Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

COVID-19 pada Pasien Myasthenia Gravis Rahim, Harpandi; Hisbullah, Hisbullah; Arif, Syafri Kamsul; Muchtar, Faisal
UMI Medical Journal Vol 6 No 2 (2021): Umi Medical Journal
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33096/umj.v6i2.144

Abstract

Coronavirus disease (COVID-19) telah menjadi pandemi global dalam waktu singkat. Selama pandemi ini, terdapat peningkatan resiko eksaserbasi pada pasien dengan myasthenia gravis. Angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi terlihat di antara orang tua dan mereka yang memiliki penyakit penyerta dan defisiensi imunologis. Agen imunosupresi, respons imun yang tidak teratur, dan kelemahan otot pernapasan adalah beberapa kemungkinan etiologi yang dapat meningkatkan keparahan hasil yang terkait dengan COVID-19. Kasus awal Myasthenia Gravis (MG) dengan COVID-19 simultan menunjukkan hasil yang bervariasi dengan potensi eksaserbasi berbahaya. Sedikit yang diketahui tentang hubungan antara dua penyakit. Di sini, kami berharap dapat menggambarkan prognosis COVID-19 pada pasien MG bersama dengan fitur yang sama dari kedua penyakit tersebut dan mendiskusikan pendekatan terapeutik untuk memaksimalkan hasil untuk populasi pasien khusus ini.
Tatalaksana Neuroleptik Malignant Syndrome di Intensif Care Unit Dengan Impending Organ Failure Fadrial, Andi Muhammad; Muchtar, Faisal; Rum, Muhammad; Hisbullah, Hisbullah
UMI Medical Journal Vol 6 No 2 (2021): Umi Medical Journal
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33096/umj.v6i2.147

Abstract

Neuroleptic Malignant Syndrome adalah sebuah sindrom khas dan merupakan komplikasi pengobatan antipsikotik yang mengancam jiwa. Neuroleptic Malignant Syndrome memberikan gambaran klinis seperti rigiditas, hipertermia, dan perubahan status mental. Morbiditas dan mortalitas pada Neuroleptic Malignant Syndrome sering akibat sekunder dari komplikasi jantung, paru-paru dan ginjal sehingga diperlukan perawatan intensif. Penatalaksanaan Neuroleptic Malignant Syndrome adalah menghentikan semua antipsikotik dan melakukan terapi suportif. Prognosis pasien Neuroleptic Malignant Syndrome akan mengalami perbaikan gejala dalam waktu dua minggu dan beberapa pasien sembuh tanpa gejala sisa neurologis. Telah dilakukan perawatan terhadap pasien perempuan usia 21 tahun dengan Neuroleptic Malignant Syndrome. Selama di ICU pasien mengalami demam, kekakuan otot, tremor dan mioglobinuria. Perawatan yang dilakukan berupa monitoring pernafasan, monitoring hemodinamik, dan terapi supportif. Selama perawatan di ICU kondisi pasien cenderung membaik dan kembali ke bangsal setelah perawatan hari ke sebelas. Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah mengetahui pentingnya tatalaksana yang tepat pada pasien Neuroleptic Malignant Syndrome sehingga dapat menghindari kerusakan organ yang berat dan irreversible di ICU.
Perbandingan Efektivitas antara Capillary Refill Time (CRT) dengan Kadar Laktat sebagai Alat Monitoring Keberhasilan Resusitasi pada Syok Hemoragik Subekti, Muhammad Miftachul Huda; Muchtar, Faisal; Kamsul Arif, Syafri; Hisbullah; Salam, Syamsul; Rum, Muhammad
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 40 No 2 (2022): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (441.843 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v40i2.260

Abstract

Latar Belakang: Serum laktat telah digunakan sebagai parameter diagnostik dan penanda prognostik syok hemoragik. Capillary Refill Time (CRT) juga merupakan salah satu indikator untuk perfusi perifer yang baik dan memiliki beberapa keuntungan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas CRT dan kadar laktat sebagai alat monitoring keberhasilan resusitasi pada syok hemoragik. Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross-sectional. Semua pasien yang mengalami syok hemoragik paskaoperasi dan dirawat di Intensive Care Unit (ICU) diikutsertakan dalam penelitian ini. CRT dan kadar laktat sebelum resusitasi dicatat (T0). Selama resusitasi, CRT dan kadar laktat dicatat pada interval waktu 2 jam (T1), 4 jam (T2), 6 jam (T3), dan 24 jam (T4) setelah resusitasi. Pasien dibagi menjadi kelompok yang resusitasi berhasil dan resusitasi belum berhasil untuk analisis lebih lanjut. Hasil: Kami menyajikan perubahan CRT dan kadar laktat dari awal hingga 24 jam resusitasi. Penurunan kadar laktat dan CRT yang ditunjukkan melalui grafik terjadi secara konsisten dan tidak berbeda antarkelompok. Ada korelasi positif yang kuat antara CRT dan kadar laktat 6 jam sejak resusitasi dimulai (R = 0,772, p = 0,001). Ditemukan juga korelasi positif yang kuat antara kadar laktat dan CRT pada awal resusitasi (R = 0,777, p = 0,001). Kesimpulan: CRT dan kadar laktat memiliki efektivitas yang sama sebagai alat monitoring keberhasilan resusitasi pada syok hemoragik.
Hubungan Neutrophil-Lymphocyte Ratio dengan Kejadian Acute Kidney Injury Pada Pasien Sepsis yang Dirawat di Intensive Care Unit (ICU) Jaelani, Abd Qadir; Arif, Syafri Kamsul; Muchtar, Faisal; Nurdin, Haizah; Salam, Syamsul Hilal; Tanra, Andi Husni
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.304

Abstract

Latar Belakang: Gagal Ginjal Akut (Acute Kidney Injury/AKI) adalah salah satu komplikasi yang umum dijumpai pada pasien dengan penyakit kritis di unit perawatan intensif (ICU). AKI merupakan komplikasi utama dari sepsis dan syok sepsis. Neutrophil-to-Lymphocyte Ratio (NLR) adalah penanda pengganti untuk respon inflamasi sistemik yang tersedia secara luas dan murah. Studi mengenai nilai diagnostik NLR dalam mendeteksi kejadian AKI masih terbatas dan hanya sedikit diketahui nilai klinis NLR terhadap pasien AKI sepsis. Tujuan: Mengetahui hubungan antara NLR dengan kejadian AKI pada pasien sepsis yang menjalani perawatan di ICU. Subjek dan Metode: Metode kohort retrospektif diaplikasikan dalam penelitian ini terhadap 80 pasien sepsis yang dirawat di ICU RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo (RSWS) Makassar sejak Januari 2019 – Desember 2021 yang dibagi dalam 40 sampel kelompok AKI dan 40 sampel non AKI. Sampel dikumpulkan dari data rekam medik pasien selama bulan Juli – September 2022. SPSS 25.0 dipakai untuk mengenalisis data dengan pengujian statistik Mann-Whitney, Chi-Square dengan level signifikansi α=0,05 dan analisis Kurva ROC. Hasil: Ditemukan perbedaan yang signifikan dari nilai NLR dan kadar kreatinin hari pertama dan ketiga pada kelompok AKI dan non-AKI (p<0.001). Terdapat penurunan nilai NLR yang signifikan jika dibandingkan antara hari pertama dan ketiga pada Kelompok AKI dengan nilai p= 0.001. Pada hari pertama dan ketiga terdapat korelasi antara nilai NLR dan kejadian AKI dengan hubungan linier sedang (r=0.577 dan r=0.534, berurutan). Uji ROC Curve dan Youden Index menunjukkan nilai cut off NLR untuk dapat memprediksi AKI yakni 15.15 dengan sensitivitas 70% dan spesifisitas 90%. Simpulan: Nilai NLR yang diukur pada 24 jam saat masuk ICU dapat menjadi prediktor terjadinya AKI sepsis, sehingga dapat dimasukkan dalam pemeriksaan rutin untuk deteksi dini terjadinya AKI sepsis pada penderita sepsis yang menjalani perawatan di ICU.
Perbandingan Dexmedetomidine 1 mcg/kgBB Intravena Dan Fentanyl 2 mcg/kgBB Intravena Terhadap Mula Kerja, Efek Hemodinamik Dan Waktu Pulih Sadar Selama Anestesi Endoskopi Retrograde Cholangiopancreatography Mufti, Asnurhazmi Hilaluddin; Wahyudi; Musba, A.M. Takdir; Salam, Syamsul Hilal; Muchtar, Faisal; Datu, Madonna D.
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.306

Abstract

Latar Belakang: Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) adalah prosedur diagnostik dan terapeutik untuk evaluasi penyakit bilier dan pankreas. Dexmedetomidine mengurangi kebutuhan propofol selama anestesi. Kombinasi propofol dan fentanil memberikan efek analgesik sentral terutama dengan mengaktifkan reseptor µ-opioid, yang terutama didistribusikan di area yang berhubungan dengan nyeri, pernapasan, mual, dan muntah. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pemberian dexmedetomidine intravena dan fentanyl intravena terhadap mula kerja, efek hemodinamik dan waktu pulih sadar selama anestesi ERCP. Metode: Penelitian uji acak tersamar ganda terhadap 42 pasien yang menjalani prosedur ERCP dengan anestesi umum di Instalasi Gastroenterohepatologi RSUP Wahidin Soedirohusodo bulan Agustus-September 2022. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok A (Dexmedetomidine) dan kelompok B (Fentanyl). Hasil: Pada kedua kelompok masing-masing 21 orang tiap kelompok, mula kerja dan pulih sadar didapatkan perbedaan yang bermakna pada mula kerja dengan nilai p <0,001, sedangkan pada pulih sadar dengan nilai p 0,022, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan pada mula kerja dan pulih sadar antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan bermakna pada kejadian penurunan tekanan arteri rerata (TAR) dengan p= 0,030, kejadian bradikardi dengan nilai p =0,014, dan pada kejadian bradipneu pada kedua kelompok dengan nilai p = 0,004, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan efek hemodinamik antara kedua kelompok. Efek samping didapatkan perbedaan yang bermakna pada kejadian mual dengan nilai p = 0,014. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada kejadian muntah dengan nilai p = 1,000, dan nyeri kepala dengan nilai p = 0,311. Simpulan: Kelompok dexmedetomidine-propofol lebih cepat mula kerja dibandingkan dengan kelompok fentanyl-propofol, sedangkan pada waktu pulih sadar kelompok dexmedetomidine-propofol lebih lambat. Kelompok dexmedetomidine-propofol lebih kurang mengalami penurunan TAR, lebih banyak kejadian bradikardi, dan lebih kurang kejadian bradipneu dibandingkan dengan kelompok fentanyl-propofol. Kelompok dexmedetomidine-propofol lebih kurang mengalami kejadian mual dibanding kelompok fentanyl-propofol, namun tidak terjadi perbedaan antar kelompok dalam kejadian muntah dan nyeri kepala.
Delta Rasio PaO2/FiO2 dengan Luaran Pasien Sindroma Cedera Paru Akut (SCPA) di Intensive Care Unit Herwin; Salam, Syamsul Hilal; Muchtar, Faisal
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 42 No 2 (2024): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v42i2.329

Abstract

Latar Belakang: Sindroma cedera paru akut (SCPA) adalah bentuk dari edema paru non kardiogenik,akibat cedera alveolar sekunder hasil dari proses inflamasi, yang dapat menyebabkan hipoksemia refraktori, meningkatkan kekakuan paru dan merusak kemampuan paru untuk menghilangkan karbondioksida. rasio PaO2/FiO2 dapat menjadi alat untuk mengidentifikasi kondisi pasien pada SCPA dan melihat tingkat keparahan pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat delta rasio PaO2/ FiO2 terhadap luaran pada pasien SCPA di perawatan intensif. Metode: Populasi pada penelitian ini adalah pasien dengan SCPA di unit perawatan intensif RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sampel penelitian merupakan pasien yang dirawat di unit perawatan intensif RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Diambil data mengenai karakteristik pasien, data mengenai rasio PaO2/FiO2 pasien saat masuk, rasio PaO2/FiO2 pasien saat 24 jam dirawat, dan menghitung nilai delta rasio PaO2/FiO2. Dilakukan analisis secara statistik menggunakan program SPSS 26.. Hasil: Hemoglobin, hematokrit, sequential organ failure assessment (SOFA) dan albumin didapatkan perbedaan bermakna pada kedua kelompok (p < 0,05). SCPA berat memiliki angka mortalitas paling tinggi dan dengan nilai statistik signifikan (p < 0,001). SCPA berat terhadap lama rawat (28 hari) memiliki angka lama rawat inap paling tinggi dan dengan nilai statistik signifikan (p < 0,001). Pada analisis rasio PaO2/FiO2 dan delta rasio PaO2/FiO2 terhadap luaran, kelompok rasio PaO2/FiO2 hari 2 dan delta rasio PaO2/FiO2 secara statistik signifikan terhadap mortalitas dengan nilai (p < 0,005). Kelompok rasio PaO2/FiO2 hari 1 dan 2 didapatkan hasil yang signifikan terhadap lama rawat (p < 0,005). Simpulan: Delta rasio PaO2/FiO2 dapat dijadikan sebagai prediktor angka mortalitas dan lama rawat terhadap pasien SCPA di perawatan intensif.
An internal iliac artery ligation technique for bleeding control in the placenta accreta spectrum disorder Riu, Deviana Soraya; Sunarno, Isharyah; Pelupessy, Nugraha; Bakri, Syarif; Muchtar, Faisal; Andi Adil; Muhiddin, Rachmawati
Indonesian Journal of Obstetrics and Gynecology Volume 12 No. 4 October 2024
Publisher : Indonesian Socety of Obstetrics and Gynecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32771/inajog.v12i4.2134

Abstract

Objective: To assess the contribution of internal iliac artery ligation to bleeding control during surgery. Methods: This retrospective study used secondary data from medical records. All patients diagnosed with PASD from January 2019 – to December 2022 were included in this study. Participants were grouped based on operation technique, and the blood loss and operative duration were evaluated. The tests used were the Kruskal-Wallis and the Mann-Whitney U tests. Results: 108 PAS patients were discovered. The most age group was between 20-35 years with parity of more than or equal to 4, history of Cesarean section once, gestational age at termination 34-36 weeks, and maternal death in 7 out of 101 cases. There were 49 resections, 13 resections with internal iliac artery ligation, 34 hysterectomies, and 12 hysterectomies with internal iliac artery ligation. There was no difference in bleeding and operative duration between resection vs. resection with internal iliac artery ligation (p: 0.113; p: 0.639), hysterectomy vs. a hysterectomy with internal iliac artery ligation ((p:0.052; P:0.723), and resection with ligation vs hystetectomy with the internal iliac artery ligation (p:0.052; p:0.723). Bleeding and operative duration differed significantly between resection vs. hysterectomy (p:0.002; p:0.013). All patients underwent tourniquet placement. Conclusion An Internal iliac artery ligation was not shown to reduce bleeding in treating PASD. Keywords: accreta, internal iliac artery, placenta .
Hubungan PCO2 Gap dengan Kejadian Awal Sepsis pada Pasien dengan Ventilasi Mekanik di Ruang Perawatan Intensif RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Baderu, Muhammad Rum; Salam, Syamsul Hilal; Salahuddin, Andi; Ahmad, Muhammad Ramli; Muchtar, Faisal; Adil, Andi
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 43 No 1 (2025): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v43i1.370

Abstract

Latar Belakang: Sepsis merupakan disfungsi organ yang disebabkan oleh gangguan respon imun inang terhadap infeksi. Perbedaan karbon dioksida vena ke arteri sentral, atau PCO2 gap menjadi biomarker penyakit kritis. Namun, penanda ini memiliki keterbatasan karena parameter hemodinamik dan ScvO2 tidak menjamin perfusi jaringan yang adekuat serta mortalitas dan kegagalan organ masih tinggi. Belum ada penelitian yang mengkaji hubungan PCO2 gap pada pasien terventilasi mekanik dengan kejadian sepsis. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan PCO2 gap sebagai prediktor kejadian sepsis pada pasien terventilasi mekanik di ruang perawatan intensif RSUP Wahidin Sudirohusodo. Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif. Populasi penelitian adalah pasien yang menjalani prosedur pemasangan ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif. Pemeriksaan PCO2 gap, yang mencakup PCO2 arteri dan PCO2 vena, dilakukan pada hari ke-1 pemasangan ventilasi mekanik (T0), hari ke-2 (T1), dan hari ke-3 (T2). Selain itu, dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang, serta evaluasi menggunakan Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) dan Sindrom Respon Inflamasi Sistemik (SIRS) untuk diagnosis sepsis pada T0, T1, dan T2. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara PCO2 gap dengan kejadian sepsis pada hari ke-1, ke-2, dan ke-3 setelah pemasangan ventilasi mekanik (p >0,05). Simpulan: PCO2 gap tidak berhubungan dengan tingkat kejadian sepsis dan menjadi prediktor yang kurang efektif dalam memprediksi kejadian sepsis pada hari ke-1, ke-2, dan ke-3 setelah pemasangan ventilasi mekanik.