cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)" : 7 Documents clear
New Face of International Law From Western to Global Construct Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The modern international law, not only imitates, but the substance is truly the European values and traditions. The European nations produce the norm of international law with a clear objective is to divide the world into "selves" (European nations) and "others" (non-European nations). This is exacerbated by European colonialism and imperialism, which allow their values and traditions to become hegemonic norms that ultimately produce the paradigm of "otherness" in international law. Non-European nations are "others", which are considered only as users of the European values. The “otherness” paradigm in international law is resulted from the universal claim of the European values. It is a hegemonic technique. The paper argues that International law should move from the “otherness” to the “togetherness” paradigm. This requires a new approach in the making of international norms, from claim to consent, and now it has led to the global values approach. The paradigm of togetherness requires an inter-civilizational approach, and universality is the keyword. Universal norms should not be put on an abstract level; they need transformation into the particular idioms. Universality is not a matter of claim; it is a respect and acceptance of cultures and values of other nations. International law requires a paradigm shift, from Western to Global Construct.Wajah Baru Hukum Internasional Dari Konstruksi Barat ke Konstruksi GlobalAbstrakHukum internasional modern, tidak hanya meniru, tetapi substansinya sepenuhnya adalah nilai-nilai dan tradisi Eropa. Negara-negara Eropa memproduksi norma hukum internasional dengan tujuan yang jelas, yakni untuk membagi dunia menjadi "selves" (bangsa Eropa) dan "others" (bangsa non-Eropa). Hal ini diperburuk oleh kolonialisme dan imperialisme Eropa, yang memungkinkan nilai-nilai dan tradisi mereka menjadi norma-norma hegemonik yang pada akhirnya menghasilkan paradigma "otherness" (keberlainan) dalam hukum internasional. Negara-negara non-Eropa adalah "others" (liyan) yang dianggap hanya sebagai pengguna nilai-nilai Eropa. Paradigma "otherness” dalam hukum internasional lahir dari klaim universal nilai-nilai bangsa Eropa. Ini adalah teknik hegemonik. Tulisan ini berpendapat bahwa hukum internasional harus berubah dari paradigma "otherness” (keberlainan) ke "togetherness” (kebersamaan). Paradigma ini mensyaratkan pendekatan baru dalam pembuatan norma-norma internasional, dari klaim ke persetujuan (negara), dan saat ini telah mengarah pada pendekatan nilai-nilai global. Paradigma kebersamaan membutuhkan pendekatan antar-peradaban, dan universalitas adalah kata kuncinya. Norma-norma universal tidak boleh diletakkan pada level abstrak; mereka membutuhkan transformasi kedalam idiom-idiom yang lebih detail dan spesifik. Universalitas bukanlah masalah klaim; tetapi merupakan penghormatan dan penerimaan budaya dan nilai-nilai negara lain. Hukum internasional membutuhkan perubahan paradigma, dari konstruksi Barat ke konstruksi global.Kata kunci: hukum internasional, konstruksi barat, konstruksi global.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n1.a3
The Role of the People in the Amendment of the 1945 Constitution Based on Democratic Constitution Making: Future Prospects Muhammad Nur Jamaluddin
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The amendments to the 1945 Constitution allegedly are not in line with the expectations of a democratic constitution. In fact, the role of the people in four amendments to the 1945 Constitution was very limited. The people who were involved in the amendment processes represented limited number of groups. Incidentally, only people with important and dominant powers were involved. The people were also not involved from the beginning of the amendment processes. Therefore, the role of the people in the amendments had not been carried out optimally. The results of the study show that the role of the people directly and actively in the amendment could increase transparency and public trust towards the government. The people are expected to be more responsive, accommodating, aspirational, and participatory to give rise to a match between the will of the people and the wishes of the government in the realization of the ideals of the Indonesian nation. The direct and active role of the people can be realized through conventional media, print media, and electronic media in a structured and systematic manner. It is expected that the people’s role will be able to strengthen the Indonesian constitutional system and economic, political, social, and cultural stability, as well as the defense and security of the Republic of Indonesia. In addition, the direct involvement of the people is expected to be in line with the optimization of the role of the Constitutional Court as the ‘guardian of the constitution’ to maintain the purity of the 1945 Constitution.Peran Rakyat dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Berdasarkan Democratic Constitution Making: Prospek Masa Depan AbstrakPerubahan UUD 1945 yang telah dilakukan disinyalir masih jauh dari ekspektasi suatu pembentukan konstitusi yang demokratis. Faktanya, peran rakyat dalam 4 (empat) kali perubahan UUD 1945 sangatlah terbatas. Rakyat yang terlibat dalam proses amandemen hanya mewakili golongan tertentu saja dan notabene mempunyai kekuatan yang penting dan dominan. Rakyat juga tidak dilibatkan dari awal proses perubahan UUD 1945, sehingga peran rakyat dalam perubahan UUD 1945 secara aktif belum terlaksana secara optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran rakyat secara langsung dan aktif dalam perubahan UUD 1945 dapat meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Rakyat diharapkan lebih responsif, akomodatif, aspiratif dan partisipatif sehingga akan terwujud kesesuaian antara kehendak rakyat dan keinginan pemerintah dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Peran rakyat secara langsung dan aktif dapat diwujudkan melalui media konvensional, media cetak bahkan media elektronik yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Diharapkan dengan peran rakyat ini akan mampu memperkokoh sistem ketatanegaraan Indonesia, stabilitas ekonomi, politik, sosial, dan budaya serta pertahanan dan keamanan NKRI. Sebagai tambahan, pelibatan peran rakyat secara langsung ini diharapkan akan sejalan dengan optimalisasi peran Mahkamah Konstitusi sebagai institusi “pengawal konstitusi” guna tetap menjaga kemurnian UUD 1945.Kata kunci: Democratic Constitution Making, Prospek Masa Depan, UUD NKRI 1945.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n1.a2  
The Implementation of Waqf to Actualize Economic Justice Based on Islamic Law Helza Nova Lita
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Economic justice is one of the objectives of the implementation of Islamic economic system. Waqf is one of the instruments of Islamic economics. It is interesting to study the implementation of economic justice through waqf and how its regulation in Indonesia. This article employed normative juridical method. Based on the Article 22 of the Law Number 41 of 2004 on Waqf, the purpose of waqf is not solely for the purpose of ritual. It can also be used to realize economic prosperity. Based on these provisions, waqf can be managed for the economic empowerment of the people. This is related to the efforts of the improvement of the economic welfare of the people, especially for the weak economic class. According to Islamic teachings, distributive justice is economic justice based on the Holy Quran, Chapter al-Hasyr (59): 7. Waqf has the potential to create the economic balance of society. Because the principle of ownership, according to Islam, regulates that individuals or certain community members are not the only party who control the management of assets. The weak economic class also have the right. It is to avoid economic inequality. Thus, waqf is a solution to actualize economic justice in order to realize public welfare, which is one of Indonesia’s national goals as stated in the Preamble of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.Implementasi Wakaf dalam Mewujudkan Keadilan Ekonomi Menurut Hukum IslamAbstrakKeadilan ekonomi merupakan salah satu tujuan implementasi sistem ekonomi Islam yang tercermin dari mekanisme yang ditetapkan dalam hukum Islam. Wakaf merupakan salah satu instrumen ekonomi Islam. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, bagaimana makna keadilan ekonomi dalam Islam itu sendiri yang diimplementasikan melalui wakaf, serta bagaimana pengaturannya di Indonesia. Metode yang digunakan dalam pembahasan artikel ini adalah yuridis normatif. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, tujuan wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan ibadah ritual semata. Namun juga dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan bidang ekonomi. Berdasarkan ketentuan tersebut, Wakaf dapat dikelola untuk pemberdayaan ekonomi umat. Hal ini sangat terkait dalam upaya  meningkatkan kesejahteraan ekonomi  masyarakat, khususnya untuk kelompok ekonomi masyarakat lemah. Keadilan disributif merupakan keadilan ekonomi menurut ajaran Islam berdasarkan Al-Qurán surat al-Hasyr [59]:7. Melalui wakaf dapat diwujudkan keseimbangan ekonomi masyarakat. Hal ini dikarenakan prinsip kepemilikan menurut Islam, mengatur bahwa pengelolaan harta tidak  hanya dikuasai secara pribadi atau kelompok anggota masyarakat tertentu saja, namun juga oleh kelompok ekonomi lemah agar tidak  terjadi ketimpangan ekonomi yang terlalu tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian wakaf merupakan salah satu solusi untuk mewujudkan keadilan ekonomi guna mewujudkan kesejahteraan umum yang merupakan salah satu tujuan nasional Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD NRI 1945.Kata kunci: Hukum Islam, Implementasi, WakafDOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n1.a1
The Binding Force of the Nuclear Disarmament Obligation upon North Korea and Its Legal Implication under International Law Diajeng Wulan Christianti; Jaka Hananta Rizkullah
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Article VI of the 1968 Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) requires all state parties to disarm nuclear weapon. Following its official withdrawal from NPT in 2003, North Korea maintains to develop its nuclear weapon and conducts several nuclear tests. Moreover, it even proudly declared as a nuclear state in its Constitution's preamble. It also argues that the nuclear weapon developments and tests were conducted within their territory and, currently, North Korea is not bound by any treaty prohibiting such developments and tests. The statement is strongly opposed by the international community, particularly their neighboring states: Japan and South Korea. This article argues that the obligation to disarm nuclear weapon deriving from the NPT still binds North Korea since such obligation has reached the status of customary international law and consequently binds every state unless such state persistently objects the rule from the beginning of its formation. In this case, North Korea has failed to prove itself as a persistent objector due to the fact it used to be a party to the NPT. This article also argues that, according to 2001 ILC Articles, Japan and South Korea still have a proper legal basis to claim for reparation against North Korea despite the fact that they are not specifically affected by North Korea’s conducts.Kekuatan Mengikat dari Kewajiban untuk Melucuti Senjata Nuklir bagi Korea Utara dan Implikasi Hukumnya berdasarkan Hukum Internasional AbstrakPasal VI Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) 1968 mewajibkan semua negara peserta untuk melucuti senjata nuklir. Setelah secara resmi menarik diri dari NPT pada tahun 2003, Korea Utara tetap mengembangkan senjata nuklirnya dan melakukan beberapa uji coba nuklir, bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai negara nuklir yang juga termaktub dalam Pembukaan Konstitusinya. Korea Utara juga menyatakan bahwa tindakan pengembangan senjata nuklirnya dilakukan di wilayahnya sendiri dan saat ini Korea Utara berpandangan bahwa dirinya tidak terikat oleh perjanjian internasional manapun yang melarang tindakan tersebut. Hal tersebut tentunya sangat ditentang oleh masyarakat internasional termasuk Jepang dan Korea Selatan sebagai negara tetangga Korea Utara. Artikel ini menyimpulkan bahwa kewajiban untuk melucuti senjata nuklir masih mengikat Korea Utara karena kewajiban tersebut telah berstatus hukum kebiasaan internasional. Akibatnya, kewajiban ini mengikat semua negara kecuali bagi negara yang terus-menerus menolak aturan tersebut sejak awal pembentukannya.  Korea Utara gagal memenuhi unsur sebagai sebuah negara yang dikecualikan dari kewajiban ini karena pernah menjadi negara pihak dari NPT tersebut. Selanjutnya, artikel ini menyatakan bahwa, berdasarkan ICL Articles 2001, Jepang dan Korea Selatan, memiliki dasar hukum yang memadai untuk menuntut pertanggungjawaban Korea Utara atas perbuatan salah yang dilakukannya sekalipun kedua negara tersebut bukan merupakan pihak yang secara langsung dirugikan oleh tindakan Korea Utara. Kata Kunci: hukum kebiasaan internasional, Korea Utara, perlucutan senjata nuklirDOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n1.a7
Merek Kolektif Sebagai Alternatif Perlindungan Merek Bersama Untuk Mengurangi Tingkat Persaingan Usaha (Studi Merek Dupa Harum Kekeran, Kabupaten Tabanan) A.A.A. Ngurah Sri Rahayu Gorda; Resti Anggreni
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Merek kolektif merupakan merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan atau jasa jenis lainnya. Agar menghindari sengketa merek seperti PT. MADURANA BALI CONFESCTION yang bekerjasama dengan PT. BALILAB untuk memproduksi segala jenis pakaian dengan menggunakan merek BALILAB. Merek BALILAB diklaim hak merek milik CV. BALILAB dengan bukti Sertifikat Merek Nomor : IDM000628603, yang dikeluarkan oleh Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Kemenkumham Republik Indonesia, tertanggal 18 Januari 2016 untuk merek BALILAB atas nama CV. BALILAB. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang diangkat adalah merek kolektif dapat digunakan sebagai alternatif perlindungan merek guna mengurangi persaingan usaha di daerah Kabupaten Tabanan dan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan merek kolektif Dupa Harum Kekeran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris, dengan menggunakan jenis data primer dan data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan adalah Merek kolektif dapat digunakan sebagai alternatif perlindungan merek guna mengurangi persaingan usaha di daerah Kabupaten Tabanan, selain merek kolektif dapat digunakan bersama-sama dan sebagai dasar perlindungan hukum dan dapat sebagai dasar pemasaran secara Bersama-sama produk yang dihasilkan, juga dapat memberikan manfaat bagi seluruh anggota yang terdaftar dalam merek kolektif tersebut. Pemerintah dalam memberikan perlindungan merek kolektif Dupa Harum Kekeran sudah sangat semaksimal mungkin dan sangat memperhatikan betul akan pentingnya perlindungan merek seperti Pemerintah yang sudah memangkas birokrasi pendaftaran merek, dan pendaftaran merek kini sudah bisa menggunakan sistem online penuh. Kata Kunci : Merek Kolektif , Pelindungan Merek, dan Persaingan Usaha 
Direct International Responsibility of Non-Governmental Entities in The Utilization of Outer Space Neni Ruhaeni
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Article VI of the Space Treaty of 1967 defines non-governmental entities as legal concept. However, their responsibility in space activities is not defined comprehensively. The Treaty provides that the activity of non-governmental entities shall require authorization and continuing supervision from the appropriate state party to the Treaty. It suggests that non-governmental entities essentially are not the parties with direct international responsibility for their space activities. In other words, they have indirect international responsibility. On the other hand, commercialization and privatization of outer space have taken place intensively in the last two decades. It designs non-governmental entities as main actors in the exploration of outer space. The fact that non-governmental entities only have indirect international responsibility may lead to create difficult and complicated mechanisms, especially if the non-governmental entities are Multinational Corporations (MNCs). This study uses normative legal research, which is based primarily on the secondary data from library research relate to the responsibility of non-governmental entities for their activities in outer space. This study concluded that non-governmental entities should bear direct international responsibility following the current development in international law, of which, non-state legal subjects such as individual have a direct international responsibility for violations of international law they have committed.Tanggung Jawab Internasional Langsung bagi Entitas Non-Pemerintah dalam Pemanfaatan Ruang Angkasa Abstrak: Entitas non-pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal VI the Outer Space Treaty 1967 (the OST) adalah suatu konsep hukum yang belum memiliki pengertian yang jelas, terutama yang berkaitan dengan tanggung jawabnya dalam kegiatan keruangangkasaan. Menurut the OST, kegiatan keruangangkasaan yang dilakukan oleh entitas non-pemerintah memerlukan otorisasi dan supervisi berkelanjutan dari negara peserta the OST. Hal ini menunjukkan bahwa entitas non-pemerintah pada dasarnya bukan pihak dalam the OST yang memiliki tanggung jawab internasional langsung untuk kegiatan keruangangkasaan yang dilakukannya. Dengan kata lain, tanggung jawab entitas non-pemerintah dalam kegiatan keruangangkasaan bersifat tidak langsung (indirect responsibility). Sementara itu, komersialisasi dan privatisasi ruang angkasa yang terjadi secara intensif dalam dua dekade terakhir telah menjadikan entitas non-pemerintah sebagai aktor utama dalam pemanfaatan ruang angkasa. Dengan demikian, penerapan indirect responsibility kepada entitas non-pemerintah akan menimbulkan permasalahan dalam mekanisme penerapannya, terutama ketika entitas non-pemerintah adalah sebuah Perusahaan Multinasional (MNC). Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang mendasarkan kepada data sekunder mengenai tanggung jawab entitas non-pemerintah dalam kegiatan keruangangkasaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa entitas non-pemerintah dapat bertanggung jawab secara langsung sesuai dengan perkembangan hukum internasional saat ini dimana subyek hukum bukan negara seperti individu memiliki tanggung jawab internasional langsung terhadap pelanggaran hukum internasional yang dilakukannya. Kata kunci: entitas non-pemerintah, ruang angkasa, tanggung jawab internasional langsungDOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n1.a6 
The Optimization of Geographical Indication Protection in The Realization of National Self-Sufficiency Mieke Yustia Sari; Nuzulia Kumalasari; Sigit Nugroho; Yatini Yatini
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Any products of origin with their reputation, quality, and characteristics provide various benefits for their producers and consumers. The producers can have economic, ecological, socio-cultural, and legal benefits. The consumers can hold product quality and guarantee of origin, as well as legal guarantee for counterfeiting product. The study focused on the optimization of economic benefits in the protection of Geographical Indication. Producers do not immediately receive these benefits because they are related to the starting point for registration of different geographical indications among products. The purpose of this study is to formulate a strategy to maximize the benefits of geographical indications for producers, especially in the economic field. The study employed socio-legal research method. The primary data consisted of interviews; and the secondary data was composed of legislation, literature, and proceedings. The study concluded that the improvement of national welfare and self-sufficiency could be enhanced by arrangement of production system, control method, compliance to the document of geographical indication, and guidance and supervision of the Regional Government.Optimalisasi Perlindungan Indikasi Geografis dalam Mewujudkan Kemandirian BangsaAbstrakBarang berbasis wilayah dan/atau produk asal yang memiliki reputasi, kualitas dan karakteristik memiliki berbagai manfaat baik bagi produsen maupun konsumen. Manfaat bagi produsen termasuk manfaat ekonomi, ekologi, sosial-budaya dan hukum, sementara manfaat bagi konsumen termasuk kualitas produk dan jaminan asal serta jaminan hukum untuk produk pemalsuan. Fokus utama dari penelitian ini adalah optimalisasi manfaat ekonomi dalam perlindungan Indikasi Geografis. Manfaat ini tidak langsung dirasakan oleh produsen karena terkait dengan maksud dan tujuan pendaftaran indikasi geografis yang berbeda antar produk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi untuk memaksimalkan manfaat indikasi geografis bagi produsen,  serta mendalami konteks yang mempengaruhi  pelaksanaan hukum terkait manfaat indikasi geografis pasca pendaftaran.  Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian sosial-hukum dengan data primer melalui wawancara dan data sekunder yaitu undang-undang, literatur, prosiding. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perlu mengatur sistem produksi, metode pengendalian, kepatuhan sesuai dengan dokumen indikasi geografis dan bimbingan serta pengawasan Pemerintah Daerah sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan kemandirian bangsa.Kata kunci: indikasi geografis, kemakmuran nasional, manfaat ekonomiDOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n1.a5

Page 1 of 1 | Total Record : 7


Filter by Year

2020 2020


Filter By Issues
All Issue Vol 12, No 1 (2025): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 3 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 2 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 1 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 3 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 2 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 1 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 3 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 2 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 1 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 3 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 2 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 1 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 2 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 3 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 2 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 1 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 3 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) More Issue