Claim Missing Document
Check
Articles

Found 36 Documents
Search

Analisa Pengaturan Pelaksanaan Tindak Pidana Aborsi oleh Anak Korban Perkosaan dan Perlindungan Hukumnya Putu Dea Anindita Putri Biantara; Diah Ratna Sari Hariyanto
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 1 (2022)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Adapun tujuan dalam penulisan artikel ini yaitu untuk menganalisa pengaturan mengenai pelaksanaan tindak pidana aborsi yang dilaksanakan oleh anak di bawah umur di Indonesia, dan juga bentuk perlindungan khusus yang diberi kepada anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana tersebut, yang sekaligus juga merupakan seorang korban dari tindak pidana perkosaan. Dalam penulisan artikel ini memakai metode penelitian hukum normative, dengan melalukan pendekatan terhadap perundang-undangan dan juga kasus. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan artikel ini menggunakan teknik kepustakaan, kemudian teknik analisisnya dilakukan teknik analisis deskriptif kualitatif. Adapun temuan dari penulisan artikel ini adalah tidak terdapat aturan yang secara khusus mengatur mengenai tindakan aborsi yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Namun, Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan dapat menjadi dasar hukum dalam pelaksanaannya. Adapun tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh anak di bawah umur akibat dari ia merupakan seorang korban dari tindak pidana perkosaan, menurut Pasal 75 ayat (2) huruf b Undang-Undang Kesehatan diberikan sebuah pengecualian terhadap pelaksanaan aborsi dengan kriteria tertentu, salah satunya adalah bagi korban perkosaan, asalkan hal tersebut dapat dibuktikan terdapat terjadinya indikasi perkosaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 34 Kesehatan Reproduksi. Dalam kasus seperti ini pula, anak yang sebagai korban berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 133 Undang-Undang Kesehatan, Pasal 89-90 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Pasal 69A Undang-Undang Perlindungan Anak. Kata Kunci: aborsi, hukum pidana, perkosaan, anak ABSTRACT The purpose of writing this article is to analyze the regulation regarding the implementation of the criminal act of abortion carried out by minors in Indonesia, as well as the special forms of protection given to minors who commit these crimes, who are also victims of the crime. rape crime. In writing this article, the normative legal research method is used, by taking an approach to legislation and cases. The technique of collecting legal materials in writing this article uses a library technique, then the analysis technique is a qualitative descriptive analysis technique. The finding of this article is that there are no rules that specifically regulate abortion by minors. However, Article 346 of the Criminal Code and Article 75 of the Health Law can be the legal basis for its implementation. As for the crime of abortion committed by a minor as a result of being a victim of a crime of rape, according to Article 75 paragraph (2) letter b of the Health Law, an exception is given to the implementation of abortion with certain criteria, one of which is for victims of rape, provided that it can be proven that there is an indication of rape as regulated in Article 34 of Reproductive Health. In cases like this too, children who are victims are entitled to legal protection as stipulated in Article 133 of the Health Law, Articles 89-90 of the SPPA Law, and Article 69A of the Child Protection Law. Keywords: criminal law, abortion, rape, children
Gratifikasi Seksual Sebagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi Clement Hoposdo Ompusunggu; Diah Ratna Sari Hariyanto
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 7 (2021)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Tujuan studi ini bertujuan untuk dapat mengetahui apakah pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah berupa layanan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana gratifikasi dan mengetahui teknik pembuktian kesalahan penerima hadiah kesenangan berupa layanan seksual sebagai tindak pidana gratifikasi. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang dipakai merupakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual karena menggunakan pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Hasil studi ini menunjukkan bahwa Berpedoman pada penjelasan pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kata “fasilitas lainnya” dapat diartikan secara luas, sehingga layanan seksual dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Namun demikian, harus pula memenuhi unsur-unsur Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Teknik/cara untuk membuktikan kesalahan penerima gratifikasi seksual adalah dengan membuktikan terpenuhi atau tidaknya keseluruhan unsur-unsur Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik berimbang, yang mana baik jaksa maupun terdakwa dibebani pembuktian tentang benar atau tidak gratifikasi seksual telah diberikan/ disediakan, benar atau tidak terdakwa yang telah menerima, benar atau tidak gratifikasi seksual tersebut adalah gratifikasi sesuai yang dimaksud Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, benar atau tidak gratifikasi seksual yang diterima tersebut berhubungan dengan jabatannya/berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Adapun alat- alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan penerima gratifikasi seksual adalah alat-alat bukti yang secara limitatif diatur dalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa dan alat-alat bukti petunjuk yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Kata Kunci: Gratifikasi, Seksual, Tindak Pidana Korupsi. ABSTRACT The purpose of this study is to analyze whether civil servants or state administrators who receive gifts in the form of sexual services can be categorized as a crime of gratification and to know the technique of proving wrongdoing in the form of sexual services as a crime of gratification. This study uses normative legal research methods. The approach used is a statutory approach and a conceptual approach because it uses the views of scholars or legal doctrines. The results of this study indicate that based on the explanation of article 12 B of Law no. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption, the word "other facilities" can be interpreted broadly, so that sexual services can be categorized as gratification. However, it must also comply with the elements of Article 12 B of Law No. 20 of 2001. The technique / method to prove the wrongdoing of a recipient of sexual gratification is to prove whether or not all the elements of Article 12 B of Law No. 20 of 2001 by using an inversely balanced proof system, in which both the prosecutor and the defendant are burdened with proving whether or not sexual gratification has been given / provided, whether or not the accused who has accepted, is true or not sexual gratification is gratification. as referred to in Article 12 B of Law No. 20 of 2001, whether or not the sexual gratuities received are related to their position / contrary to their obligations and duties. Evidence that can be used to prove the mistake of a recipient of sexual gratification is evidence which is limitatively regulated in the provisions of Article 184 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code, namely witness statements, expert statements, letters, instructions, statements of the accused and tools. evidence of guidance as stipulated in the Corruption Crime Law. Keywords: Gratification, Sexual, Corruption Crime.
Kebijakan Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia Putu Mutiara Kartika Wedha; Diah Ratnasari Hariyanto
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 5 (2021)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk memahami pengaturan pemidanaan anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia dan untuk memahami kebijakan pemidanaan anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil studi menunjukkan bahwa pengaturan pemidanaan terkait anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I di Indonesia diatur melalui Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika dengan ancaman pidana paling banyak yaitu 4 tahun karena hanya diperuntukan untuk penelitian ilmu pengetahuan saja, dan bukan untuk dikonsumsi maupun bahan baku obat. Apabila pelakunya adalah anak, maka akan merujuk pada Pasal 81 UU SPPA yaitu hukuman maksimalnya akan dipotong ½ (setengah) dari hukuman orang dewasa. Hakim dalam memutus perkara harus mempertimbangkan Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 UU Narkotika yang mengatur, apabila dapat dibuktikan yang bersangkutan sebagai korban dan/atau sudah melapor dirinya sendiri kepada pihak yang berwajib maka penyalahguna tersebut dapat dilakukan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagaimana diatur pada Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3). Kebijakan pemidanaan terhadap anak sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I selain dipotong ½ dari hukuman orang dewasa, anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penyalahguna Narkotika Golongan I juga dapat dilakukan Diversi, karena ancaman hukuman seorang penyalahguna Narkotika Golongan I maksimal adalah 4 tahun penjara. Kata Kunci: Anak, Diversi, Narkotika ABSTRACT The purpose of writing this journal is to understand the criminal arrangements related to children as Narcotics Category I abusers in Indonesia and to understand the policy of criminalizing children as Category I Narcotics abusers in Indonesia. The research method used is normative legal research method. The results of the study show that the criminal provisions related to children as Narcotics abusers Class I in Indonesia are regulated through Article 127 paragraph (1) of the Narcotics Law with the maximum penalty of 4 years because Category I is a type of Narcotics which is only intended for scientific research, and not for consumption and medicinal raw materials. If the perpetrator is a child, it will refer to Article 81 of the SPPA Law, namely that the maximum sentence will be deducted ½ (half) of the adult sentence. Judges in deciding cases must consider Article 54, Article 55 and Article 103 of the Narcotics Law which regulates, if it can be proven that the person concerned is a victim and / or has reported himself to the authorities then the abuser can undergo medical rehabilitation and social rehabilitation as regulated in Article 127 paragraph (2) and paragraph (3). In addition to deducting ½ of the adult sentence, children who face the law as Narcotics Abusers Category I can also be subject to diversion, because the maximum penalty of a Class I Narcotics abuser is 4 years in prison. Key Words: Child, Diversion, Narcotics
Paradigma Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim Diah Ratna Sari Hariyanto; Dewa Gede Pradnya Yustiawan
Kertha Patrika Vol 42 No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KP.2020.v42.i02.p06

Abstract

Discriminatory treatments of judges have dominated the reports to the Judicial Commission. Injustice, in fact, is one of the lowest value attitudes of judges according to Judicial Commission assessment results. Indeed, showing justice is not easy for judges but to date in its development appears restorative justice that provides justice for all parties. Its future existence and response are interesting to be criticized. Based on this, the purpose of this study is to examine the paradigm of restorative justice in making legal decisions of judges on legal cases and the construction of the judges’ decisions which are paradigmatic in Restorative Justice. This research uses normative legal research with four types of approaches, which are case approach, legislative approach, conceptual approach, historical approach, and comparative approach. The results of the study show the restorative justice paradigm prioritizing restoration or amelioration will seek to provide justice, certainty and usefulness of the law, as well as realize progressive and responsive laws, and this makes it appropriate to be used as a judge’s paradigm in deciding a case. In constructing restorative justice-based judges’ decisions, judges do only make decisions based on the Criminal Procedure Code (KUHAP), but substantially, through the restorative justice paradigm the judges will consider justice for all parties (victims, perpetrators of crime, and the public). Judges do not make decisions based on retributive or retaliation goals but hold on to the values, concepts, principles, and basics of restorative justice prioritizing restoration or amelioration of the parties, meeting the needs of the parties, and prioritizing expediency. Discriminatory treatments of judges have dominated the reports to the Judicial Commission. Injustice, in fact, is one of the lowest value attitudes of judges according to Judicial Commission assessment results. Indeed, showing justice is not easy for judges but to date in its development appears restorative justice that provides justice for all parties. Its future existence and response are interesting to be criticized. Based on this, the purpose of this study is to examine the paradigm of restorative justice in making legal decisions of judges on legal cases and the construction of the judges’ decisions which are paradigmatic in Restorative Justice. This research uses normative legal research with four types of approaches, which are case approach, legislative approach, conceptual approach, historical approach, and comparative approach. The results of the study show the restorative justice paradigm prioritizing restoration or amelioration will seek to provide justice, certainty and usefulness of the law, as well as realize progressive and responsive laws, and this makes it appropriate to be used as a judge’s paradigm in deciding a case. In constructing restorative justice-based judges’ decisions, judges do only make decisions based on the Criminal Procedure Code (KUHAP), but substantially, through the restorative justice paradigm the judges will consider justice for all parties (victims, perpetrators of crime, and the public). Judges do not make decisions based on retributive or retaliation goals but hold on to the values, concepts, principles, and basics of restorative justice prioritizing restoration or amelioration of the parties, meeting the needs of the parties, and prioritizing expediency.
Efektivitas Pemenjaraan Ditengah Ide Pemidanaan Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Diah Ratna Sari Hariyanto; I Dewa Gede Dana Sugama
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 10 No 2 (2021)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2021.v10.i02.p15

Abstract

The present study seeks to find out, examine the effectiveness of criminal sanctions in the form of imprisonment in Bali, as well as discover the basis for the application of punishment with a restorative justice approach. This study belongs to empirical legal research that is descriptive in nature and makes the Correctional Institution in Bali the object of research. The results of the study suggested that the emergence of recidivists in Bali and the still negative stigma among the Balinese community subsequent to the removal of prisoners shows that correctional goals are still unachieved and the emergence of recidivists in Bali implies that the criminal sanction in the form of imprisonment still remains ineffective. The concept of an ideal criminal system to be applied in Bali related to imprisonment is the one adopting the restorative justice approach, because in addition to minimising imprisonment, in this approach, the interests of victims are more concerned by making various efforts to resolve conflicts and by making rehabilitation. Tujuan dari studi ini untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas pemenjaraan di Bali dan menemukan landasan penerapan pemidanaan dengan pendekatan keadilan restoratif. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang sifatnya deskriptif dan menjadikan Lembaga Pemasyarakatan di Bali sebagai objek penelitian. Hasil studi menunjukkan bahwa munculnya residivis di Bali dan masih adanya stigma negatif dari masyarakat Bali setelah narapidana keluar dari lapas menunjukkan bahwa tujuan pemasyarakatan belum tercapai dan sanksi penjara tidak efektif di Bali. Konsep sistem pemidanaan yang ideal untuk diterapkan di Bali terkait dengan pemenjaraan adalah konsep sistem pemidanaan dengan pendekatan restorative justice yang memperhatikan kepentingan korban dengan melakukan berbagai upaya penyelesaian konflik dan rehabilitasi, serta meminimalisasi penjatuhan pidana penjara.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN JUAL BELI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA Ni Wayan Ega Multiyani; Diah Ratna Sari Hariyanto
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 7 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (202.638 KB) | DOI: 10.24843/KS.2022.v10.i07.p01

Abstract

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana penipuan jual beli melalui media elektronik dan mengkaji kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana penipuan jual beli melalui media elektronik. Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif, serta digunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana penipuan jual beli melalui media elektronik diatur pada Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Ketika terjadi kasus tindak pidana penipuan jual beli melalui media elektronik sesuai asas lex spesialis derogate legi generalis maka digunakan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang merumuskan sanksi pidana seperti mana dimaktub dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yakni pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda sebesar satu milyar rupiah. Terkait dengan kebijakan pemberantasan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana penipuan jual beli melalui media elektronik biasanya dilaksanakan menggunakan kebijakan penal dan non penal. Kebijakan penal mengacu pada penggunaan hukum pidana, kebijakan ini dilaksanakan melalui penerapan hukum pidana di masyarakat. Adapun pemberantasan hukum yang dilakukan melalui non-penal yang bersifat preventif dan represif. Upaya preventif dilaksanakan dengan melangsungkan kegiatan-kegiatan pelatihan kepada seluruh struktur masyarakat, mengembangkan pengendalian terhadap produksi barang dan/atau jasa, memberikan himbauan dengan melalui media yang mudah dijangkau masyarakat. Adapun upaya represif yang dilakukan penindak lanjutan serta menerapkan hukuman kepada pelaku kejahatan serta upaya pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan. The purpose of this study is to examine criminal liability for the crime of buying and selling fraud through electronic media and reviewing criminal law policies in eradicating criminal acts of buying and selling fraud through electronic media. The research method used is normative legal research, and primary and secondary legal sources are used. The results of the study indicate that criminal liability for fraudulent buying and selling through electronic media is regulated in Article 378 of the Criminal Code and Article 28 paragraph (1) of the ITE Law. When a criminal act of buying and selling fraud occurs through electronic media according to the principle of lex specialist derogate legi generalis, Article 28 paragraph (1) of the ITE Law is used which formulates criminal sanctions as stated in Article 45 paragraph (2) of the ITE Law, namely imprisonment for a maximum of 6 years and a fine of one billion rupiah. Related to the policy of eradicating the law that is carried out against the criminal act of buying and selling fraud through electronic media, it is usually carried out using a penal and non-penal policy. Penal policy refers to the use of criminal law, this policy is implemented through the application of criminal law in society. The eradication of the law is carried out through non-penal which is preventive and repressive. Preventive efforts are carried out by carrying out training activities for all community structures, developing controls on the production of goods and/or services, providing appeals through media that are easily accessible to the public. As for the repressive efforts carried out by further action and applying punishment to the perpetrators of crimes as well as efforts to foster by the Correctional Institution.
PERLUASAN ASAS LEGALITAS DALAM RKUHP SEBAGAI UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA I Gusti Ngurah Bayu Pradiva; Diah Ratna Sari Hariyanto
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 8 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (331.522 KB) | DOI: 10.24843/KS.2022.v10.i08.p05

Abstract

Tujuan studi ini yakni guna mengidentifikasi serta mengerti latar belakang perluasan makna asas legalitas dalam RKUHP serta memahami apakah perluasan asas legalitas dalam RKUHP tidak bertentangan dengan makna dari asas legalitas itu sendiri. Riset ini memanfaatkan jenis riset hukum normatif, pendekatan statute approach, pendekatan historis, serta pendekatan sosiologis. Hasil riset memperlihatkan bahwa perubahan esensi asas legalitas yang mencakup asas legalitas materiel tersebut sebenarnya merupakan wujud dari semangat untuk mengubah KUHP warisan kolonial Belanda dengan hukuman pidana yang lebih sejalan dengan prinsip-prinsip luhur bangsa Indonesia. Perluasan makna asas legalitas dalam RKUHP dapat menimbulkan benturan dan pertentangan namun, hal itu dapat diatasi dengan peran dari Pemerintah Daerah setempat dengan mengeluarkan Peraturan Daerah dengan memasukan unsur pidana adat di dalamnya, sehingga mampu untuk mengefektifkan penerapan asas legalitas materiel yang sejalan dengan prinsip-prinsip yang terdapat pada UUD 1945, Pancasila, HAM, serta asas hukum umum yang diterima oleh khalayak umum. The purpose of this study is to identify and understand the background of the expansion of the meaning of the legality principle in the RKUHP and to understand whether the expansion of the legality principle in the RKUHP does not conflict with the meaning of the legality principle itself. This research utilizes the types of normative legal research, the statute approach, the historical approach, and the sociological approach. The results of the research show that the change in the essence of the principle of legality which includes the principle of material legality is actually a manifestation of the spirit to change the KUHP inherited from the Dutch colonial with criminal penalties that are more in line with the noble principles of the Indonesian nation. The expansion of the meaning of the principle of legality in the RKUHP can cause conflicts and contradictions, however, this can be overcome by the role of the local government by issuing a regional regulation that includes elements of customary law in it, so as to be able to effectively implement the principle of material legality in line with the principles laid down. contained in the 1945 Constitution, Pancasila, Human Rights, and general legal principles accepted by the general public.
KAJIAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA PERIKANAN DI KECAMATAN NUSA PENIDA STUDY OF CRIMINOLOGY TOWARDS FISHERY CRIMINAL ACT IN NUSA PENIDA SUB-DISTRICT Made Sugi Hartono; Diah Ratna Sari Hariyanto
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.1.2018.11-21

Abstract

ABSTRAK Nusa Penida sebagai daerah pengembangan wisata bahari mempunyai ancaman tersendiri terkait dengan tindak pidana perikanan yang sering terjadi beberapa waktu terahir. Persoalan mendasar yang perlu dipecahkan guna mendukung konsep pariwisata berkelanjutan yaitu faktor apa yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perikanan dan bagaimana upaya penanggulangannya. Hal ini ditujukan untuk menemukan substansi persoalan baik menyangkut masalah hukum dan non hukum serta strategi yang tepat dan efektif dalam upaya penanggulangannya. Penelitian ini merupakan penelitian normatif-empiris dengan basis data primer sepanjang data yang diperoleh secara langsung di lapangan melalui wawancara serta basis data sekunder sepanjang data yang diperoleh memalui studi pustaka yang diidentifikasi dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach), konseptual(conceptual approach) dan kasus (case approach) data yang diperoleh dipilah, diseleksi,disistematisasi yang kemudian dianalisis secara kualitatif berdasarkan padakonsistensi logika. Hasil analisis disajikan secara deskriptif sehingga terciptakajian yang komperhensip serta holistik. Tindak pidana perikanan yang terjadi di Nusa Penida dalam beberapatahun terakhir disebabkan oleh beberapa faktor. Sacara umum dapatdiklasifikasikan menjadi faktor intern yang ditujukan kepada diri pelaku itusendiri, faktor ekstern mewakili hal-hal di luar diri pelaku, faktor hukum yaituberkaitan dengan penegakan hukum yang mengedepakan pendekatan persuasifsehingga tidak menimbulkan efek jera dan terakhir adalah faktor non hukumberkaitan dengan keterbatasan anggaran untuk operasional pengawasan. Terhadap persoalan yang ada, upaya penanggulangan yang dilakukan yaitu berupapendekatan represif dengan memaksimalkan penegakan hukum pidana sertapendekatan preventif yangmengutamakan pada pencegahan denganmengoptimalkan peran serta masyarakat dalam sistem pengawasan. Kata Kunci: 1. Kriminologi, 2. Tindak Pidana, 3. Perikanan ABSTRACT Nusa Penida as a marine tourism development area has its own threats related to fishery criminal act which often happens lately. The fundamental issues that need to be solved to support the concept of sustainable tourism which are, what factor that cause the occurrence of fishery criminal act and how to overcome it. It is intended to find the substance of the problem both concerning legal and non-legal issues and appropriate and effective strategy in order to overcome it. This is normative-empirical legal research with the primary database as long as the data obtained directly in the field through interviews and secondary databases throughout the data obtained through literature studies identified from primary, secondary and tertiary legal materials. With statutory approach, conceptual approach and case approach the data obtained are sorted, selected, then systematized and then analyzed qualitatively based on logical consistency. The results of the analysis are presented descriptively so as to create a comprehensive and holistic. The fishery criminal act that happened in Nusa Penida in several years caused by several factors. Generally, it can be classified become an internal factor which is directed to the perpetrator itself, the external factor is representing things beyond the perpetrator, the legal factor is related to the legal enforcer which put forward a persuasive approach so it does not cause a deterrent effect and the last is a non legal factor related to budgetary constraints for the supervision operational. To the existing problems, the conducted countermeasures are, repressive approach by maximizing criminal law enforcement and preventive approach that prioritized prevention with optimizing society participation in the monitoring system. Keywords: Criminology, Criminal Act, Fishery
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia Diah Ratna Sari Hariyanto; Pande Yogantara S
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.1.2019.26-37

Abstract

Belum ada undang-undang yang mengatur mengenai mediasi penal di Indonesia, sehingga hal ini menarik untuk diteliti karena mediasi penal memiliki banyak manfaat untuk dapat diterapkan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar hukum mediasi penal dalam konteks hukum yang berlaku (ius constitutum), kedudukan ketentuan hukum yang berlaku (ius constitutum) yang mengatur mengenai mediasi penal di Indonesia, dan perkembangan pengaturan mediasi penal dalam konteks hukum pada masa yang akan datang (ius constituendum) di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan sejarah, dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar hukum yang digunakan dalam praktek mediasi penal di Indonesia adalah kewenangan diskresi kepolisian yang diatur dalam UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI dan KUHAP, selain itu juga digunakan Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat dan Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution. Dasar hukum ini bersifat eksplisit dan tidak mengatur secara tegas mengenai mediasi penal. Tidak ada dasar hukum yang kuat yang mengatur mengenai mediasi penal. Pembaharuan hukum pidana secara implisit telah mengarahkan penggunaan mediasi penal dalam hukum pidana di masa yang akan datang. Kata Kunci: Constituendum; Ius Constitutum; Mediasi Penal There is no law that regulates penal mediation in Indonesia, so it’s interesting to investigate because penal mediation has many advantege to be applied in Indonesia. The purpose of this study is to analyze legal basis of penal mediation in the context of the ius constitutum, the position of the ius constitutum penal mediation in Indonesia, and the development of penal mediation arrangements in the criminal law of the ius constituendum in Indonesia. This research’s is a normative legal research, with the case approach, the statute approach, the conceptual approach, the historical approach and the comparative approach. The result shows that the legal basis used in the practice of penal mediation in Indonesia is the discretion power of the police authority regulated in Act No. 2 of 2002 on the Police of the Republic of Indonesia and Criminal Procedure Code, but also used the Regulation of the Chief of Police of the Republic of Indonesia No. 3 of 2015 on Community Policing and the Police Letter no. Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS, December 14, 2009, About Case Handling Through Alternative Dispute Resolution. The legal basis about penal mediation is explicit and does not forceful. There is no forceful legal basis regulate of penal mediation. Criminal law reform has implicitly directed the use of penal mediation in future criminal law. Keywords: Ius constituendum; Ius constitutum; Penal mediation
Politik Hukum Pemberantasan Prostitusi Online Terkait Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial dan Pengguna I Dewa Gede Dana Sugama; Diah Ratna Sari Hariyanto
KERTHA WICAKSANA Vol. 15 No. 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.15.2.2021.158-168

Abstract

Kasus prostitusi menjadi fenomena yang selalui mewarnai penegakan hukum di Indonesia. Modus operandinyapun kian berkembang, yang saat ini marak adalah prostitusi online. Meskipun prostitusi telah diatur dalam KUHP dan terkait transaksi online bisa ditemukan dalam UU ITE namun, faktanya kasus prostitusi online sulit untuk diberantas. Hal ini dikarenakan hanya mucikari yang bisa dipertanggungjawabkan secara pidana, sedangkan PSK (Pekerja Seks Komersial) dan pengguna jasa prostitusi online tidak bisa dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal ini tentu perlu direkonstruksi kembali sehingga penting untuk dikaji mengenai pengaturan prostitusi online dan politik hukum pemberantasan prostitusi, khususnya terkait kriminalisasi PSK (Pekerja Seks Komersial) dan pengguna jasa prostitusi online. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Hasil studi menunjukkan bahwa KUHP tidak mengatur pemidanaan terhadap PSK dan Pengguna jasa prostitusi online, sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara pidana. Apabila dikaji peraturan di luar KUHP terkait prostitusi online, PSK dan pengguna jasa dapat dijerat dengan menggunakan UU ITE, namun aturan ini masih bersifat umum yang mengatur larangan yang melanggar kesusilaan. Pengaturan prostitusi juga dapat ditemukan dalam Peraturan Daerah (Perda), namun tidak semua daerah memiliki atau mengeluarkan Perda tentang Prostitusi, sehingga keberlakuannya terbatas pada territorial. Politik hukum yang dapat diambil adalah dengan pembaharuan hukum pidana dengan mensinergikan konsep rancangan KUHP yakni dengan mengkriminalisasi dan mengatur pemberian ancaman pidana terhadap PSK dan pengguna jasa prostitusi online agar bisa dipertanggungjawabkan secara pidana (penalisasi).