Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Perkembangan Terapi Sistemik Pada Pruritus Melody Febriana Andardewi; Windy Keumala Budianti; Lili Legiawati; Yudo Irawan
Jurnal Kedokteran Meditek Vol 28 No 1 (2022): JANUARI-APRIL
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36452/jkdoktmeditek.v28i1.2203

Abstract

Pruritus merupakan sensasi tidak nyaman yang mencetuskan keinginan untuk menggaruk. Sensasi tersebut disebabkan oleh berbagai hal, misalnya penyakit kulit, penyakit sistemik, atau idiopatik, gangguan psikiatri, serta penyakit neurologis. Pruritus menjadi masalah kesehatan karena dapat memberi dampak negatif terhadap kualitas hidup pasien. Pendekatan tata laksana pruritus diberikan secara bertingkat mulai dari terapi dasar, terapi target, dan terapi simtomatik. Pada kasus pruritus kronik yang refrakter maupun pruritus tanpa sebab yang diketahui, terapi simtomatik berperan besar dan dapat diberikan pada pasien tersebut. Tata laksana pada pruritus kronik saat ini banyak diteliti seiring dengan ditemukan berbagai mekanisme yang mendasari terjadinya pruritus. Sesuai dengan patofisiologi dari pruritus, terapi sistemik yang dikembangkan menargetkan pada reseptor spesifik di sistem saraf dan sistem imunitas yang berperan pada jalur sinyal pruritus. Berbagai terapi terbaru yang masih diteliti dalam uji klinis menunjukkan hasil yang menjanjikan dan berpotensi menjadi pilihan terapi pada pasien dengan pruritus kronik.
DAMPAK PRE-EXPROSURE PROPHYLAXIS ANTIRETROVIRAL ORAL TERHADAP INFEKSI MENULAR SEKSUAL Noer Kamila; Yudo Irawan; Hanny Nilasari
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 49 No 2 (2022): Media Dermato-Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v49i2.244

Abstract

World Health Organization menganjurkan penggunaan Pre-exposure prophylaxis (PrEP) pada pasien HIV negatif sejak tahun 2015. Terapi PrEP menggunakan obat antiretroviral (ARV) diberikan pada kelompok yang memiliki risiko tinggi dengan dosis tunggal harian atau dosis intermiten. Rekomendasi WHO penggunaan PrEP secara spesifik harus menggunakan Tenofovir tunggal atau dapat dikombinasikan dengan obat ARV lainnya. Pada beberapa penelitian efektivitas PrEP mampu menurunkan insiden kasus baru HIV hingga 92%. Terdapat potensi yang perlu diperhatikan mengenai pemberian PrEP, yaitu peningkatan perilaku seksual yang tidak aman, peningkatan insiden infeksi menular seksual (IMS), potensi resistensi virus, dan kecenderungan untuk melakukan hubungan aktifitas seksual berisiko lebih sering. Hal tersebut ditunjang oleh beberapa studi yang melaporkan peningkatan insiden IMS setelah era PrEP pada kelompok berisiko dan penurunan penggunaan kondom pada kelompok PrEP. Peningkatan kasus terjadi hampir di seluruh penyakit IMS yang disebabkan oleh bakteri sedangkan untuk penyakit IMS yang disebabkan oleh virus relatif menetap. Pemberian PrEP harus disertai dengan konseling dan pemeriksaan kesehatan berkala khususnya terkait infeksi menular seksual. Tinjauan pustaka ini disusun untuk memahami dampak pemberian PrEP terhadap angka kejadian IMS. Kata kunci: IMS, perilaku seksual, Preexposure prophylaxis (PrEP)
PERAN SUPLEMENTASI VITAMIN D PADA TATA LAKSANA SARKOIDOSIS KUTIS Mutiara Ramadhiani; Yudo Irawan; Shannaz Nadia Yusharyahya; Lili Legiawati
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 50 No 1 (2023): Media Dermato-Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v49i4.311

Abstract

Sarkoidosis merupakan kelainan inflamasi multisistem yang ditandai dengan terbentuknya granuloma dan terjadi pada berbagai organ, terutama paru dan kulit. Granuloma berisi sel imun berupa makrofag yang juga berperan dalam metabolisme vitamin D. Makrofag pada granuloma sarkoidosis terbukti mampu memproduksi 1,25-dihidroksi vitamin D (kalsitriol) di luar ginjal yang berasal dari prekusor 25-hidroksi vitamin D (calcifediol). Selain itu, metabolisme 1,25-dihidroksi vitamin D di makrofag tidak memiliki mekanisme umpan balik yang efektif dalam menjaga keseimbangan kadar vitamin D di tubuh. Penurunan ini dapat mengganggu keseimbangan kadar kalsium pada pasien sarkoidosis. Pemberian suplementasi vitamin D dianggap sebagai terapi adjuvan dalam tata laksana sarkoidosis, namun diketahui dapat menyebabkan hiperkalsemia. Perubahan kadar vitamin D pada sarkoidosis tidak selalu menjadi indikasi pemberian suplementasi vitamin D, diperlukan pemeriksaan laboratorium yang tepat sebelum memberikan suplementasi vitamin D guna mengurangi risiko terjadinya hiperkalsemia pada sarkoidosis. Pemberian suplementasi vitamin D dalam dosis rendah diperbolekan bagi pasien sarkoidosis yang tidak disertai kondisi hiperkalsemia, namun perlu dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D dan kalsium secara rutin.
MALFORMASI VENA VERUKOSA: PERKEMBANGAN DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA Dina Evyana; Larisa Paramitha Wibawa; Yudo Irawan
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 49 No 2 (2022): Media Dermato-Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v49i2.336

Abstract

Verrucous venous malformation (VVM), formerly known as verrucous hemangioma, is a rare, congenital, non-hereditary vascular malformation. The initial clinical manifestations of VVM include bluish patches that become erythematous to purplish, then enlarge slowly to become verrucous and hyperkeratotic papules, plaques, or nodules. Its etiopathogenesis remain unknown. It used to be one of unclassified vascular anomalies due to its clinical feature consistent with malformations, but shows positive results on immunohistochemical for tumors. The identification of somatic mutations in the mitogen-activated protein kinase 3 (MAP3K3) gene has classified it into venous malformation group. Clinically this lesion often resembles other diseases that may lead to misdiagnosis. Investigations such as dermoscopy, radiology, histopathology, and immunohistochemical are continually updated as new cases are found. Superficial ablative procedures often result in recurrence of the lesions. There is potential for targeted therapy using sirolimus but surgical excision remain preferred choice. Early diagnosis and prompt treatment are important due to the risk of recurrence.
PERKEMBANGAN TERKINI MANIFESTASI KLINIS FRAMBUSIA Joanne Natasha; Sri Linuwih SW Menaldi; Yudo Irawan; Endi Novianto
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 51 No 2 (2024): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v51i2.338

Abstract

Yaws, a neglected tropical disease, is still become the health problem in several countries. World Health Organization has proposed 2030 goals for yaws eradication after the previous target has not been achieved. Indonesia is still one of the largest contributors to yaws cases in Southeast Asia. The variety of lesions and the development of atypical clinical features make the yaws diagnose as a challenge. WHO guideline is used as a reference to determine the clinical manifestations, divided into early stage (infectious) lesions to advanced (non-infectious) yaws lesions. Yaws clinical features should be mastered by health workers in Indonesia, considering that the establishment of suspected cases begin with a clinical examination then confirmed by serological test. Several recent clinical surveillance had not reported early-stage lesions as the most common clinical finding, but rather had scars which was previously removed from the modified WHO guidelines. Missed diagnosis causes continually transmission.
VARIASI HASIL ANOSKOPI DAN PERANNYA UNTUK DETEKSI KUTIL INTRA-ANUS: SERIAL KASUS Melissa Halim; Ayutika Saraswati Adisasmito; Anggita Nur Azizah; Yudo Irawan; Hanny Nilasari; Melani Marissa
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 51 No 2 (2024): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v51i2.478

Abstract

Pendahuluan: Kutil intra-anus, yang disebabkan oleh infeksi human papilloma virus (HPV), meningkat insidennya terutama pada kelompok risiko tertentu seperti laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dan individu dengan infeksi HIV. Laporan kasus: Dilaporkan empat kasus kutil intra-anus yang mendasari pemeriksaan anoskopi sebagai alat diagnostik utama, diikuti dengan pemeriksaan tes asam asetat dan aplikasi asam trikloroasetat (TCA) 90%. Hasil pemeriksaan menunjukkan variasi dalam presentasi klinis kutil intra-anus, dengan satu kasus mengarah pada diagnosis lesi subklinis. Kesimpulan: Variasi dalam presentasi klinis kutil intra-anus menekankan pentingnya pemantauan berkala dengan anoskopi disertai evaluasi dari terapi yang telah diberikan.
Terapi Terkini Pityriasis Rosea Riyanti Astrid Diahtantri; Aida SD Hoemardani; Yudo Irawan
MEDICINUS Vol. 37 No. 3 (2024): MEDICINUS
Publisher : PT Dexa Medica

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56951/72h6tw89

Abstract

Pityriasis rosea (PR) merupakan erupsi kulit papuloskuamosa akut. Penyebab PR belum diketahui secara pasti, namun diduga akibat gangguan imunitas seluler atau infeksi HHV-6 dan HHV-7. Umumnya kondisi ini bersifat self-limiting disease dan akan mengalami pemulihan spontan dalam waktu beberapa minggu hingga bulan dengan pengobatan simtomatik topikal maupun sistemik. Penyakit ini relatif jarang mengalami kekambuhan. Dari keseluruhan kasus PR, terdapat beberapa kasus yang memerlukan terapi tambahan, seperti pada kasus lesi yang luas, pruritus berat, dan pasien yang dalam masa kehamilan. Tata laksana PR terbagi ke dalam tiga lini. Tata laksana lini pertama terdiri dari pemberian corticosteroid topikal, emolien, dan antihistamin oral. Lini kedua yaitu fototerapi narrow-band ultraviolet B (NBUVB) dan fototerapi ultraviolet A1 (UVA1). Kemudian lini ketiga terdiri dari terapi prednisone oral, erythromycin, acyclovir, dan dapsone.