Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah dan mendorong pembangunan berbasis potensi lokal. Namun, salah satu tantangan utama dalam implementasi otonomi daerah adalah tingginya ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap transfer dari pemerintah pusat, dengan rata-rata ketergantungan mencapai 79,4%. Masalah ini terutama terlihat di wilayah timur Indonesia, seperti Papua, yang menunjukkan tingkat ketergantungan fiskal lebih dari 90%. Untuk mengatasi keterbatasan anggaran, konsep Public-Private Partnership (PPP) atau Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) menjadi solusi strategis. Melalui PPP, pemerintah daerah dapat bermitra dengan sektor swasta untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur dan layanan publik, sekaligus mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Studi kasus keberhasilan implementasi PPP di kota-kota seperti Makassar, Sidoarjo, Semarang, dan Surabaya menunjukkan bahwa kolaborasi ini dapat secara signifikan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memberikan manfaat sosial-ekonomi yang besar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metodologi studi kasus, menganalisis ketergantungan keuangan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan mengeksplorasi PPP sebagai strategi pendanaan alternatif. Data dikumpulkan dari laporan resmi, literatur akademik, serta praktik terbaik dari berbagai daerah terpilih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PPP merupakan mekanisme yang efektif untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah, meningkatkan pembangunan infrastruktur, dan memperbaiki layanan publik. Namun, masih terdapat beberapa tantangan, seperti lemahnya pengelolaan PAD, minimnya pemahaman terkait skema PPP di kalangan pemangku kepentingan, serta kompleksitas koordinasi antar lembaga. Untuk mengoptimalkan implementasi PPP, diperlukan langkah-langkah strategis seperti peningkatan kapasitas, perbaikan regulasi, dan peningkatan kolaborasi antara sektor publik dan swasta.