Adanya kewenangan melaksanakan penuntutan tersebut sejatinya menjadikan Kejaksaan sebagai lembaga yang parsial untuk mewakili kepentingan korban tindak pidana atau negara, sementara itu, Kejaksaan bertujuan untuk menjatuhkan nestapa pada pelaku tindak pidana. Penghukuman pelaku tindak pidana merupakan prestasi bagi Kejaksaan. Pada akhirnya, kewenangan dalam melakukan penuntutan tersebut menjadi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang ditekankan dalam mediasi penal yang pada pokoknya menuntut imparsialitas dan profesionalitas dalam penyelenggaraannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan mediasi penal yang memenuhi asas imparsial selaku mediator sekalipun berfungsi pula sebagai penuntut dalam sistem penanganan perkara pidana. Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang didukung dengan data sekunder dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini adalah Penerapan mediasi penal oleh Kejaksaan Republik Indonesia dapat dilakukan apabila memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam Perja 15 Tahun 2020. Dalam pelaksanaan mediasi penal, apabila dilihat dari teori pemidanaan maka tujuan pemidanaan yang bersifat pembalasan dan /atau pencegahan telah mengalami perkembangan, dimana tujuan dari pelaksanaan mediasi penal adalah memperbaiki diri pelaku dan memulihkan hak korban. Selanjutnya, Imparsialitas dari kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai mediator pada perkara pidana telah merubah posisi jaksa sebagai penuntut umum dalam sistem peradilan pidana yang merepresentasikan kepentingan korban kejahatan. Hal ini terjadi dikarenakan kejaksaan juga bertanggung jawab untuk mengefektifkan proses penegakan hukum dengan memperhatikan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati Nurani.