Wilma Sriwulan
Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Simulasi Kim dalam Sejarah dan Perkembangannya Rudi Eka Putra; Asril .; Wilma Sriwulan
PANTUN: Jurnal Ilmiah Seni Budaya Vol 3, No 2 (2018): Kreatif, Inovatif, dan Industri Kreatif
Publisher : Pascasarjana ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1763.53 KB) | DOI: 10.26742/pantun.v3i2.967

Abstract

KIM adalah pertunjukan musik dan undian dari Minangkabau  yang mengunakan media pantun sebagai penyampaian  setiap angka yang berhasil keluar dari tabung undian. Pedendang KIM,  Musik, peserta KIM, kupon KIM dan hadiah adalah unsur penting dalam KIM. Kupon KIM yang menjadi salah satu syarat untuk bisa bermain. KIM dahulunya didapat dengan cara dibeli kepada penyelenggara KIM sehingga itulah KIM disebut judi. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan sekarang kupon tersebut didapat dengan cara cuma-cuma guna menghindari permasalahan judi yang termasuk kedalam kategori penyakit masyarakat. Berubahnya konsep KIM yang dulu berjudi menjadi  KIM sekarang berbentuk simulasi dari judi perlulah untuk diungkap, agar bisa mengetahui bagaimana proses simulacra dari KIM dahulu menjadi Kim saat ini. pengumpulan data dari narasumber seperti pelopor KIM, pedendang KIM dan masyarakat penikmat, pecinta dan pengamat KIM menjadi data penting yang nantinya akan dibedah secara interpertatif, agar permasalahan simulasi dan simulakra pada KIM ini dapat diungkap dengan jelas. Simulakra pada KIM dahulu terhadap KIM sekarang terjadi karena adanya beberapa perubahan pola sosial ditengah masyarkat. Kata kunci : KIM, musik dan undian, Simulasi. 
TIGO LAREH: SISTEM KEKUASAAN DAN KONSEP ESTETIKA MUSIKAL TIGA GENRE MUSIK DI LUHAK NAN TIGO MINANGKABAU Andar Indra Sastra; Wilma Sriwulan; Yon Hendri
PROSIDING: SENI, TEKNOLOGI, DAN MASYARAKAT No 3 (2018): Seni, Teknologi, dan Masyarakat #3
Publisher : LP2MP3M, INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The purpose of this study was to uncover and discover the influence of the power of tigolareh (three laras) in shaping the aesthetic concepts and theories of three traditional music genres in Luhak Nan TigoMinangkabau. TigoLareh’s system of power emerged as a political-legal reality that comes from two legendary Minangkabau figures, namely Dt. Katumangguangan and Dt. Parpatiah Nan Sabatang. Told in a story of traditional historiog-raphy, the two involved in ideological conflict in establishing a system of ‘governance’ (power) in Minangkabau called LarehKotopiliang and LarehBodicaniago. LarehKotopiliang, in his system of government, is character-ized by royal autocracy and LarehBodicaniago is more democratic in nature. The ideological conflict between the two figures gave rise to the third figure, namely RajoBabandiang, who held the title of Dt. Nan SakelapDunia, who then give birth to the concept of Lareh Nan Buntathat is a synthesis of both systems. The musical reality of bronze talempong music - is part of the (power) cultural system of LarehKotopiliang, and can be divided into two genres, namely: (1) the talempongbararak genre (procession), and; (2) talempong genre duduak (sitting). Talempongbararak appears in the form of “arakan” music and talempongduduak is played on the Java rea: rancakan and usually use gongs. LarehBodicaniago’s musical concept is populist and it is oriented to the power of vocal music (dendang) which in its presentation it is tied to the concept of bagurau (joking) which is accompanied by a musical instrument saluang (a type of wind instrument typical of Minangkabau). Meanwhile, the musical concept of Lareh Nan Bunta reflects the synthesis of both bronze musical concepts and vocal music (dendang). The musical concept of bronze music gave birth to the concept of talempongbasaua which was presented in the form of a hocketting technique. Tigolareh as a symbol of power synchronized with the reality of musical culture in its society.
Struktur Dramatisasi Basalisiah dalam Trilogi Ritual Tabuik Pariaman Vujji El Ikhsan; Asril Asril; Wilma Sriwulan
Jurnal Kajian Seni Vol 7, No 2 (2021): Jurnal Kajian Seni Vol 7 No 2 April 2021
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1784.172 KB) | DOI: 10.22146/jksks.64930

Abstract

AbstractThis article discusses the dramatization of the basalisiah event in the Tabuik Pariaman ritual trilogy. Basalisiah as a form of cultural performance has presented a dramatic identity of the character of the Tabuik Pariaman ritual.  This dramatic trilogy is contained in a separate Tabuik ritual trilogy, namely manabang batang pisang, maarak jari-jari, and maarak saroban. The performance of the show is situational, tends to change, is unpredictable, and without directing, but has clear and intact rules. The role of the basalisiah pawang, Anak Tabuik, and basalisiah audience really determines the dramatization of basalisiah. Sosoh and cime'eh become speech styles in the dramatization of the show. With the concept of theatricality, performativity and liminality become the basis for the analysis of the structure of basalisiah dramatization from the point of view of the character of the Tabuik performance, Prosest basalisiah in the Tabuik Pariaman ritual trilogy influenced by histrionic behavior so as to form a behavior that dramatizes situations from basalisiah to bacakak (fighting). Basalisiah recorded the history and dramatization style of theatricality in Tabuik cultural performances that can be relevant in the renewal of the world of performances.  AbstrakArtikel ini membahas tentang dramatisasi peristiwa basalisiah dalam trilogi ritual Tabuik Pariaman. Basalisiahsebagai bentuk pertunjukan budaya telah mempresentasikan sebuah identitas ‘dramatik’ karakter ritual Tabuik Pariaman. Dramatik ini terdapat dalam trilogi ritual Tabuik yang terpisah, yaitu manabang batang pisang, maarak jari-jari, danmaarak sorban. Performatif pertunjukannya bersifat situasional, cenderung berubah-ubah, tidak bisa diprediksi, dan tanpa ‘directing’, namun memiliki aturan yang jelas dan utuh. Peran pawang basalisiah, Anak Tabuik, dan penonton basalisiah sangat menentukan dramatisasi basalisiah. Sosoh dan cime’eh menjadi gaya tutur dalam dramatisasi pertunjukan. Dengan konsep teatrikalitas, performativitas dan liminal menjadi dasar analisis struktur dramatisasi basalisiah dalam sudut pandang karakter pertunjukan Tabuik. Prosesi basalisiah dalam trilogi ritual Tabuik Pariaman dipengaruhi oleh perilaku histrionik, sehingga membentuk suatu perilaku yang mendramatisir situasi dari basalisiah sampai bacakak (berkelahi). Basalisiah mencatatkan sejarah dan gaya dramatisasi teatrikalitas dalam pertunjukan budaya Tabuik yang bisa relevan dalam pembaruan dunia pertunjukan. 
Nilai Estetik Pertunjukan Gondang Borogong dalam Upacara Pernikahan Di Desa Kepenuhan Barat Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu (The Aesthetic Value of Gondang Borogong Performances in a Wedding Ceremony in West Kepenuhan Village, Kepenuhan District, Rokan Hulu Regency) Rima Wanti Sabilah HRP; Wilma Sriwulan; Emridawati Emridawati
MUSICA : Journal of Music Vol 2, No 2 (2022): MUSICA : JOURNAL OF MUSIC
Publisher : Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26887/musica.v2i2.2802

Abstract

Penelitian ini bertujuan menyelidiki dan menganalisis bentuk pertunjukan dan nilai estetik yang muncul dalam pertunjukan Gondang Borogong pada upacara pernikahan di Desa Kepenuhan Barat, Rokan Hulu. Saat peneliti mendefenisikan dan menghasilkan data, peneliti menggunakan metode kualitatif serta menggunakan teori: estetika Djelantik dan Monroe Beardsley. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertunjukan Gondang Borogong selalu ditampilkan dalam upacara pernikahan dan dimainkan oleh lima orang pemain musik terdiri dari: satu ogong, dua gondang, dan dua calempong. Membawakan lagu wajib berjudul Nayong Lalu yang merupakan lagu persembahan sebagai pengiring silek, salah satu materi pokok dari proses penikahan. Penelitian ini juga menemukan, bahwa pertunjukan Gondang Borogong serat dengan nilai-nilai estetik antara lain: nilai estetis pemain atau seniman, nilai estetik alat musik, nilai estetik lagu, nilai estetik kostum, nilai estetik waktu dan tempat pertunjukan, serta nilai estetik penonton. Disamping itu, nilai-nilai estetik ini memiliki kesatuan hubungan yang saling bersinergi dan tidak terpisah dari pertunjukan Gondang Borogong pada upacara pernikahan.ABSTRACTThis study aims to investigate and analyze the form of performance and aesthetic values that appear in the Gondang Borogong performance at a wedding ceremony in Kepuhan Barat Village, Rokan Hulu. When researchers define and generate data, researchers use qualitative methods and apply theory: Djelantik and Monroe Beardsley aesthetics. The results of this study indicate that the Gondang Borogong performance is always performed in wedding ceremonies and is played by five musicians consisting of: one ogong, two gondang and two calempong. Performing the obligatory song titled Nayong Lalu which is a tribute song as an accompaniment to silek, one of the main materials of the marriage process. This study also found that Gondang Borogong fiber performances have aesthetic values, including: the aesthetic values of the players or artists, the aesthetic values of musical instruments, the aesthetic values of songs, the aesthetic values of costumes, the aesthetic values of the time and place of performance, and the aesthetic values of the audience. Besides that, these aesthetic values have a unified relationship that is synergized with each other and is inseparable from the Gondang Borogong performance at the wedding ceremony.