Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan is an international social religious research journal, focuses on social sciences, religious studies, and local wisdom. It is intended to communicate original research and current issues on the subject.
The subject covers literary and field studies with various perspectives i.e. philosophy, culture, history, education, law, art, theology, sufism, ecology and much more.
Articles
10 Documents
Search results for
, issue
" Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama"
:
10 Documents
clear
MUJAHID VERSUS TERORIS
Supena, Ilyas
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21580/ws.20.1.189
War of opinions about the victims of Bali blast in public media was observed in two national newspaper, Republika and Kompas. Although the both newspapers are of national level, but in fact the request to be objective in informing opinions toward all community class and groups is some-thing difficult to achieve. This is based in the idea that every communication action contains any interrest—the more in mass media. In the side of Republika the execution of Amrozi seen as universal humanity problem, meanwhile for Kompas it only seen as local case that is related to the persons involved in the incident. Republika provides enough room for developing the discourse on jihad and terorism in order to build a counter opinion on the news that oftenly offense Amrozi meanwhil Kompas convines it self for not to involve in the discourse of theology.***Perang opini tentang korban ledakan Bali di media massa diamati di dua surat kabar nasional, yaitu Republika dan Kompas. Walaupun kedua surat kabar tersebut berskala nasional, namun dalam kenyataannya tuntutan untuk obyektif dalam menyampaikan opini kepada masyarakat merupakan hal yang sulit. Ini didasarkan pada gagasan bahwa setiap tindakan komunikasi mengandung kepentingan. Di pihak Republika ekskusi Amrozi dipandang sebagai masalah kemanusiaan universal, sementara bagi Kompas ekskusi tersebut hanya dipandang sebagai kasus lokal yang terkait dengan pribadi yang terlibat dalam kejadian tersebut. Republika memberikan ruang yang cukup bagi pengembangan diskursus mengenai jihad dan terorisme dalam rangka untuk membangun opini imbangan terhadap berita-berita yang seringkali menentang Amrozi sementara Kompas membatasi diri untuk tidak masuk ke dalam diskursus teologi.
RADIKALISME ISLAM DAN UPAYA DERADIKALISASI PAHAM RADIKAL
Rokhmad, Abu
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21580/ws.20.1.185
Educational institutions are supposedly not immune from the influence of radical ideology. This research concluded that: (1) Some teachers acknowledged that the concept of radical Islam may have been spread among students because of their lack of religious knowledge; (2) The units of Islamic study in the schools is progressing well but there is no guarantee of immune from radicalism since most of the learning process is released to a third sides; (3) In the textbooks and worksheets there are various statements that may encourage students to hate other religions and other nations. It can be concluded that the strategy of deradicalization may be implemented are preventive deradicalization and preservative deradicalization of moderate Islam, andcurative deradicalization.***Lembaga-lembaga pendidikan diduga tidak kebal terhadap pengaruh ideologi radikal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) Beberapa guru mengakui adanya konsep Islam radikal yang mungkin menyebar di kalangan siswa karena kurangnya pengetahuan keagamaan; (2) Unit-unit kajian Islam di sekolah-sekolah berkembang baik namun tidak ada jaminan adanya kekebalan dari radikalisme karena proses belajarnya diserahkan kepada pihak ketiga; (3) Di dalam buku rujukan dan kertas kerja terdapat beberapa pernyataan yang dapat mendorong siswa untuk membenci agama atau bangsa lain. Dapat disimpulkan bahwa ada beberapa strategi deradikalisasi yang dapat diimplementasikan yaitu deradikalisasi preventif, deradikalisasi preservatif terhadap Islam moderat, dan deradikalisasi kuratif.
KEBENARAN HEGEMONIK AGAMA
Tajrid, Amir
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21580/ws.20.1.190
Anarchic violence against jamaah Ahmadiyah and “Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB)” by Front Pembela Islam (FPI) constitutes a form of truth claim among religious groups in religious society. The religious interpretation which formerly opened now reduced to become the closed interpretation. The formerly is the substantive interpretation now become the hegemonic interpretation. This is one of the greatest theological challenge facing by religious community. This article will show the patterns of attitude and idea among religious comminity members which stimulate hegemonic truth claim in order to find out the friendly, egalitarian, and tolerant forms of religions, so the hegemonic truth claim of the religion should be avoided.***Kekerasan anarkis yang ditujukan kepada jamaah Ahmadiyah dan “Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB)” oleh Front Pembela Islam (FBI) merupakan bentuk klaim kebenaran di antara kelompok-kelompok agama di dalam masyarakat agama. Interpretasi agama yang sebelumnya terbuka kini menjadi tertutup. Sebelumnya interpretasinya bersifat substantif namun kini menjadi hegemonik. Inilah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh komunitas agama saat ini. Artikel ini akan membahas pla sikap dan ide di kalangan anggota komunitas yang mencetuskan klaim kebenaran yang hegemonik dalam rangka untuk menemukan bentuk keberagamaan yang bersahabat, egalitarian, dan toleran sehingga klaim kebenaran hegemonik agama dapat dihindari.
SPIRITUALITAS KAUM FUNDAMENTALIS
Musyafiq, Ahmad
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21580/ws.20.1.186
One of the most important phenomenon that characterized the begining of XXI century is the blossom of spiritual activities. Broadly speaking, there are two model of spiritualities: institutional spirituality like tarekat and non-institutional spirituality. This article focus on how religious study that so far executed by Hizbut Tahrir Indonesia Central Java, which much pertained to the main themes of tasawuf study, like purification of heart, tawakkal, ikhlas, sabar, etc. But because they rejected tasawwuf, so they applied the term of spirituality.***Salah satu fenomena terpenting yang yang mencirikan awal abad XXI adalah berkembangnya aktifitas spiritual. Secara luas, ada dua model spiritualitas: spiritualitas institusional seperti tarikat dan spiritualitas non-institusional. Artikel ini memfokuskan pada bagaimana kajian agama yang selama ini dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia in central Java yang terkait erat dengan tema-tema utama dalam kajian tasawuf seperti pemurnian hati, tawakkal, ikhlas, sabar, dan lain-lain. Namun karena mereka menolak tasawuf maka mereka mereka menggunakan spiritualitas.
INTERAKSI DAN HARMONI UMAT BERAGAMA
Haryanto, Joko Tri
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21580/ws.20.1.197
The community of Singkawang constituted the multi cultural society, in religion, ethnic, and culture. Historically Singkawang society was able to maintain inter religious harmony. The associative social interaction seemed to be potential to support the harmony in the society. Based on the paradigm of functional-structural, society was assumed as an organic system having inter-relatednes between one organ and another in order to maintain the existence of the society. Social interaction within Singkawang society was developed by the the interaction in the cyrcle of family, neighbourhood, economical activities, religious leaders, and the relation within culture and tradition. Inspite of this the relation between the element of society is still cosmopolitant, on which the society members are less active in developing community harmony.***Masyarakat Singkawang adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai kelompok suku bangsa dan agama. Secara historis, masyarakat Singkawang mampu mempertahankan harmoni antar agama. Model interaksi sosial yang bersifat asosiatif tampaknya potensial untuk mendukung harmoni di dalam masyarakat. Berdasarkan paradigma fungsional-struktural, masyarakat diasumsikan sebagai sistem organik yang memiliki huungan antar bagiannya untuk mempertahankan masyarakat. Interaksi sosial di dalam masyarakat Singkawang dikembangkan melalui interaksi di dalam lingkup keluarga, lingkungan sekitar, aktifitas ekonomi, para pimpinan agama, dan hubungan di dalam lingkup budaya dan tradisi. Meskipun demikian, hubungan antar unsur masyarakat masih kosmopolitan, yang di dalamnya anggota masyarakat kurang aktif dalam mengembangkan harmoni masyarakat.
MENUJU DIALOG ISLAM – KRISTEN: PERJUMPAAN GEREJA ORTODOKS SYRIA DENGAN ISLAM
Arifin, Zaenul
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21580/ws.20.1.187
Conflict between Christianity and Islam prevailed the pages of the history of religion. Having a common origin, the two religions always stuck in a violent conflict. This article try to explore deeply the Syrian Orthodox Church, and find out the common roots with Islam. It is found the parallelization in any theological aspect of Christianity and Islam, especially in the observance of religious duties. The data cought will have an importance in developing the dialog between Islam and Christian.***Konflik antara Kristen dengan Islam tampil dalam sejarah agama. Karena memiliki sumber asal yang sama, kedua agama selalu terlibat dalam kontak kekerasan. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji secara mendalam geraja orthodoks Syria dan ditemukan akan adanya akar yang sama dengan Islam. Ditemukan pula adanya paralelisasi dalam aspek teologinya, khususnya pelaksanaan kewajiban agama. Data yang didapatkan menunjukkan arti penting dalam pengembangan dialog antara Islam dengan Kristen
THE LIVING AL-QUR’AN: BEBERAPA PERSPEKTIF ANTROPOLOGI
Ahimsa-Putra, Heddy Shri
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21580/ws.20.1.198
This article deals with the meanings of the living al-Qur’an and how as socio-cultural phenomena they can be studied anthropologically. The living al-Qur’an here is interpreted as the meanings given by the people (Moslem as well as non-Moslem) to al-Qur’an and how these meanings are actualized in their daily lives. Some of its social meanings are given here and explained. Seen in that way, the living al-Qur’an can thus be studied by using anthropological perspectives, such as acculturation perspective or diffusion perspective, functional perspective, structural perspective, phenomenological perspective and hermeneutical or interpretive perspective.***Artikel ini membahas tentang makna al-Qur’an hidup dan bagaimana sebagai fenomena sosial bidaya al-Qur’an dapat dikaji secara antropologis. Al-Qur’an yang hidup di sini diinterpretasikan sebagai makna yang diberikan oleh masyarakat (Muslim maupun non-Muslim) terhadap al-Qur’an dan bagaimana makna ini diaktualisasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa makna sosialnya akan dibahas di sini dan akan dijelaskan. Dengan cara seperti itu al-Qur’an hidup dapat dikaji secara antropologis, yaitu dengan perspektif akulturasi, difusi, fungsional, fungsional struktural, fenomenologi, dan hermeneutik atau interpretif.
FUNDAMENTALISME AGAMA
Rosidah, Nur
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21580/ws.20.1.182
Al-Qur’an frequently stated as a basic source for violence and terror as well as Islamic fundamentalism. This is because materially there are some provocative-agitative verses in al-Qur’an for violence doer and terrorist. This article discussed about the way to study Qur’an verses on violence and the interpretation methodology applied to understanding that verses.***Al-Qur’anseringkali dinyatakan sebagai landasar perilaku kekerasan dan teror serta fundamentalisme Islam. Hal ini karena secara material terdapat beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang provokatif dan agitatif untuk terjadinya kekerasan dan teror. Artikel ini membahas tentang cara melakukan kajian ayat-ayat al-Qur’an tentang kekerasan dan metode interpretasi yang diterapkan untuk memahami ayat tersebut.
THE LUTHER OF SHI’I ISLAM
al-Qurtuby, Sumanto
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21580/ws.20.1.188
This paper examines socio-historical roots of the emergence of the idea of “Islamic Protestantism” within Iranian Shi’i tradition. The central focus of this study is to present thoughts and activities of so-called “Iranian Luthers” as the agents, actors, and prime movers of the birth of Islamic reformation in Iran. These actors whose ideas of Islamic reformation have had great influences and reached broader audiences beyond Iranian territory include Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, Ali Shari’ati, Mehdi Bazargan, Hashem Aghajari, and Abdul Karim Soroush. There are a number of Iranian reformers deserve credits for their thoughtful, controversial ideas of Islamic reformations. These Iranian reformers are considered “the Luthers of Islam” for their deep admiration of Martin Luther’s Protestant Reformation, and their calls for Islamic reformation just like Luther did in the sixteenth century Europe. By the socio-historical and descriptive analysis, this paper is not intended to compare two religious reformations in Iran and Europe, but rather to study and analyze their notions with regard to Islamic reformation.***Artikel ini membicarakan tentang akar sosio-historis munculnya gagasan “Protestanisme Islam” dalam tradisi Syi’ah Iran, dengan fokus kajian pemikiran dan gerakan yang disebut “Luther Iran” sebagai agen, aktor, dan penggerak utama lahirnya reformasi Islam di Iran. Ide-ide reformasi Islam memiliki pengaruh besar dan mencapai khalayak yang lebih luas di luar wilayah Iran termasuk Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, Ali Shari’ati, Mehdi Bazargan, Hashem Aghajari, dan Abdul Karim Soroush. Sejumlah reformis Iran layak mendapatkan perhatian karena pemikiran, ide-ide kontroversial mereka dalam reformasi Islam. Para reformis Iran dianggap sebagai “Luther Islam” karena kekaguman mendalam mereka terhadap Martin Luther, dan mereka menghendaki reformasi Islam seperti yang terjadi pada masa Luther di Eropa abad keenam belas. Dengan analisis sosio-historis dan deskriptif, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan dua reformasi keagamaan di Iran dan Eropa, melainkan untuk mempelajari dan menganalisis gagasan-gagasan mereka mengenai reformasi Islam.
ISLAM DAN OTORITAS KEAGAMAAN
Rumadi, Rumadi
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol 20, No 1 (2012): Fundamentalisme Agama
Publisher : LP2M - Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.21580/ws.20.1.183
Is religion possible to grow without any authority? Generally people responded the question with two speculative answers: “religion can be and grow without any authority” and “religion can not be and grow without any authority”. The first opinion is based on the argumentation that religion constitutes a divine total comprehension. It does not need any other than the submission of human being to God. Meanwhile, the second opinion is based on the argumentation that religion constitutes individual rights to communicate and submit to God, but in social sphere the development of religion needs “distributors” having credibility to speak and transmit religious messages. However, in fact, religious authority is not a static one, but dynamic. Levels of religious authority and inter relation between the authority levels is a part of the dynamics.***Mungkinkah agama tumbuh tanpa otoritas?Pada umumnya jawaban atas pertanyaan ini ada dua:”agama dapat tumbuh tanpa otoritas” dan “agama tidak dapat tumbuh tanpa otoritas”, Pandangan pertama didasarkan pada argumentasi bahwa agama merupakan pemahaman total terhadap ketuhanan. Yang dibutuhkan dalam konteks ini adalah ketundukan terhadap Tuhan semata. Sementara pandangan kedua didasarkan pada argumentasi bahwa agama merupakan hak individual untuk berkomunikasi dan menyerahkan diri kepada Tuhan,namun di dalam lingkup sosial perkembangan agama membutuhkan “penyebar” yang memiliki kredibilitas untuk berbicara dan menyampaikan pesan-pesan agama. Namun demikian, dalam kenyataannya otoritas agama bukan merupakan hal yang statis, namun dinamis. Tingkat otoritas keagamaan dan inter relasi antar tingkat-tingkat otoritas merupakan bagian dari dinamika tersebut.