Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Berita Kedokteran Masyarakat

Degradasi polystyrene dengan mikrobia Aini Azizah; Nur Lathifah Syakbanah; Aris Putra Firdaus
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM) Vol 34, No 5 (2018): Proceedings the 3rd UGM Public Health Symposium
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (135.625 KB) | DOI: 10.22146/bkm.37701

Abstract

Polystyrene (PS) atau biasa dikenal dengan styrofoam merupakan polimer aromatik sintetis dengan rumus molekul (C8H8)n) yang dibuat dari serangkaian monomer styrene. PS banyak digunakan sebagai pembungkus makanan di Indonesia, padahal bahan tersebut dapat membahayakan kesehatan dan bersifat karsinogenik. PS termasuk dalam klasifikasi termoplastik, mempunyai berat molekul tinggi serta bersifat tahan air. PS merupakan jenis plastik persisten yang sulit didegradasi di alam sehingga terus terakumulasi mencemari tanah, sungai, danau dan laut. Masalah kesehatan manusia dan perubahan besar pada ekosistem akan muncul sebagai akibat toksisitas polimer plastik. Meski demikian, PS tetap dapat didegradasi meski membutuhkan upaya yang lebih besar. Proses degradasi PS dapat dilakukan dengan metode thermal, fotoreaktif, maupun dengan menggunakan mikrobia (biodegradasi). Terdapat beberapa jenis mikrobia yang dapat dimanfaatkan untuk proses degradasi PS, seperti  Pseudomonas sp, Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Micrococcus sp, Maoraxella sp (bakteri) dan  Aspergillus niger sp, Aspergillus galucus sp, Actinomycetes sp, dan Saccharomonospora sp (jamur). Mekanisme biodegradasi PS terjadi secara langsung (mikrobia melakukan deteriorasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya) maupun secara tidak langsung (produk metabolik mikrobia karena stres atau kondisi lingkungan yang tidak sesuai). Secara umum, mekanisme biodegradasi dimulai saat mikrobia mengeluarkan enzim ekstraseluler atau intraseluler sebagai substrat untuk pertumbuhan di permukaan PS, enzim tersebut akan memutus rantai polimer menjadi fragmen molekul kecil dari oligomer, dimer hingga monomer yang saling terpisah. Meski banyak penelitian mengenai mikrobia untuk degradasi PS namun biodegradabilitas masih belum optimal. Salah satu cara meningkatkan biodegradabilitas yaitu dengan mencampurkan styrofoam dengan cornstarch, sehingga laju pertumbuhan mikrobia semakin cepat. Mikroorganisme yang disebutkan diatas merupakan solusi global biodegradasi limbah styrofoam agar tidak terakumulasi di lingkungan. Namun, manusia bukan satu-satunya penghuni maka perlu kebijaksanaan manusia dalam penggunaan plastik demi melestarikan alam, seperti menerapkan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di kehidupan sehari-hari.
Analisis temporal efek cuaca terhadap leptospirosis di kabupaten Bantul, Yogyakarta tahun 2010-2018 Nur Lathifah Syakbanah; Anis Fuad; Hari Kusnanto
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM) Vol 35, No 4 (2019): Proceedings the 5th UGM Public Health Symposium
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (889.29 KB) | DOI: 10.22146/bkm.45186

Abstract

Tujuan: Menganalisis efek suhu udara, kelembapan udara dan curah hujan terhadap kejadian leptospirosis secara temporal di Kabupaten Bantul tahun 2010-2018. Metode: Desain penelitian menggunakan studi ekologi berbasis time-series, antara faktor cuaca (suhu udara, kelembapan udara dan curah hujan) dari stasiun cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY dan kejadian bulanan leptospirosis di Kabupaten Bantul selama periode 9 tahun, 2010-2018. Pearson’s correlation dan time-lag correlation dilakukan dengan STATA 13 guna mengamati asosiasi secara temporal, selanjutnya disajikan dalam grafik time-series dengan Microsoft Excel. Hasil: Karakteristik cuaca di Kabupaten Bantul untuk suhu udara, kelembapan udara, dan curah hujan masing-masing sebesar 27.2°C, 84%, dan 171 mm. Kejadian leptospirosis selama 2010-2018 sejumlah 779 kasus, tertinggi 120 kasus di bulan Mei dan 154 kasus pada tahun 2011. Suhu udara 3 bulan sebelumya (lag 3) berhubungan positif dan lemah terhadap kejadian leptospirosis (r=0.2493). Pola fluktuasi grafik time-series suhu udara tidak diikuti kejadian leptospirosis pada 2 tahun awal dan akhir periode. Kelembapan udara 1 bulan sebelumya (lag 1) berhubungan positif dan lemah terhadap kejadian leptospirosis (r=0.2921). Pola fluktuasi grafik time-series kelembapan udara tidak diikuti kejadian leptospirosis pada 2 tahun awal periode. Curah hujan 3 bulan sebelumya (lag 3) berhubungan positif dan sedang terhadap kejadian leptospirosis (r=0.5297). Pola fluktuasi grafik time-series curah hujan diikuti kejadian leptospirosis selama periode. Simpulan: Kejadian leptospirosis berhubungan dengan efek time-lag suhu udara, kelembapan udara dan curah hujan yang terjadi beberapa bulan sebelumnya. Diperlukan sistem kewaspadaan dini pemerintah dan masyarakat di daerah endemis menghadapi ancaman leptospirosis selama musim hujan.