Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

ANALISIS YURIDIS MENGENAI PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG No. 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN I Wayan Selin; Altje Musa; Deizen Rompas
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 2 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dasar-dasar peraturan mengenai perlindungan korban tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan untuk mengetahui penerapan perlindungan korban menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat sebagai berikut: 1.Sudah ada peraturan perundang-undangan pidana diluar KUHP dan KUHAP yang sudah mengatur perlindungan korban dalam hal korban bisa mendapatkan ganti rugi berupa kompensasi, restitusi atau rehabilitasi. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur tentang kompensasi, namun kompensasi hanya diberikan kepada korban tindak pidana pelanggaran HAM berat dan tindak pidana terorisme. 2. Penerapan perlindungan korban menurut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban dalam praktik peradilan pidana, dalam hal perkara tindak pidana perdagangan orang, perlindungan anak dan kekerasan seksual banyak putusan hakim yang tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa untuk memberikan restitusi kepada korban. Padahal Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa korban tindak pidana perdagangan orang berhak untuk mendapatkan restitusi. Dalam hal pemberian kompensasi oleh negara kepada korban, masih terbatas pada tindak pidana terorisme melalui putusan hakim. Akan tetapi prosedur tuntutan kompensasi tersebut harus ada permohonan dari korban lebih dahulu melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Kata Kunci : perlindungan korban tindak pidana
URGENSI PEMBENTUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN DATA PRIBADI YANG INDEPENDEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2022 TENTANG PELINDUNGAN DATA PRIBADI Sarah Lidya Azelia Tambunan; Altje Musa; Nurhikmah Nachrawy
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam halnya teknologi yang sekarang ini makin maju, memberikan sikap kewaspadaan terhadap kejahatan siber, yaitu pencurian data pribadi. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah peraturan perundang-undangan pelindungan data pribadi, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Juga dibutuhkannya sebuah lembaga yang independen untuk menjaga data pribadi masyarakat, yang sampai pada saat ini belum dibentuk. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan yuridis normatif yang juga merupakan kepustakaan. Hasil penelitian ini menjelaskan urgensi agar segera dibentuknya sebuah lembaga yang independen tersebut. Kesimpulan dari penelitian ini adalah menjelaskan bentuk sebuah lembaga dan urgensi pembentukan lembaga pelindungan data pribadi yang independen. Kata Kunci: Lembaga Pelindungan data Pribadi, Independen, Data Pribadi
ANALISIS YURIDIS PEMBUKTIAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL BERBASIS ELEKTRONIK Regina Biandina wala; Altje Musa; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX PRIVATUM Vol. 15 No. 2 (2025): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan pembuktian dalam tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik dan untuk mengatahui bagaimana pembuktian tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik dalam praktik peradilan. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu: Sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie, yang berarti pembuktian yang merujuk pada keyakinan hakim, tetapi timbul dari Undang- Undang secara negatif. Pengaturan mengenai pembuktian telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 183 dan 184 yang didalamnya mengatur mengenai keyakinan hakim dan alat bukti yang sah yang digunakan dalam membuktikan suatu tindak pidana benar- benar terjadi. Peraturan mengenai tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang tercantum dalam pasal 14 tentang kekerasan seksual berbasis elektronik. Untuk membuktikan bahwa seseorang benar- benar bersalah haruslah melalui berbagai tahapan pembuktian yaitu tahap pengumpulan alat bukti, penyampaian bukti sampai ke pengadilan, penilaian terhadap setiap bukti sampai pada beban pembuktian di pengadilan. Kata Kunci: Pembuktian Hukum Pidana, Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik
PENEGAKKAN HUKUM TERHADAP PENYALHGUNAAN KECERDASAN BUATAN DENGAN CARA MEMANIPULASI WAJAH SESEORANG KE DALAM GAMBAR ATAU VIDEO PORNO Natanael Hiskia Mongkau; Herlyanty Yuliana A. Bawole; Altje Musa
LEX ADMINISTRATUM Vol. 13 No. 2 (2025): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aturan mengenai penyalahggunaan kecerdasan buatan dengan cara memanipulasi wajah seseorang ke dalam gambar atau video porno dan untuk mengkaji penegakan hukum terhadap penyalahgunaan kecerdasan buatan dengan cara memanipulasi wajah seseorang ke dalam gambar atau video porno. Metode yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan kesimpulan yaitu: 1. Di Indonesia, penyebab ketidakselesaian kasus-kasus ini adalah kurangnya pengaturan komprehensif untuk perlindungan data pribadi, serta tidak adanya harmonisasi antara lembaga pemerintah. Hal ini mengakibatkan penegak hukum ragu dalam menerapkan sanksi, menciptakan ketidakpastian hukum, dan menyulitkan korban untuk mengajukan tuntutan. UU ITE yang ada saat ini tidak mencakup pelaku pembuatan video deepfake pornografi. 2. Hukuman seharusnya dapat menghentikan tindak pidana penyalahgunaan deepfake. Namun, kekurangan undang-undang yang jelas tentag deepfake dapat menyebabkan ketidakpastian hukum. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan tentang cara mencegah dan menanggulangi kejahatan deepfake dan kecerdasan buatan. Dalam kasus tersebut Hakim tidak mempertimbangkan motif Terdakwa dalam melakukan pembuatan foto rekayasa yang bermuatan pornografi untuk tujuan pengancaman. Pasal yang diterapkan dianggap terlalu jauh dan tidak berdampak signifikan terhadap Korban. Seharusnya, Hakim lebih memperhatikan Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang terdapat dalam Dakwaan Subsidiar Penuntut Umum, serta menghukum Terdakwa atas pemalsuan informasi/dokumen elektronik yang diatur dalam Pasal 51 Ayat (1) jo Pasal 35 Undang-Undang ITE. Selain itu, dari berbagai tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa, Hakim juga seharusnya menerapkan ketentuan Concursus dengan sistem pemidanaan Absorpsi Dipertajam untuk mencapai keadilan. Kata Kunci : penegakan hukum, deep fake