Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Analysis on the Decisions of the Tanjungkarang and Metro Religious Courts toward State Civil Apparatus Divorce Case On Islamic and Positive Law Perspective Mu'in, Fathul; Firdaweri, Firdaweri; Muhammad, Hasanuddin; A, Habib Shulton; Nawawi, M Anwar
Jurnal Mahkamah : Kajian Ilmu Hukum dan Hukum Islam Vol. 7 No. 1 June (2022)
Publisher : Institut Agama Islam Ma'arif NU (IAIMNU) Metro Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25217/jm.v7i1.2442

Abstract

Artikel ini membahas tentang perceraian di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang masih marak terjadi. Padahal sudah banyak anggaran serta peraturan pemerintah yang bertujuan untuk harmonisasi rumah tangga para ASN. Abdi negara dituntut untuk disiplin dan mampu menunjukkan prestasi kerja, di sisi lain juga berkewajiban menjaga keutuhan rumah tangganya. Penelitian ini termasuk penelitian normatif yang datanya diperoleh dari Pengadilan Agama Kelas I Lampung yang meliputi Pengadilan Agama Tanjungkarang dan Pengadilan Agama Metro. Artikel ini menyimpulkan faktor penyebab perceraian adalah faktor internal dan eksternal. Penyebab perceraian ASN di Pengadilan Agama Tanjungkarang dan Metro adalah faktor perselisihan dalam rumah tangga serta faktor ekonomi. Meski berprofesi sebagai ASN, dianggap belum mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga. Dalam konteks hukum Islam, perceraian boleh dilakukan apabila perkawinan diteruskan akan menimbulkan mafsadah bagi keduanya, karena sudah tidak ada keharmonisan antara suami istri. Sedangkan dalam hukum positif faktor tersebut boleh menjadi alasan untuk bercerai.
ZAKAT MASKAWIN (Analisis Hukum Islam) FIRDAWERI, FIRDAWERI
ASAS Vol. 9 No. 1 (2017): Asas, Vol. 9, No. 1, Januari 2017
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/asas.v9i1.1212

Abstract

Abstrak: Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, juga mengatur masalah maskawin perkawinan, sampai masalah harta yang wajib dizakatkan. Masa kini sering terjadi diwaktu akad perkawinan suami memberikan mahar kepada isterinya dalam nilai jumlah besar. Hal ini menimbulkan masalah apakah  maskawin tersebut wajib dizakatkan?. Hal ini memerlukan pemikiran yang serius, sehingga membuat penulis tertarik memecahkan masalahnya dengan judul makalah: Zakat Maskawin (Analisis Hukum Islam). Masalahnya dirumuskan : Apakah maskawin harta yang wajib dizakatkan ?. Berapa nishabnya?, dan berapa persen dikeluarkan zakatnya?. dan kapan dikeluarkan zakatnya ?,Setelah di kumpulkan data, peneliti berpendapat bahwa harta maskawin wajib dizakatkan jika memenuhi kriteria syarat wajib zakat. Alasannya karena maskawin merupakan pemberian wajib suami kepada isteri diwaktu akad nikah, yang merupakan syarat sah nikah, oleh sebab itu termasuk harta yang diperoleh dengan cara baik, dan karena tidak ditemukan perbedaan pendapat ulama. Cara mengitung nishabnya, persentasenya, dan waktu mengeluarkan zakatnya, hal ini terdapat perbedaan, tergantung kepada jenis harta maskawin tersebut. Antara lain :1. Kalau maskawin itu emas perhiasan cara mengeluarkan zakatnya sama dengan zakat perhiasan emas, yaitu tidak harus sampai senishab, dan tidak harus menunggu satu tahun kepemilikan, dikeluarkan 2,5% .2. Kalau maskawin itu emas yang tidak perhiasan, atau uang tabungan, maka harus sampai senishab (85 gram) emas, dan sudah dimiliki satu tahun hijriyah, Zakatnya 2,5%.3. Jika harta maskawin tersebut tidak berbentuk emas dan uang, walaupun nilai hartanya cukup banyak. Hal ini harus diteliti terlebih dahulu. Apakah harta tersebut termasuk harta memenuhi kriteria zakat atau tidak.Kata  kunci :Hukum Islam,  Zakat,  Maskawin.
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG MEMBAYAR ZAKAT KEPADA SAUDARA KANDUNG Firdaweri, Firdaweri
ASAS Vol. 8 No. 1 (2016): Asas, Vol. 8, No. 1, Januari 2016
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/asas.v8i1.1222

Abstract

Abstrak: Dalam kehidupan berumah tangga, sepasang suami isteri mempunyai anak bisa saja lebih dari satu orang, sehingga antara anak dengan anak menjadi saudara kandung, mereka satu ibu dan satu ayah. Nasib perjalanan hidup mereka berbeda-beda, rezeki yang diberikan Allah SWT kepada masing-masing anak tidak sama banyaknya. Ada diantara mereka yang kaya dan ada pula yang sangat membutuhkan bantuan dana. Hal ini menimbulkan permasalahan. Pendapat para ulama mengatakan boleh membayar zakat kepada saudara kandung, tetapi ada yang mengatakan kebolehan tersebut pakai syarat, dan ada yang tidak pakai syarat. Adapun yang pakai syarat seperti apabila saudara kandung tersebut tidak tinggal satu keluarga dengan yang memberi zakat, dan apabila tidak ada putusan hakim yang memaksa harus memberi nafkah kepadanya.Kata Kunci: Hukum Islam, Zakat, Saudara Kandung.
ISTRI MEMBAYAR ZAKAT KEPADA SUAMINYA YANG MISKIN Firdaweri, Firdaweri
ASAS Vol. 8 No. 2 (2016): Asas, Vol. 8, No. 2, Juni 2016
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/asas.v8i2.1243

Abstract

Abstrak: Diantara Akibat hukum dari perkawinan, suami wajib memberi nafkah kepada isterinya. Pada saat suami miskin, sedangkan isterinya kaya, si isteri memberi zakat kepada suaminya yang miskin. Hal ini menimbulkan permasalahan: Bagaimana analisis hukum Islam tentang isteri yang membayar zakat  kepada suaminya yang  miskin ?. Apakah hal ini dibolehkan atau tidak dalam ketentuan hukum Islam ?Hukum isteri membayar zakat kepada suaminya yang miskin,  para Ulama berbeda pendapat, yaitu : Ada yang mengatakan isteri tidak boleh memberi zakat kepada suaminya yang miskin dan ada yang mengatakan sebaliknya dengan alas an dan argumentasi masing-masing. Dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa isteri boleh memberikan zakatnya kepada suaminya yang miskin. Tetapi hukumnya bisa berubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi suami tersebut. Kata  kunci : Zakat, isteri, suami miskin.
MENCALONKAN DIRI SEBAGAI CALEG ATAU PEMIMPIN Firdaweri, Firdaweri
ASAS Vol. 6 No. 1 (2014): Asas, Vol.6, No.1, Januari 2014
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/asas.v6i1.1271

Abstract

Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar l945, yang menganut salah satu azaznya kedaulatan rakyat, berarti rakyak yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Pada masyarakat modern sekarang ini, kedaulatan rakyat tidak mungkin dilakukan secara murni, karena keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat itu harus dilaksanakan dengan perwakilan. Di Indonesia namanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh sebab itu masalahnya dapat dirumuskan : Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang seseorang yang mencalonkan dirinya sebagai caleg (calon legislative) atau mencalonkan diri sebagai                 pemimpin lainnya. Masalah ini     adalah masalah politik dan ketatanegaraan, namun tidak terlepas dari ketentuan hukum Islam. Hal ini menarik untuk dikaji. karena biasanya orang-orang yang mencalonkan diri tersebut       kadangkala mau melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Setelah dianalisa dapat ditarik kesimpulan bahwa mencalonkan diri sebagai caleg, cagub, dan capres serta pemimpin lainnya adalah: Jika hanya digunakan pendekatan bayani atau loghawi hukumnya adalah haram, tetapi jika dipakai pendekatan ta’lili dan istishlahi hukumnya bisa berobah sesuai dengan perobahan masa tempat dan keadaan, yang penting kemashlahatan dapat terwujud sesuai dengan tujuan hukum Islam itu sendiri atau maqashid syari’ah. Mencalonkan diri tersebut adalah termasuk kategori tahsiniyah. Larangan Rasul mencalonkan diri tersebut adalah mengandung beberapa hikmah antara lain agar seseorang harus memikirkan tanggung jawab setiap jabatan yang akan di emban dunia dan akhirat, karena banyak kriteria seorang pemimpin yang harus diperhatikan bagi setiap orang yang akan mencalonkan diri.
PERIKATAN SYARI’AH BERBASIS MUDHARABAH (TEORI DAN PRAKTIK) Firdaweri, Firdaweri
ASAS Vol. 6 No. 2 (2014): Asas, Vol.6, No.2, Juni 2014
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/asas.v6i2.1713

Abstract

Abstrak: Melihat kemitraan-kemitraan yang terjadi didalam masyarakat, dengan berkembangnya beberapa lembaga ekonomi yang berbasis syari’ah diharapkan sektor riil berkembang pesat. Konsep bisnis dengan bentuk transaksi secara mudharabah merupakan salah satu motor penggerak yang mampu menyentuh lapisan bawah perekonomian bangsa oleh sebab itu penulis tertarik untuk membahasnya dengan judul: Perikatan Syari’ah Berbasis Mudharabah (Teori dan Praktik).Perikatan syari’ah adalah merupakan suatu bagian dari hukum Islam dibidang muamalah yang mengatur perilaku manusia didalam menjalankan hubungan ekonominya. Yaitu hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi berdasarkan Al-Qur an, As-Sunnah dan ijtihad. Perikatan syari’ah dilihat dari segi objeknya ada 4 macam yaitu: Perikatan hutang, perikatan benda, perikatan kerja, perikatan menjamin. Adapun perikatan syari’ah berbasis mudharabah adalah termasuk kedalam klasipikasi perikatan hutang (al-iltizam bi ad-dain).Teori Mudharabah adalah suatu macam perikatan antara dua pihak, yaitu pemilik modal (shahib al-mal) atau investor, mempercayakan modal kepada pihak kedua yaitu pengelola usaha (mudharib) untuk tujuan menjalankan usaha dengan cara jika mendapat keuntungan dibagi menurut kesepakatan.                                                                         Dasar hukum mudharabah adalah: Al- Qur an, Al-Hadits, Fatwa shahabat, Ijma’, qias. Dengan memperhatikan dasar-dasar hukum tersebut semuanya menunjukkan bahwa perikatan syari’ah berbasis mudharabah hukumnya adalah boleh. Perikatan seperti itu sudah terjadi semenjak zaman Rasulullah SAW dan zaman sahabat. Kata Kunci : Perikatan Syari’ah, Mudharabah
KEWAJIBAN AHLI WARIS TERHADAP HARTA PENINGGALAN firdaweri, firdaweri
ASAS Vol. 9 No. 2 (2017): Asas, Vol. 09, No. 2 Juni 2017
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/asas.v9i2.3247

Abstract

Persoalan waris selalu muncul menjadi salah satu persoalan sensitive dalam keluarga.Keinginan ahli waris untuk memiliki harta warisan sering menimbulkan permasalahan yang harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya.Karena ketertarikan kepada harta warisan, hubungan kekeluargaan bisa menjadi hancur. Kadang kala ada diantara ahli waris yang ingin lansung membagi harta peninggalan tanpa mengeluarkan kewajiban-kewajiban yang harus dibebankan kepada harta peninggalan tersebut, dan untuk menentukan yang mana yang menjadi harta peninggalan, kadang kala menimbulkan kesulitan, karena di Indonesia harta dalam perkawinan ada harta bersama dan ada yang menjadi milik masing-masing. Ada diantara para ahli waris yang tidak mengerti mengenai hal ini.Masalahnya dirumuskan bahwa: Apa saja kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan sebelum harta warisan dibagi kepada para ahli waris ?.Dan langkah apa saja yang dilakukan jika harta peninggalan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban-kewajibanterhadap harta peninggalan tersebut ?Setelah data dikumpulkan, peneliti berpendapatbahwa sebelum ahli waris mengeluarkan kewajiban-kewajiban yang harus di bebankan kepada harta peninggalan, terlebih dahulu harus memastikan status harta yang menjadi harta peninggalan, Setelah itu ahli waris berkewajiban :1 Untuk menjadikan harta peninggalan itu menjadi hak penuh harta warisan, maka ahli waris berkewajiban:  a. Membayar biaya penyelenggaraan jenazah.  b. Membayar hutang-hutang pewaris. c.  Membayar wasiat pewaris. 2.  Langkah yang dapat dilakukan jika harta peninggalan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dibebankan kepada peninggalan tersebut adalah :a. Dalam masalah perawatan jenazah, kewajiban untuk menanggung biaya tersebut adalah  ahli waris yang semasa hidupnya ditanggung oleh pewaris.b. Urutan membayar wasiat dan hutang, harus didahulukan mebayar hutang, karena harus mendahulukan kewajiban dari pada anjuran berbuat baik.c. Membayarkan hutang pewaris, diantara hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia, maka sebaiknya didahulukan membayar hutang kepada manusia.d. Membayarkan wasiat pewaris, jika harta peninggalan tidak mencukupi wasiat tidak perlu dilaksanakan.Kata Kunci : Ahli Waris, Harta Peninggalan. 
HAK WARIS ISTRI DALAM MASA IDDAH DAN RELEVANSINYA DENGAN PENGEMBANGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA firdaweri, firdaweri
ASAS Vol. 10 No. 01 (2018): Jurnal Asas
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/asas.v10i01.3265

Abstract

Mengenai hak waris istri diatur didalam Al-Qur aan secara jelas dan rinci QS surat An-Nisaa’ (4) ayat 12 dan KHI pasal 180. Mengenai hak waris istri dalam masa iddah tidak ada di jelaskan  didalam Al-Qur aan dan Hadis, KHI juga tidak mengaturnya. Istri yang dalam masa iddah talak raj’i, atau karena talak bain, apakah berhak terhadap harta warisan dari mantan suaminya?, Pembahasan mengenai hal ini tidak ditemukan secara spesifik didalam kitab-kitab fiqh. Maka pokok permasalahnya dapat dirumuskan: 1. Bagaimana ketentuan hukum Islam tentang hak waris istri dalam masa iddah?. 2.Bagaimana relevansinya dengan pengembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia ?.Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normative yang bersifat deskriptif, Pengumpulan data library research, pengolahan data Induktif, dianalisa menggunakan metode kualitatif.  Pembahasan yang dilakukan, maka ditemukan:   1. Istri dalam masa iddah talak raj’i, berhak mendapatkan warisan dari mantan suaminya yang meninggal dunia. Alasan: a. Qias musawi, yaitu disamakan dengan istri dalam masa iddah talak raj’i berhak nafkah dan tempat tinggal, begitu juga dia berhak harta warisan. b. Selama masa iddah talak raj’i suami berhak rujuk, istri tidak boleh nikah dengan laki-laki lain, karena perkawinan mereka belum putus dalam arti yang sesunggunya.2. Istri dalam masa iddah talak ba in, Jika istri hamil dia berhak nafkah dan tempat tinggal, dan juga harta warisan. Jika tidak hamil dia tidak berhak mendapatkan harta warisan dari mantan suaminya. Alasan: a. Jika nafkah dan tempat tinggal saja mereka tidak berhak mendapatkannya, apalagi harta warisan. b. karena perkawinan mereka sudah putus dalam arti yang sesungguhnya, suami tidak mempunyai hak rujuk.    Relevansinya dengan pengembangan Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah sebaiknya ditambahkan pasal mengenai ini, karena didalam KHI yang mengatur Hukum Kewarisan Islam di Indonesia belum ada pasal yang mengatur soal hak waris istri dalam masa iddah.  Kata Kunci : Waris, Istri, ‘iddah
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG ZAKAT HASIL KORUPSI Firdaweri, Firdaweri
ASAS Vol. 10 No. 02 (2018): Jurnal Asas
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/asas.v10i02.4532

Abstract

Abstrak: Ajaran Islam lengkap mengatur seluruh perbuatan manusia, termasuk memberi tuntunan tentang masalah harta yang wajib dizakatkan.  Masa kini masalah korupsi merupakan persoalan terhangat di Indonesia. Sebagian para pejabat berlomba-lomba melakukan korupsi.   Sehingga menimbulkan masalah jika dihubungkan dengan masalah zakat yang berfungsi membersihkan harta. Koruptor menzakatkan harta hasil korupsinya supaya menjadi bersih. Permasalahan ini harus dikaji hukumnya. Dalam hal ini penulis ingin memecahkan masalahnya dengan menentukan judul penelitian: “Analisis Hukum Islam Tentang Zakat Hasil Korupsi”, dengan rumusan masalah : 1. Bagaimana analisis hukum Islam tentang harta hasil korupsi?. Dan apakah termasuk harta yang wajib dizakatkan?. 2. Bagaimana harta hasil korupsi jika dizakatkan, apakah berobah menjadi suci?. Penelitian ini bertujuan mengetahui sejelas mungkin, dengan mempelajari dalil-dalil, sekaligus berusaha berfikir untuk menemukan ketentuan hukum Islam tentang zakat harta hasil korupsi. Penelitian ini termasuk penelitian hukum normative, yang bersifat deskriptif. Pengumpulan data library research,  dengan sistem analisa data kualitatif.  Berdasarkan data yang ada ditemukan bahwa:Harta korupsi termasuk harta yang haram, karena haram cara mendapatkannya. Harta yang haram tidak perlu dizakatkan, sebab harta yang termasuk kategori kewajiban membayar zakat adalah harta yang diperoleh dengan cara yang baik.   Harta yang wajib dibayar zakatnya adalah dimiliki secara sempurna. Koruptor bukan pemilik harta hasil dari korupsinya. Koruptor wajib mengembalikan  hasil korupsi kepada pemiliknya.Harta hasil korupsi jika dizakatkan tidak akan berobah menjadi suci, karena harta hasil korupsi adalah hasil penggelapan dan gratifikasi, termasuk kedalam harta yang haram seutuhnya. Jika dizakatkan tidak akan berobah menjadi suci.Jika koruptor benar-benar bertaubat, mempunyai niat yang kuat (ber-azam) tidak akan memakan harta yang telah dikorupsinya, untuk mengembalikan kepemilik harta tersebut, negara atau pemberi suap, Koruptor takut masuk penjara, menimbulkan kemudharatan yang lebih besar bagi dirinya,   Dalam hal ini peneliti berpendapat dengan metode sad al-dzariáh harta tersebut boleh diberikan untuk kepentingan umum, bukan untuk pribadi. Karena harta negara adalah untuk kepentingan masyarakat. Pihak penerima tidak berdosa. Dan hal ini bukan dinamakan sedekah atau zakat, tapi wujud dari rasa tobatnyaPara koruptor agar berhenti melakukan korupsi, harta hasil korupsi harus dikembalikan kepada pemiliknya. Korupsi itu perbuatan haram. Dan kepada KPK dan para pejabat yang berwenang agar meningkatkan pemberantas korupsi.Kata Kunci : Hukum Islam, Zakat, Korupsi.
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG ZAKAT HARTA ORANG YANG BERHUTANG Zuhraini, Zuhraini; Firdaweri, Firdaweri
ASAS Vol. 12 No. 01 (2020): Asas, Vol. 12, No. 01 Juli 2020
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24042/asas.v12i01.6925

Abstract

Islamic teachings are very complete, its teachings regulate all human problems including the problems of wealth which must be alms. Nowadays the problem of debt is the hottest issue for the people of Indonesia. Many people whose lives are inseparable from debt. The debt is used for consumptive purposes, daily living expenses and the debt is used for productive purposes, for business purposes and so on. It causes problems when connected with alms problems. This issue makes the researcher interested in analyzing it with the research title: “Analysis of Islamic Law Regarding The Alms of wealth for indebted people”. The formulation of the problems: 1. How is the analysis of Islamic law regarding the alms of the wealth of the debtor? Is the person who has a debt oblige or not oblige to pay alms? 2. Which should take precedence between paying debt and paying alms?. This research aims to find out as clearly as possible about the alms of wealth of those who are in debt. And to find out about things that must take precedence between paying alms and paying debt. This research is normative research which is descriptive. Data Collection of library research used analysis qualitative data. Based on the data and analysis, it can be concluded that: First, the Analysis of Islamic Law concerning the alms of the wealth of the debtor. If the debt is used for consumptive purposes, he is not obliged to pay alms, because his life needs are not fulfilled, the person is classified as poor, he is not including the rich who are obliged to pay alms. If debt is used for productive purposes, whose person borrows money for business purposes, it is not to cover basic needs but loans are used to add wealth. After being paid the debt due, his wealth is still up to senisab, he is obliged to pay alms. Second, It takes precedence between paying debts and alms. If someone faces two obligations at the same time, paying debt and alms, then he must first pay the debt and then pay the alms. Ajaran Islam sangat lengkap, mengatur seluruh permasalahan manusia.juga mengatur masalah harta yang wajib dizakatkan. Masa kini masalah hutang merupakan persoalan terhangat bagi masyarakat Indonesia. Banyak orang yang hidupnya tidak terlepas dari hutang. Baik hutang itu digunakan untuk kepentingan konsumtif, untuk biaya hidup sehari-hari, maupun hutang itu digunakan untuk kepentingan produktif, untuk kepentingan bisnis dan sebagainya. Sehingga menimbulkan masalah jika dihubungkan dengan masalah zakat. Permasalahan inipenting untuk diteliti, membuat peneliti tertarik untukmenganalisisnya dengan judul penelitian: “Analisis Hukum Islam Tentang Zakat Harta Orang yang Berhutang”.  Rumusan masalahnya: 1. Bagaimanakah analisis hukum Islam tentang zakat harta orang yang berhutang ?Apakah orang yang mempunyai hutang wajib atau tidak wajib membayar zakat ?.  2. Mana yang harus didahulukan antara bayar hutang dengan membayar zakat ?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejelas mungkin,  tentang zakat harta orang yang berhutang. Dan untuk mengetahui tentang hal yang harus didahulukan antara bayar zakat dan bayar hutang. Penelitian ini termasuk penelitian hukum normative, yang bersifat deskriptif. Pengumpulan data library research,  dengan sistem analisis data kualitatif.  Berdasarkan data dan analisis yang dilakukan, disimpulkan bahwa: Pertama, Analisis Hukum Islam tentang zakat harta orang yang berhutang. Jika hutangnya digunakan untuk kepentingan konsumtif, iatidak wajib membayar zakat, karena keperluan hidupnya saja tidak terpenuhi, orang tersebut tergolong miskin, tidak termasuk orang kaya yang wajib mengeluarkan zakat. Jika hutang digunakan untuk keperluan produktif, dimana orang meminjam uang untuk kepentingan bisnis, bukan untuk menutupi kebutuhan pokok tetapi pinjaman digunakan untuk menambah kekayaan. Setelah dibayar hutangnya yang jatuh tempo, hartanya masih sampai senisab dia wajib membayar zakat.  Kedua,Hal yang harus di dahulukan antara bayar hutang dengan zakat. Jika seseorang menghadapi dua kewajiban pada waktu yang bersamaan yaitu membayar hutang danzakat, maka terlebih dahuluia harus membayar hutang kemudian baru membayar zakatnya,Kata Kunci : Hukum Islam, Zakat, Orang yang berhutang. Key words :Islamic law, alms, indebted person