Witono Adiyoga
Balai Penelitian Tanaman Sayuran

Published : 15 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Analisis Konjoin Preferensi Konsumen terhadap Atribut Produk Kentang, Bawang Merah, dan Cabai Merah Adiyoga, Witono; Nurmalinda, Nurmalinda
Jurnal Hortikultura Vol 22, No 3 (2012): September 2012
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Pemahaman tentang preferensi konsumen sangat penting dalam proses pengambilan keputusan pemangku kepentingan utama, termasuk bagi produsen/petani serta berbagai pihak terkait yang beroperasi di dalam subsektor sayuran. Penelitian ini diarahkan untuk menghimpun informasi menyangkut preferensi konsumen atau optimalisasi utilitas atribut produk untuk komoditas prioritas/unggulan sayuran (kentang, bawang merah, dan cabai merah). Kegiatan penelitian dilaksanakan pada Bulan Juni sampai dengan September 2008 di tiga kota besar konsumen sayuran, yaitu Jakarta (DKI Jaya), Bandung (Jawa Barat), dan Padang (Sumatera Barat). Penelitian survai menggunakan kuesioner terstruktur dilaksanakan untuk mewawancarai 335 responden yang dipilih secara acak di ketiga kota tersebut. Atribut produk yang diamati mencakup atribut eksternal, internal, dan organoleptik. Preferensi konsumen diidentifikasi menggunakan analisis konjoin yaitu salah satu modul dalam program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen mengekspresikan preferensinya terhadap kentang yang berukuran 6­–8 butir/kg, berkulit mulus, dan memiliki jumlah mata sedikit (<10). Konsumen menganggap ukuran umbi kentang merupakan faktor terpenting dalam menilai atau membeli kentang, dan secara berturut-turut diikuti oleh faktor permukaan kulit serta jumlah mata. Sementara itu, bawang merah yang paling disukai konsumen ialah bawang merah dengan diameter umbi 2,5 cm, berwarna kulit merah-ungu tua, dan beraroma tidak menyengat. Urutan kepentingan atribut bawang merah menurut persepsi konsumen secara berturut-turut yaitu warna kulit, ukuran umbi, serta aroma. Sementara itu, konsumen lebih menyukai cabai merah yang besar, kulit berwarna merah terang, dan memiliki kepedasan agak pedas. Dalam konteks atribut produk cabai merah yang digunakan untuk mengukur preferensi, faktor terpenting yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan yaitu warna kulit, dan secara berturut-turut diikuti oleh faktor jenis cabai serta tingkat kepedasan.ABSTRACT. Adiyoga, W and Nurmalinda 2012. Conjoint Analysis of Consumer Preferences on Potato, Shallots, and Hot Pepper’s Product Attributes. Understanding consumer preferences is important in the context of decision-making of key stakeholders, including producers themselves, as well as development agencies that operate in the vegetable subsector. This study was aimed at collecting information on consumer preference or optimizing the utility of product attributes of vegetable priority crops (potato, shallots, and hot peppers). It was carried out in June-September 2008 in three big vegetable consuming cities, Jakarta (Capital Special-Region of Jakarta), Bandung (West Java), and Padang (West Sumatera). Survey method by using a structured questionnaire was implemented to interview 335 respondents randomly selected in the three cities. Parameters observed were external, internal, and organoleptic attributes. Consumer preferences were identified by using conjoint analysis – a module in Statistical Program for Social Sciences (SPSS). The results showed that consumers express their preference to potato that has some characteristics, such as medium size of tuber (6-8 tubers/kg), smooth-flawless skin, and few numbers of eyes (<10). Tuber size were perceived as the most important factor affecting purchasing decision, and followed by skin and number of eyes. The most preferred shallots was the one that has a diameter of 2.5 cm in size, dark-violet red skin color, and least strong aroma. The rank of shallot’s attributes importance as perceived by consumers were skin color, tuber size, and aroma, consecutively. Meanwhile, consumers prefer hot peppers that has the characteristics of bright-red skin color, big-hot peppers type, and slightly hot. Within the context of measuring preference, the most important hot peppers attribute that influences consumer decision making were skin color, and then followed by hot peppers type, and hotness.
Perilaku Konsumen terhadap Jeruk Siam di Tiga Kota Besar Di Indonesia Adiyoga, Witono; Setyowati, T; Ameriana, Mieke; Nurmalinda, -
Jurnal Hortikultura Vol 19, No 1 (2009): Maret 2009
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Penelitian diarahkan untuk memperoleh pemahaman tentang perilaku konsumen terhadap jeruk siam asallokal dan impor. Penelitian survai dilaksanakan di 3 kota besar konsumen utama produk hortikultura, yaitu Jakarta(DKI Jaya), Bandung (Jawa Barat), dan Padang (Sumatera Barat) pada bulan Juni-September 2006. Respondenkonsumen adalah 339 ibu rumah tangga yang dipilih secara acak. Alat analisis yang digunakan adalah statistikdeskriptif, analisis conjoint, dan analisis klaster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi jeruk siamsebagian besar konsumen (53,7%) cukup tinggi, yaitu 1-2 kali seminggu. Perkiraan tren peningkatan konsumsi jeruksiam 25-75% dalam 5 tahun ke depan juga dipersepsi oleh 61,3% responden. Segmentasi a priori berbasis peubahdemografis mengindikasikan agar strategi pengembangan jeruk siam lebih diarahkan untuk segmen konsumen/pasaryang memiliki karakteristik: usia 30-39 tahun, pendidikan lebih tinggi dari SLTA, ibu rumah tangga bekerja, jumlahanggota keluarga 3-4 orang, jumlah anggota keluarga dewasa 1-2 orang, jumlah anggota keluarga balita 1-2 orang,dan total pengeluaran antara Rp. 2.500.001,00-Rp. 5.000.000,00/bulan. Atribut rasa dipersepsi konsumen sebagaiatribut paling penting (urutan 1), sedangkan atribut harga/kg dipersepsi sebagai atribut dengan urutan kepentinganterendah (urutan 8). Sementara itu, segmentasi a priori berbasis preferensi mengidentifikasi jeruk siam ideal dengankarakteristik: rasa manis, berserat banyak, kandungan air banyak, dan harga Rp. 4.000,00-Rp. 6.999,00/kg. Segmenkonsumen ini menempatkan atribut kandungan air sebagai faktor terpenting (49,52%), dan berturut-turut diikutioleh rasa (23,32%), harga per kg (16,15%), serta serat buah (11,01%). Analisis tanggap konsumen secara umummengindikasikan bahwa konsumen memberikan tanggapan lebih positif terhadap atribut produk jeruk siam impordibandingkan dengan jeruk siam lokal. Label impor cenderung dipandang sebagai salah satu atribut produk yangmerepresentasikan kualitas, dependabilitas, dan reliabilitas, terutama pada saat informasi tersedia dan upaya promosimengenai jeruk siam lokal relatif terbatas. Secara implisit, hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan impor jeruksiam tidak saja dihela oleh intervensi dan akses pasar (kebijakan), namun juga oleh permintaan konsumen.ABSTRACT. Adiyoga, W., T. Setyowati, M. Ameriana, and Nurmalinda. 2009. Consumer Behavior on Tangerinein Three Big-Cities in Indonesia. This study was aimed to obtain understandings with regard to consumer behaviortoward both local tangerine and imported tangerine. Consumer surveys were carried out in 3 big cities in Indonesia(Jakarta-DKI Jaya, Bandung-West Java, and Padang-West Sumatera) from June to September 2006. Respondents ofthese surveys were 339 household-moms who were randomly selected. Descriptive statistics, conjoint analysis, andcluster analysis were used for data elaboration. The results showed that there was a quite high consumption frequency(1-2 times a week) indicated by 53.7% respondents. Most respondents (61.3%) also expect an increasing tangerineconsumption trend of 25-75% in the next 5 years. A priori segmentation on the basis of demographic variablesindicated that the market development of tangerine was more toward market segment that has characteristics suchas: 30-39 years old, higher than high school education, employed household-mom, 3-4 persons family member, 1-2persons adult family member, 1-2 persons of ≤ 5 years old family member, and total expenditure of Rp. 2,500,001.00-Rp. 5,000,000.00/month. Taste was perceived as the most important attribute (1st rank) while price was consideredthe least important (8th rank). A priori segementation on the basis of consumer preference has identified an idealtangerine that has characteristics such as: sweet taste, high fiber, high water content, and price of Rp. 4,000.00-Rp.6,999.00/kg. This consumer segment considers water content as the most important factor (49.52%) contributes tothe preference, and subsequently followed by taste (23.32%), price (16.15%), and fruit fiber (11.01%). In general,consumers provide more positive opinions regarding some attributes of imported tangerine as compared to thoseof local tangerine. Consumers tend to perceive import label as one of the product attributes that represents quality,dependability, and reliability, especially when available information and promotion efforts of local tangerine wererelatively limited. This result implies that the increasing import of tangerine was not only driven by foreign marketintervention and market access (trade policy), but also by consumer demand.
engaruh Jumlah Cabang per Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Paprika Gunadi, Nikardi; Maaswinkel, R; Moekasan, Tonny Koestani; Prabaningrum, Laksminiwati; Subhan, -; Adiyoga, Witono
Jurnal Hortikultura Vol 21, No 2 (2011): JUNI 2011
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Di Indonesia, penelitian tentang pengaruh jumlah cabang per tanaman sangat terbatas dan baru dilakukan pada satu varietas paprika, yaitu cv. Ferrari. Dalam rangka meningkatkan pilihan petani terhadap varietas yang dibudidayakan, penelitian tentang pengaruh jumlah cabang per tanaman pada pertumbuhan dan hasil tiga varietas paprika perlu dilakukan. Penelitian dilaksanakan di Rumah Plastik kayu-metal, Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang (1.250 m dpl.), Jawa Barat dari bulan Juni 2007 sampai dengan Februari 2008. Penelitian menguji dua faktor perlakuan, yaitu (1) jumlah cabang per tanaman dengan dua taraf, yaitu dua dan tiga cabang per tanaman serta (2) varietas dengan tiga taraf yaitu varietas Spider, Chang, dan Athena. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah cabang per tanaman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil paprika. Tanaman paprika dengan sistem tiga cabang menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan sistem dua cabang terutama pada  umur 11 minggu setelah tanam. Tanaman paprika dengan sistem tiga cabang memberikan hasil total dan hasil kelas buah >200 g berturut-turut lebih tinggi  yaitu sebesar 9,3 dan 9,1% daripada tanaman paprika dengan dua cabang. Total hasil varietas Athena dan Spider lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Chang, tetapi varietas Chang menghasilkan jumlah buah yang lebih banyak dibandingkan dengan dua varietas lainnya. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk pemilihan varietas dan teknik budidaya paprika dalam kondisi rumah plastik di Indonesia.In Indonesia, research on the effect of stem number per plant is very limited and it was conducted only in one sweet pepper variety namely Ferrari. In order to increase the possibility of farmers to choose good cultivated varieties, an experiment needs to be conducted to determine the effect of stem number per plant on the growth and yields of three sweet pepper varieties. This experiment was carried out in the wood-metal plastichouse at the experimental field of the Indonesian Vegetable Research Institute (IVEGRI), Lembang (1,250 m asl.), West Java from June 2007 to February 2008. Two factor treatments tested were (1) number of stem per plant with two levels i.e. two stems and three stems per plant and (2) varieties of sweet pepper i.e. Spider, Chang, and Athena. The treatment combinations were arranged in a completely randomized block design with three replications. The results indicated that number of stem per plant significantly affected the growth and yield of sweet pepper. The plant height of sweet pepper plants grown with three stems were significantly higher than those with two stems, especially after 11 weeks after planting. The plants grown with three stems per plant gave higher total yield and yield of class >200 g up to 9.3 and 9.1%, respectively than the ones grown with two stems per plant. The total yield and yield of class > 200 g of Athena and Spider were significantly higher than those of Chang. However, Chang yielded more number of fruits compared to Athena and Spider. The results can be used as a recommendation in variety selection and cultivation of sweet pepper grown under plastichouse  conditions in Indonesia.
Studi Pendasaran Sistem Usahatani Tanaman-Ternak pada Ekosistem Dataran Tinggi di Jawa Barat Adiyoga, Witono; Suherman, R
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 1 (2008): Maret 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Kegiatan penelitian ini merupakan studi pendasaran yang dilaksanakan di daerah dataran tinggi Jawa Barat (Lembang: Desa Cibodas dan Suntenjaya, Pangalengan: Desa Pulosari dan Margamulya, dan Ciwidey: Desa Lebakmuncang dan Panundaan) pada bulan Mei-Oktober 2003. Responden di setiap lokasi ditentukan berdasarkan kriteria bahwa responden bersangkutan melakukan usahatani tanaman-ternak. Rincian jumlah responden di masing-masing lokasi adalah sebagai berikut. Lembang 40 orang, Pangalengan 45 orang, dan Ciwidey 44 orang. Hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa komoditas sayuran yang sama diusahakan hampir di semua lokasi, misalnya kubis, tomat, dan kentang. Jika pada waktu tertentu terjadi kelebihan pasokan untuk komoditas tersebut akibat tidak adanya koordinasi pengaturan produksi, maka harga akan turun secara drastis. Informasi pola tanam setahun menunjukkan dominasi pemilihan sistem pertanaman monokultur. Kisaran produktivitas minimal dan maksimal yang cukup lebar secara tidak langsung tidak saja memberikan gambaran adanya keragaman intensitas penggunaan input, tetapi juga inefisiensi penggunaan input antarusahatani. Fluktuasi harga dan insiden hama penyakit dipersepsi sebagai 2 kendala terpenting usahatani sayuran. Jenis ternak yang dominan diusahakan adalah sapi perah. Sebagian responden juga mengusahakan ternak yang dikategorikan sebagai komoditas ternak sekunder, misalnya domba dan kelinci. Estimasi produktivitas sapi perah di ketiga sentra menunjukkan bahwa produktivitas sapi perah di Pangalengan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas sapi perah di Lembang dan Ciwidey. Penghitungan kelayakan finansial memberikan gambaran bahwa pengusahaan 3 ekor sapi perah usia pedet dan 2 ekor sapi perah usia danten dikategorikan layak secara finansial. Peternak responden menganggap kualitas pakan, insiden penyakit, dan ketersediaan modal merupakan 3 kendala utama usaha ternak. Indikator kontribusi memberikan gambaran bahwa pengusahaan ternak memberikan kontribusi yang lebih dominan terhadap pendapatan rumah tangga tani di Lembang dan Ciwidey. Sementara itu, pengusahaan sayuran memberikan kontribusi yang lebih dominan terhadap pendapatan rumah tangga tani di Pangalengan. Petani mengusulkan perbaikan metode pengendalian hama penyakit, cara dan dosis pemupukan, serta pemilihan/penggunaan benih berkualitas untuk semua komoditas sayuran utama. Petani menghendaki adanya pemutakhiran teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas usahatani secara nyata. Untuk sapi perah, perbaikan komponen teknologi yang diusulkan petani adalah komponen teknologi peningkatan produksi dan kualitas susu, pembuatan pakan, sanitasi kandang, dan pengendalian penyakit.ABSTRACT. Adiyoga, W. and R. Suherman. 2008. A Baseline Study of Crop-livestock System in West Java Highland Ecosystem. A baseline study was carried out in West Java highland areas (Lembang: Cibodas and Suntenjaya Village, Pangalengan: Pulosari and Margamulya Village, and Ciwidey: Lebakmuncang and Panundaan Village) from May to October 2003. Respondents were those who grew vegetables and raised livestock simultaneously. Number of respondents selected were as follow: Lembang 40 respondents, Pangalengan 45 respondents, and Ciwidey 44 respondents. The results showed that some major vegetables, such as cabbage, potato, and tomato were grown in all production centers. Without any production regulation, the probability of excess supply that may decrease the price drastically was quite high. Yearly cropping pattern showed the domination of monocropping system. Wide gap between minimum and maximum yield provide an indirect indication that there was not only caused by wide variation in input-use intensity, but also inefficiency in input allocation among vegetable farms. Price fluctuation and pest and disease incidence were the most 2 important constraints in vegetable farming. Livestock dominantly raised in highland areas were dairy cow. Some respondents also raised goats and rabbits as secondary livestock. Productivity of dairy cows in Pangalengan was slightly higher than that in Lembang and Ciwidey. Feasibility analysis indicated that raising 3 cows (less than 18 months old) and 2 cows (more than 18 months old) was financially viable. Respondents perceived that feed quality, disease incidence and capital availability were the most 3 important constrains in dairy cows farming. Some indicators suggest that dairy cows farming contributed more dominantly to the household income in Lembang and Ciwidey. Meanwhile, the vegetable farming provided a more dominant contribution to the household income in Pangalengan. Farmers proposed the need for some improvements in pest and disease control, fertilization and selection or use of good quality seeds for all important vegetables. Implicitly, farmers asked for the most updated technology to increase their farm productivity significantly. For dairy cows, some improvements needed were techniques to increase milk production and quality, to prepare feeds, to improve cage sanitation, and to control disease.
Interaksi Komponen dalam Sistem Usahatani Tanaman-Ternak Pada Ekosistem Dataran Tinggi di Jawa Barat Adiyoga, Witono; Soetiarso, T A; Ameriana, M
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 2 (2008): Juni 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Kegiatan penelitian dilaksanakan di daerah dataran tinggi Jawa Barat (Lembang: Desa Cibodas dan Suntenjaya, Pangalengan: Desa Pulosari dan Margamulya, dan Ciwidey: Desa Lebakmuncang dan Panundaan) pada bulan Juni-Oktober 2004. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui interaksi antarkomponen dalam sistem usahatani tanaman-ternak pada ekosistem dataran tinggi. Responden di setiap lokasi ditentukan berdasarkan kriteria bahwa responden bersangkutan melakukan usahatani tanaman-ternak. Rincian jumlah responden di masing-masing lokasi adalah: Lembang 40 orang, Pangalengan 45 orang, dan Ciwidey 44 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usahatani tanaman-ternak dataran tinggi di Jawa Barat merupakan sistem usahatani campuran terdiversifikasi, bukan sistem yang terintegrasi. Komponen sayuran dan sapi perah bersama-sama diusahakan, tetapi cenderung saling berdiri sendiri. Kombinasi 2 jenis usaha ini lebih bersifat saling mereduksi risiko, namun interaksi di antara keduanya cenderung minimal. Aliran hara bersifat linear, karena aktivitas daur ulang sumberdaya yang terjadi cenderung rendah. Interaksi antarkomponen juga bersifat minimal yang tercermin dari kontribusi kuantitatif subsistem ternak sapi perah terhadap kebutuhan total tenaga kerja untuk pengelolaan tanaman sayuran sebesar 0%, kontribusi subsistem ternak terhadap kebutuhan total pupuk kandang untuk pengelolaan tanaman sayuran hanya berkisar antara 0-25%, dan kontribusi limbah sayuran, atau produk sampingan dari sayuran yang diusahakan terhadap kebutuhan total pakan ternak hanya berkisar antara 0-10%. Berkaitan dengan penggunaan sumberdaya, kompetisi penggunaan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja keluarga, misalnya, antara tenaga kerja untuk penyiangan/penyemprotan pestisida/pemupukan dengan tenaga kerja untuk keperluan menyabit rumput, sudah dirasakan sangat tinggi/ketat oleh petani. Dampak positif sistem tanaman-ternak yang dianggap nyata terhadap kelestarian lingkungan adalah penanaman rumput pakan ternak di pinggiran terasan (mengurangi erosi tanah) serta penggunaan pupuk kandang (memperbaiki struktur dan kesuburan tanah). Sementara itu, dampak negatif dari sistem tanaman-ternak berupa polusi, gangguan terhadap keseimbangan lingkungan, serta kesehatan manusia akibat pengendalian hama penyakit (tanaman dan hewan) secara kimiawi mulai dianggap nyata dan harus mulai mendapat perhatian lebih besar untuk dicarikan pemecahannya.ABSTRACT. Adiyoga, W., T. A. Soetiarso, and M. Ameriana. 2008. Component Interactions in Crop-livestock System in West Java Highland Ecosystem. This study was carried out in West Java highland areas (Lembang – Cibodas and Suntenjaya village, Pangalengan-Pulosari and Margamulya village, and Ciwidey – Lebakmuncang and Panundaan village) from June to October 2004. The objective of this study was to examine the component interactions of crop-livestock system in highland ecosystem. Respondents surveyed were those who grew vegetables and raised livestock simultaneously. Number of respondents selected were as follows: Lembang 40 respondents, Pangalengan 45 respondents, and Ciwidey 44 respondents. The results showed that crop livestock system (CLS) in West Java highland can be classified as diversified mixed farming systems, not integrated, consist of components such as crops and livestock that co-exist rather independently from each other (minimum interactions). In this case the mixing of vegetable crops and dairy-cows primarily serves to minimize risk and not to recycle resources. Nutrient flows tend to be linear, since the activity of resource-recycling is not significant. Minimum interactions between components were also reflected from zero contribution of labor from dairy-cow subsystem to the total labor requirement for vegetable cultivation; 0-25% contribution of manure from dairy-cow subsystem to the total organic fertilizer requirement for vegetable cultivation, and 0-10% contribution of crop wastes or by-products from vegetable farming to the total feed requirement for dairy-cows farming. Regarding resource utilization, there was high competition in labor-use, especially family labor, between vegetable and dairy-cows farming. Positive impacts of CLS perceived to be significant were the use of leys containing grasses and legumes to reduce erosion and use of manure to improve soil structure and fertility. Meanwhile, the negative impacts of CLS, such as pollution; environmental disruption and health hazards from disease and pest chemical control measures were beginning to be perceived as slightly significant and need more attention for finding the problem solution.
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Paprika yang Ditanam pada Dua Tipe Konstruksi Rumah Plastik dan Dua Jenis Media Tanam Moekasan, Tonny Koestoni; Everaars, A; de Putter, H; Subhan, -; Adiyoga, Witono; Gunadi, N
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 3 (2008): September 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Percobaan untuk mengetahui pertumbuhan dan hasil tanaman paprika yang ditanam pada 2 tipe konstruksi rumah plastik dan 2 jenis media tanam, dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang (1.250 m dpl.), Jawa Barat dari bulan Mei 2004 sampai Februari 2005. Tanaman paprika ditanam pada 2 tipe konstruksi rumah plastik, yaitu (1) rumah plastik bambu dan (2) rumah plastik tipe kayu-metal. Jarak tanam yang digunakan pada masing-masing rumah plastik adalah 1,20x0,50 m. Dua jenis media tanam yaitu perlite dan arang sekam juga diteliti sebagai faktor perlakuan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak kelompok dan masing-masing kombinasi perlakuan diulang 6 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe konstruksi rumah plastik berpengaruh terhadap intensitas cahaya matahari yang dapat diintersepsi di rumah plastik dan rumah plastik tipe kayu-metal dapat mengintersepsi cahaya matahari 12,6% lebih tinggi daripada rumah plastik bambu. Bobot dan jumlah buah per tanaman dari tanaman paprika yang ditanam di rumah plastik tipe kayu-metal lebih tinggi daripada tanaman paprika yang ditanam di rumah plastik bambu. Tanaman paprika yang ditanam di media tanam arang sekam memberikan bobot dan jumlah buah per tanaman paprika lebih tinggi daripada media tanam perlite. Untuk mengatasi temperatur terlalu tinggi di rumah plastik tipe kayu-metal dapat dilakukan dengan membuat ventilasi di atap dan dengan cara menambah populasi tanaman.ABSTRACT. Gunadi, N., T.K. Moekasan, A. Everaarts, H. de Putter, Subhan, and W. Adiyoga. 2008. The Growth and Yield of Sweet Pepper Planted on Two Types of Plastichouse Construction and Two Kinds of Growing Media. An experiment to determine the growth and yield of sweet pepper grown in 2 different plastichouse constructions and 2 growing media was conducted at the field experiment of Indonesian Vegetable Research Institute, Lembang (1,250 m asl.), West Java from May 2004 to February 2005. Sweet pepper plants were grown at 2 different plastichouse constructions i.e. (1) bamboo plastichouse and (2) wood-metal type plastichouse. Plant spacing in each plastichouse was 1.20x0.50 m. Two planting media i.e. perlite and rice husk were also evaluated as the treatment factor. The experiment was arranged in a randomized complete block design and each treatment combination was replicated 6 times. The results indicated that plastichouse construction affected the light intensity intercepted in each plastichouse and the wood-metal type plastichouse intercepted light 12.6% higher than that in the bamboo plastichouse. Fruit weight and fruit number per plant of sweet pepper grown at the wood-metal type plastichouse were higher than those of grown at the bamboo plastichouse. Sweet pepper plant grown in rice husk growing media gave higher either fruit weight or fruit number per plant than those grown in perlite. In order to reduce the high temperature occurred in the wood-metal type plastichouse, ventilation could be provided on the roof or increasing the plant population.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku dan Keputusan Konsumen untuk Membeli Kentang, Bawang Merah, dan Cabai Merah Adiyoga, Witono
Jurnal Hortikultura Vol 21, No 3 (2011): SEPTEMBER 2011
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini diarahkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku dan keputusan konsumen dalam membeli kentang, bawang merah, dan cabai merah. Penelitian survai dilaksanakan di tiga kota besar konsumen utama sayuran, yaitu Jakarta (DKI Jaya), Bandung (Jawa Barat), dan Padang (Sumatera Barat) pada bulan April sampai dengan Juni 2007. Responden konsumen ialah 462 pengambil keputusan pembelian sayuran yang dipilih secara acak. Alat analisis yang digunakan ialah statistika deskriptif, analisis faktor, dan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara berturut-turut 93,1 dan 80,7% responden menggunakan bawang merah dan cabai merah hampir setiap hari, sedangkan untuk komoditas kentang, 67,1% responden menyatakan mengonsumsinya 1-2 kali seminggu. Pasar tradisional merupakan pilihan terpopuler tempat pembelian sayuran, kemudian diikuti oleh supermarket, pedagang keliling, dan toko/warung. Komoditas yang menurut responden tren konsumsinya dapat meningkat antara 25-75% dalam 5 tahun ke depan secara berturut-turut ialah: kentang, bawang merah, dan cabai merah. Kentang dikategorikan ke dalam kelompok question marks karena secara relatif memiliki tren pertumbuhan tinggi dan penetrasi pasar rendah. Komoditas ini membutuhkan dukungan kapital tinggi (net cash absorber) untuk mempertahankan posisi pasarnya. Bawang merah dan cabai merah tergolong ke dalam kategori cash cows. Kedua komoditas ini berada di dalam pasar yang cenderung sudah mantap, sehingga dapat dikategorikan sebagai komoditas net cash generator. Keputusan pembelian kentang dipengaruhi oleh faktor-faktor  properti produk 1 (tidak ada tanda busuk, nilai gizi, kesegaran, dan minimal residu pestisida), properti produk 2 (aroma, warna daging, dan harga), sikap konsumen (komponen afektif, kognitif, dan konatif), situasi konsumen (pengetahuan harga, pengetahuan cara pengolahan, dan persepsi kualitas), serta indikator sosial ekonomi (jumlah anggota keluarga dan pengeluaran total per bulan). Keputusan pembelian bawang merah dipengaruhi oleh faktor-faktor properti produk 2 (minimal residu pestisida, tidak ada tanda busuk, kesegaran, dan penampakan visual), situasi konsumen (pengetahuan harga, pengetahuan cara pengolahan, dan persepsi kualitas), serta indikator sosial ekonomi (jumlah anggota keluarga dan pengeluaran total per bulan). Keputusan pembelian cabai merah dipengaruhi oleh faktor-faktor properti produk (warna, tidak ada tanda busuk, harga, minimal residu pestisida, dan kesegaran), sikap konsumen (komponen afektif, kognitif, dan konatif), serta persepsi kualitas produk.This study was aimed to identify factors affecting consumer behavior and purchasing decision on potatoes, shallots, and hot peppers. Consumer surveys were carried out in three big cities in Indonesia (Jakarta-DKI Jaya, Bandung-West Java, and Padang-West Sumatera) from April to June 2007. Respondents of these surveys were 462 vegetable purchasing decision makers who were randomly selected. Descriptive statistics, factor analysis and multiple regression analysis, were used for data elaboration. Results showed that 93.1 and 80.7% of respondents consume shallots and hot peppers almost everyday. Meanwhile, 67.1% of respondents consume potatoes once or twice a week. Traditional market is still the most frequently chosen place to buy vegetables, and then followed by supermarket, small vendor, and small grocery store. Crops perceived by consumers will have 25-75% increasing consumption trend in the next 5 years are consecutively potatoes, shallots, and hot peppers. Potatoes were in the  question marks category given their strong growth trend and relatively low market penetration. Potatoes require large amounts of cash (net cash absorber) to sustain their position in the market and to maintain the momentum of market growth. Shallots and hot peppers were in the cash cow category given their high market shares in low growth markets. These crops were in a mature market that requires lower cash hence they tend to be net cash generators. Factors affecting potato purchase are product property 1 (no blemishes, nutrition value, freshness, and minimum pesticide residue); product property-2 (aroma, flesh color, and price), consumer attitude (affective, cognitive, and conative), consumer situation (price knowledge, processing knowledge, and quality perception), and socio-economic indicators (number of family members and total monthly expenditure). Shallots purchase decision was influenced by some factors, such as product property 2 (minimum pesticide residue, no blemishes, freshness, and visual appearance), consumer situation (price knowledge, processing knowledge, and quality perception), and socio-economic indicators (number of family members and total monthly expenditure). The decision to purchase hot peppers was affected by factors, such as product properties (color, no blemishes, price, minimum pesticide residue, and freshness), consumer attitude (affective, cognitive, and conative), and product quality perception. 
Analisis Trend Hasil Per Satuan Luas Tanaman Sayuran Tahun 1969-2006 di Indonesia Adiyoga, Witono
Jurnal Hortikultura Vol 19, No 4 (2009): Desember 2009
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Juni 2008 menggunakan data sekunder tahunan produksi danareal panen sayuran mencakup periode 1969-2006. Jenis sayuran yang dianalisis adalah buncis, bawang daun, bawangmerah, bawang putih, cabai merah, kentang, kubis, lobak, mentimun, petsai, terung, tomat, dan wortel. Penelitianbertujuan menganalisis pola temporal produksi dan hasil per satuan luas sayuran di Indonesia menggunakan (a)analisis trend hasil per satuan luas, (b) analisis trend pertumbuhan produksi, areal panen, dan hasil per satuan luas,serta (c) analisis trend stabilitas hasil per satuan luas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis trend jangkapanjang 1969-2006 tidak menunjukkan indikasi adanya perlambatan hasil per satuan luas. Namun, pada analisis trendper sepuluh-tahunan, indikasi perlambatan hasil per satuan luas ditunjukkan oleh buncis, bawang merah, bawangputih, cabai merah, lobak, dan petsai pada periode-periode tertentu. Selama periode 1969-2006, tingkat pertumbuhanproduksi rerata tahunan terendah diperlihatkan oleh bawang putih (–6,3%), sedangkan tertinggi ditunjukkan olehwortel (8,5%). Pertumbuhan areal panen terendah ditunjukkan oleh bawang putih (–7,5%), sedangkan tertinggi olehtomat dan wortel (6,6%). Sementara itu, pertumbuhan hasil per satuan luas rerata tahunan berkisar antara –2,5%(cabai merah) sampai 6,8% (buncis). Sumber dominan peningkatan produksi bawang merah, cabai merah, kentang,lobak, mentimun, petsai, tomat, dan wortel selama periode 1969-2006 adalah peningkatan areal panen. Peningkatanhasil per satuan luas merupakan sumber dominan bagi pertumbuhan produksi buncis, bawang daun, bawang putih,kubis, dan terung. Selama periode 1969-2006, variabilitas absolut hasil per satuan luas lobak meningkat, sedangkanmentimun dan petsai menurun. Dalam jangka panjang, stabilitas relatif hasil per satuan luas buncis, bawang daun,bawang merah, bawang putih, cabai merah, mentimun, petsai, terung, tomat, dan wortel terhadap trend pertumbuhannyadapat dikategorikan lebih stabil. Secara agregat dalam kurun waktu 1969-2006, koefisien variasi hasil per satuan luasterendah ditunjukkan oleh petsai, sedangkan tertinggi diperlihatkan oleh cabai merah. Upaya peningkatan produksibawang daun, bawang putih, kentang, kubis, petsai, dan wortel perlu diawali dengan identifikasi penyebab ketidakstabilanareal panen, terutama berkaitan dengan profitabilitas komoditas sayuran tersebut. Sementara itu, upayapeningkatan produksi buncis, bawang merah, cabai merah, lobak, mentimun, terung, dan tomat perlu ditempuhmelalui identifikasi penyebab ketidak-stabilan hasil per satuan luas dari sisi penelitian, penyuluhan, maupun kebijakan.Merespons indikasi perlambatan hasil per satuan luas untuk beberapa jenis sayuran, kegiatan penelitian pemuliaanberorientasi peningkatan daya hasil masih perlu mendapat prioritas. Orientasi penelitian pemuliaan yang memberipenekanan ketahanan terhadap hama penyakit serta cekaman lingkungan juga perlu mendapat perhatian lebih besarberkaitan dengan potensinya untuk mengurangi variabilitas hasil per satuan luas.ABSTRACT. Adiyoga, W. 2009. Yield Trend Analysis of Vegetable Crops in Indonesia 1969-2006. The study wascarried out in April to June 2008 by utilizing secondary data of annual vegetable production and harvested area that coveredthe period of 1969-2006. Vegetable crops included in this study were kidney bean, bunching onion, shallots, garlic, hotpepper, potato, cabbage, chinese radish, cucumber, chinese cabbage, eggplant, tomato, and carrot. The objective ofthis study was to analyze the temporal trend of vegetable production and yield in Indonesia using yield trend, growthtrend, and yield stability trend analysis. The results indicated that long-term trend analysis of 1969-2006 period did notshow any slowing yield growth for all vegetable crops studied. However, the ten-years periods trend analysis suggeststhe trend of slowing yield growth for kidney bean, shallots, garlic, hot pepper, chinese radish, and chinese cabbage incertain ten-year periods. During the period of 1969-2006, the lowest average annual production growth was shownon garlic (-6.3%), and the highest was on carrot (8.5%). The lowest annual growth in harvested area was shown bygarlic (-7.5%), while the highest was indicated by tomato and carrot (6.6%). The lowest annual yield growth was foundon hot pepper (-2.5%), while the highest was on kidney bean (6.8%). The production growth of shallots, hot pepper,potato, chinese radish, cucumber, chinese cabbage, tomato, and carrot in 1969-2006 has been dominantly harvestedarea-led. Meanwhile, yield growth has been a dominant source of kidney bean, bunching onion, garlic, cabbage, andeggplant production growth. During 1969-2006, absolute yield variability for chinese radish was increasing, while forcucumber and chinese cabbage was decreasing. Furthermore, a decreasing relative yield variability, i.e. more stableyield, was indicated for kidney bean, bunching onion, shallots, garlic, hot pepper, cucumber, chinese cabbage, eggplant,tomato, and carrot. The lowest yield coefficient of variation was shown by chinese cabbage, while the highest wasshown by hot pepper. The effort for increasing bunching onion, garlic, potato, cabbage, chinese cabbage, and carrotproduction should be initiated by identifying the causes of harvested area variability that have to be sorted in terms offactors such as relative profitability and other constraints. Meanwhile, since a greater contribution of yield variabilityto production variability was identified, the effort for increasing kidney bean, shallots, hot pepper, chinese radish, cucumber, eggplant, and tomato production suggests the need for identifying the causes of yield variability in termsof research, extension, and policy measures. Responding to a slowing yield trend for some vegetable crops, breedingresearch activities that are increasing yield frontier-oriented still need to be prioritized. Moreover, breeding researchactivities that are generating reduction in yield variability, such as disease and pest resistance and environmentalstressedtolerance should also be emphasized.
Segmentasi Pasar dan Pemetaan Persepsi Atribut Produk Beberapa Jenis Sayuran Minor (Under-utilized) Adiyoga, Witono; Ameriana, Mieke; Soetiarso, Thomas Agus
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 4 (2008): Desember 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kegiatan penelitian survai konsumen dilaksanakan di Kelurahan Sukasari dan Lembang, Bandung, Jawa Barat pada bulan Agustus-November 2004. Responden dipilih menggunakan metode multistage cluster sampling. Responden ibu rumah tangga sebanyak 50 orang dipilih secara acak dan proporsional dari kedua kelurahan tersebut. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Pada studi awal ini komoditas sayuran minor (under-utilized) yang dipilih adalah koro/roay jengkol, katuk, kecipir, dan labu siam. Untuk keperluan mempelajari posisi sayuran minor tersebut dipilih pula 4 komoditas lain yang dapat dianggap sebagai padanan atau substitusi, yaitu kacang jogo, bayam, kacang panjang, dan zukini. Atribut produk yang dipelajari meliputi (a) kandungan gizi tinggi, (b) berfungsi juga sebagai obat, (c) rasa enak, (d) tahan simpan, (e) harga mahal, dan (f) mudah diperoleh di pasar. Penelitian ini diarahkan untuk mengidentifikasi segmentasi pasar dan memetakan persepsi konsumen menyangkut beberapa atribut produk sayuran minor. Hasil penelitian mengidentifikasi 2 klaster atau segmen konsumen untuk setiap komoditas dengan karakteristik yang berbeda. Jumlah anggota klaster 1 secara konsisten selalu lebih besar dibandingkan klaster 2 untuk semua komoditas, sehingga upaya perbaikan untuk semua komoditas sayuran minor disarankan lebih diarahkan ke segmen konsumen yang pertama. Sementara itu, berdasarkan perbandingannya dengan komoditas padanan/substitusi (kacang jogo, bayam, zukini, dan kacang panjang), atribut produk yang perlu diperbaiki adalah atribut rasa enak dan gizi tinggi (kacang koro/roay), fungsi sebagai obat dan ketahanan simpan (labu siam), serta ketersediaan (kacang koro/roay, katuk, dan kecipir).ABSTRACT. Adiyoga, W., M. Ameriana, and T. A. Soetiarso. 2008. Market Segmentation and Perceptual Mapping of Product Attributes of Some Minor/under-utilized Vegetables. Consumer surveys were carried out in Sukasari and Lembang Subdistrict, Bandung, West Java from August to November 2004. This study was aimed to identify market segmentation and consumer’s perceptual mapping regarding product attributes of some minor (under-utilized) vegetables. Multi-stage cluster sampling was used to select 50 respondents who were proportionally and randomly drawn from those 2 subdistricts. Data were gathered through interviews by using a structured questionnaire. In this preliminary study, 4 minor vegetables were chosen; those were lima bean, stragooseberry, winged bean, and chayote. For the purpose of examining the product positioning of these 4 minor vegetables, 4 other vegetables that were considered as their substitute (bean, spinach, yard-long bean, and zucchini) were also involved. Product attributes examined were (a) high nutrient content, (b) medicinal purpose, (c) taste good/delicious, (d) long shelf-life, (e) price/expensive, and (f) availability. Results have identified 2 clusters or 2 market segments with different characteristics for each commodity. Number of cases/respondents in cluster 1 was consistently larger than that in cluster 2 for all commodities. Hence, the effort for improvements was suggested to be more focus to cluster 1 or consumer segment 1. Meanwhile, based on the comparison with their substitutes, some attributes that should be considered for improvement were taste and nutrient content (for lima bean), medicinal purpose, and shelf-life (for chayote), and availability (for lima bean, stragooseberry, and winged bean).
Segmentasi Konsumen Kentang, Bawang Merah, dan Cabai Merah Berdasarkan Peubah Sosio-Demografis dan Kepentingan Kriteria Produk Adiyoga, Witono
Jurnal Hortikultura Vol 21, No 4 (2011): DESEMBER 2011
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi segmen-segmen konsumen kentang, bawang merah, dan cabai merah berdasarkan peubah sosio-demografis dan persepsi tentang kepentingan kriteria produk. Penelitian survai dilaksanakan di tiga kota besar konsumen utama sayuran, yaitu Jakarta (DKI Jaya), Bandung (Jawa Barat), dan Padang (Sumatera Barat) pada bulan Juni sampai dengan September 2006. Responden terdiri dari 335 konsumen kentang, bawang merah, dan cabai merah yang dipilih secara acak. Alat analisis yang digunakan ialah statistik deskriptif, tabulasi silang, dan analisis klaster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kentang, dua peubah sosio-demografis (pendidikan dan pengeluaran) dan 11 peubah kriteria produk (kesegaran, rasa, kebersihan, nilai gizi, tidak mengandung residu pestisida, penampakan luar, tidak ada tanda busuk, harga, kemasan, label produk, dan  kenyamanan tempat pembelian) berpengaruh nyata terhadap perbedaan karakteristik segmen konsumen kentang. Jumlah segmen konsumen kentang yang dianggap paling sensible (pantas/masuk akal) ialah tiga segmen (segmen 1=120 orang, segmen 2=12 orang, dan segmen 3=203 orang). Berdasarkan komposisi tersebut, pemasar/petani kentang disarankan agar lebih mengarahkan strategi pemasarannya ke segmen 3. Untuk bawang merah, tiga peubah sosio-demografis (pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran) dan 13 peubah kriteria produk (kesegaran, kebersihan, nilai gizi, tidak mengandung residu pestisida, penampakan luar, tidak ada tanda busuk, harga, warna, aroma, label produk, produk lokal, produk impor, dan  kenyamanan tempat pembelian) berpengaruh nyata terhadap perbedaan karakteristik segmen konsumen bawang merah. Jumlah segmen konsumen bawang merah yang dianggap paling sensible ialah dua segmen (segmen 1=113 orang dan segmen 2=222 orang). Komposisi anggota klaster tersebut menyarankan kepada pemasar/petani bawang merah agar lebih mengarahkan strategi pemasarannya ke segmen 2. Untuk cabai merah, empat peubah sosio-demografis (pendidikan, pekerjaan, pengeluaran, dan frekuensi memasak sendiri) dan 11 peubah kriteria produk (kesegaran, rasa, kebersihan, nilai gizi, tidak mengandung residu pestisida, penampakan luar, tidak ada tanda busuk, harga, warna, label produk, dan kenyamanan tempat pembelian) berpengaruh nyata terhadap perbedaan karakteristik segmen konsumen cabai merah. Jumlah segmen konsumen cabai merah yang dianggap paling sensible ialah tiga segmen (segmen 1=152 orang, segmen 2=2 orang, dan segmen 3=181 orang). Komposisi anggota klaster tersebut menyarankan kepada pemasar/petani cabai merah agar lebih mengarahkan strategi pemasarannya ke segmen 3 dan 1. Penelitian lebih lanjut perlu mempertimbangkan pencantuman peubah kriteria produk secara lebih terinci dan spesifik.The objective of this study was to identify market or consumer segments of potato, shallots, and hot peppers based on socio-demographic variables and the importance of product criteria. Consumer surveys were carried out in three big cities of vegetable main consumer in Indonesia i.e. Jakarta (DKI Jaya), Bandung (West Java), and Padang (West Sumatera) from June to September 2006. Respondents of these surveys were 335 potato, shallots, and hot peppers consumers who were randomly selected. Descriptive statistics, cross tabulations, and cluster analysis were used for data elaboration. Results show that for potato, two socio-demographic variables (education and expenditures) and 11 product criteria variables (freshness, taste, cleanliness, nutrient value, no pesticide-residue, appearance, no blemishes, price, packing, product label, and convenient purchasing place) were significantly contributing to the separation of the potato clusters. Three clusters are identified as the most sensible subgroup for potato consumer segments i.e. segment 1=120 cases, segment 2=12 cases, and segment 3=203 cases. Based on this composition, potato marketers/farmers were suggested to focus on segment 3 for implementing their marketing mix strategy. For shallots, three socio-demographic variables (education, employment, and expenditures) and 13 product criteria variables (freshness, cleanliness, nutrient value, no pesticide-residue, appearance, no blemishes, price, color, aroma, product label, local product, imported product, and convenient purchasing place) were significantly contributing to the separation of the shallots clusters. Two clusters were identified as the most sensible subgroup for shallots consumer segments i.e. segment 1=113 cases and segment 2=222 cases. Based on this composition, shallots marketers/farmers are suggested to focus on segment 2 for implementing their marketing mix strategy. For hot peppers, four socio-demographic variables (education, employment, expenditures, and self-cooking frequency), and 11 product criteria variables (freshness, taste, cleanliness, nutrient value, no pesticide-residue, appearance, no blemishes, price, color, product label, and convenient purchasing place) were significantly contributing to the separation of the hot peppers clusters. Three clusters were identified as the most sensible subgroup for hot peppers consumer segments i.e. segment 1=152 cases, segment 2=2 cases, and segment 3=181 cases. Based on this composition, hot peppers marketers/farmers were suggested to focus on segment 3 and 1 for implementing their marketing mix strategy. Further study needs to consider involving more detailed and more specific product criteria variables.