Sukmana, Sobar
Fakultas Hukum Universitas Pakuan Jl. Pakuan No. 1 Bogor 16143

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

PERJANJIAN ASEAN DAN CHINA DALAM PEMBENTUKAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA ASEAN-CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) (Tinjauan terhadap Pasal 2 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1986) Sobar Sukmana; Tuti Susilawati
PALAR (Pakuan Law review) Vol 8, No 1 (2022): Volume 8, Nomor 1 Januari-Maret 2022
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1312.723 KB) | DOI: 10.33751/palar.v8i1.4775

Abstract

ABSTRAK Subjek hukum internasional adalah pihak-pihak pembawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan internasional. Menurut Martin Dixon ”a body or entity which is capable of possessing and exercising rights and duties under international law. Negara adalah subjek hukum yang paling utama, terpenting dan memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek hukum internasional dan memiliki apa yang tidak dimiliki subjek lainnya yaitu sovereignty (kedaulatan). Organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internasional oleh dua negara atau lebih berisi fungsi, tujuan, kewenangan, asas, struktur organisasi dan memiliki sekretariat tetap. Republik Rakyat China sebagai subjek hukum internasional adalah sebuah negara yang terletak di Asia Timur, memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia (sekitar1,4 milyar jiwa) dan luas daratan 9,59 juta kilometer persegi, merupakan negara ke 3 terbesar didunia. Asean sebagai organisasi internasional regional di Asia Tenggara didirikan berdasarkan deklarasi Bangkok 1967 dan sejak tahun 2007 Asean telah memiliki Piagam Asean (Asean Charter 2007). Asean sebagai organisasi internasional regional merupakan subyek hukum internasional dengan sepuluh negara anggota. Kata Kunci : Asean, China, Subjek Hukum Internasional, Free Trade Area.  ABSTRAK The subjects of international law are parties who carry legal rights and obligations in international relations. According to Martin Dixon, "a body or entity which is capable of possessing and exercising rights and duties under international law. The state is the most important, most important subject of law and has the greatest authority as a subject of international law and has what other subjects do not have, namely sovereignty. An international organization as a subject of international law is an organization formed by an international agreement by two or more countries containing the functions, objectives, authorities, principles, organizational structure and has a permanent secretariat. The People's Republic of China as a subject of international law is a country located in East Asia, has the largest population in the world (about 1.4 billion people) and a land area of 9.59 million square kilometers, is the 3rd largest country in the world. Asean as a regional international organization in Southeast Asia was founded based on the 1967 Bangkok declaration and since 2007 Asean has had the Asean Charter (Asean Charter 2007). Asean as a regional international organization is a subject of international law with ten member countries. Keywords: Asean, China, International Law Subject, Free Trade Area.
PERJANJIAN NEGARA-NEGARA ASEAN DALAM PEMBENTUKAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN (ASEAN FREE TRADE AREA) Sobar Sukmana
PALAR (Pakuan Law review) Vol 5, No 2 (2019): Volume 5 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1026.676 KB) | DOI: 10.33751/palar.v5i2.1188

Abstract

ABSTRAKKawasan Perdagangan Bebas Asean (Asean Free Trade Area) sudah menjadi keputusan dan ketetapan yang harus dihadapi semua negara Asean. Dengan adanya bea masuk impor barang 0 %, maka harga produk menjadi kompetitif di tingkat konsumen antar negara anggota Asean. Perlu adanya sosialisasi yang terus menerus dan berkesinambungan,  sinergitas seluruh elemen bangsa terutama pemerintah dan para pelaku usaha harus selalu terjalin, Pada akhirnya bukan hanya para pelaku usaha baik besar, menengah maupun kecil yang merasakan langsung atmosfer persaingan usaha termasuk masyarakat umum selaku konsumen tentunya menginginkan agar pelaku usaha Indonesia dapat memenangkan persaingan sehingga Indonesia tidak menjadi “surganya” barang-barang impor. Indonesia dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dengan  jumlah penduduk terbesar di Asean merupakan modal awal untuk memenangkan persaingan. Tidak ada lagi kata tidak siap, semua harus siap.Kata kunci : ASEAN, perdagangan bebas, AFTA.  ABSTRACTThe Asian Free Trade Area has become a decision and a decision that must be faced by all ASEAN countries. With the 0% import duty on goods, the price of the product becomes competitive at the level of consumers among ASEAN member countries. The need for continuous and continuous socialization, synergy of all elements of the nation especially the government and business actors must always be intertwined, In the end it is not only large, medium or small business actors who directly feel the atmosphere of business competition including the general public as consumers certainly want that Indonesian business can win the competition so that Indonesia does not become a "paradise" for imported goods. Indonesia with abundant natural resource potential with the largest population in ASEAN is the initial capital to win the competition. No more words are not ready, all must be ready.Keywords: ASEAN, free trade, AFTA. 
ESSENSI MAZHAB SEJARAH DALAM PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM Iwan Darmawan; Roby Satya Nugraha; Sobar Sukmana
Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL) Vol 3, No 1 (2022): Volume 3, Nomor 1 Januari-Juni 2022
Publisher : Universitas Pakuan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1124.68 KB) | DOI: 10.33751/pajoul.v3i1.5722

Abstract

AbstrakMazhab sejarah merupakan mazhab dalam filsafat hukum yang sangat penting dalam perkembangan filsafat hukum. Konsepsinya yang mengedepankan jiwa bangsa (volkgeis), dengan ungkapan yang dikemukakan Von Savigny “das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke”, yang mengandung arti “hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat”. Konsepsi ini sangat berpengaruh bagi perumusan konsep hukum tidak hanya di Jerman, tetapi sudah meluas ke luar Jerman termasuk Indonesia.  Kelebihan konsepsi mazhab sejarah ini mampu memandang bahwa hukum-hukum yang berasal dari masa lalu merupakan hukum yang pernah dijalankan di masa lalu, dan sedikit banyak akan mempengaruhi hukum yang berlaku di masa sekarang, karena jiwa bangsa (volkgeist), sesuai dengan jiwa masyarakatnya yang merupakan sumber dari segala hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tersebut dari waktu ke waktu dan dari masa ke masa. Filsuf-filsuf yang lahir dan menjadi pelopor bagi mazhab sejarah ini mendasarkan pemikirannya bahwa hukum terbentuk di luar legislasi, artinya hukum tidak dibuat oleh lembaga formal, tetapi tumbuh dan berkembang di masyarakat secara alami.  Kata kunci : Mazhab Sejarah, Jiwa Bangsa (Volkgeist), Filsafat Hukum. AbstrakThe historical school is a school in legal philosophy which is very important in the development of legal philosophy. The concept is the soul of the nation (volkgeis), with the phrase put forward by Von Savigny "das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke", which means "law is not made, but grows and develops with the community". This conception is very influential for the formulation of legal concepts not only in Germany, but also outside Germany, including Indonesia. The advantage of this historical school of thought is that it is able to view that laws originating from the past are laws that have been implemented in the past, and will more or less affect the laws that apply in the present, because the spirit of the nation (volkgeist), is in accordance with the soul of the people who are the source of all laws that grow and develop in the community from time to time and from time to time. Philosophers who were born and became pioneers for this school of history based their thinking that law is formed outside of legislation, meaning that law is not made by formal institutions, but grows and develops in society naturally. Keywords : School of History, Soul of the Nation (Volkgeist), Philosophy of Law.
TINJAUAN PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERATURAN DAERAH (PERDA) KABUPATEN BOGOR NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN Isep H Insan; Sobar Sukmana; Galuh Cahya Priatna
PALAR (Pakuan Law review) Vol 8, No 4 (2022): Volume 8, Nomor 4 Oktober-Desember 2022
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (833.387 KB) | DOI: 10.33751/palar.v8i4.6810

Abstract

ABSTRAKTujuan penelitian ini ialah untuk memberitahukan bahwa dalam rangka memperoleh keadilan tidak semua orang dapat membayar jasa advokat atau pembela hukum salah satunya ialah masyarakat miskin. Bantuan hukum sangat diperlukan bagi masyarakat miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (Probono publico). Bedasarkan hal tersebut maka lahirlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum selajutnya disebut UU Bankum. Selanjutnya bedasarkan ketentuan pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, penyelenggaraan bantuan hukum diatur dengan Peraturan Daerah. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang sudah dijelaskan maka Pemerintah Kabupaten Bogor membuat kebijakan dengan menerbitkan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Bogor Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin, Sehingga dengan dibentuknya peraturan tersebut Pemerintah Kabupaten Bogor mempunyai dasar hukum untuk memenuhi hak konstitusional warga negara di bidang bantuan hukum terutama bagi orang atau kelompok Masyarakat Miskin. Pelaksanaan bantuan hukum untuk masyarakat miskin di Kabupaten Bogor yang didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 10 Tahun 2016 tentang Bantuan Hukum Masyarakat Miskin diselenggarakan oleh Dinas Sosial sesuai dengan Pasal 6 angka (3) Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 10 tahun 2016. Dinas sosial bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang sudah terakreditasi oleh Kementrian Hukum dan HAM. Dalam praktiknya, terdapat permasalahan yang timbul dalam memberikan bantuan hukum untuk masyarakat miskin di wilayah Kabupaten Bogor, seperti Faktor dana yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor yang sangat minim, Sulitnya membuat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), serta Informasi serta sosialisasi tentang bantuan hukum untuk masyarakat miskin di Kabupaten Bogor belum tersampaikan secara luas kepada masyarakat. Kata Kunci: Bantuan hukum, Masyarakat Miskin, Kabupaten Bogor ABSTRACT The purpose of this study is to inform that in order to obtain justice not everyone can pay for the services of an advocate or legal defender, one of which is the poor. Legal aid is very necessary for the poor, which can be obtained without payment (Probono publico). Based on this, Law Number 16 of 2011 concerning Legal Aid was born, hereinafter referred to as the Bankum Law. Furthermore, based on the provisions of Article 19 paragraph (2) of Law Number 16 of 2011 concerning Legal Aid, the implementation of legal aid is regulated by Regional Regulations. Taking into account the matters that have been explained, the Bogor Regency Government made a policy by issuing Bogor Regency Regional Regulation (PERDA) Number 10 of 2016 concerning Legal Aid for the Poor, So that with the establishment of this regulation the Bogor Regency Government has a legal basis to fulfill citizens' constitutional rights the state in the field of legal aid especially for people or groups of the poor. The implementation of legal aid for the poor in Bogor Regency based on Bogor Regency Regional Regulation Number 10 of 2016 concerning Legal Aid for the Poor is organized by the Social Service in accordance with Article 6 number (3) of Bogor Regency Regional Regulation Number 10 of 2016. Social services work together with the Legal Aid Institute (LBH) which has been accredited by the Ministry of Justice and Human Rights. In practice, there are problems that arise in providing legal assistance to the poor in the Bogor Regency area, such as the very minimal funding provided by the Bogor Regency Government, the difficulty of making a Certificate of Inadequacy (SKTM), as well as information and outreach about legal aid for the poor community in Bogor Regency has not been widely conveyed to the public. Keywords: Legal aid, Poor Community, Bogor Regency.
TINJAUAN PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERATURAN DAERAH (PERDA) KABUPATEN BOGOR NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN Isep H Insan; Sobar Sukmana; Galuh Cahya Priatna
PALAR (Pakuan Law review) Vol 8, No 4 (2022): Volume 8, Nomor 4 Oktober-Desember 2022
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v8i4.6810

Abstract

ABSTRAKTujuan penelitian ini ialah untuk memberitahukan bahwa dalam rangka memperoleh keadilan tidak semua orang dapat membayar jasa advokat atau pembela hukum salah satunya ialah masyarakat miskin. Bantuan hukum sangat diperlukan bagi masyarakat miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (Probono publico). Bedasarkan hal tersebut maka lahirlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum selajutnya disebut UU Bankum. Selanjutnya bedasarkan ketentuan pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, penyelenggaraan bantuan hukum diatur dengan Peraturan Daerah. Dengan mempertimbangkan hal-hal yang sudah dijelaskan maka Pemerintah Kabupaten Bogor membuat kebijakan dengan menerbitkan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Bogor Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin, Sehingga dengan dibentuknya peraturan tersebut Pemerintah Kabupaten Bogor mempunyai dasar hukum untuk memenuhi hak konstitusional warga negara di bidang bantuan hukum terutama bagi orang atau kelompok Masyarakat Miskin. Pelaksanaan bantuan hukum untuk masyarakat miskin di Kabupaten Bogor yang didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 10 Tahun 2016 tentang Bantuan Hukum Masyarakat Miskin diselenggarakan oleh Dinas Sosial sesuai dengan Pasal 6 angka (3) Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 10 tahun 2016. Dinas sosial bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang sudah terakreditasi oleh Kementrian Hukum dan HAM. Dalam praktiknya, terdapat permasalahan yang timbul dalam memberikan bantuan hukum untuk masyarakat miskin di wilayah Kabupaten Bogor, seperti Faktor dana yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor yang sangat minim, Sulitnya membuat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), serta Informasi serta sosialisasi tentang bantuan hukum untuk masyarakat miskin di Kabupaten Bogor belum tersampaikan secara luas kepada masyarakat. Kata Kunci: Bantuan hukum, Masyarakat Miskin, Kabupaten Bogor ABSTRACT The purpose of this study is to inform that in order to obtain justice not everyone can pay for the services of an advocate or legal defender, one of which is the poor. Legal aid is very necessary for the poor, which can be obtained without payment (Probono publico). Based on this, Law Number 16 of 2011 concerning Legal Aid was born, hereinafter referred to as the Bankum Law. Furthermore, based on the provisions of Article 19 paragraph (2) of Law Number 16 of 2011 concerning Legal Aid, the implementation of legal aid is regulated by Regional Regulations. Taking into account the matters that have been explained, the Bogor Regency Government made a policy by issuing Bogor Regency Regional Regulation (PERDA) Number 10 of 2016 concerning Legal Aid for the Poor, So that with the establishment of this regulation the Bogor Regency Government has a legal basis to fulfill citizens' constitutional rights the state in the field of legal aid especially for people or groups of the poor. The implementation of legal aid for the poor in Bogor Regency based on Bogor Regency Regional Regulation Number 10 of 2016 concerning Legal Aid for the Poor is organized by the Social Service in accordance with Article 6 number (3) of Bogor Regency Regional Regulation Number 10 of 2016. Social services work together with the Legal Aid Institute (LBH) which has been accredited by the Ministry of Justice and Human Rights. In practice, there are problems that arise in providing legal assistance to the poor in the Bogor Regency area, such as the very minimal funding provided by the Bogor Regency Government, the difficulty of making a Certificate of Inadequacy (SKTM), as well as information and outreach about legal aid for the poor community in Bogor Regency has not been widely conveyed to the public. Keywords: Legal aid, Poor Community, Bogor Regency.
Implementation Of Ratification Of International Treaties In Indonesia In The Perspective Of International Law Sukmana, Sobar; Susilawati, Tuti; Chairijah, Chairijah; Heriyanto, Bambang
PALAR (Pakuan Law review) Vol 11, No 1 (2025): Volume 11, Number 1 January-March 2025
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v11i1.11629

Abstract

ABSTRAK Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan bahwa realisasi hubungan antar negara dalam bentuk perjanjian internasional merupakan hukum yang harus dihormati dan ditaati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Setiap negara memiliki peraturan dan prosedur yang berbeda dalam proses ratifikasi perjanjian internasional. Perjanjian internasional yang dibuat Indonesia pada hakikatnya bersifat lintas sektor dan menjamah beberapa disiplin ilmu hukum seperti hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum ekonomi dan hukum perdata. Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan landasan konstitusional pembuatan perjanjian internasional. Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional dimulai dengan tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan penandatangan. Perjanjian internasional menentukan bahwa, “pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Persoalan ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia merupakan wilayah persentuhan antara hukum tata negara dengan hukum internasional. Ratifikasi merupakan salah satu cara pengesahan perjanjian internasional. Dalam hal ratifikasi atau pengesahan suatu perjanjian internasional di Indonesia menurut Undang-undang No.24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional dapat dilakukan melalui Undang-undang (UU) atau dengan Keputusan Presiden (Kepres). Kata Kunci : Perjanjian Internasional, Ratifikasi, Undang-undang, Keputusan Presiden ABSTRACT The purpose of this study is to explain that the realization of relations between countries in the form of international treaties is a law that must be respected and obeyed by the parties concerned. Each country has different regulations and procedures in the process of ratifying international treaties. International agreements made by Indonesia are essentially cross-sectoral and touch several legal disciplines such as constitutional law, state administrative law, economic law and even civil law. Article 11 of the 1945 Constitution (UUD 1945) is the constitutional basis for making international agreements. The stages of making an international agreement begin with the exploratory stage, negotiations, formulation of the text, acceptance and signing. International treaties determine that, “ratification is a legal act to bind oneself to an international treaty in the form of ratification, accession, acceptance and approval”. The issue of ratification of international treaties in Indonesia is an area of contact between constitutional law and international law. Ratification is one way of ratifying international agreements. In terms of ratification or ratification of an international agreement in Indonesia according to Law No.24 of 2000 concerning international agreements can be done through a Law (UU) or by Presidential Decree (Kepres). Keywords: International Agreement, Ratification, Law, Presidential Decree.
ESSENSI PLURALISME HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF SISTEM HUKUM DUNIA Sukmana, Sobar; Susilawati, Tuti; Chairijah, Chairijah; Heriyanto, Bambang; Wuisang, Ari
PALAR (Pakuan Law review) Vol 10, No 3 (2024): Volume 10, Nomor 3 July-September 2024
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v10i3.10448

Abstract

ABSTRAK Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan bahwa Pluralisme hukum dahulu merupakan kebijakan dari banyak kekuatan kolonial dan warisan yang masih hidup di banyak bekas koloni Eropa seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pengertian pluralisme hukum senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa di mana ada koeksistensi dan interelasi berbagai hukum seperti hukum adat, negara, agama dan sebagainya. Adanya globalisasi menyebabkan hubungan tersebut menjadi semakin kompleks karena terkait pula dengan perkembangan hukum internasional. Pluralisme hukum dalam perspektif global adalah terjadinya saling ketergantungan, adopsi, atau saling pengaruh (interdependensi, interfaces) antara berbagai sistem hukum. Interdependensi yang dimaksud terutama adalah antara hukum internasional dan hukum nasional. Hukum dari wilayah tertentu dapat menembus ke wilayah-wilayah lain yang tanpa batas. Hukum internasional dan transnasional dapat menembus ke wilayah negara-negara manapun. Terjadi interaksi, Interrelasi, saling pengaruh dan saling adopsi. Sistem hukum di dunia menurut Steven Vago, dalam bukunya Sociology of law 1999 yaitu Common Law System, Civil Law System, Communist Law System dan Islam Law System. Dalam perkembangannya sistem hukum dunia dikenal juga “Hybrid Law System” atau sistem hukum cangkokan/campuran dan di Eropa, disebut “Harmonization Law System”, atau “Unification Law System”. Kata Kunci : System Hukum, Pluralisme, Hukum Internasional. ABSTRACT The purpose of this study is to explain that legal pluralism was a policy of many colonial powers and a legacy that is still alive in many former European colonies such as Indonesia, Malaysia and Singapore. The notion of legal pluralism has always experienced development from time to time where there is coexistence and interrelation of various laws such as customary law, state, religion and so on. The existence of globalisation causes the relationship to become more complex because it is also related to the development of international law. Legal pluralism in a global perspective is the occurrence of interdependence, adoption, or mutual influence (interdependence, interfaces) between various legal systems. The interdependence in question is primarily between international law and national law. Laws from certain regions can penetrate into other regions without borders. International and transnational law can penetrate into the territory of any country. There is interaction, interrelation, mutual influence and mutual adoption. Legal systems in the world according to Steven Vago, in his book Sociology of law, 1999, namely the Common Law System, Civil Law System, Communist Law System and Islamic Law System. In its development, the world legal system is also known as the "Hybrid Law System" or grafted legal system, and in Europe, it is called the "Harmonisation Law System", or "Unification Law System". Keywords: Legal System, Pluralism, International Law.
ASEAN SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Sukmana, Sobar; Susilawati K, Tuti; ., Chairijah; Heriyanto, Bambang
PALAR (Pakuan Law review) Vol 10, No 1 (2024): Volume 10, Nomor 1 Januari-Maret 2024
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v10i1.9571

Abstract

ABSTRAK                                                                                                          Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan bahwa organisasi internasional merupakan pemegang hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Organisasi internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internasional oleh dua negara atau lebih berisi fungsi, tujuan, kewenangan, asas dan struktur organisasi. Organisasi internasional meliputi organisasi regional, organisasi sub-regional dan organisasi internasional yang bersifat universal. Adanya perjanjian yang dibentuk oleh negara-negara menjadikan bahwa organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional hanyalah organisasi antar pemerintah (inter government organization). Sebagai subjek hukum internasional, organisasi internasional merupakan personalitas hukum (legal personality) didalam hukum internasional. Dengan demikian bahwa sebagai subjek hukum internasional berarti organisasi internasional mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Asean sebagai organisasi regional negara-negara di kawasan asia tenggara dibentuk berdasarkan Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration) tanggal 8 Agustus 1967. Pada tahun 2007 ditandatangani Piagam Asean (Asean Charter) oleh 10 kepala negara/kepala pemerintahan negara-negara anggota asean. Dengan adanya Piagam Asean (Asean Charter) sebagai kerangka konstitusi bersama asean, maka asean memiliki status hukum/legal personality yang jelas sebagai subjek  hukum internasional. Kata Kunci :  Deklarasi Bangkok, Piagam Asean, Personalitas Hukum ABSTRACT The purpose of this research is to explain that international organizations are holders of rights and obligations under international law. An international organization is an organization formed by international treaty by two or more countries containing functions, objectives, authority, principles and organizational structure. International organizations include regional organizations, sub-regional organizations and universal international organizations. The existence of agreements formed by states makes that international organizations that have the position as subjects of international law are only intergovernmental organizations. As a subject of international law, international organizations are legal personalities in international law. Thus, as a subject of international law, international organizations have rights and obligations under international law. Asean as a regional organization of countries in southeast asia was formed based on the Bangkok Declaration on 8 August 1967. In 2007, the Asean Charter was signed by 10 heads of state/heads of government of Asean member states. With the Asean Charter as Asean's common constitutional framework, Asean has a clear legal status/legal personality as a subject of international law. Keywords:  Bangkok Declaration, Asean Charter, Legal Personality