2007 adalah sebesar 270.000 kasus yang menduduki peringkat ke-25 di dunia dengan angka kematian dilaporkan sebanyak 8.700 kasus yang merupakan peringkat ke-36 di dunia. Sedangkan dari data yang didapatkan pada Ditjen PPM & PL Depkes RI, angka kematian oleh karena AIDS dari tahun 1987 sampai dengan tahun 2009 adalah 3806 kasus. Propinisi Bali merupakan propinsi dengan prevalensi AIDS terbanyak ke-dua sampai dengan bulan Agustus 2010 sebesar 49,16%. Populasi umur 20-29 tahun adalah populasi terbanyak pengidap HIV/AIDS dan lebih dari 25% penderita AIDS adalah wanita. Pada tahun 1993, US Centers for Disease Controls (CDC) melaporkan bahwa Kanker serviks merupakan kanker yang paling banyak (1,3%) ditemukan pada para wanita penderita AIDS sehingga Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menambahkan kanker serviks sebagai salah satu kategori klinis dari stadium AIDS. Dibandingkan dengan keganasan lain yang terjadi pada penderita AIDS, kanker serviks dilaporkan memiliki keadaan klinis dan status imun yang lebih baik (Maiman et al, 1997). Oleh karena itu, diagnosa kanker serviks sering terlambat ditegakkan maupun terlewatkan dan kanker serviks didapatkan tiga kali lebih banyak pada wanita yang terinfeksi HIV dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi (Chiasson et al, 1998). Kanker serviks sendiri merupakan kanker yang terbanyak kedua yang terjadi pada wanita di dunia, hampir 80% di antaranya terjadi di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena belum adanya program skrining untuk kanker serviks (Chirenje, 2005). Angka kejadian kanker serviks di Amerika Serikat telah berkurang sebanyak 70% karena adanya program skrining nasional sehingga lesi prakanker serviks dapat terdeteksi dan diterapi lebih dini (Stier et al, 2003). Program skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV berbeda dengan wanita yang tidak terinfeksi. Program skrining pada wanita yang terinfeksi HIV menurut CDC Amerika Serikat tahun 2006, dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun setelah seseorang dinyatakan terinfeksi HIV, sedangkan di Indonesia sampai saat ini belum ada pedoman untuk skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV. Seperti yang telah diketahui, etiologi dari lesi prakanker serviks dan kanker serviks adalah infeksi laten dari virus HPV (Human PapilommaVirus) pada serviks uteri. Infeksi HPV terdeteksi pada 99,7% kanker serviks. Virus HPV berdasarkan risiko menyebabkan kanker terdiri atas 3 klasifikasi, yaitu risiko tinggi, kemungkinan risiko tinggi, dan risiko rendah. Kelompok risiko tinggi adalah HPV tipe 16 dan 18, sedangkan risiko rendah adalah HPV tipe 6 dan 11 (Andrijono, 2009). Hubungan antara infeksi kedua virus, yakni HPV dan HIV merupakan hal yang unik, kedua hal tersebut terjadi pada wanita yang memiliki gaya hidup sosial berisiko tinggi, seperti hubungan seksual yang dimulai sejak usia muda, berganti-ganti pasangan seksual, dan wanita dengan pasangan seksual yang berisiko tinggi. Jenis HPV yang banyak menginfeksi pada penderita HIV merupakan HPV risiko tinggi, yaitu HPV tipe 18 (Johnson et al, 1992). Hal ini disebabkan karena sistem imun pada penderita HIV tidak dapat berfungsi dengan baik untuk melawan virus HPV tersebut sehingga timbulah lesi prakanker serviks (Bucccalon et al, 1996). Wanita yang terinfeksi HIV mempunyai risiko dua hingga dua belas kali lebih banyak didapatkannya lesi prakanker serviks daripada yang tidak terinfeksi (Chirenje, 2005). Prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV di Spanyol sebesar 17,7 % dan 40% pada wanita yang telah memasuki stadium AIDS, sedangkan pada wanita yang tidak terinfeksi HIV sebesar 3,08%. Gangguan pada sistem imun tubuh yang terjadi akibat infeksi dari virus HIV merupakan penyebab tingginya prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks (Careras et al, 1997). Indikator yang digunakan dalam menentukan status imun pada penderita HIV adalah jumlah limfosit T – CD4. Sampai pada saat ini, hubungan antara CD4 dengan prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks masih menimbulkan kontroversi. Pada sebuah penelitian di Bordeaux, Perancis yang mencari hubungan antara kejadian lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan faktor-faktor risikonya, dilaporkan prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang memiliki kadar limfosit T – CD4 > 500/mm³ sebesar 13,6% sedangkan pada limfosit T – CD4 < 500/mm³ sebesar 38,7%. Pada penelitian ini dapat terlihat bahwa semakin rendahnya status imun penderita HIV, semakin tinggi prevalensi terjadinya lesi prakanker pada serviks (Hocke et al, 1998). Sedangkan pada penelitian di Italia, yang mencari hubungan kadar CD4 dengan prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks pada pasien HIV melaporkan bahwa tidak didapatkannya hubungan antara penurunan jumlah CD4 dengan peningkatan prevalensi maupun derajat dari lesi prakanker serviks (Sopracordevole et al, 1994) Hubungan antara status imun tubuh wanita yang terinfeksi HIV dengan kejadian lesi prakanker pada serviks sangatlah menarik untuk dilakukan penelitian, mengingat penelitian ini masih merupakan suatu kontroversi dan belum pernah dilakukan di Indonesia, khususnya di Propinsi Bali. Sampai saat ini di Indonesia belum didapatkan pelaporan mengenai prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV. Sedangkan program standar skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV juga belum dijumpai di Indonesia.

Page 8 of 11 | Total Record : 110