cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
Medicina
Published by Universitas Udayana
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 234 Documents
DUCTAL STENTING IN PULMONARY ATRESIA NEONATES WITH MULTIPLE CONGENITAL ANOMALIES AND SEPTIC CONDITION Wibisono, Laurentia Utari; Gunawijaya, Eka; Pradnyana, Bagus Ari
Medicina Vol 46 No 1 (2015): Januari 2015
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (210.938 KB)

Abstract

Neonates with  pulmonary  atresia  usually  appear  normal  at  birth with  pulmonary  circulationmaintained by the presence of a patent ductus arteriosus (PDA). Rapid deterioration will suddenlyocccur  if the duct close. Surgical shunt  is still be used as a standard protocol  in many centers as apalliative procedure. We report a 2 days-old, low birth weight, and mild cyanotic neonate with pulmonaryatresia and PDA accompanied by atresia ani, bladder and cloaca extropy, ambiguous genitalia andsepsis. We decided to perform PDA stenting because our patient have a high surgical shunt risk. Thisprocedure was very  important  to keep  the duct remains open until patient ready  for  total surgicalcorrection. [MEDICINA 2015;46:42-45].Neonatus dengan atresia pulmonal biasanya tampak normal saat lahir dengan adanya patent ductusarteriosus (PDA) yang memelihara aliran darah paru. Kondisi neonatus akan segera memburuk jikaduktus menutup. Pembuatan shunt dengan pembedahan merupakan protokol standar yang masihdikerjakan di banyak pusat kesehatan. Kami melaporkan neonatus berusia 2 hari dengan berat badanlahir rendah dan sianosis ringan dengan diagnosis atresia pulmonal, PDA, atresia ani, ekstropi buli-buli dan kloaka, jenis kelamin ambigu, dan sepsis. Kami memutuskan untuk melakukan pemasanganstent pada PDA karena pasien kami memiliki risiko yang tinggi untuk pembedahan (pembuatan shunt).Tindakan ini sangat penting untuk menjaga duktus tetap terbuka sampai pasien siap untuk dilakukanoperasi koreksi. [MEDICINA 2015;46:42-45].
WOUND HEALING IN DIABETIC ULCER Putra Pramana, Ida Bagus; Yasa, Ketut Putu
Medicina Vol 43 No 1 (2012): Januari 2012
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The mechanism of wound healing is a complex mechanism and involves a variety of cells. Injury is defined as a disruption of normal structure and function. Various types of growth factors and cytokines such as platelet derived growth factor and transforming growth factor beta involved in the mechanism of wound healing. There are four phases of wound healing mechanisms : hemostasis, inflammatory, proliferative, and remodeling. Diabetic ulcers is one major complication, occurring in 15% of patients with diabetes mellitus (DM) and as much as 84% of patients with diabetic ulcers require amputation action. In DM patients there is a failure in normal wound healing mechanisms. Various histopathological studies showed elongation phase of inflammation in patients with diabetes mellitus, thus inhibiting the formation of granulation tissue. Increased blood sugar levels will lower the expressin of perlecan, increased advanced glycation endproducts, decreased the formation of nitric oxide (by ± 67%), changes in the structure and function of fibroblasts and increased activity of matrix metalolproteinases, it will cause distruption of the normal wound healing mechanisms. (MEDICINA 2012;43:49-53).
Gangguan mental organik pada multipel sklerosis Dewi, NN Trisna; Susilawathi, NM; Westa, W
Medicina Vol 47 No 1 (2016): Januari 2016
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Multipel sklerosis (MS) adalah penyakit demielinasi autoimun polifasik/multifokal menyerang substansia alba akibat autoreaktif limfosit. Perempuan lebih dominan dibanding lelaki. Manifestasi klinis berupa neuritis optik akut, gejala traktus piramidal dan ekstrapiramidal, sindrom lesi batang otak akut dan medula spinalis, serta gangguan mental organik relapsing remitting. Kasus seorang lelaki 22 tahun dengan riwayat neuritis optik akut mata kiri kemudian disusul mata kanan, selanjutnya kelemahan separuh tubuh kiri, perlahan-lahan memberat, lalu mengalami perbaikan dengan gejala sisa. Pada pemeriksaan fisis didapat hemiparesis spastik sinistra grade 4+, refleks Babinski dan Hoffmann-Tromner sinistra positif, serta gejala psikologis. Pemeriksaan penunjang MRI kepala dengan kontras tampak hiperintens T2 di paraventrikel lateral kanan kornu anterior dan posterior. Penderita didiagnosis MS dan gangguan mental organik, kemudian diterapi dengan citicoline 2x500 mg PO, mecobalamin 1x500 mcg PO, risperidone 1x2 mg PO, dan psikoedukasi keluarga. Respon terapi baik tetapi prognosis buruk. Multiple sclerosis (MS) is a polyphasic/multifocal autoimmune demyelination disease which affect the substantia alba caused by autoreactive of lymphocyte. Women are more dominant than men. The clinical manifestation are acute optic neuritis, pyramidal and extrapyramidal tracts lesion, acute brain stem and spinal cord lesion syndrome, organic mental disorders which cause relapsing remitting. Case was a 22 years old male with history of acute optic neuritis on the left eye which slowly moves to the right eye, followed by weakness of the left part of the body, happens slowly and progressively worse and becomes better with squelle. On the physical examination, it was found spastic hemiparesis sinistra grade 4+, positive sinistra Babinski and Hoffmann-Trommner reflexes, and psychological manifestation. Head MRI scan with contrast showed hyperintense T2 at right lateral paraventricle of cornu anterior posterior. The diagnosis were MS and organic mental disorders, and treated with oral citicoline 2x500 mg, mecobalamin 1x500 mcg, risperidone 1x2 mg, and psychological education for the family. Response to therapy was good but the prognosis was poor.
ASPEK BIOLOGI TRIHEKSIFENIDIL DI BIDANG PSIKIATRI VIVI SWAYAMI, I GUSTI AYU
Medicina Vol 45 No 2 (2014): Mei 2014
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.017 KB)

Abstract

Triheksifenidil adalah obat yang sering digunakan apabila didapatkan sindroma ekstrapiramidal akibat penggunaan antipsikotik. Triheksifenidil merupakan antikolinergik yang mempunyai efek sentral lebih kuat daripada perifer. Triheksifenidil bekerja melalui neuron dopaminergik.Mekanisme kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin dari vesikel prasinaptik, penghambatan ambilan kembali dopamin ke dalam terminal saraf prasinaptik atau menimbulkan suatu efek agonis pada reseptor dopamin pascasinaptik.Triheksifenidil sebagai terapi efek samping esktrapiramidal yang diinduksi oleh antipsikotik dan obat-obatan sistem saraf sentral, seperti akathisia, distonia, dan pseudoparkinsonism (tremor, rigiditas, akinesia) dan sindroma ekstrapiramidal (EPS). Penurunan dosis antipsikotik merupakan langkah pertama yang dilakukan jika terjadi efek samping sindroma ekstrapiramidal. Obat antikolinergik contohnya: triheksifenidil, benztropin, sulfas atropin, dan difenhidramin injeksi intra muskular atau intra vena diberikan jika langkah pertama tidak dapat menanggulangi efek samping tersebut. Obat yang paling sering digunakan adalah triheksifenidil dengan dosis 3 kali 2 mg per hari. Penggantian antipsikotik merupakan langkah terakhir jika dengan kedua langkah sebelumnya tidak berhasil menanggulangi efek samping ekstrapiramidal yang terjadi. [MEDICINA 2014;45:88-92]    
HUBUNGAN OBESITAS DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI PADA PENDUDUK BALIAGE DI DESA PEDAWA, BULELENG, BALI Budhiart, AAG; Suka Aryana, IGP
Medicina Vol 38 No 2 (2007): Mei 2007
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Obesitas, diabetes melitus (DM) dan tekanan darah tinggi merupakan komponen dari sindroma metabolik (SM), dan merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung koroner. Obesitas saat ini merupakan masalah global dan mewabah diseluruh dunia. Telah dilakukan cross-sectional community based study di desa Pedawa, suatu desa terpencil yang berlokasi di Bali Utara dengan populasi penduduk Baliage. Sampel penelitian diambil secara simple systematic sampling dari register data kependudukan Diperoleh sebanyak 294 sampel penelitian yang terdiri dari 136 (46,3%) laki-laki, dan 158 (53,7%) wanita dengan umur rata-rata 45,2 tahun. Prevalensi obesitas (IMT ?? 25 kg/m2) sebanyak 43 orang ( 14,7%), dan underweight ( IMT ?? 18,5 kg/m2) sebanyak 54 orang (18,6%). Prevalensi gangguan glukosa darah puasa dan DM masing-masing sebanyak 4 orang ( 1,4%) dan 11 orang (3,9%). Prevalensi hipertensi sistolik dan diastolik masing-masing 14,6% dan 12,2%. Tidak dijumpai adanya korelasi antara obesitas dengan DM dan hipertensi. Dijumpai korelasi antara kadar glucosa darah dengan hipertensi sistolik. Kebanyakan dari sampel dengan DM dan hipertensi dijumpai pada penduduk dengan usia lanjut. Prevalensi DM dan hipertensi pada penduduk desa Pedawa mungkin lebih banyak disebabkan oleh proses penuaan dan faktor genetik.
PERBANDINGAN VOLUME ALIRAN DARAH FISTULA RADIOCEPHALICA SIDE TO END DANEND TO END Saraswati, Putu Ayu; Semadi, I Nyoman; Widiana, Gde Raka
Medicina Vol 46 No 3 (2015): September 2015
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.988 KB)

Abstract

Hemodialisis merupakan terapi dominan sebagai pengganti fungsi ginjal pada pasien penyakit ginjalkronis. Hemodialisis memerlukan akses vaskular yang baik, dapat bertahan lama dengan komplikasiyang minimal. Fistula radiocephalica merupakan salah satu akses vaskular permanen. Ada empatteknik operasi fistula radiocephalica yaitu side to side, side to end, end to side dan end to end. Teknikterbanyak yang dipakai saat ini adalah side to end dan end to end. Saat ini belum ada data yangmembandingkan volume aliran darah pada kedua teknik tersebut. Penelitian ini adalah uji klinikacak terkontrol buta tunggal. Subjek penelitian adalah pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukanoperasi fistula radiocephalica yang dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama menggunakanteknik side to end dan kelompok kedua menggunakan teknik end to end. Volume aliran darah diukurmenggunakan CDU 4 minggu pasca-operasi. Sampel penelitian ini adalah 60 sampel yang terdiri dari36 (60 %) lelaki dan 24 (40 %) perempuan.Volume aliran darah kelompok side to end adalah 757 ( 389sampai 1125) ml/menit dan kelompok end to end  adalah 854 (534 sampai 1174) ml/menit dan bedavolume aliran darah adalah 97 ml/menit dengan nilai P = 0,074. Komplikasi terjadi pada kelompokside to end sebanyak dua pasien. Beda volume aliran darah pada kedua kelompok tidak bermaknasecara statistik. [MEDICINA 2015;46:141-4].Hemodialysis is the dominant therapy as a replacement for kidney function in chronic kidneydisease patients. Hemodialysis requires good vascular access, can last a long time and minimalcomplications. Radiocephalica fistula is one of the permanent vascular access. There are fourtype of radiocephalica fistula technique: side to side, side to end, end to side, and end to end.Most techniques used today is the side to end and end to end. Currently there is no data thatcompare blood flow volume in both these techniques.This study is single blind randomizedcontrolled trial. Subjects were patients with chronic kidney disease performed radiocephalicafistula surgery divided into two groups. The first group used a technique side to end and thesecond group used a technique end to end. Blood flow volume was measured using Dopplerultrasound 4 weeks postoperatively.The sample was 60 samples consisted from 36 (60%) menand 24 (40%) of women. Blood flow volume group side to end was 757 (389 to 1125) ml / min anda group of end to end was 854 (534 to 1174) ml / min and different volume rate was 97 ml / minwith a value of P = 0.074. Complications occurred in the group side to end by two patients.Bloodflow volume difference in the two groups statistically was not significant. [MEDICINA2015;46:141-4].
BALLOON CATHETER DILATION PADA RINOSINUSITIS KRONIS Tantana, Olivia; Ratnawati, Luh Made
Medicina Vol 44 No 2 (2013): Mei 2013
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.47 KB)

Abstract

Prevalensi rinosinusitis kronis cukup tinggi dan pengobatannya memerlukan biaya besar. Bilapengobatan tidak memuaskan maka tindakan pembedahan merupakan pilihan terbaik. Ballooncatheter dilation merupakan teknik baru untuk penanganan sinusitis. Alat ini dirancang untukmenghasilkan mikrofraktur dan membentuk ulang tulang di sekitar ostium sinus. Teknik ini dapatmengurangi risiko perdarahan dan telah diakui oleh The United Stated Food and Drugs Association.[MEDICINA 2013;44:93-96].
SPONTANEOUS PNEUMOPERITONEUM IN A SEVEN DAY OLD INFANT Luhulima, Franky; Kardana, Made; Artana, IW Dharma; Junara, Putu; Dharmajaya, IM
Medicina Vol 43 No 3 (2012): September 2012
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (526.515 KB)

Abstract

The term pneumoperitoneum is used to describe the presence of free gas  or air within the peritoneal cavity. Spontaneous pneumoperitoneum or “non-surgical” pneumoperitoneum is a pneumoperitoneum. not associated with a perforated viscus. This pneumoperitoneum   is rare at any pediatric age. In the pediatric population, nonsurgical pneumoperitoneum occurs in 1% to 3% of mechanically ventilated infants, depend on the mode of the ventilation. Pneumoperitoneum without gastrointestinal perforation on the other hand is very rare, and this is usually seen in neonates with respiratory distress and on mechanically ventilator or CPAP. We reported a case of spontaneous pneumoperitoneum in a seven day old infant . The infant presented with a sudden abdominal distention and dyspnea. Plain abdominal x-ray showed a radiolucency image in the superior abdomen. In this patient is done the act of a needle aspirations for drainage air in the peritonium. This patient recovered well a[er done such action by pediatric surgical
Hubungan positif fungsi keluarga dan tipe kepribadian terhadap keparahan ketergantungan heroin pada klien Program Terapi Rumatan Metadon “Sandat” RSUP Sanglah Denpasar Murdhana Putere, Sagung Putri Permana Lestari
Medicina Vol 47 No 3 (2016): September 2016
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1647.031 KB)

Abstract

Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) saat ini semakin marak terjadi. Penyalahgunaan ini akhirnya menimbulkan ketergantungan. Ketergantungan dapat menjadi parah tergantung dari faktor risiko yang ada pada seseorang, salah satu contohnya adalah ketergantungan heroin. Keparahan ketergantungan dapat disebabkan karena faktor individu, keluarga dan lingkungan. Faktor keluarga yang mempengaruhi salah satunya adalah fungsi keluarga, sedangkan faktor individu yang mempengaruhi salah satunya adalah tipe kepribadian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan fungsi keluarga dan tipe kepribadian dengan keparahan ketergantungan heroin. Penelitian ini penelitian potong lintang dengan pengambilan sampel secara purposive sampling yang dilakukan di PTRM Sandat RSUP Sanglah Denpasar dengan jumlah sampel sebanyak 60 orang. Seluruh responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan skala fungsi keluarga McMaster Family Assessment Device, WHO-ASSIST dan MMPI 180. Penelitian dilakukan selama 4 minggu sampai jumlah sampel terpenuhi. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS. Dari penelitian ini didapatkan seluruh skala fungsi keluarga yang buruk berhubungan dengan keparahan ketergantungan heroin. Tipe kepribadian psychoticism dan disconstraint berhubungan dengan keparahan ketergantungan heroin. Faktor yang paling berhubungan dengan keparahan ketergantungan heroin adalah psychoticism dengan OR 26,217(p=0,000). Kesimpulan terdapat hubungan antara fungsi keluarga dan tipe kepribadian dengan keparahan ketergantungan heroin. Tipe kepribadian psychoticism lebih berhubungan dengan keparahan ketergantungan heroin. Kata kunci: fungsi keluarga, tipe kepribadian, ketergantungan heroin, terapi metadon.
PERINATAL TUBERCULOSIS WITH MILLIARY PATTERN IN INFANT AGED 28 DAYS Savitri, Dian; Purniti, Putu Siadi; Kardana, Made
Medicina Vol 45 No 3 (2014): September 2014
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.067 KB)

Abstract

Perinatal  tuberculosis  (TB) was a very  rare  case.  Its  clinical manifestations  could mimic bacterialinfection. The clinical course was often fulminant and characterized by dissemination and meningitis.Its mortality was very high, could achieve 100% in untreated patient. We reported a case of infant aged28  days  admitted with  breathlessness,  fever,  and  poor  feeding.  Physical  examination  showedbreathlessness, pale, lethargy, and hepatomegaly. Chest radiograph showed a feature of milliary patternwith fine tubercles in both lung, supported with positive result on gastric aspirates for acid fast bacilli3 days respectively. Gastric aspirate culture for Mycobacterium tuberculosis showed positive result.Patient then diagnosed with perinatal TB with milliary pattern. This condition was accompanied withsevere sepsis and meningitis. Four TB regimens (isoniazid, rifampisin, pirazinamide, and ethambutol),corticosteroid, antibiotics were given. The patient was eventually died after receiving TB therapy for 13days. [MEDICINA 2014;45:208-212].