cover
Contact Name
Edi Yuhermansyah
Contact Email
eys_0401@yahoo.com
Phone
+6281363555462
Journal Mail Official
legitimasi@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Faculty Shariah and Law, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum
ISSN : 20888813     EISSN : 25795104     DOI : 10.22373/legitimasi
Core Subject : Social,
The Legitimasi Journal (the Journal of Criminal and Political Law) published biannually in January and July, is published by the Faculty Shariah and Law UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Its purpose is to promote the study of criminal law and Islamic law in general and to discuss discourses of the development of criminal law and government policies in various perspectives. It is also to help in the understanding of criminal law and politic of law in Indonesia.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 171 Documents
Pertimbangan Pelimpahan Pidana Adat oleh Aparat Gampong Ke Jalur Peradilan: Studi Kasus Gampong Lamgugob, Kecamatan Syiah Kuala Gamal Akhyar; Allizana Muzdalifah
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i2.5858

Abstract

Setiap perbuatan yang terjadi di gampong dapat diselesaikan dengan adat sebagaimana termuat dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, mengenai jenis-jenis sengketa adat yang diselesaikan melalui lembaga adat, termuat dalam pasal 13 ayat (1) Qanun tersebut, dalam hal ini terdapat 18 (delapan belas) kasus yang dapat diselesaikan secara adat, diantara lain ialah: perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh, perselisihan antar warga, khalwat/mesum, perselisihan tentang hak milik, pencurian dalam keluarga (pencurian ringan), perselisihan harta sehareukat, pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian dan hutan, persengketaan di laut, persengketaan di pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat),pelecehan,fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik. Pencemaran lingkungan (skala ringan), ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman), dan perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat. Permasalahan dalam skripsi ini adalah dengan melihat pertimbangan-pertimbangan Aparat Gampong terhadap perkara pidana adat yang sudah diselesaikan secara Adat kemudian dilimpahkan  ke jalur peradilan. Sehingga penelitian ini diarahkan terlebih dahulu untuk menelusuri bentuk pidana adat dan prosedur penyelesaian pidana adat di gampong Lamgugob. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kepustakaan (library research) dan data lapangan (field research), sedangkan teknik pengumpulan data dengan observasi (pengamatan) dan interview (wawancara). Adapun hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertimbangan pelimpahan pidana adat oleh Aparat Gampong, ada 5 pertimbangan yaitu: sanksi adat sebagai peraturan (reusam) gampong, kurang puasnya masyarakat pada sanksi gampong, wewenang dalam mengadili, adanya pemisahan antara Sanksi Adat dengan Hukum Syari’at, dan tidak ingin menghadirkan pihak keluarga pelaku. Adapun hasil pelimpahan perkara tersebut jalur peradilan (Wilayatul Hisbah) tidak diproses lebih lanjut, karena mereka tidak menginginkan adanya dualisme hukum sehingga kasus khalwat tersebut dikembalikan kepada gampong.
Pemberian Remisi Di Lapas Klas IIA Banda Aceh Ditinjau Menurut Teori Maqāsid Al-Syarī’ah: Analisis Pasal 34a PP Nomor 99 Tahun 2012 Raudhatun Hafizah
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v6i2.3959

Abstract

Syarat pemberian remisi (pengurangan masa pidana) terhadap narapidana tindak pidana khusus sudah mengalami pengetatan sebagaimana diatur dalam Pasal 34A Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dasar pertimbangan pemberian remisi tersebut selain harus memenuhi syarat umum, yaitu berkelakuan baik, dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan, pelaku tindak pidana khusus juga harus memenuhi syarat khusus seperti bersedia bekerja sama untuk membongkar kasus (justice collaborator), membayar uang ganti rugi atau telah mengikuti program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Permasalahan dalam skripsi ini bertolak dari pandangan untuk menganalisa pelaksanaan pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana khusus yang dikaji melalui teori maqāsid al-syari’ah. Sehingga sebelum sampai kepada kesimpulan yang dimaksud, penelitian ini terlebih dahulu diarahkan untuk menelusuri apa saja syarat-syarat pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana khusus dan bagaimana mekanisme pemberian remisi yang dilaksanakan di Lapas Klas IIA Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kepustakaan Library Data) dan data lapangan (Field Data), sedangkan teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana khusus di Lapas Klas II A Banda Aceh, dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Pasal 34A. Pengetatan syarat pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana khusus memiliki manfaat bagi pelaku, aparat penegak hukum dan masyarakat pada umumnya. Sehingga penulis lebih condong mengkategorikan bahwa pemberian remisi kepada narapidana dengan ketentuan syarat yang disebutkan dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 Pasal 34A termasuk kepada maqāsid al-hājiyyāt, yaitu upaya menuju kesempurnaan hidup para narapidana agar bisa memelihara jiwa dan memperbaiki akhlaknya.
Kajian Kriminologi Terhadap Penanam Ganja: Studi Kasus di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang Kabupaten Nagan Raya Nyak Fadhlullah
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v6i1.1845

Abstract

Berdasarkan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 111 penanaman ganja merupakan sebuah kejahatan. Di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang telah empat kali ditemukan ladang ganja selama dua tahun terakhir, yaitu pada bulan Februari dan Maret 2015 serta Februari dan Juli 2016. Penelitian ini berusaha mengkaji apa faktor penyebab penanaman ganja di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang Kabupaten Nagan Raya dan bagaimana kontrol sosial terhadap penanam ganja di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang Kabupaten Nagan Raya. Dalam penulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis, sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara (interview) dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab penanaman ganja di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang karena beberapa hal, yaitu karena keadaaan ekonomi yang mendesak, kemudian peluang menghasilkan uang dengan cara yang mudah dan cepat, faktor alam di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang yang subur, serta ada pihak yang memberi modal dan menampung hasil panen tanaman ganja. Kemudian masyarakat di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang memberikan sanksi sebagai jenis kontrol sosial terhadap kejahatan penanaman ganja. Sanksi ini tidak diatur khusus dalam qanun gampong, masyarakat memberikan sanksi moral berupa pengucilan terhadap pelaku penanam ganja, lebih lagi jika ada pendatang (ureung tamoeng) yang melakukan kejahatan penanaman ganja maka akan diusir dari wilayah Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, ada juga sanksi lain yang diberikan yaitu membersihkan Meunasah atau Mesjid.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SUAMI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM Amrullah, Amrullah; Dahliana, Dahliana
LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Islam Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Criminal Islamic Law, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i1.5012

Abstract

Abstrak Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tentang terjadi dalam masyarakat. Korban kekerasan biasanya dari pihak perempuan atau isteri dan anak. Namun, dalam kondisi-kondisi tertentu, suami juga bisa menjadi pihak korban. Penelitian ini secara khusus ingin menkaji tentang pelaksanaan perlindungan hukum bagi suami yang menjadi korban kekerasan. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana bentuk hukuman terhadap pelaku KDRT menurut hukum positif dan Hukum Islam, dan bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi suami sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga  dilihat menurut hukum positif dan hukum Islam. Penelitian ini ditulis dengan menggunakan metode kualitatif. Data yang telah dikumpulkan dianalisa dengan cara deskriptif-analisis. Hasil penelitian menunjukkan bentuk hukuman terhadap pelaku KDRT menurut hukum positif ada dua, yaitu hukuman pokok berupa penjara atau denda disesuaikan dengan akibat yang dialami korban. Kemudian hukuman tambahan berupa pembatasan gerak dan hak pelaku. Adapun menurut hukum Islam, bentuk hukuman terhadap pelaku KDRT berupa hukuman qi???-diy?t apabila dimungkinkan untuk diterapkan. Apabila tidak ada kemungkinan untuk menerapkannya, maka bentuk hukumannya adalah ta?z?r yang jenis dan bentuk hukumnya sesuai dengan kebijakan pemerintah. Bentuk perlindungan hukum bagi suami sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum positif yaitu dalam bentuk upaya pemenu-han hak-hak korban, berupa pelayanan hukum, kesehatan, dan pelayanan psikologis. Bentuk perlindungan tersebut ditetapkan dalam Pasal 10, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23, Pasal 25, Pasal 35, dan Pasal 36, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sementara dalam hukum Islam, bentuk perlindungan hukum bagi suami sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga bisa dalam bentuk adanya peluang bagi suami memberikan pelajaran dan pengajaran kepada isteri, serta Islam memberi peluang bagi setiap orang, baik itu keluarga, masyarakat maupun pemerintah untuk menolong korban dalam bentuk pelayanan hukum, kese-hatan, maupun psikologis. Perlindungan hukum tersebut dinyatakan dalam QS. al-Nis?? ayat 34, Hadis riwayat Muslim dari Yahya bin Yahya al-Tamimi dan Abu Bakar bin Abi Syaibah.    Kata Kunci     : Perlindungan Hukum- Suami-Korban KDRT
The Implementation of Qanun Jinayah in Aceh Singkil from Multiculturalism Perspective Edi Yuhermansyah; Mukhlis Mukhlis
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v7i2.3973

Abstract

Pembahasan hukum dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari budaya hukum. kebudayaan sangat berperan dalam menentukan keberadaan hukum di tengah-tengah masyarakat. Kemajemukan budaya di tengah-tengah masyarakat senantiasa memperlihatkan sudat pandang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Aceh Singkil sebagai kabupaten yang berbatasan langsung dengan propinsi Sumatera Utara, mau tidak mau tradisinya akan dipengaruhi oleh tradisi masyarakat Batak. Begitu juga kehadiran kelompok transmigrasi yang berasal dari Jawa. Selama melakukan penelitian, kami tim peneliti menemukan, bahwa kemajemukan suku, ras, dan agama di singkil tidak banyak berpengaruh terhadap eksistensi hukum khususnya qanun jinayah. Hal yang paling dominan dalam menentukan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat ternyata bukan karena mereka berbeda, akan tetapi lebih didominasi lemahnya upaya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Secara sosial kemasyarakatan, mayoritas masyarakatnya menerima kehadiran qanun jinayah di tengah-tengah mereka, bahkan ada diantara anggota masyarakatnya beragama non-Islam. Mereka menyadari, bahwa qanun jinayah bisa menjadi alat pengatur kehidupan bermasyarakat sekaligus sebagai alat penyelesai konflik di tengah-tengah mereka. Namun, karena rendahnya upaya penegakan hukum oleh aparat serta adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum dalam pelanggaran qanun jinayah, maka terlihat seoalah-olah adanya ketidapedulian terhadap larangan-larangan yang dimuat dalam Qanun Jinayah.
Analisis Pemikiran Ibnu Hazm Tentang Kesaksian Wanita dalam Pidana Zina Mukhsin Nyak Umar
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v1i2.1426

Abstract

Testimony is valid evidence to obtain legal certainty. Of proof in criminal adultery with a request for information made four male witnesses as represented in the texts of the Koran. Ibnu Hazm practice texts generality arba'ati syuhada include men and women and reject hadis munqathi' basis for justification of testimony limited to the male gender only. This argument is the basis for Ibn Hazm allowing women to testify in criminal adultery while guided by the principle of equality of men and women. In addition, Ibnu Hazm also rejected the psychological condition of women as a reason for refusing the testimony of women in certain fields. This condition can be anticipated by the number of witnesses more women than men because the Qur'an clearly define terms that are fair witness is owned by men and women
TANGGAPAN MASYARAKAT KECAMATAN PULAU BANYAK TERHADAP PEMBERLAKUAN QANUN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM JINAYAT Edi Yuhermansyah; Meri Andani
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v7i1.3964

Abstract

Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang mulai diberlakukan pada tanggal 23 Oktober 2015 merupakan hukum pidana terkodifikasi, yang mana sebelumnya qanun ini terpisah-pisah seperti qanun tentang Khamar, Khalwat, dan Maisir. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh diatur secara legal formal dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraaan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Kedua undang-undang ini menjadi dasar kuat bagi Aceh untuk menjalankan Syari’at Islam di seluruh wilayah Aceh. Namun sangat disayangkan belum semua daerah-daerah seperti daerah Kecamatan Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil  yang berada dalam wilayah Provinsi Aceh belum melaksanakan atau menjalankan ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya tentang Qanun Hukum Jinayat. Pemahaman masyarakat khususnya daerah terpencil yang jauh dari pusat kota tentang Qanun Hukum Jinayat masih sangat minim, sehingga berpengaruh terhadap respon mereka tentang Qanun Hukum Jinayat. Oleh karena itu penelitian ini melihat bagaimana respon dan pemahaman masyarakat Kecamatan Pulau Banyak terhadap Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian lapangan (empiris) yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke lapangan dan mewawancarai beberapa responden untuk memperoleh data yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa masyarakat Kecamatan Pulau Banyak belum memahami dengan baik secara keseluruhan tentang Hukum Jinayat, dan masyarakat Kecamatan Pulau Banyak memberikan respon yang kurang baik terhadap Qanun Hukum Jinayat. Hal ini dilihat dari beberapa tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan syari’at yang terjadi di lingkungan masyarakat Kecamatan Pulau Banyak. Dapat disimpulkan bahwa respon masyarakat Kecamatan Pulau Banyak terhadap Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat kurang baik (negatif). Maka dapat dikatakan pemberlakuan Qanun Hukum Jinayat belum berhasil dan maksimal, sehingga pemerintah perlu upaya ekstra untuk mensosialisasikannya di lingkungan masyarakat. 
Syariat Islam Pada Dinasti di Asia Telaah Kritis Tipologi Mujtahid dan Geneologi Intelektual Hasnul Arifin Melayu
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v3i1.338

Abstract

Implementation of Islamic law in Aceh is inseparable from its historical context in the history of Islam. Struggle of ideas between religion and state, the influence of the power system and outside the Islamic tradition and social conditions into one format forming Islamic law itself. In addition, the existence of a mujtahid in the struggle also gives an important role. This article will explore specifically about the existence of a mujtahid and their intellectual genealogy in dynasty in Asia, especially the Ottoman and Mughal. This study aims to describe the trip codification of Islamic law in some Muslim region. By doing so, there is the exposure of the expected phases of the codification of Islamic law that can be used as input in the process of implementation of Islamic law in Aceh. Kata kunci: syariat Islam, tipologi, geneologi mujitahid
Uqubat Denda Bagi Pegulangan Pencurian Ringan oleh Anak-Anak di Bawah Umur Muhammad Iqbal; Novia Novia
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i2.5853

Abstract

Kejahatan adalah setiap perbuatan yang anti sosial, merugikan, dan menjengkelkan masyarakat. Anak yang melakukan pelanggaran hukum lebih banyak disebabkan oleh ketidakmatangan jiwa, teman dan lingkungan sekitarnya Kondisi ini juga di perkuat oleh keinginan untuk mencoba mengekpresikan jiwa mudanya untuk membuktikan jati diri tentang keberadaannya. Adapun pertanyaan yang terdapat dalam penelitian ini adalah Apa hukuman bagi tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak-anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Bagaimana penjatuhan hukuman bagi anak yang melakukan pengulangan pencurian ringan digampong Ie Mameh, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya, Dengan mengunakan metode penelitian kualitatif dengan metode empiris. Data dikumpulkan dari data primer dan data sekunder data primer berupa wawancara dengan narasumber dari pihak aparatur desa sedangan data sekunder yaitu melalui buku-buku yang terkait dengan pembahsan skripsi. Hasil penelitian yang penulis temukan bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diatur secara khusus tentang bagaimana sanksi hukuman terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian secara bersama-sama, dan menurut Undang-undang Perlindungan Anak, anak yang dibawah perlindungan anak menurut Pasal 7 bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Menurut analisis penulis dalam Sistem Peradilan Pidana Anak tidak dijelaskan secara rinci masalah hukuman bagi pengulangan tindak pidana terhadap anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana , dan begitu juga dalam Undang-undang Perlindungan Anak yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.  Dalam Sistem Peradilan Hukum Adat di Gampong Ie Mameh anak-anak yang melakukan tindak pidana pencurian akan dikenakan sanksi pidana denda, tidak ada perberdaan antara satu anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan sekelompok anak yang melakukan tindak pidana pencurian. Sedangkan untuk anak yang telah melakukan pengulangan tindak pidana maka anak tersebut dijatuhi sanksi tindakan yang tegas. Dalam Hukum Islam anak-anak yang melakukan tindak pidana pencurian hukumannya adalah  hukuman Takzir sedangkan dalam Hukum Pidana Indonesia hukumannya adalah hukuman penjara minimal 1/3 dari hukuman yang diberikan kepada orang dewasa. Menurut analis penulis dalam Hukum Islam juga tidak mengatur bagaimana hukuman bagi anak-anak yang melakukan pengulangan tindak pidana secara tertulis tetapi apabila terdapat kasus yang sedemikian maka hukuman nya menjadi hak ulil amri (takzir).
Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Tinjauannya Menurut Hukum Islam Israr Hirdayadi; Hera Susanti
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v6i2.3954

Abstract

Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum seringkali disamakan dengan penanganan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Menanggapi kenakalan remaja, secara yuridis di Indonesia, perlindungan hukum terhadap anak dapat dijumpai di berbagai peraturan perundang-undangan seperti yang terkandung dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, yang mana hal tersebut merupakan ratifikasi dari konvensi PBB yang terkait dengan Hak Anak, yang mencakup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua peraturan perundang-undangan tersebut bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan yang dianggap dapat menjadi solusi terbaik bagi anak. Setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menuai kritik dari berbagai kalangan, pemerintah mencoba melakukan trobosan baru dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak menjadi undang-undang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Langkah pemerintah tersebut dinilai lebih maju karena dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak yang baru ada upaya diversi yang diadopsi dari The Beijing Rules yang menggunakan pendekatan restorative justice. Yang menjadi fokus kajian penulis lebih kepada penelusuran kesesuaian antara ide diversi tersebut dengan hukum Islam, dalam hal ini penulis menggunakan teori al-shulh. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana konsep diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, bagaimana proses diversi dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak di Indonesia dan bagaimana kesesuaian antara diversi dengan hukum Islam. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library reseach), dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan pendekatan yang bersifat deskriptif komparatif. Hasil penelitian ditemukan bahwa adanya kesesuaian antara diversi dengan hukum Islam, yaitu mengedepankan penyelesaian perkara secara kekeluargaan. Selain itu, orientasi sulh menggunakan victim oriented, demikian halnya dengan diversi yang ada dalam undang-undang sistem peradilan anak.

Page 3 of 18 | Total Record : 171