Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

ASPEK HUKUM PENGAWASAN TERHADAP PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Franky R. Mewengkang, Ralfie Pinasang
LEX ADMINISTRATUM Vol 5, No 9 (2017): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peraturan Presiden dalam Pengadaan Barang/JasaPemerintah yang belumdalam level Undang-undang, dapat menyisahkan persoalan hukum terutama guna meminimalisir korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah,apalagi dalam proses pengdaaan barang dan jasa pemerintah belum efektifnya pengawasan oleh lembaga pemerintah dalam pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, begitu juga tidak sinkoronisasi dan harmonisasi antara UU Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya UU Nomor 20 Tahun 2001, Tentang Tindak pidana Korupsi dengan Perpres tentang Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah  yang berlaku. Disamping itu pelaksanaan pengawasan  terhadap proses pengadaan barang/jasa pemerintah baik internal daneksternal yang belum efektif termasuk tumpang tindihnya kewenangan antara lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah di daerah Sulawesi Utara.Langka análisis untuk pendekatan penelitian ini adalah perundangan-undangan (statuteapproach) pertama: meng-iventarisasi norma hukum yang terkait dengan bagaimana pemberantasan korupsi dalam pengadaan barang/jasa ; kedua : menganalisis terhadap norma yang kabur (vagenorm) denganpenafsiran, terhadap norma yang kosong (vacuumnorm) dengan menggunakan metode penemuan hukum, dan terhadap norma yang disharmonisasi (conflictnorm) dengan menggunakan preferensi hukum asas lex superior dan asas lexspesialis. Pendekantannkasus (conceptual case), akan dianalisis putusan-putusan pengadilan yang terkait dengan korupsi pengadaan barang/jasa pemerintah. Fokus nanalisis antara lain yaitu dasar pertimbangan hakim (ratio decedent),  sehingga hakim tersebut sampai pada putusannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakikat dan kedudukan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan  barang dan jasa pemerintah  adalah sebagai pedoman bagi seluruh pihak yang terkait dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, sehingga dapat mewujudkan  good governance, namun dalam kenyataannya peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah belum memadai karena belum ada ketentuan yang memuat prinsip responsibility, liability dan partisipasi masyarakat.Kata kunci: Aspek hukum, pengawasan, pengadaan, barang/jasa, Pemerintah
EXCLUSIONARY RULE SEBAGAI HAK TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA Rizka Fakhry Alfiananda; Devy K. G Sondakh; Ralfie Pinasang
Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Vol 9 No 1 (2022): Vol. 9. No. 1 (2022)
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum uin alauddin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/jurisprudentie.v9i1.29145

Abstract

The exclusionary rule is basically one of the principles that developed along with the development of criminal evidence law, especially in countries with anglo-Saxon legal traditions. The principle that emphasizes the exclusion or exclusion of evidence obtained unlawfully in the criminal justice process has over time become a procedural element that supports the creation of a fair trial for the Defendant. The right to a fair trial is a right that must be guaranteed by the State and does not only concern the right to be tried by an independent and impartial court. Indonesia as a state of law that tries to balance the public interest in law enforcement with the interests of the suspect or defendant in a fair judicial process unfortunately has not regulated exclusionary rule in its criminal procedural law. In fact exclusionary rule is one of the instruments for recovery in the event of a violation by law enforcement officials, especially in the process of obtaining evidence. Through research conducted using this normative legal research method, the author wants to place the exclusionary rule not only as a principle but also as a defendant's right in the criminal justice process as an inseparable part of the right to a fair trial so that it is urgent to be accommodated in the agenda of procedural law reform. Indonesian crime.
EKSISTENSI EUTHANASIA MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Daniella Monica Benedicta Suoth, Ralfie Pinasang, Natalia L. Lengkong Daniella Monica Benedicta Suot
LEX ET SOCIETATIS Vol. 11 No. 1 (2023): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

e journal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM KONTRAK JUAL BELI TRANSAKSI ELEKTRONIK DI MINAHASA UTARA Juanda Mamuaja; J. Ronald Mawuntu; Ralfie Pinasang Juanda Mamuaja; J. Ronald Mawuntu; Ralfie Pinasan
LEX ET SOCIETATIS Vol. 10 No. 1 (2022): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Transaksi elektronik membawa banyak perubahan terhadap aktivitas bisnis yang selama ini dijalankan di dunia nyata dimana penjual dan pembeli bertemu secara fisik kini berubah ke dunia maya, dengan menggunakan media internet dimana suatu perdagangan tidak lagi membutuhkan pertemuan antar pelaku bisnis. Di Indonesia transaksi elektronik telah diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik, sebagaimana telah diubah melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Transaksi elektronik pada dasarnya merupakan suatu kontrak atau hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan sistem elektronik berbasis komputer dengan sistem komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari transaksi elektronik dilakukan melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), COD (Cash on Delivery), phone banking, internet banking dan lain sebagainya sebagai bentuk baru memodernisasi setiap transaksi. Transaksi elektronik yang kini menjadi trend modern di satu sisi memberikan keuntungan dan kemudahan bagi konsumen, namun di sisi lain tidak menjajikan jaminan perlindungan hukum terhadap konsumen, karena konsumen sebagai pembeli dapat menjadi korban penipuan oleh oknum penjual yang tidak bertanggung jawab yang biasanya terjadi karena tidak adanya kehati-hatian oleh konsumen. Konsumen percaya begitu saja, tanpa melakukan banyak pertanyaan kepada penjual tentang kriteria barang yang akan dibeli. Penelitian ini bertujuan melakukan analisis tentang keabsahan kontrak jual beli transaksi elektronik di Indonesia dan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam kontrak jual beli transaksi elektronik di Minahasa Utara. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris atau yuridis sosiologis. Penelitian yuridis normatif menggunakan pendekatan konseptual mengenai masalah-masalah keabsahan kontrak jual beli dan perlindungan hukum terhadap konsumen yang menderita karena kontrak jual beli transaksi elektronik dengan bahan hukum primer Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bahan hukum sekunder diambil dari studi pustaka berupa buku, artikel dan jurnal dan bahan hukum tersier berupa kampus. Penelitian yuridis empiris atau yuridis sosiologis yakni penelitian lapangan yang mengkaji ketentuan hukum yang berlaku dan kenyataan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat, data primer wawancara langsung dengan pihak yang berkompeten di Minahasa Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keabsahan kontrak jual beli dalam transaksi elektronik di Indonesia, secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yakni sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dan secara khusus diatur dalam Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yakni terdapat kesepakatan para pihak, dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau wali yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terdapat hal tertentu dan objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Kesepakatan dalam kontrak jual beli transaksi elektronik dapat dilakukan dengan mengakses suatu tawaran di internet. Unsur subjek hukum yang cakap untuk melakukan kontrak jual beli tidak diatur secara tegas. Dalam kontrak jual beli transaksi elektronik sulit untuk mengukur kecakapan atau sudah dewasa karena para pihak tidak bertemu secara langsung. Padahal dalam kenyataan anak-anak di bawah umur mampu dengan baik melakukan kontrak jual beli transaksi elektronik yang dapat mengakibatkan kontrak jual beli dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat subjektif. Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam kontrak jual beli transaksi elektronik timbul dari adanya hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Bentuk perlindungan hukum dapat diberikan kepada konsumen dalam kontrak jual beli transaksi elektronik adalah membentuk lembaga perlindungan konsumen, pendidikan konsumen transaksi elektronik, kehati-hatian konsumen dalam bertransaksi dan self regulation oleh pelaku usaha, yang meliputi tanggung jawab atas informasi dan tanggung jawab atas keamanan produk yang ditawarkan kepada konsumen. Khusus di Kabupaten Minahasa Utara, Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia Minahasa Utara (LPKRI Minut) telah memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen yang telah mengadukan kasusnya dalam transaksi Lazada kepada mereka dan konsumen telah mendapatkan ganti rugi dan kompensasi yang baik dari Lazada. Namun sebagian besar masyarakat Minahasa Utara ternyata belum mengetahui keberadaan PKRI Minut yang berkedudukan di Desa Talawaan Kecamatan Talawaan yang dapat memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam transaksi elektronik berupa konsultasi, mediasi dan advokasienelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan perangkat desa telah diatur oleh berbagai peraturan perundang-undangan baik secara umum dan secara khusus dan juga baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Perangkat Desa diangkat oleh Kepala Desa setalah mendapatkan persetujuan maupun pertimbangan BPD dengan melalui mekanisme dan prosedur-prosedur yang telah ditentukan dan ditetapkan. Sebagai organ pemerintahan desa, hak dan kewajiban yang dimiliki oleh perangkat desa sudah jelas diatur dalam peraturan sehingga keberadaan perangkat desa mendapatkan perlindungan hukum baik preventif maupun kuratif. Bentuk perlindungan hukum preventif berupa pengaturan tentang kejelasan, tugas, wewenang, hak dan kewajiban perangkat desa yang secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam bentuk kuratif dengan tidak dibenarkanya perlakuan semena-mena terhadap perangkat desa, artinya apabila diduga telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh perangkat desa sanksi tidak dapat dijatuhkan tanpa melalui suatu prosedur yang jelas. Kepala Desa maupun BPD sebagai lembaga yang terlibat dalam pengangkatannya tidak dapat sesuka hatinya dalam memberhentikan perangkat desa tanpa melalui mekanisme sebagaimana yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kata kunci : Perlindungan; Konsumen; Kontrak; Transaksi; Elektronik
Penyidikan Tambahan Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Undang-Undang RI. No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan Feiby Maria Moningka; Ralfie Pinasang; Marthin Lambonan
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan Mengetahui dan menganalisis tentang wewenang jaksa dalam melakukan penyidikan tambahan tindak pidana kehutanan, menurut Undang Undang No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan dan menurut hukum Pidana serta Hukum Acara Pidana yang berlaku Di Indonesia, implementasi penyidikan tambahan oleh jaksa penuntut umum menurut hukum acara pidana Indonesia, menjadi masalah dalam penelitian ini adalah mencari tahu tentang kewenangan penyelidikan dan penyidikan tambahan oleh jaksa Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, dan bagaimana proses implementasinya. Hasil dalam penelitian ini adalah Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dimana ditentukan bahwa satu aparatur negara yang diberi wewenang untuk melaksanakan tugas penegakan hukum adalah Jaksa, dan apabila jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap, untuk mempercepat penyelesaian perkara, maka berdasarkan Pasal 39 huruf b UU P3H, jaksa dapat melakukan penyidikan sendiri untuk melengkapi berkas perkara tersebut. Apabila belum cukup 2 (dua) alat bukti menrut KUHAP Pasal 184, jaksa “melengkapi” didalam Pasal 39 huruf b UU P3H, jaksa wajib melakukan penyidikan sendiri. Artinya dalam tindak pidana kehutanan Jaksa dapat melakukan penyidikan tambahan. Kata Kunci : Penyidikan, Pemberantasan, Wewenang
Penyelesaian Konflik Agraria Antara Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Dengan Masyarakat Pemegang Alas Hak Atas Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Fernando Imanuel Kansil; Wempie Jh. Kumendong; Ralfie Pinasang
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 3 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/innovative.v3i3.2792

Abstract

Konflik agraria di bidang pertambangan merupakan jenis konflik horizontal yang paling eksesif saat ini serta merupakan konflik agraria struktural dimana masyarakat, komunitas, desa, kampung, petani, atau masyarakat adat di dalam satu kelompok berhadapan dengan perusahaan tambang. Konflik berupa tumpang tindih lahan Wilayah Pertambangan Izin Usaha Pertambangan perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan dengan masyarakat pemegang hak atas tanah, yang masuk atau menjadi bagian dalam satu Wilayah Pertambangan Izin Usaha Pertambangan. Adanya regulasi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara diharapkan dapat mencegah dan meminimalisir terjadinya konflik agraria di bidang pertambangan. Namun, kenyataan yang ada di lapangan sering terjadi “konflik agraria” antara masyarakat pemegang hak atas tanah dengan perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan, seperti yang terjadi di Kabupaten Bolaang Mongondow tepatnya di lokasi areal Wilayah Pertambangan Izin Usaha Pertambangan PT. Bulawan Daya Lestari (BDL), Desa Mopait, Kecamatan Laloyan, Kabupaten Bolaang Mongondow, yang berkonflik dengan masyarakat Desa Toruakat Kecamatan Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KAWIN DIBAWAH UMUR MENURUT UU NOMOR 35 TAHUN 2014 DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF UNITED NATIONS INTERNATIONAL CHILDREN EMERGENCY FUND (UNICEF) Jaqualine Tambuwun; Ralfie Pinasang; Decky Paseki
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji perlindungan hukum anak kawin dibawah umur menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan untuk mengkaji perlindungan anak di Indonesia dalam hubungan peran UNICEF. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1. Perlindungan hukum anak yang kawin dibawah umur menurut UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, tersirat bahwa dalam setiap kondisi bahwa anak yang masih dibawah umur harus diberikan perlindungan baik sebelum kawin maupun sudah kawin, artinya dalam setiap keaadan namanya anak disebutkan dalam Undang-undang harus diberikan perlindungan hukum demi masa dean anak itu sendiri. 2. Tujuan UNICEF untuk mempromosikan kesetaraan hak-hak perempuan dan untuk mendukung mereka untuk berpartisipasi penuh dalam bidang polotik, pembangunan di dalam masyarakat tempat mereka hidup dan bermaksud untuk memberikan perlindungan anak adalah agar anak-anak menikmati hak-hak dasar maupun hak-hak istimewa mereka sebagaimana tercantum dalam pernyataan tentang hak-hak anak yang dicetuskan oleh Majelis Umum PBB tahun 1989, dan memberikan sumbangan bagi pembangunan nasional di setiap negara. Pernyataan mengenai hak-hak anak tersebut dikonsolidasikan ke dalam konvensi mengenai Hak-Hak Anak dan telah menjadi Hukum Internasional pada tanggal 2 September 1990. Kata Kunci : kawin dibawah umur, united nations international children emergency fund
PERTIMBANGAN HAKIM ALASAN PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER) TERDAKWA TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN DALAM STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NOMOR : 53/PID/2020/PT BBL Tiara Maharani Amisi; Ralfie Pinasang; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 2 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum di Indonesia terkait kriteria dan syarat suatu tindakan dapat dikatakan sebagai Pembelaan Terpaksa (noodweer); dan untuk mengetahui analisis pertimbangan hukum hakim terhadap terdakwa tindak pidana pengeroyokan yang menggunakan alasan pembelaan terpaksa (noodweer) secara tidak sesuai dalam putusan Nomor 53/PID/2020/PT BBL. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pembelaan Terpaksa diatur dalam Pasal 49 KUHP ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”. 2. Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa tidak termasuk dalam pembelaan terpaksa (Noodweer). Namun, menurut penulis hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa terlalu ringan dengan apa yang dialami oleh korban. Hukuman yang dijatuhi kepada para terdakwa hanya 2 tahun 6 bulan dimana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada pasal 170 ancaman pidana penjara bagi pelaku pengeroyokan paling lama 5 tahun 6 bulan. Jauhnya perbedaan antara hukuman yang diberikan hakim dan ancaman pidana penjara yang diatur oleh KUHP tampak tidak mencerminkan beratnya tindakan pengeroyokan yang dilakukan oleh para terdakwa dan ditakutkan tidak menimbulkan efek jera untuk para terdakwa. Kata Kunci : noodweer, tindak pidana pengeroyokan