Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

MENILIK ARAH POLITIK PERUBAHAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI Madaskolay Viktoris Dahoklory
Masalah-Masalah Hukum Vol 50, No 2 (2021): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/mmh.50.2.2021.222-231

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika politik perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan apakah perubahan itu sesuai atau tidak dengan semangat berkonstitusi. Penelitian ini bersifat normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dinamika politik perubahan UU Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak menyentuh aspek substansial seperti menambahkan/mengurangi tugas dan wewenang hakim konstitusi, melainkan perubahan UU mahkamah konstitusi masih berputar-putar terkait dengan persyaratan batasan usia untuk dapat diangkat/diberhentikan sebagai hakim konstitusi. Walaupun mengubah batasan usia menjadi hakim konstitusi merupakan wilayah kebijakan hukum terbuka yang dimiliki oleh pembentuk UU tetapi semestinya tidak boleh bertentangan dengan moralitas, rasionalitas atau akal sehat seperti yang diamanatkan oleh mahkamah konstitusi dalam putusan nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.
MENYOAL URGENSI DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN REVISI UNDANG-UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI Madaskolay Viktoris Dahoklory; Muh Isra Bil Ali
Perspektif Vol 25, No 2 (2020): Edisi Mei
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v25i2.766

Abstract

Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang selanjutnya disingkat revisi UU KPK yang menjadi usul inisiatif DPR, menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat, sebab sebagain besar masyarakat menganggap undang-undang KPK saat ini tidak perlu direvisi, ada pula yang mengatakan bahwa proses pembentukan revisi undang-undang KPK ini tidak ditempuh melalui prosedur dan tahapan-tahapan sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Penelitian ini akan membahas permasalahan mengenai urgensi dilakukannya revisi undang-undang KPK, dan prosedur pembentukan UU yang baik dan benar, serta penerapannya dalam pembentukan revisi undang-undang KPK. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan perundang-undangan dalam menganalisis permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Hasil Penelitian menyimpulkan bahwa urgensi dilakukannya revisi UU KPK adalah karena UU No. 30 Tahun 2002 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dinamika hukum serta sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, dan Proses revisi UU KPK ternyata tidak melalui prosedur-prosedur sebagaimana telah diatur dalam “Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan” sehingga mengakibatkan kecacatan dari segi prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar.Revision of the Corruption Eradication Commission Law, hereinafter abbreviated as revision of the KPK Law which became a proposal of the DPR’s initiative, raises pros and cons in the community, because most of the community considers the old KPK law does not need to be revised, there are also those who say that the process of forming the revision of the law This KPK law was not pursued through procedures and stages as regulated in the Act. This research will discuss issues regarding the urgency of revising the KPK law, and the procedure for establishing a good and correct law, and its application in forming the revision of the KPK law. The method used in this study is a normative juridical method by using legislation in analyzing the problems that are the focus of research. The results of the study concluded that the urgency of the KPK Law revision was due to Law No. 30 of 2002, is not in accordance with the development of the era of legal dynamics and the constitutional system of the Republic of Indonesia, and the revision process of the KPK Law apparently did not go through the procedures as regulated in “Law No. 12 of 2011 concerning Formation of Laws and Regulations” resulting in disability in terms of procedures for the formation of legislation that is good and right.
Binding Legal Force of Supreme Court Decision over General Election Commission Madaskolay Viktoris Dahoklory; Fifiana Wisnaeni
LAW REFORM Vol 16, No 1 (2020)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (96.648 KB) | DOI: 10.14710/lr.v16i1.30305

Abstract

Election Commission Regulation Number 26 Year 2018 established by the General Election Commission as a Follow-up to the Constitutional Court Decision Number 30 / PUU-XVI / 2018 which basically prohibits candidates for Regional Representative Council who are concurrently acting as administrators of political parties but the General Election Commission's rules are canceled by the Supreme Court based on its decision Number 65 / P / HUM / 2018. The purpose of this study is to analyze and find out whether the Supreme Court's Decision has binding legal force over the General Election Commission. The research method used is juridical-normative and qualitative analysis. The research results show that the Supreme Court Decision which nullifies legal norms in the General Election Commission Regulation still has binding legal force because in principle every judge's decision must be considered valid according to the law until there is equipment (res judicata pro veritate habetur), as well as the juridical decision of the Supreme Court immediately published in the State news, with the enactment of the Supreme Court's Decision it would naturally become the basis for the validity of the a quo Decision. The decision issued by the Supreme Court indirectly gave birth to a legal obligation for the General Election Commission, for that the General Election Commission must carry it out properly. Therefore, the Election Supervisory Body needs to oversee the election commission in carrying out the mandate of the decision.
Hakikat Kedudukan Lembaga Ombudsman Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia Eivandro Wattimury; Madaskolay Viktoris Dahoklory
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 6 No. 3 (2022): December 2022
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.031 KB)

Abstract

Pasca reformasi tahun 1999 bermunculan lembaga-lemabaga negara baru, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, termasuk lembaga Ombudsman. Kehadiran lembaga-lembaga tersebut dalam kedudukannya ada yang disematkan sebagai lembaga atau organ penunjang, lembaga independent ataupula semi independen. Tujuan Penelitian ini untuk mencari dan mengetahui hakikat kedudukan lembaga Ombudsman serta maskdu pembentukannya dalam Struktur Ketatanegaraan. Metode Penelian bersifat normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual guna menganalisis permasalahan secara kualitatif. Hasil dan Pembahasan menyimpulkan bahwa kedudukan ombudsman dalam ketatanegaraan Indonesia sejatinya adalah lembaga Independen yang menjalankan fungsi campuran, yaitu dapat fungsi regulasi, fungsi administratif, dan fungsi penghukuman atau quasi. Maksud pembentukannya dilatarbelakangi ketidakmampuan lembaga negara yang telah ada menangani persoalan mal-administrasi, Korupsi Kolusi Nepotisme, Pungutan liar (pungli), dan lain sebagainya, sehingga telah menghambat terciptanya pelayanan publik yang baik dan bersih. Untuk itulah, Ombudsman hadir untuk mengawasi sektor pelayanan publik (public service) yang diselenggarakan oleh lembaga negara/daerah termasuk BUMN, BUMD, BHMN, Badan Swasta, dan badan lain yang bergerak di sektor pelayanan publik. Dengan maksud semata-mata untuk mewujudkan tujuan bernegara (welfare state).
MEWUJUDKAN PENGAWASAN PEMILU PARTISIPATIF YANG LEBIH BERMAKNA (MEANINGFULL PARTICIPATION) Madaskolay Dahoklory; Erwin Ubwarin
Community Development Journal : Jurnal Pengabdian Masyarakat Vol. 4 No. 2 (2023): Volume 4 Nomor 2 Tahun 2023
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/cdj.v4i2.13201

Abstract

Penyelenggaraan pemilu dilaksanakan melalui beberapa tahapan utama yang berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran dalam tahapan-tahapan dimaksud. Kemungkinan tersebut bisa disebabkan oleh kecurangan, kekhilafan, maupun strategi pemenangan pemilu yang tidak melanggar hukum tetap menurukan kepercayaan publik (non-fraudulent misconduct). Oleh sebab itu, untuk menghidari atau mencegah pelanggaran atau kecurangan tersebut maka diperlukan peran serta atau partisipasi publik yang lebih bermakna (Meaningfull Participation). Tujuan penelitian ini untuk menganalisis dan mengetahui sejauhmanakah fungsi pengawasan lembaga pengawas pemilu dan bagaimana seharusnya pengawas partisipasi yang lebih bermakna. Metode penelitian bersifat yuridis-empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan doktrinal. Hasil dan pembahasan menyimpulkan bahwa fungsi pengawasan lembaga pengawas pemilu termasuk kurang bermakna, sebab belum dapat mengurangi atau mencegah pelanggaran hak konstitusional warga negara. Sesungguhnya partisipasi yang lebih bermakna harus memenuhi setidaknya tiga prasyarat, yaitu (i) hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), (ii) hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan (iii) hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Keterpenuhan akan hak-hak tersebut hanya terjadi dalam forum legislasi. Untuk itulah dalam tahapan penyusunan dan pembahasan undang-undang pemilu, perlu melibatkan rakyat secara aktif, guna menhasilkan produk pemilu yang berkualitas, jujur dan adil.
Konsolidasi Lembaga-Lembaga Negara Yang Bergerak Di Bidang Pertahanan & Keamanan Negara Madaskolay Viktoris Dahoklory; Micael Ririhena
LUTUR Law Journal Vol 1 No 2 (2021): Mei 2021 LUTUR Law Journal
Publisher : Program Studi Hukum Diluar Kampus Utama Universitas Pattimura Kabupaten Maluku Barat Daya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30598/lutur.v1i2.5762

Abstract

Tugas dan tanggungjawab Negara adalah melindungi seluruh bangsa Indonesia dari ancaman dan serangan pihak manapun, untuk membentengi bangsa Indonesia dari serangan-serangan pihak tertentu maka kemudian dibentuk lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pertahanan dan keamanan nasional yang selanjutnya dikenal dengan “nama” Dewan Ketahanan Nasional & Lembaga Ketahanan Nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengenali kedua lembaga itu lebih jauh, bagaimana tugas dan fungsinya, serta hakikat perbedaannya dan sekaligus memberikan rekomendasi agar dilakukan konsolidasi secara kelembagaan. Metode penelitian ini bersifat normatif yaitu dengan menelaah perundang-undangan terkait dan pendekatan konseptual dengan beranjak dari pendapat pakar lalu menganalisis secara kualitatif. Hasil dan pembahasan menunjukan bahwa kehadiran 2 (dua) lembaga baru itu merupakan fenomena konstitusional. Dengan kata lain, lembaga itu dibentuk karena adanya kebutuhan konstitusional yang mengharuskan negara untuk mengadakan lembaga khusus yang berkonsentrasi dibidang pertahanan dan keamanan nasional. Namun, dalam tataran implementasi tidak menutup kemungkinan terjadi ego sektoral diantara kedua lembaga itu, sehingga kebijakan yang dikeluarkan pula terkadang bisa bertentangan satu sama lainnya. Oleh sebab itu, sebaiknya dilakukan konsolidasi kembali secara kelembagaan dalam rangka penguatan sistem.
DESAIN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DESA YANG EFEKTIF Dahoklory, Madaskolay Viktoris
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 12, No 1 (2023): Tinjauan Yuridis Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v12i1.1088

Abstract

Pemilihan kepala desa secara langsung sangat berpontensi terjadi kecurangan atau pelangaran pada tiap-tiap tahapan. Sementara mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala desa saat ini masih menimbulkan ketidakpastian hukum. Penulisan ini memfokuskan pada bagaimana pengaturan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala desa dan apakah desain penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala desa sudah efektif. Penelitian ini bersifat normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala desa merupakan kewenangan bupati/walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (5) & (6) UU Desa, namun tidak terdapat keterangan detail mengenai ruang lingkup kewenangan bupati/walikota. Selain itu, pendelegasian kewenangan tersebut tanpa disadari sudah menyimpang dari ajaran trias politica yang menghendaki pemisahan atau pembagian fungsi agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan, pada sisi lain kewenangan tersebut berpontensi menimbulkan conflict of interest antara bupati/walikota dengan salah satu calon kepala desa. Desain penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala desa saat ini belum efektif, sebab tidak di dukung oleh pranata hukum penyelesaian yang memadai. Pranata hukum dimaksud berupa produk hukum dan/atau lembaga penegak hukum yang efektif. Berangkat dari hal tersebut maka perlu dibentuk satu badan pengadilan khusus yang disuguhi kewenangan untuk memutus pelanggaran yang terjadi dalam pemilihan kepala desa, tidak hanya menyangkut persoalan kesalahan perhitungan suara (kalkulator) semata, tetapi mencakup pula pelanggaran atau kecurangan yang terjadi dalam proses pemilihan kepala desa sepanjang berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara. Untuk itulah, perlu segera mengubah UU Desa, atau membentuk UU baru yang mengatur tentang badan pengadilan khusus.
Rekonstruksi Nilai-nilai Pancasila dalam Undang-Undang Madaskolay Viktoris Dahoklory; Lita Tyesta Addy Listya Wardhani
SASI Vol 26, No 3 (2020): Volume 26 Nomor 3, Juli - September 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pattimura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47268/sasi.v26i3.271

Abstract

Pancasila is the source of all sources of State law, by placing Pancasila as a source of state law, Pancasila has a function as a guiding star in the formation of national legal products. The purpose of the Writing is to analyze and understand the transformation of the values of Pancasila in the context of the renewal of national legal products and the mechanism of testing and harmonization of laws with the values of Pancasila. The research method used is juridical-normative and qualitative analysis. The results of the study show that several national legal products do not reflect Pancasila values, such as the water resources law, this was proven when the Constitutional Court issued its decision, which in essence the Constitutional Court stated that the law contrary to the values of Pancasila as implemented in the constitution. Therefore, the Government needs to increase its role in managing and harmonizing regulations as an effort to renew national legal products that are responsive in character.
IMPLEMENTASI DESENTRALISASI LINGKUNGAN DITENGAH PANDEMI COVID-19 “ANTARA” PELESTARIAN ATAUKAH PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Dahoklory, Madaskolay Viktoris; Aminah, Aminah
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2020: Volume 7 Nomor 1 Desember 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v0i0.206

Abstract

Abstrak Kebijakan Otononi Daerah sudah dipraktikan sejak lama, sehingga di era otonmi daerah saat ini, ternyata Pemerintah di perintahkan agar menyelenggarakan urusan pemerintahan wajib yaitu desentralisasi lingkungan hidup secara efektif. Namun ditengah-tengah situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, kebijakan tersebut belum terealisasi dengan baik. Oleh sebab itu, Penelitian ini memfokuskan pada kebijakan desentralisasi lingkungan hidup di tengah pandemi Covid-19, serta bentuk partisipasi masyarakat. Metode penelitian berisifat normatif yang mengggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual untuk menganalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjakan bahwa, kebijakan desentralisasi lingkungan hidup merupakan urusan pemerintahan konkuren yang bersifat wajib untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, tetapi sejak ada pandemi Covid-19 belum berjalan dengan baik dikarenakan pemerintah sibuk menangani Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Padahal menjaga kesehatan lingkungan merupakan bagian dari kebijakan menjaga kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, ditengah-tengah pandemi saat ini pemerintah tidak boleh mengesampingkan apalagi mengabaikan kesehatan lingkungan. Dengan demikian, untuk menghasilkan kesehatan lingkungan yang baik, maka perlu di dukung oleh partisipasi masyarakat demi menciptakan lingkungan yang sehat. Kata Kunci : Otonomi Daerah, Lingkungan Hidup, Covid-19 Abstract The Regional Autonomy Policy has been practiced for a long time, so that in the current era of regional autonomy, it turns out that the Government is instructed to carry out mandatory governmental affairs namely environmental decentralization effectively. However, in the midst of the current Covid-19 pandemic situation, the policy has not been realized well. Therefore, this research focuses on the policy of environmental decentralization amid the Covid-19 pandemic, as well as forms of community participation. The research method is normative which uses the statutory approach and conceptual approach to analyze qualitatively. The results of the study show that the environmental decentralization policy is a concurrent governmental obligation that is mandatory to be carried out by the Central Government and Regional Governments, but since the Covid-19 pandemic has not gone well because the government is busy handling Covid-19 and economic recovery. Though maintaining environmental health is part of the policy of maintaining public health. Therefore, in the midst of the current pandemic the government must not rule out let alone ignore environmental health. Thus, to produce good environmental health, it is necessary to be supported by community participation to create a healthy environment.
PROBLEMATIKA PENGANGKATAN PRAJURIT TNI SEBAGAI PENJABAT KEPALA DAERAH Dahoklory, Madaskolay Viktoris; Eivandro Wattimury
PERSPEKTIF : Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan Vol. 29 No. 1 (2024): Edisi Januari
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v29i1.904

Abstract

Untuk mencegah jangan sampai terjadi kekosongan jabatan kepala daerah akibat berakhir masa jabatan tahun 2022 dan tahun 2023. Maka diangkat seorang Penjabat guna mengisi kekosongan jabatan dimaksud. Namun persoalannya penjabat yang diangkat bukan berasal dari kalangan sipil melainkan dari kalangan militer. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual untuk menganalisis permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Pengangkatan prajurit TNI aktif dalam menduduki jabatan sipil semestinya tidak boleh terjadi. Sebab sangat mungkin menyebabkan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan mencampuradukkan kepentingan militer dan kepentingan sipil dalam birokrasi pemerintahan sehingga berpontensi menciptakan konflik kepentingan. Selain itu, bagi prajurit TNI yang telah mengundurkan diri atau pensiun, tidak serta-merta boleh diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Melainkan yang bersangkutan harus terlebih dahulu mengikuti seleksi atau diangkat menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, kategori Madya atau Pratama. Setelah itu, barulah yang bersangkutan dapat diangkat sebagai Penjabat Kepala Daerah. To prevent a vacancy in the position of regional head due to the end of the term of office in 2022 and 2023, an Acting Officer will be appointed to fill the vacancy in the position in question. However, the problem is that the officials appointed do not come from civilian circles but from military circles. The research method used is juridical-normative using a statutory approach and a conceptual approach to analyze the problems that are the focus of the research. The results of the research concluded that the appointment of active TNI soldiers to civilian positions should not have occurred. Because it is very likely to cause abuse of power by mixing military interests and civilian interests in the government bureaucracy, thereby potentially creating a conflict of interest. Apart from that, TNI soldiers who have resigned or retired cannot immediately be appointed as acting regional heads. However, the person concerned must first take part in a selection or be appointed to a High Leadership Position, Middle or Primary category. After that, the person concerned can be appointed as Acting Regional Head.