Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Narkotika di Indonesia Maulidah, Khilmatin
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 21, No 2 (2023): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32528/faj.v21i2.22968

Abstract

AbstrakUndang-Undang Narkotika sampai saat ini sudah mengalami tiga kali perubahan dan didalamnya mengatur perihal pertanggungjawaban korporasi, namun kemudian timbul pertanyaan mengenai bagaimana mungkin korporasi bisa dibebankan pertanggungjawaban sedangkan korporasi tidak bernyawa, dan tidak dapat bergerak yang otomatis korporasi tidak mempunyai mens rea. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana narkotika di Indonesia dan apa hambatan normatif pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana narkotika. Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan Kebijakan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur 2 (dua) subjek tindak pidana yaitu pengurus termasuk pimpinan korporasi dan korporasi yang bersangkutan. Apabila terjadi tindak pidana narkotika oleh korporasi, maka kedua subjek tindak pidana tersebut dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Ancaman pidana terhadap korproasi pun dikenakan pemberatan berupa denda dengan dilipat gandakan 3 kali dari denda yang dilakukan oleh perorangan. Kemudian korporasi juga dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan usaha. Selain terhadap korporasi, ancaman pidana juga dikenakan terhadap pengurus korporasi dalam hal ini termasuk juga pimpinan korporasi. Pertanggungjawaban terhadap pengurus di sini berupa pidana penjara dan denda yang diatur di dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126, dan Pasal 129 serta Pasal 147 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hambatan normatif dalam penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu tidak ada pedoman pemidanaan bagi korporasi yang tidak membayar denda dan tidak ada pedoman pemidanaan untuk penjatuhan pidana minimum khusus bagi korporasi.Kata kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Korporasi, Narkotika
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMILIK MANFAAT (BENEFICIAL OWNER) DALM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Maulidah, Khilmatin; Hengki, Muhammad Rizqi; Sari, Ratna Kumala
IBLAM LAW REVIEW Vol. 4 No. 2 (2024): IBLAM LAW REVIEW
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM IBLAM)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52249/ilr.v4i2.386

Abstract

Gagasan pembentukan perusahaan tidak secara khusus menyebutkan identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dari kegiatan korporasi tersebut. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) merupakan isu khusus dalam rezim anti pencucian uang karena mereka sering kali tidak dilibatkan dalam sistem hukum ketika tindak pidana pencucian uang sedang diselidiki. Definisi isu dalam penelitian ini adalah bagaimana prosedur pelaporan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) mematuhi hukum dan peraturan Indonesia, serta bagaimana kesalahan pidana pemilik manfaat (Beneficial Owner) untuk pelanggaran pencucian uang terkena dampak. Studi ini bermaksud untuk memutuskan kebutuhan bagi pemilik manfaat sesuai dengan peraturan dan pedoman yang relevan dan kewajiban pidana pemilik yang membantu dalam tindak pidana pencucian uang. Konsekuensi dari tinjauan tersebut menunjukkan bahwa Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme merupakan komponen yang digunakan untuk mengakui transparansi pemilik manfaat dari korporasi. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi merupakan pedoman pelaksanaan untuk Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018. Selanjutnya, pemilik manfaat yang melakukan tindak pidana pencucian uang dapat dikenakan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dihubungkan dengan Pasal 3, Pasal 4, atau Pasal 5.
The Urgency of Enacting the Asset Confiscation Bill for the Eradication of Corruption and Money Laundering in Indonesia Maulidah, Khilmatin; Sari, Ratna Kumala; Melissa, Aldisa; Fitryantica, Agnes
Prophetic Law Review Vol. 7 No. 1 June 2025
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol7.iss1.art5

Abstract

Corruption and money laundering are classified as extraordinary crimes due to their significant impact on state finances and their potential to destabilize the national economy. These crimes not only result in the direct loss of public funds but also undermine trust in state institutions, obstruct development programs, and damage Indonesia's international reputation. Given the magnitude of these threats, there is an urgent need for effective legal mechanisms to recover stolen assets swiftly and efficiently. This study explores the urgency of ratifying the Asset Confiscation Bill as a critical step in enhancing Indonesia’s legal framework for combating corruption and money laundering. Currently, Indonesia’s asset recovery mechanisms are limited by procedural constraints embedded in existing laws on corruption and money laundering. These laws generally require a court decision with permanent legal force before any assets can be confiscated. Such a requirement often hampers swift action and allows perpetrators to conceal or transfer illicit assets during lengthy legal processes. This study, which uses a normative legal research method, relies on an analysis of laws, legal doctrines, relevant literature, and legal dictionaries to assess the shortcomings of current asset confiscation regulations. The findings suggest that the Asset Confiscation Bill holds great potential to fill these legal gaps. If enacted, the bill could provide a legal basis for the non-conviction-based confiscation of assets, enabling law enforcement to act more decisively in reclaiming assets suspected to be linked to corruption or money laundering. Such a reform would significantly bolster Indonesia’s efforts to combat economic crimes and protect national financial integrity.
Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Politik Uang Terhadap Penyelenggaraan Pemilu Sari, Ratna Kumala; Maulidah, Khilmatin; Kurnia, Kamal Fahmi
VIVA THEMIS Vol 8, No 2 (2025): VIVA THEMIS
Publisher : Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24967/vt.v8i2.4368

Abstract

The implementation of general elections (Pemilu) is an important indicator in a democratic system because people can participate in determining their political choices for the country and its government. This study aims to analyse how criminal law enforcement is carried out in overcoming criminal acts of money politics against the implementation of current elections? and how is criminal law enforcement in preventing criminal acts of money politics against the implementation of elections in the future? Data was collected through normative legal research methods by inventorying positive law and literature, then analysed using a qualitative approach. The results of the study indicate that law enforcement against the practice of money politics in general elections (Pemilu) has problems, especially in terms of regulation, namely related to the weaknesses of the Election Law which can cause certain legal subjects to escape from the criminal trap of the Election Law. The Election Law only regulates the prohibition of money politics practices to givers or people who promise. While the recipient is not strictly regulated