Articles
Sulawesi Sebagai Daerah Tujuan Migrasi Bangsa Austronesia (Tinjauan Berdasarkan Data Arkeologis)
Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol 18 No 2 (1998)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1001.453 KB)
|
DOI: 10.30883/jba.v18i2.783
Berikut akan ditinjau beberapa data / potensi budaya yang ditemukan di Sulawesi sehubungan dengan pencarian daerah pangkal dari kebudayaan yang dibawa oleh Bangsa Austronesia. Tulisan ini dimaksudkan akan mengungkap keletakan pangkal kebudayaan tersebut. Selain itu hal yang menjadi permasalahan sehubungan dengan tulisan ini adalah seberapa pentingkah wilayah Sulawesi dalam migrasi Bangsa Austronesia ? dan berdasarkan pada teori migrasi, akan dipertanyakan apakah daerah Sulawesi merupakan daerah asal ataukah daerah tujuan para migran? Kedua pertanyaan tersebut akan dicoba dijawab dengan didasarkan pada data arkeologis.
Analisis Struktural Dan Makna Lukisan Dinding Gua Di Sulawesi Selatan
Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol 19 No 1 (1999)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (2230.444 KB)
|
DOI: 10.30883/jba.v19i1.792
Persebaran lukisan cadas yang hanya berkembang di Indonesia bagian timur, menimbulkan pertanyaan apakah pembawa budaya lukisan cadas ini berbeda dengan pembawa budaya yang berkembang di Indonesia bagian barat. Tulisan ini mencoba menjelaskan mengenai hal tersebut berdasarkan pada lukisan cadas yang ada di Sulawesi Selatan. Selain itu, berkaitan dengan produk budaya berupa lukisan cadas sebagai salah satu karya seni yang sarat simbol dalam menyampaikan pesan, maka perlu dikaji secara lebih mendalam tentang makna dan pesan yang sebenamya hendak disampaikan oleh pendukung budaya bersangkutan. Apakah ada keterkaitan antara makna lukisan dinding gua sebagai media penyampaian pesan dengan arus migrasi tersebut?
Teknik Analisis Serpih Bilah
Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol 20 No 1 (2000)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1492.43 KB)
|
DOI: 10.30883/jba.v20i1.804
Teknologi alat batu, dalam garis besamya dilandasi oleh dua faktor, yaitu metode dan teknik. Metode berada pada bentuk pikiran, sedangkan teknik berada di kedua belah tangan. Metode pembuatan alat merupakan suatu tatanan yang dijalankan secara sistematis dan teratur dan bukan merupakan sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Cara pembuatan alat-alat batu dengan teknik yang sama dan berlangsung selama ratusan tahun tersebut telah menghasilkan bentuk dan ciri-ciri teknologis yang sama di berbagai tempat di dunia.
Pola Permukiman Gua Di Pegunungan Kendeng Utara
Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol 19 No 2 (1999)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (705.643 KB)
|
DOI: 10.30883/jba.v19i2.818
Potensi budaya di Kabupaten Tuban menunjukkan temuan artefak yang lebih bervariasi baik artefak litik, tulang, maupun cangkang moluska dalam jumlah cukup banyak pada lapisan tanah relatif tebal. Berdasarkan kondisi tersebut, tampak adanya keterkaitan masa hunian antara kelompok gua di Bojonegoro dengan kelompok gua di Tuban. Kemungkinan gua-gua di Bojonegoro dihuni dalam waktu atau musim tertentu, sementara gua-gua di Tuban dihuni pada musim lainnya. Hal tersebut, terbukti dengan kuantitas dan kualitas arkeologis yang berbeda.
Pola-Pola Komunitas Situs Gua Kawasan Timur Jawa
Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol 21 No 1 (2001)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1442.477 KB)
|
DOI: 10.30883/jba.v21i1.830
Penelitian gua-gua di Jawa khususnya Jawa Timur telah dilakukan oleh beberapa peneliti asing seperti van Es, van Stein Callenfels, Willems, dan H.R. van Heekeren di Kabupaten Ponorogo, Situbondo, Pacitan, Jember, Tuban, dan Bojonegoro. Penelitian tersebut lebih bersifat eksplorasi untuk menjajagi gua-gua hunian di Jawa. Sementara itu, secara tematis yang dititikberatkan pada studi spatial, Balai Arkeologi Yogyakarta telah melakukan penelitian pada kelompok gua di Kabupaten Jember (Gunung Watangan), Kabupaten Bojonegoro (Dander) dan di Kabupaten Ponorogo (Sampung). Sementara itu, penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi pada kelompok gua di Kab. Gunungkidul sampai Kab. Pacitan (Gunung Sewu).
Artefak Litik Ceruk Layah, Sampung : Kajian Teknoekonomi
Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol 23 No 1 (2003)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (2867.598 KB)
|
DOI: 10.30883/jba.v23i1.857
Aktivitas multi fungsi Gua Lawa meliputi aktivitas pengolahan makan (dapur) yang dibuktikan dengan temuan ekofak (sisa makanan berupa fragmen tulang dan cangkang moluska), aktivitas pembuatan alat (bengkel) dengan bukti temuan artefak baik alat, limbah, maupun bahan baku, dan kubur (temuan rangka manusia). Sedangkan aktivitas tunggal di Ceruk Layah dibuktikan dengan temuan yang didominasi artefak litik baik temuan berupa limbah, produk alat, maupun bahan baku serta batu inti. Perbedaan aktivitas dan di lain pihak kualitas bahan baku di mana semakin tinggi lahan memiliki kualitas baik, menuntut mereka melakukan pengaturan pemanfaatan lahan gua dalam beradaptasi dengan lingkungan alam sekitarnya. Gua Lawa yang memiliki lahan luas dan terletak dekat sungai dimanfaatkan sebagai tempat untuk aktivitas mulit fungsi, sedangkan Ceruk Layah di mana daerah sekitarnya merupakan sumber bahan baku dimanfaatkan sebagai tempat pembuatan alat litik. Berdasarkan perbedaan aktivitas dan kualitas bahan baku tersebut dalam menyiasati dan beradaptasi lingkungan alam sekitarnya, menunjukkan adanya karakter tersendiri dalam pola permukiman yang berlangsung di kawasan ini. Selanjutnya berdasarkan pengamatan teknologi dan tipologi dari Ceruk Layah, menunjukkan bahwa manusia saat itu mengeksploiter alam secara maksimal. Efektivitas energi dan teknologi dalam menghasilkan alat litik tampak tinggi, meskipun secara tipologis cenderung rendah.
Pola Komunitas Gua Di Sampung, Ponorogo
Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol 23 No 2 (2003)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1446.1 KB)
|
DOI: 10.30883/jba.v23i2.871
Masing-masing gua/ceruk menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan gua antara Gua Lawa dengan Ceruk Layah, Ceruk Ngalen, dan Ceruk Sulur menunjukkan perbedaan yang mencolok. Tampaknya Gua Lawa pada komunitas ini dimanfaatkan sebagai gua induk, di mana seluruh aktivitas komunitas berlangsung. Sementara itu Ceruk Layah, Ceruk Ngalen, dan Ceruk Sulur dimanfaatkan untuk aktivitas pendukung. Hal tersebut didasarkan pada perbandingan hasil ekskavasi antara Gua Lawa dengan ceruk-ceruk sekitarnya. Temuan artefak, ekofak dan fitur pada Gua Lawa lebih bervariasi baik kualitas maupun kuantitasnya dibanding ceruk-ceruk sekitarnya yang temuannya cenderung homogen berupa artefak litik. Selain itu, berdasarkan temuan artefak pada Ceruk Layah menunjukkan adanya perkembangan pemanfaatan ceruk. Pada awalnya (lapisan bawah) Ceruk Layah dimanfaatkan sebagai perbengkelan alat batu, selanjutnya pada masa kemudian (lapisan atas) didorninasi temuan tembikar. Sementara temuan ekofak pada ceruk-ceruk sekitar Gua Lawa cenderung minim. Hal tersebut dapat disirnpulkan bahwa pola kornunitas gua di Sampung terdiri atas gua induk dengan kompleksitas budaya yang berlangsung dan gua/ceruk pendukung yang dimanfaatkan untuk aktivitas sekunder.
Perkembangan Industri Litik Penghuni Gua-Gua Di Jawa Timur
Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol 24 No 1 (2004)
Publisher : Balai Arkeologi Yogyakarta
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (2303.203 KB)
|
DOI: 10.30883/jba.v24i1.889
The influence of raw material is seen on the size of the tool. In the cave group on Mount Watang that uses rocks with a low level of silica (limestone), reliable artisan is demanded. This is because rock types are brittle and flaking them is difficult. Stone tool products in this group show a relatively large size due to the suboptimal flaking. Meanwhile, the stone tool products in the cave group in Sampung, Ponorogo is a microlithic. This is because the raw material has a relatively high level of silica (chert and chalcedony). The flaking techniques can be carried out optimally, resulting in small-sized stone tool products with micro trimming and flaking, both primary and secondary.
PERKEMBANGAN INDUSTRI LITIK PENGHUNI GUA-GUA DI JAWA TIMUR
Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol. 24 No. 1 (2004)
Publisher : BRIN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.30883/jba.v24i1.889
The influence of raw material is seen on the size of the tool. In the cave group on Mount Watang that uses rocks with a low level of silica (limestone), reliable artisan is demanded. This is because rock types are brittle and flaking them is difficult. Stone tool products in this group show a relatively large size due to the suboptimal flaking. Meanwhile, the stone tool products in the cave group in Sampung, Ponorogo is a microlithic. This is because the raw material has a relatively high level of silica (chert and chalcedony). The flaking techniques can be carried out optimally, resulting in small-sized stone tool products with micro trimming and flaking, both primary and secondary.
POLA KOMUNITAS GUA DI SAMPUNG, PONOROGO
Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol. 23 No. 2 (2003)
Publisher : BRIN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.30883/jba.v23i2.871
Each cave / rockshelters shows that the use of the cave land between Lawa Cave and Layah, Ngalen, and Sulur rockshelters shows a striking difference. It seems that the Lawa Cave in this community is used as the main cave, where all community activities take place. Meanwhile, the Layah, the Ngalen, and the Sulur rockshelters are used for supporting activities. This is based on a comparison of the excavation results between the Lawa Cave and the surrounding rockshelters. The findings of artifacts, ecofacts and features in the Lawa Cave varied more in quality and quantity compared to the surrounding recesses whose findings tended to be homogeneous in the form of lithic artifacts. In addition, based on the findings of artifacts in the Layah rockshelter, it shows that there is a development in their use. Initially (the lower layer) Layah was used as a stone tool workshop, then later (the upper layer) was dominated by the discovery of pottery. Meanwhile, the ecofac findings around the Lawa Cave tend to be minimal. It can be concluded that the pattern of the cave community in Sampung consists of a main cave with an ongoing cultural complexity and a supporting cave / rockshelter that is used for secondary activities.