Indah Asikin Nurani
Unknown Affiliation

Published : 36 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 36 Documents
Search

POLA ADAPTASI PENGHUNI GUA BUDAYA TOALA Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol. 13 No. 2 (1993)
Publisher : BRIN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30883/jba.v13i2.573

Abstract

Kehidupan penghuni gua Budaya Toala berlangsung sejak Kala Pasca Plestosen hingga awal masehi. Kehidupan Budaya Toala ini berlangsung cukup lama dan mampu bertahan beratus-ratus tahun lamanya. Kehidupan budaya tersebut masih sangat bergantung pada potensi ekologi sumber alam sekitarnya. Hal ini menarik perhatian untuk diungkap lebih dalam, terutama mengenai pola adaptasi yang diterapkan oleh penghuni gua sehingga budaya ini mampu bertahan cukup lama.
PERSEBARAN TRADISI BELIUNG PERSEGI DAN KAPAK LONJONG : PERPADUAN DI KALUMPANG Indah Asikin Nurani
Berkala Arkeologi Vol. 13 No. 1 (1993)
Publisher : BRIN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30883/jba.v13i1.561

Abstract

DI antara alat-alat batu yang paling menonjol dari masa bercocoktanam di Indonesia adalah kapak lonjong dan beliungc persegi. Secara tekno-morfologts maupun stratlgrafi alat yang paling tua dari kedua tradisi ini adalah tradisi kapak lonjong atau sering disebut neolithikum Papua, karena terutama sekali ditemukan di lrian. Tom Harrison telah membuktikan secara stratigrafis dalam ekskavasi yang dilakukan di Gua Niah, Serawak (Soejono, 1984: 180). Persebaran kapak lonjong meliputi banyak tempat di Indonesia bagian timur seperti di Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Maluku, Leti, Tanimbar, dan lrian. Sedangkan di luar Indonesia kapak lonjong dltemukan tersebar luas meliputl Burma, Cina, Mancuria, Taiwan, Jepang, Phlliphina dan juga di India.
PERBANDINGAN KUBUR TEBING TORAUT DAN TORAJA DI PULAU SULAWESI Nasrullah Azis; Sriwigati; Indah Asikin Nurani
Naditira Widya Vol. 17 No. 2 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 2 Oktober Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penguburan atau menempatkan mayat pada suatu tempat yang lebih tinggi adalah bentuk penghormatan serta salahsatu kepercayaan akan adanya kehidupan setelah mati. Di pulau Sulawesi terdapat tradisi menempatkan mayat pada tebingtebingalam yang dipahat menjadi rongga-rongga berbentuk persegi. Tradisi penempatan mayat yang disebut kubur tebingditemukan di dua kawasan yang berjauhan lokasinya, yaitu di Toraut di Sulawesi bagian utara dan di Toraja di Sulawesi bagianselatan. Berdasarkan observasi lapangan dan informasi penduduk setempat, diketahui bahwa tinggalan kubur tebing di Torautsudah tidak digunakan lagi. Masyarakat setempat di Toraut sekarang tidak mengenal lagi penguburan jenazah di tebing-tebing.Berbeda halnya pada masyarakat di Toraja, yang sampai sekarang masih melangsungkan tradisi penguburan di tebing-tebing.Tujuan penelitian ini adalah memahami pemilihan lokasi tebing, bentuk rongga pahatan, dan cara penguburan di tebing diToraut dan Toraja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif- analitis. Data dikumpulkan melalui tinjauanpustaka terkait kubur tebing di Toraut dan Toraja, identifikasi secara langsung pada rongga-rongga pahatan di tebing, danmelakukan wawancara dengan penduduk di sekitar kubur tebing di Toraut dan Toraja. Hasil penelitian menunjukkan adanyaperbedaaan pada pemilihan lokasi tebing untuk penguburan, pada bentuk rongga pahatan, dan cara meletakkan mayat dalamrongga-rongga pahatan di kubur tebing di Toraut dan Toraja.Burial or placing a cadaver on higher ground is a form of respect and a belief in the existence of life after death. Onthe island of Sulawesi (Celebes), there is a tradition of placing cadavers on natural cliffs carved into square-shaped cavities.Such cliff niches are called cliff tombs and they can be found on two opposite regions of the island, in Toraut in northernSulawesi and Toraja in southern Sulawesi. Based on field observations and information from residents, it is known that the clifftombs in Toraut are no longer used. Local people in Toraut today no longer recognize the tradition of cadaver burials on cliffs.This is different for the people in Toraja, who still carry out the tradition of burial on cliffs. This research aims to understand thechoice of cliff location, the shape of the carving cavity, and the method of burial on cliffs in Toraut and Toraja. The methodused in this research is descriptive-analytic. Data was collected through a literature review regarding cliff graves in Toraut andToraja, direct identification of carved cavities in cliffs, and conducting interviews with residents around cliff graves in Torautand Toraja. The results of the research show that there are differences in the choice of cliff locations for burial, in the shape ofthe carving cavities, and in the way, the body is placed in the carving cavities in cliff graves in Toraut and Toraja.
PENGARUH MORFOLOGI DAN LITOLOGI KAWASAN KARST KABUPATEN REMBANG TERHADAP POTENSI HUNIAN GUA PRASEJARAH Hari Wibowo; J. Susetyo Edy Yuwono; Indah Asikin Nurani
Naditira Widya Vol. 14 No. 1 (2020): Naditira Widya Volume 14 Nomor 1 April Tahun 2020
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kawasan karst di Kabupaten Rembang adalah bagian dari Karst Perbukitan Rembang yang membentang dari Jawa Tengah hingga ke Pulau Madura. Di bagian Jawa lainnya terdapat pula barisan karst Gunung Sewu sebagai salah satu kawasan karst Pegunungan Selatan Jawa. Tidak seperti situs-situs arkeologi di Gunung Sewu yang telah diteliti secara intensif, kawasan karst Rembang di gugusan utara belum banyak diteliti. Hal inilah yang menggaris bawahi pentingnya penelitian arkeologi di kawasan karst di perbukitan Rembang, yaitu untuk menjajaki potensi gua-guanya sebagai hunian prasejarah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan penalaran induktif, dengan memakai variabel potensi gua, dan dilakukan dengan teknik survei gemorfologis dan arkeologis. Hasil survei kemudian dibagi menjadi tiga variabel pengharkatan, yaitu kandungan arkeologis gua, aksesibilitas, dan morfologi gua. Dalam penelitian lapangan terdapat 41 titik gua yang menjadi objek pengamatan, dan beberapa di antara gua-gua tersebut memenuhi tingkat probabilitas untuk dihuni. Namun demikian, tentu saja untuk membuktikan gua-gua ini benar-benar dihuni atau tidak pada masa prasejarah diperlukan penelitian lebih lanjut. Lebih lanjut, jika dibandingkan dengan segmen-segmen di sebelah barat dan timurnya, potensi arkeologi kawasan karst Rembang, dalam pengertian situs-situs guanya, termasuk rendah. The karst region in Kabupaten Rembang is part of the Rembang Karst Zone that stretches from Central Java to Madura Island. Another mountain range of karst, the Gunung Sewu, lies on the southern region of Java. Unlike the archeological sites of Gunung Sewu that have been intensively investigated, the Rembang karst region in the northern ranges has not been much studied. This underlines the importance of archeological research in the karst region of Rembang, which is to explore the potentiality of its caves as prehistoric dwellings. This research employs descriptive method with inductive reasoning, using potential variables of a cave, and carried out with geomorphological and archaeological survey techniques. Survey results are further divided into three criteria, i.e. archaeological findings in caves, accessibility, and cave morphology. The field observation was focussed on 41 caves, and several of them indicated the probability of inhabitation. Nevertheless, further researches are required to prove whether these caves were inhabited or not during the prehistoric period. Furthermore, in terms of cave sites when compared to the west and east segments, the archaeological potency of Rembang karst regions is low.
SISTEM SETTING OKUPASI MANUSIA KALA PLEISTOSEN - AWAL HOLOSEN DI KAWASAN GUNUNGKIDUL Indah Asikin Nurani
Naditira Widya Vol. 11 No. 1 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 1 April Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kawasan Gunung Sewu tidak diragukan lagi menyimpan tinggalan budaya yang berkesinambungan utamanya masa prasejarah. Beberapa arkeolog menyebut kawasan Gunung Sewu sebagai metropolitan prasejarah. Hal tersebut didasarkan pada budaya sejak paleolitik sampai dengan neolitik – megalitik tersebar luas tanpa putus di kawasan ini. Gunungkidul sebagai salah satu kabupaten yang termasuk dalam kawasan Gunung Sewu juga menunjukkan potensi arkeologis yang tinggi dan berkesinambungan. Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana setting okupasi yang berlangsung di Gunungkidul? Tulisan ini bertujuan untuk menjabarkan potensi arkeologis secara ruang dan waktu dalam sistem setting yang berlangsung khususnya kala Pleistosen ke awal Holosen. Penelitian ini juga mengidentifikasi daerah yang dimanfaatkan sebagai pusat aktivitas dan sebagai sumber bahan baku, pergeseran ruang dalam kurun waktu berikutnya, dan faktor yang menyebabkan terjadinya setting okupasi. Diharapkan tulisan ini akan memberikan kontribusi dalam pelestarian setting okupasi budaya kala Pleistosen-awal Holosen kawasan Gunungkidul. Metode yang digunakan adalah deskriptifanalitik, sehingga akan terjabarkan setting okupasi secara ruang dan secara holistik. Hasil penelusuran Sungai Oyo dan gua hunian di Gunungkidul memberikan informasi perkembangan budaya dari aspek ruang dan waktu. It is widely known that Gunung Sewu area has a high potential of cultural continuity during the prehistoric times. Based on its cultural remains that spread from the Palaeolithic to the Neolithic-Megalithic, Gunung Sewu, by some archaeologists, is called as the prehistoric metropolitan area. As a part of Gunung Sewu, Gunungkidul district shares the same traits regarding their potential and continuous culture from Palaeolithic to Neolithic. The holistic background of the human occupation in Gunungkidul during those periods, however, has not thoroughly researched yet. Therefore, theresearch problem for this study is to answer the following question: what is the setting system of human occupation in Gunungkidul? This study attempts to describe the archaeological potentcy by using the frame of space and time in thesetting system that took place during Pleistocene to Early Holocene. This study also identifies which area was used as center of activities or as sources of raw materials, to determine if there was a shift of function over time, and to describe the factorsbehind the setting system of human occupation. Moreover, this study is expected to give a good contribution to the preservation of Pleistocene - Early Holocene sites in Gunungkidul. The method for this study is descriptive analysis for givinga thorough explanation about the human occupation. In Gunungkidul, survey on the Oyo River and caves have revealed valuable information of cultural development in both, space and time frames.
HUNIAN BERULANG DI DOLINA KIDANG, BLORA KALA HOLOSEN Indah Asikin Nurani
Naditira Widya Vol. 10 No. 2 (2016): Naditira Widya Volume 10 Nomor 2 Oktober Tahun 2016
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dolina Kidang adalah suatu lobang besar yang di dalamnya terdapat sebuah gua dan ceruk. Dolina ini merupakan tempat hunian manusia prasejarah kala Holosen yang sangat intensif dihuni. Bukti-bukti arkeologis memberikan gambaranbagaimana pola hunian yang berlangsung di dalam dolina ini. Temuan hasil ekskavasi meliputi artefak, ekofak, fitur, dan rangka manusia. Kajian geoarkeologis menunjukkan adanya proses pengendapan sedimentasi dan material budaya yangsignifikan. Kajian antropologi ragawi memberikan kontribusi tentang sistem kubur yang dianut manusia penghuni Dolina Kidang. Pengembangan teknologi dalam mempertahankan hidup juga memberikan informasi tersendiri dalam pola hidup manusia penghuni Dolina Kidang. Tulisan ini akan memberikan gambaran menyeluruh pola hunian beserta jejak okupasi yang berlangsung di dolina ini. Metode yang digunakan adalah deskriptif analitis, dengan penalaran induktif. Hasil penelitian memberikan informasi tentang pola pemanfaatan lahan gua secara berulang, yaitu ditemukan lantai gua berupa konglomerat alas. Kidang Dolina is a big hole in which there is a cave and a niche. This dolina was a prehistoric human settlements from Holocene period that had been inhabited very intensively. Archaeological evidence gave an overview of how settlement patterns had taken place in this dolina. Research findings of excavation were artifacts, ecofacts, features, and skeleton. Geo-archaeological studies showed the deposition process of sedimentation and the significant material culture. Paleoanthropological study contributed the burial system adopted by human inhabitants of Kidang Dolina. Development of technology in maintaining the life also provided some information in the lifestyle of human occupants at Kidang Dolina. Thispaper depicts the whole of settlement pattern along with occupation traces took place at the dolina. The method used isanalytical descriptive, with inductive reasoning. The results of study provide information on the land use patterns of recurring cave that was found on the cave foor of pedestal conglomerates.