cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Sari Pediatri
ISSN : 08547823     EISSN : 23385030     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 12 Documents
Search results for , issue "Vol 13, No 4 (2011)" : 12 Documents clear
Hubungan Kadar C-Reactive Proteindan Kadar Feritin Serum pada Gizi Kurang Usia 7-9 Tahun Endang Dewi Lestari; Fadhilah Tia Nur; Harsono Salimo
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.275-79

Abstract

Latar belakang. Kekurangan mikronutrien masih banyak terjadi di negara berkembang. Protein fase akut meningkat secara signifikan selama proses inflamasi akut.Tujuan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kadar C-reactive protein (CRP) dengan kadar feritin serum pada anak dengan gizi kurang usia 7-9 tahun di sekolah dasar di Surakarta.Metode. Penelitian uji potong lintang dilakukan di 10 SD di Surakarta pada 217 anak gizi kurang usia 7-9 tahun. Hubungan antara kadar CRP dan kadar feritin serum dinilai menggunakan analisis regresi logistik. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 17.0.Hasil.Analisis regresi logistik menunjukkan terdapat hubungan secara signifikan antara rata-rata kadar feritin serum dengan kadar CRP>5 mg/L (OR=6,38, p= 0,006, 95% CI 1,7–23,9).Kesimpulan. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar CRP dengan kadar feritin serum.
Kebutuhan Transfusi Darah Pasca-Splenektomi pada Thalassemia Mayor Murti Andriastuti; Teny Tjitra Sari; Pustika Amalia Wahidiyat; Siti Ayu Putriasih
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.244-9

Abstract

Latar belakang. Transfusi darah merupakan pengobatan satu-satunya bagi pasien thalassemia guna mempertahankan kadar hemoglobin darah. Salah satu cara mengurangi kebutuhan darah adalah dengan melakukan splenektomi. Tujuan.Membandingkan kebutuhan transfusi pra-splenektomi dan pasca-splenektomi. Metode. Studi deskriptif terhadap pasien thalassemia βdan thalassemia-β/HbE yang dilakukan splenektomi di Pusat Thalassemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo tahun 2006-2009. Data yang dikumpulkan adalah kadar Hb pra-transfusi, jumlah kebutuhan darah, dan frekuensi transfusi darah dalam rentang setahun sebelum dan setahun setelah splenektomi, serta indikasi splenektomi. Didapat 98 pasien pasca- splenektomi tetapi 3 pasien dikeluarkan karena data tidak lengkap. Hasil. Subjek penelitian 98 pasien pasca- splenektomi terdiri 47 lelaki dan 51 perempuan. Rerata jarak waktu pertama kali transfusi darah sampai dilakukan splenektomi adalah 10 (SB 5,0) tahun, kisaran 8 bulan-23 tahun. Rerata ukuran limpa saat splenektomi adalah SchufnerVI, kisaran SchufnerII-VIII. Terjadi peningkatan rerata Hb pra-transfusi pra-splenektomi sebesar 6,2 (SB 0,9) g/dL, rentang 4,4-8,6 g/dL, pasca-splenektomi meningkat menjadi 7,9 (SB 0,8) g/dL, kisaran 5,6-10 g/dL. Rerata jumlah kebutuhan transfusi darah pra-splenektomi sebesar 357,2 (SB 101,2) mL/kgBB/tahun, pasca-splenektomi menurun menjadi 131,1 (SB 57,5) mL/kgBB/tahun. Rerata frekuensi transfusi darah pra-splenektomi 15 (SB 3,7) kali per tahun, kisaran 6-24 kali per tahun, pasca-splenektomi menjadi 8 (SB 3) kali per tahun, kisaran 0-14 kali per tahun. Indikasi splenektomi adalah hipersplenisme dini (53 subjek) dan hipersplenisme lanjut (45 subjek). Rerata Hb pra-transfusi pasca-splenektomi subjek hipersplenisme dini (8,3 g/dL) lebih tinggi dibandingkan subjek hipersplenisme lanjut (7,6 g/dL) (p=0,000). Terdapat perbedaan bermakna jumlah kebutuhan darah pasca-splenektomi thalassemia-β/HbE (108,6 mL/kgBB/tahun) dan thalassemia-β(144,1 mL/kgBB/tahun) (p=0,001). Frekuensi transfusi darah thalassemia-β/HbE pasca-splenektomi (7x/tahun) lebih rendah daripada thalassemia-β(9x/tahun) (p=0,011). Tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata Hb pra-transfusi pasca-splenektomi antara thalassemia-βdengan thalassemia-β/HbE (p=0,132).Kesimpulan.Terdapat perbedaan kebutuhan transfusi antara pra-splenektomi dan pasca splenektomi berdasarkan jenis hipersplenisme dan genotip pasien. Kebutuhan transfusi pasca splenektomi lebih sedikit apabila splenektomi dianjurkan pada keadaan hipersplenisme dini dan kasus thalassemia β/HbE
Hubungan Derajat Asidosis dengan Kadar Ureum dan Kreatinin Bayi Asfiksia Heru Muryawan; Adhie Nur Radityo
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.239-43

Abstract

Latar belakang. Asfiksia neonatorum merupakan masalah kesehatan pada bayi baru lahir yang dapat menyebabkan asidosis. Selanjutnya asidosis metabolik menjadi salah satu penyebab gangguan metabolisme sel, ditandai dengan penurunan pH, pO2, base excess,dan peningkatan pCO2. Parameter tersebut dapat digunakan untuk mengetahui keadaan hipoksia pada bayi. Salah satu gangguan fungsi organ adalah penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan ureum dan kreatinin.Tujuan. Membuktikan hubungan antara derajat asidosis metabolik pada bayi asfiksia dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.Metode. Penelitian kohort prospektif pada bayi baru lahir dengan asfiksia di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan Januari-Desember 2010. Derajat asidosis ditentukan berdasarkan kadar pH dan base excess(BE) ; pH 7,2-7,29 asidosis ringan, sedangkan pH <7,2 asidosis berat.Penilaian ureum dan kreatinin dilakukan pada hari keempat kehidupan. Terjadi peningkatan kadar ureum dan kreatinin apabila kadar ureum >20 mg/dL, kreatinin >1mg/dL.Data dianalisis dengan uji chi-square, tingkat kemaknaan secara statistik, apabila p≤0,05. Hasil. Subjek 63 neonatus, 32 menderita asidosis berat, dan 31 asidosis ringan. Neonatus dengan asidosis berat pada hari keempat rerata kadar ureum 26,69 (±11,8) mg/dL dibanding kelompok asidosis ringan 27,06 (±12,9) mg/dL, p=0,14. Kreatinin kelompok asidosis berat 1,09 (±0,5) mg/dL berbeda bermakna (p=0,03) dibandingkan kreatinin pada kelompok asidosis ringan 0,89 (±0,5) mg/dL. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat asidosis dengan peningkatan kadar ureum (p=0,87) dan kreatinin (p=0,08) pada hari keempat kehidupan.Kesimpulan.Derajat asidosis tidak berhubungan dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin pada neonatus usia empat hari.
Karakteristik Asma pada Pasien Anak yang Rawat Inap Di RS Prof.R.D Kandouw Malalayang, Manado Audrey M. I. Wahani
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.280-4

Abstract

Latar belakang. Asma merupakan salah satu penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak dengan angka rawat inap yang tinggi. Diagnosis masih sulit ditegakkan karena gambaran klinis asma yang bervariasi.Tujuan.Mengetahui karakteristik pasien asma yang dirawat inap di BLU. RSU. Prof. Dr. R.D. Kandou Manado sejak Januari 2007 sampai dengan Desember 2008.Metode.Penelitian retrospektif di Bagian Anak BLU. RSU. Prof. Dr. R.D. Kandou, Manado sejak Januari 2007 sampai dengan Desember 2008. Data diambil dari catatan rekam medik pasien anak yang dirawat inap dengan asma. Dicatat pada formulir untuk dipisahkan berdasarkan data demografik, diagnosis klinis dan pemeriksaan penunjang.Hasil. Didapatkan 70 pasien yang didiagnosis dengan asma berdasarkan data rekam medik dalam periode yang diteliti, 55 pasien memiliki data yang lengkap, terdiri atas 29 (52%) laki-laki, dengan usia rata-rata 5,4 tahun. Status gizi bervariasi, malnutrisi (29,1%), gizi baik (63,6%) dan gizi lebih (7,3%). Lama perawatan rata-rata 4,0 hari. Hasil penemuan laboratorium menunjukkan 80% terdapat leukositosis. Diagnosis terbanyak adalah asma episodik sedang (78,2%)Kesimpulan. Berdasarkan penelitian ini, asma terbanyak pada anak laki-laki. Status gizi pada umumnya baik dan terdapat leukositosis pada kebanyakan hasil pemeriksaan laboratorium. Asma episodik sedang adalah diagnosis yang paling banyak dijumpai.
Perdarahan Intrakranial pada Hemofilia: Karakteristik, Tata Laksana, dan Luaran Novie Amelia C; Djajadiman Gatot; Endang Windiastuti; Setyo Handryastuti
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.250-6

Abstract

Latar belakang. Perdarahan intrakranial merupakan salah satu penyebab mortalitas tertinggi pada hemofilia dan morbiditas berupa gangguan neurologis. Tujuan.Mengetahui gambaran klinis, tata laksana dan luaran pasien hemofilia anak yang mengalami perdarahan intrakranial di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta selama periode 2007-2010.Metode. Studi retrospektif pasien hemofilia berusia >1 bulan hingga 18 tahun yang dirawat dengan diagnosis perdarahan intrakranial di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM dalam kurun waktu 1 Januari 2007 – 31 Desember 2010. Data dikumpulkan dari Registrasi Hemofilia Divisi Hematologi-Onkologi dan rekam medik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, Jakarta.Hasil. Selama kurun waktu penelitian, dari 154 pasien hemofilia anak (usia <18 tahun) yang terdaftar di Registrasi Hemofilia Divisi Hematologi-Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, terdapat 13 episode perdarahan intrakranial yang dialami oleh 11 pasien (7,1%). Pasien adalah hemofilia A dengan median usia 6 tahun (3 - 15 tahun). Delapan dari 13 episode perdarahan intrakranial didahului oleh trauma kepala. Manifestasi klinis tersering adalah nyeri kepala (7), muntah (6), kejang (4), penurunan kesadaran (3), iritabilitas (2), paresis motorik (2), paresis saraf kranial (2) dan vulnus laceratumdi kepala (1). Perdarahan terbanyak adalah pada lokasi subdural (7). Median durasi pemberian faktor VIII adalah 10,5 hari (7-16 hari). Sembilan pasien membaik tanpa komplikasi, satu pasien mengalami epilepsi dan satu pasien meninggal dunia.Kesimpulan. Angka kejadian perdarahan intrakranial pada hemofilia di RSCM 7,1%. Ketersediaan faktor pembekuan untuk replacement therapydan kerjasama tim multidisiplin sangat penting untuk memperbaiki luaran pasien hemofilia yang mengalami perdarahan intrakranial.
Profil Pertumbuhan, Hemoglobin Pre-transfusi, Kadar Feritin, dan Usia Tulang Anak pada Thalassemia Mayor Arimbawa Made; Ariawati Ketut
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.109 KB) | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.299-304

Abstract

Latar belakang. Thalassemia adalah kelainan bawaan sintesis hemoglobin, dan salah satu penyakit monogenetik paling banyak dijumpai. Di Indonesia diperkirakan akan lahir 2500 anak dengan thalassemia mayor setiap tahunnya. Berkat kemajuan penanganan medis, sebagian besar pasien akan mengalami pertumbuhan normal pada masa anak-anak namun selanjutnya akan terjadi gangguan pertumbuhan dan keterlambatan pubertas secara signifikan.Tujuan. Mengetahui gambaran tinggi badan, kecepatan tumbuh, usia tulang, kadar hemoglobin pretranfusi, dan kadar feritin serum pasien thalassemia.Metode. Laporan serial kasus pada anak yang menjalani rawat inap di Sub-bagian Hematologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dari bulan Desember 2010-Februari 2011. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel.Hasil. Limabelas subyek thalassemia mayor, berumur antara 1,9 tahun – 13,5 tahun, 7 laki-laki dan 8 perempuan. Dua anak berumur kurang dari 3 tahun dan 7 anak telah memasuki usia pubertas. Semua pasien telah menjalani terapi kelasi besi deferioksamin namun kualitasnya tidak memadai. Perawakan pendek ditemukan pada 4 anak (26%), semua subjek mempunyai kecepatan tumbuh <5 cm/tahun. Secara klinis satu orang dikategorikan sebagai pubertas terlambat. Kadar hemoglobin rata-rata pre-transfusi dapat dipertahankan ≥8 mg/dl (10), sisanya (5) memiliki hemoglobin rata-rata di bawah 8 mg/dl. Empat anak dengan feritin serum di atas 3000 ng/ml, dan semua subjek mempunyai perawakan pendek. Pada evaluasi radiologi manus sinistra 5 anak memiliki usia tulang terlambat. Kesimpulan. Perawakan pendek didapatkan pada 26% kasus dan semua subjek telah memasuki usia pubertas. Semua subjek mempunyai perawakan pendek dan memiliki kadar feritin serum >3000 ng/ml. Sari Pediatri2011;13(4):299-304.
Bula Hemoragik dengan Komplikasi Perforasi Gaster Sebagai Manifestasi Klinis Purpura Henoch-Schonlein yang Tidak Biasa pada Anak Budi Setiabudiawan; Reni Ghrahani; Gartika Sapartini; Nur Melani Sari; Herry Garna
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.257-64

Abstract

Purpura Henoch-Schonlein (PHS) merupakan vaskulitis pada pembuluh darah kecil tersering terjadi pada anak. Penyakit ini ditandai dengan purpura palpablenontrombositopenia disertai salah satu gejala nyeri perut, artritis atau atralgia, glomerulonefritis, dan hasil biopsi jaringan berupa gambaran vaskulitis leukositoklastik. Bula hemoragik disertai edema jaringan subkutan merupakan gambaran yang tidak umum pada PHS dan sering terlewatkan. Manifestasi klinis vesikobulosa PHS sering ditemukan pada pasien dewasa, 16%–60% kasus, sedangkan pada anak kurang dari 2% kasus. Walaupun PHS secara tipikal merupakan penyakit selflimiting, tetapi komplikasi serius dapat terjadi. Perforasi gaster sangat jarang dilaporkan sebagai komplikasi PHS. Kami melaporkan 2 kasus PHS dengan manifestasi kulit yang berat, yaitu timbulnya bula hemoragik disertai dengan perforasi gaster. Pada kedua kasus dilakukan tindakan operatif dengan keluaran yang berbeda, pada kasus pertama pasien dipulangkan dalam kondisi baik pascaoperasi setelah dilakukan laparatomi eksplorasi, walaupun masih menderita nefritis. Sedangkan pasien kedua meninggal setelah tindakan diagnostic peritoneal lavagedisebabkan sepsis berat. Simpulan, bula hemoragik dapat dipertimbangkan sebagai prediktor komplikasi perforasi gaster pada PHS yang akan meningkatkan kewaspadaan dalam tata laksana PHS
Profil Diare di Ruang Rawat Inap Anak Sulaiman Yusuf
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.616 KB) | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.265-70

Abstract

Latar belakang. Data tentang profil pasien diare pada anak di Rumah Sakit - Rumah Sakit pusat rujukan belum lengkap termasuk di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh. Tujuan. Mengetahui profil pasien diare di ruang rawat inap anak RSUDZA Banda Aceh.Metode. Studi retrospektif dilakukan pada pasien diare di ruang rawat inap anak RSUDZA Banda Aceh, tanggal 1 Juli 2009 s/d 30 Juni 2010. Pencatatan dilakukan tentang umur, jenis kelamin, jenis diare, derajat dehidrasi, status gizi, penyakit penyerta, dan lama rawatan kemudian disajikan secara deskriptif.Hasil.Jumlah pasien rawat terlama periode penelitian 1279 anak, sedangkan pasien diare 104 anak (8,1%). Proporsi diare berdasarkan umur yaitu 1 bulan - <2 tahun 73,1%, 2 - <5 tahun 18,3%, dan 5 - 16 tahun 8,6%. Jenis diare yaitu, diare akut 80,8%, diare melanjut 12,5% dan diare persisten 6,7%. Derajat dehidrasi yaitu, tanpa dehidrasi 26%, dehidrasi ringan-sedang 62,5%, dan dehidrasi berat 11,5%. Status gizi yaitu, obesitas 5,8%, gizi lebih 2,9%, normal 44,2%, gizi kurang 38,5%, dan gizi buruk 8,6%. Pasien diare disertai penyakit penyerta 55,8% yaitu gizi kurang 68,9%, gizi buruk 15,5%, bronkopneumonia 6,9%, tonsilofaringitis akut 3,5%, kejang demam kompleks 3,5%, dan varisela 1,7%. Lama rawatan 90,4% kurang dari 5 hari. Kesimpulan. Kelompok umur terbanyak pasien diare < 2 tahun, diare persisten 6,7%, diare dengan dehidrasi berat 11,5%, dan lama rawat ≥5 hari 9,6%, serta penyakit penyerta terbanyak adalah gizi kurang dan buruk, serta bronkopneumonia.
Kejadian Meningitis Bakterial pada Anak usia 6-18 bulan yang Menderita Kejang Demam Pertama Anggraini Alam
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (216.509 KB) | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.293-8

Abstract

Latar belakang. Kebijakan melakukan pungsi lumbal pada anak yang menderita kejang demam pertama sudah di tinggal kan di negara maju seiring dengan penurunan kejadian meningitis bakterial sebagai keberhasilan imunisasi terhadap Haemophilus influenzaetipe B (Hib) dan Streptococcus pneumonia.Namun cakupan kedua jenis imunisasi tersebut di negara berkembang masih sangat rendah, sehingga kebijakan melakukan prosedur pungsi lumbal pada penderita kejang demam pertama masih perlu dipertimbangkan. Tujuan.Mengetahui kejadian meningitis bakterial pada pasien yang mengalami kejang demam pertama pada usia 6-18 bulan. Metode.Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang dilaksanakan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, dari 1 November 2007 sampai dengan 31 Desember 2010. Subyek penelitian adalah anak usia 6–18 bulan yang mengalami kejang demam pertama. Semua subyek dilakukan pungsi lumbal, diagnosis meningitis bakterial ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan likuor cerebrospinal (LCS) adalah jumlah sel >7/mm3, perbandingan kadar gula dengan serum <0,4; protein > 80 mg/dL, apus Gram ditemukan bakteri atau hasil biakan positif. Hasil.Di antara 183 subyek penelitian, 72 (39,3%) pasien menderita meningitis bakterial yang terutama ditemukan pada kelompok umur 6–12. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok meningitis dan bukan, yaitu lama kejang ≥15 menit (p=0,001), frekuensi kejang/24 jam (p=0,001), penonjolan ubun-ubun besar (p=0,001), keluhan muntah, malas minum (p=0,001), serta pernah mendapat antibiotik sebelumnya (p=0,001). Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa lama kejang ≥15 menit merupakan faktor utama yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian meningitis bakterialis (OR 15,84, IK95% 4,91–51,11, p=0,001). Kesimpulan.Kejadian meningitis bakterial pada kejang demam pertama usia 6–18 bulan masih cukup tinggi terutama pada usia 6–12 bulan. Lama kejang ≥15 menit secara bermakna berhubungan dengan kejadian meningitis bakterial. Disarankan pemeriksaan pungsi lumbal tetap harus dilakukan pada setiap anak usia kurang dari 18 bulan yang menderita kejang demam pertama terutama apabila mengalami kejang lebih dari 15 menit.
Perbedaan Kebutuhan Transfusi Darah Selama Fase Induksi pada Leukemia Limfoblastik Akut Yetty M Nency
Sari Pediatri Vol 13, No 4 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.256 KB) | DOI: 10.14238/sp13.4.2011.271-4

Abstract

Latar belakang. Terapi transfusi adalah salah satu terapi kunci dalam pengelolaan kanker dan penyakit darah pada anak. Hanya sedikit laporan tentang kuantitatif aspek transfusi sel darah merah dan trombosit pada penyakit leukemia limfoblastik akut (LLA). Fase induksi sangat berbahaya pada terapi LLA, karena sumsum tulang mengalami supresi yang diakibatkan oleh kemoterapi intensif. Fase induksi meliputi pemberian obat-obat methotrexate, vincristine, L-asp, daunorubicin, dan kortikosteroid selama 6 minggu. Protokol Indonesia 2006 terdiri dari 3 fase (induksi, konsolidasi, pemeliharaan) pada kelompok risiko standar (standard risk/SR) dan ditambah fase re-induksi untuk kelompok risiko tinggi (high risk/HR).Kuantitas transfusi dikaitkan dengan masalah efek samping dan biaya.Tujuan. Menilai perbedaan kebutuhan transfusi darah pasien LLA risiko standar dan tinggi yang diterapi dengan Protokol Indonesia 2006. Metode. Studi retrospektif dilakukan selama bulan Juli 2006 sampai Desember 2010 tentang kebutuhan transfusi selama fase induksi pada pasien baru LLA yang mendapat terapi dengan Protokol Indonesia 2006 di RS Dr Kariadi Semarang. Pasien diklasifikasikan menjadi kelompok risiko standar dan tinggi menurut kriteria NCI. Dibandingkan jumlah transfusi packed red cell(PRC) dan thrombocyte concentrate(TC) per luas permukaan tubuh (basal surface area/BSA).Analisis statistik menggunakan chi square(X2).Hasil. Subyek 160 pasien, namun hanya 119 (74,3%) pasien yang dapat dievaluasi. Perbandingan kelompok SR:HR 59,7:40,3. Rerata BSA pada kelumpok SR dan HR berturut turut 0,66 (SD±0,19)m2dan 0,77/m2 (SD±0,22), p<0,001. Selama fase induksi didapatkan rerata pemakaian PRC per pasien pada kelompok SR dan HR berturut turut 530 ml dan 420ml (p=0,79), pada TC 13 dan 11 unit (p= 0,19).Rasio penggunaan komponen PRC/BSA berturut turut untuk SR: HR 843:543 ml/m2untuk komponen TC 21:15 unit/m2.Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kebutuhan kelompok risiko standar dan tinggi terhadap kebutuhan transfusi komponen darah PRC dan TC selama fase induksi.

Page 1 of 2 | Total Record : 12


Filter by Year

2011 2011


Filter By Issues
All Issue Vol 27, No 3 (2025) Vol 27, No 2 (2025) Vol 27, No 1 (2025) Vol 26, No 6 (2025) Vol 26, No 5 (2025) Vol 26, No 4 (2024) Vol 26, No 3 (2024) Vol 26, No 2 (2024) Vol 26, No 1 (2024) Vol 25, No 6 (2024) Vol 25, No 5 (2024) Vol 25, No 4 (2023) Vol 25, No 3 (2023) Vol 25, No 2 (2023) Vol 25, No 1 (2023) Vol 24, No 6 (2023) Vol 24, No 5 (2023) Vol 24, No 4 (2022) Vol 24, No 3 (2022) Vol 24, No 2 (2022) Vol 24, No 1 (2022) Vol 23, No 6 (2022) Vol 23, No 5 (2022) Vol 23, No 4 (2021) Vol 23, No 3 (2021) Vol 23, No 2 (2021) Vol 23, No 1 (2021) Vol 22, No 6 (2021) Vol 22, No 5 (2021) Vol 22, No 4 (2020) Vol 22, No 3 (2020) Vol 22, No 2 (2020) Vol 22, No 1 (2020) Vol 21, No 6 (2020) Vol 21, No 5 (2020) Vol 21, No 4 (2019) Vol 21, No 3 (2019) Vol 21, No 2 (2019) Vol 21, No 1 (2019) Vol 20, No 6 (2019) Vol 20, No 5 (2019) Vol 20, No 4 (2018) Vol 20, No 3 (2018) Vol 20, No 2 (2018) Vol 20, No 1 (2018) Vol 19, No 6 (2018) Vol 19, No 5 (2018) Vol 19, No 4 (2017) Vol 19, No 3 (2017) Vol 19, No 2 (2017) Vol 19, No 1 (2017) Vol 18, No 6 (2017) Vol 18, No 5 (2017) Vol 18, No 4 (2016) Vol 18, No 3 (2016) Vol 18, No 2 (2016) Vol 18, No 1 (2016) Vol 17, No 6 (2016) Vol 17, No 5 (2016) Vol 17, No 4 (2015) Vol 17, No 3 (2015) Vol 17, No 2 (2015) Vol 17, No 1 (2015) Vol 16, No 6 (2015) Vol 16, No 5 (2015) Vol 16, No 4 (2014) Vol 16, No 3 (2014) Vol 16, No 2 (2014) Vol 16, No 1 (2014) Vol 15, No 6 (2014) Vol 15, No 5 (2014) Vol 15, No 4 (2013) Vol 15, No 3 (2013) Vol 15, No 2 (2013) Vol 15, No 1 (2013) Vol 14, No 6 (2013) Vol 14, No 5 (2013) Vol 14, No 4 (2012) Vol 14, No 3 (2012) Vol 14, No 2 (2012) Vol 14, No 1 (2012) Vol 13, No 6 (2012) Vol 13, No 5 (2012) Vol 13, No 4 (2011) Vol 13, No 3 (2011) Vol 13, No 2 (2011) Vol 13, No 1 (2011) Vol 12, No 6 (2011) Vol 12, No 5 (2011) Vol 12, No 4 (2010) Vol 12, No 3 (2010) Vol 12, No 2 (2010) Vol 12, No 1 (2010) Vol 11, No 6 (2010) Vol 11, No 5 (2010) Vol 11, No 4 (2009) Vol 11, No 3 (2009) Vol 11, No 2 (2009) Vol 11, No 1 (2009) Vol 10, No 6 (2009) Vol 10, No 5 (2009) Vol 10, No 4 (2008) Vol 10, No 3 (2008) Vol 10, No 2 (2008) Vol 10, No 1 (2008) Vol 9, No 6 (2008) Vol 9, No 5 (2008) Vol 9, No 4 (2007) Vol 9, No 3 (2007) Vol 9, No 2 (2007) Vol 9, No 1 (2007) Vol 8, No 4 (2007) Vol 8, No 3 (2006) Vol 8, No 2 (2006) Vol 8, No 1 (2006) Vol 7, No 4 (2006) Vol 7, No 3 (2005) Vol 7, No 2 (2005) Vol 7, No 1 (2005) Vol 6, No 4 (2005) Vol 6, No 3 (2004) Vol 6, No 2 (2004) Vol 6, No 1 (2004) Vol 5, No 4 (2004) Vol 5, No 3 (2003) Vol 5, No 2 (2003) Vol 5, No 1 (2003) Vol 4, No 4 (2003) Vol 4, No 3 (2002) Vol 4, No 2 (2002) Vol 4, No 1 (2002) Vol 3, No 4 (2002) Vol 3, No 3 (2001) Vol 3, No 2 (2001) Vol 3, No 1 (2001) Vol 2, No 4 (2001) Vol 2, No 3 (2000) Vol 2, No 2 (2000) Vol 2, No 1 (2000) More Issue