cover
Contact Name
Edi Yuhermansyah
Contact Email
eys_0401@yahoo.com
Phone
+6281363555462
Journal Mail Official
legitimasi@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Faculty Shariah and Law, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum
ISSN : 20888813     EISSN : 25795104     DOI : 10.22373/legitimasi
Core Subject : Social,
The Legitimasi Journal (the Journal of Criminal and Political Law) published biannually in January and July, is published by the Faculty Shariah and Law UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Its purpose is to promote the study of criminal law and Islamic law in general and to discuss discourses of the development of criminal law and government policies in various perspectives. It is also to help in the understanding of criminal law and politic of law in Indonesia.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 171 Documents
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Tipikor Banda Aceh) Ibsaini Ibsaini; Mahdi Syahbandir
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v7i1.3965

Abstract

This research examines a corporation responsibility in the corruption of governmental goods and services procurements. This research applies juridical empirical approach. In accordance with the Act of Corruption Suppression, the liability of the corruption cases of corporation is also involves its corporation regarding the corruption. Pursuant to Article 20 (1) in terms of the corruption committed by and over the name of a corporation, the charges and sentences can be impose toward the corporation and its administrators. However,  at the Court for Corruption in Aceh (2013-2017), there are 36 cases of corruptions committed by the corporations that have never been held liable on them, meaning that the corporation has never been convicted due to the commission. This research is purposed to know the forms of corruption committed by corporations at the Court for Corruption in Banda Aceh, reasons for not being held the corporations liable for the corruption, and legal impact that might rise if the corporations are not held liable for corruption.
Faraq dalam Pernikahan Sindiket di Johor Malaysia dan Relevansinya dengan Penanganan Nikah Sirri di Indonesia Khairani Khairani
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v3i1.339

Abstract

Marriage sindiket almost similar meaning with marriage Sirri Indonesia. Johor Malaysia wedding sindiket has caused a lot of problems in the community, especially about the validity of his marriage. Faraq or annulment of marriage is a way for the completion of a dubious marriage. so immoral that occur from dubious marriage not continues. Faraq mechanism in this sindiket marriage has been defined in Enakmen 17 of 2003 Islamic Family Law. Court that decides whether the marriage can be forwarded or difaraq sindiket. The factors that led to a marriage should sindiket difaraq partly because the elements of the pillars of marriage are not met. Faraq provisions in this sindiket marriage should be able to consider in preventing and addressing issues arising from the consequences of marriage Sirri in Indonesia. Kata kunci: faraq, pernikahan sindiket, nikah siri
Pembinaan Narapidana Anak di Rutan Lhoknga Aceh Besar Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dan Teori Maṣlahaḥ Murṣalaḥ Zaiyad Zubaidi; Riva Attusuha
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i2.5854

Abstract

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 3 disebutkan bahwa” Setiap Anak dalam proses peradilan berhak dipisahkan dari orang dewasa”. Namun dalam penerapan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dimana masih ada pemisahan narapidana anak di Cabang Rumah Tahanan Lhoknga. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan. Pertama bagaimana sistem pembinaan narapidana anak di cabang rumah tahanan Lhoknga Aceh Besar. Kedua Bagaimana relevansi pembinaan narapidana anak Di Cabang Rumah Tahanan Lhoknga dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2102 dan teori Maṣlahaḥ Murṣalaḥ. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penilitian lapangan (field reasearch) serta kajian pustaka (library reasearch). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pembinaan narapidana anak di cabang rumah tahanan Lhoknga Aceh Besar berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan karena sudah menerapkan langkah dan proses pembinaan, kegiatan pembinaan, dan memberikan keterampilan yang sesuai. Kedua relevansi pembinaan narapidana anak di cabang rumah tahanan Lhoknga Aceh Besar dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 pasal 3 tidak sesuai karena masih terdapat narapidana anak di rumah tahanan tersebut. Adapun praktek pembinaan tersebut bertentangan dengan konsep Maṣlahaḥ Murṣalaḥ yang bertujuan memberikan kemanfaatan, kemaslahatan dan mencegah kemudhazaratan, Karena itudengan penggabungan narapidana anak dengan dewasa maka dikhawatirkan akan berdampak negatif pada keberadaan anak. 
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ancaman Pidana Bagi Pelaku Penodaan Lambang Negara Republik Indonesia Lia Safrina
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v6i2.3956

Abstract

Setiap negara mempunyai lambang yang menggambarkan kedaulatan, kepribadian dan kemegahan negara itu. Dalam masyarakat modern, telah banyak terjadi kasus-kasus penodaan terhadap lambang negara,seperti halnya yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Ancaman pidana bagi pelaku penodaan terhadap lambang negara yang telah diatur dalam pasal 66 dan pasal 68. Sedangkan dalam hukum Islam tidak mengatur secara khusus bagi pelaku penodaan terhadap lambang negara, akan tetapi hukum Islam melihat dari segi unsur-unsur perbuatan. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: bagaimana ketentuan hukum Islam terhadap ancaman pidana penodaan lambang negara dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. Dalam penulisan ini menggunakan metode hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder atau penelitian hukum kepustakaan (di samping penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data primer).Sedangkan teknik pengumpulan data diperoleh dengan cara studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian setelah diamati dan dipahami bahwa dalam hukum Islam bagi pelaku penodaan lambang negara sama halnya dengan pemberontakan yang sama-sama menentang negara yang akan dikenakan hukuman ta’zir, hukum Islam tidak akan ketinggalan zaman akibat perkembangan modern yang semakin maju. Hukum Islam memandang dari segala tindakan yang dapat merugikan atau membahayakan dan juga dilihat dari perbuatan yang dilakukan baik secara disengaja maupun tidak disengaja demi kemaslahatan publik.
Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual Terhadap Sesama Jenis Intan Permata Sari
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v6i1.1842

Abstract

Bentuk pelecehan seksual sesama jenis menurut hukum positif pada dasarnya adalah sama dengan pelecehan seksual terhadap lawan jenis, hanya saja pelecehan seksual sesama jenis pelaku dan korbannya dari sesama jenis.Unsur-unsur perbuatan pelecehan seksual sesama jenis adalah adanya suatu perbuatan yang berhubungan dengan seksual, wujud perbuatan berupa fisik dan non-fisik dan tidak ada kesukarelaan. Sedangkan yang membedakannya pelecehan seksual sesama jenis di dalamnya terkait pelaku berasal dari jenis kelamin yang sama.Namun menurut hukum Islam hukuman bagi pelecehan seksual sesama jenis sama halnya dengan hukuman homo seksuall karena kesukaan pelaku pada sesama jenis, hanya saja perbedaannya jika homo seksual dilakukan karena suka sama suka, sedangkan pelecehan terjadi di sebabkan paksaan oleh pihak lain. Pembuktian terhadap pelaku pelecehan seksual sesama jenis dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP bahwa pembuktian dilakukan dengan adanya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Pembuktian tindak pidana pelecehan seksual sesama jenis juga memerlukan peranan dokter guna memberikan keterangan medis melalui visum etrepertum. Di dalam hukum Islam larangan berperilaku seks menyimpang seperti homoseksual maupun lesbian adalah ketentuan qath'i (tegas) dan muhkamat (jelas ketetapan hukumnya), sehingga ada tiga hukuman berat terhadap pelaku homoseksual, yaitudibunuh, dibakar dan dilempar dengan batu setelah dijatuhkan dari tempat yang tinggi. Hal ini sesuai dengan mazhab Syafi'i karena banyak penduduk Indonesia yang mengikutinya.
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI PENGADILAN NEGERI BANDA ACEH (Studi Kasus Tindak Pidana Korupsi) Rispalman, Rispalman; Oktaviyanti, Leny
LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Islam Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Criminal Islamic Law, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i1.5015

Abstract

Abstrak Pasal 5 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban mengatur hak-hak saksi dan korban dan penulis lebih memfokuskan kepada hak-hak saksi dalam tindak pidana korupsi, dalam permasalahan hak-hak saksi dan akan berkaitan dengan implementasi dari pasal 5 mengenai ada atau tidak perlindungan saksi yang di terapkan di Pengadilan Negeri Banda Aceh karena keberhasilan suatu proses peradilan pidana itu tergantung pada alat bukti yang berhasil diungkapkan di pengadilan terutama keterangan saksi merupakan faktor yang penting sehingga perlu adanya perlindungan saksi sebagaimana telah diatur di dalam Undang-undang. Dan salah satu faktor tidak adanya penerapan perlindungan saksi yaitu adanya perbedaan keterangan saksi tindak pidana korupsi di BAP dengan di persidangan. Dari permasalahan di atas maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana implementasi pasal 5 undang-undang nomor 31 tahun 2014 terhadap saksi tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Banda Aceh, dan apa faktor penyebab terjadinya perbedaan keterangan saksi tindak pidana korupsi di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dengan di persidangan berdasarkan pengamatan hakim. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis empiris dengan melakukan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian dan kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa perlindungan dari hak-hak saksi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh belum diterapkan sebagaimana termaktub dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 dikarenakan banyak kendala yang dihadapi yaitu mulai dari lembaga yang berwenang yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK), anggaran atau dana, dan dari pemerintah. Dan adanya perbedaan keterangan saksi di Berita Acara Pemeriksaan dengan di Persidangan berdasarkan penelitian bersama hakim yaitu ada tiga faktor, adanya pengaruh dari pihak penyidikan, adanya pengaruh dari pihak terdakwa, dan adanya rasa takut dari saksi.   Kata Kunci: Implementasi-Hak Saksi-PN Banda Aceh
Alat Bukti dan Metode Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Zina Al Yasa’ Abubakar; Iqbal Maulana
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v7i2.3970

Abstract

Dualisme hukum pidana merupakan sebuah realita di Aceh, Aceh sebagai daerah istimewa diberikan wewenang oleh Pemerintah Indonesia dalam menjalankan Syariat Islam seluas-luasnya termasuk dalam ranah pelaksanaan hukum jinayat (Hukum Pidana Islam). Oleh karena itu pelaksanaan hukum pidana di Aceh lahir dua sistem hukum yang berbeda yaitu Hukum Jinayat dan Hukum Positif (KUHP), jika dilihat dari beberapa segi dalam kasus zina, kedua sistem ini memiliki perbedaan yang bertolak belakang.  Ada dua persoalan pokok dalam penelitian ini pertama ; Apa perbedaan konsep zina dan bentuk sanksi dalam Qanun Jinayat dan Hukum Positif, Kedua ; Apa perbedaan alat dan metode pembuktian terhadap perbuatan zina dilihat dari Qanun Jinayat dan KUHP. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research), yang menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan cara melihat bagaimana defenisi, sanksi dan alat bukti zina baik itu dalam hukum positif maupun Hukum Jinayat yang kemudian dijelaskan secara sistematis mengenai data-data yang diperoleh dalam penelitian berdasarkan tinjauan dari rumusan masalah yang ada. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa  kedua sistem hukum tersebut memiliki perbedaan pandangan dalam menanggapi kasus pidana zina. Dalam KUHP menyebutkan perbuatan zina merupakan perbuatan yang mengkhianati ikatan perkawinan yang suci. Sedangkan dalam Qanun Jinayat, tidak mengkategorikan zina sebagai perbuatan yang mengkhianati ikatan perkawinan saja melainkan turut mengkategorikan sebagai perbuatan yang tercela yang merusak moral dan garis keturunan seorang manusia. Oleh karena itu yang dikenakan hukuman adalah bagi pelaku yang telah terikat dengan ikatan perkawinan, sedangkan dalam pandangan Qanun Jinayat pelaku yang telah menikah maupun belum tetap sama-sama di hukum, bedanya yang menikah lebih berat hukumannya dari pada yang belum menikah, hal ini dikarenakan pelaku yang sudah menikah sudah pernah melakukan jima’ yang sah. Penelitian ini sebagai suatu catatan penting dalam pelaksanaan sistem hukum yang berlaku di Aceh. Pemahaman dan pembagian ranah penyelesaian hukum serta penegakannya harus dijelaskan secara tegas oleh pemerintah setempat kepada aparatur penegak hukum demi terciptanya tatanan hukum yang lebih baik.
The Implementation of Sharia in Aceh (Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh) Misran Misran
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v1i2.1423

Abstract

Implementation of sharia in Aceh is identified as the historical-sociological value. This provision is developed based on the reaction of the Acehnese people who expect the rules of sharia are born through the Qanun. Therefore, imposition of Islamic sharia and how well are they enforced, seems adapted to the prevailing customs and traditions, as proof with the Qanun 9/2009 on the implementation of indigenous life and Qanun 10 of the customary institutions ratified on December 30, 2008, which previously was in the form of local government 7/2003. Then how are the views and the response to the enactment and implementation of sharia in Aceh. This course requires an effort to consider the legal systems that do not experience gaps in supporting the establishment of sharia in Aceh.
Program Kursus Pra Nikah Ditinjau Menurut Teori Maslahah Irwansyah Irwansyah
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i2.5846

Abstract

Kajian tentang kursus pra nikah menjadi pembahasan yang penting dalam masalah hukum perkawinan. Pemerintah sudah menjadikan bimbingan tentang hokum-hukum yang berkaitan dengan berumahtangga, yang diwujudkan dalam suatu kursus, yaitu kursus  pra nikah. kemudian pemerintah menetapkan kursus tersebut menjadi syarat untuk dapat dilakukan akad nikah. Dilihat dari segi kemaslahatan, kursus pra nikah memiliki kebaikan yang banyak bagi peserta kursus, yaitu pengarahan tentang hukum berkeluarga bagi calon suami dan isteri. Materi yang disampaikan dalam kursus ini banyak bermanfaat bagi seorang suami dan/atau isteri. Mereka dituntut pengetahuan yang memadai tentang hokum berkeluarga, supaya keluarga mereka akan terwujud nilai-nilai kemaslahata yang tinggi. Pentingnya memiliki pengetahuan tentang hokum berkeluarga tersebut, maka diwajibkan kepada calon suami dan/atau isteri untuk mengikuti program bimbingan ini.
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Proses Pengangkatan Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun2002 Tentang Perlindungan Anak Nurdin Bakry; Yournal Arnas
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v6i2.3961

Abstract

Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan di dalam hukum Islam, melarang praktik pengangkatan anak untuk menjadikan anak angkat dan menjadi anak kandung. Pertanyaan artikel ini, adalah bagaimana ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan tinjauan hukum Islam terhadap ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam ketentuan pidana menyebutkan setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) para orang tua angkat dengan maksud baik sekalipun, tetapi ingin memutuskan hubungan anak yang mereka adopsi dengan orang tua kandungnya. Walaupun, kesepakatan tersebut dibuat antara orang tua angkat dengan orang tua kandung si anak. Pasal 79 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan di dalam tinjauan hukum Islam terhadap ancaman pidana pada proses pengangkatan anak menurut ketentuan hukum Islam termasuk dalam kategori ta’zīr yakni setiap perbuatan yang tidak dikenakan hukuman had.

Page 5 of 18 | Total Record : 171