Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Berkala Kedokteran

Hubungan Kadar HbA1C Dengan Kejadian Kaki Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus: Di RSUD Ulin Banjarmasin April-September 2012 Tria Sefty Madina; Djallalluddin Djallalluddin; Alfi Yasmina
Berkala Kedokteran Vol 9, No 2 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20527/jbk.v9i2.951

Abstract

ABSTRACT: Diabetes mellitus (DM) is a disorder characterized by hyperglycemia and impaired metabolism of carbohydrates, fats, and proteins caused by a deficiency of insulin hormone in relative or absolute terms. HbA1c level test is a test that gives an indication of blood glucose levels averaged over the previous 2-3 months, which gives an assessment of a person’s glucose control. When it is not controlled, there will be a risk of diabetic foot complication. This study was aimed to analyze the relationship between HbA1C level and the incidence of diabetic foot ulcer in diabetic patients in RSUD Ulin Banjarmasin in April-September 2012. This study was an analytic observational survey with a cross-sectional approach. Samples were taken with total sampling method with a total sample of 100 patients. The result showed that diabetic patients with diabetic foot ulcers who had HbA1C level ≥ 7% (poor) were 13 subjects (100%) and there were no one who had HbA1C level < 7% (normal), whereas diabetic patients without diabetic foot ulcers with HbA1C level ≥ 7% were 31 subjects (35.6%) and those who had HbA1C level < 7% were 56 subjects (64.4%). The result of data analysis using Fisher test indicated that there was a significant relationship between HbA1C level and the incidence of diabetic foot ulcer (p = 0.008). It could be concluded that there was a relationship between HbA1C level and the incidence of diabetic foot ulcer in DM patients in RSUD Ulin Banjarmasin in April-September 2012. Keywords: HbA1C, diabetic foot ulcer, diabetes mellitus ABSTRAK: Diabetes melitus (DM) adalah kelainan yang ditandai dengan hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Pemeriksaan HbA1C merupakan tes yang memberikan indikasi kadar glukosa darah rata-rata selama 2-3 bulan sebelumnya, yang memberikan penilaian tentang pengendalian kadar glukosa seseorang. Apabila kadar glukosa tidak terkontrol, dapat berisiko terjadi komplikasi kaki diabetik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kadar HbA1C dengan kejadian kaki diabetik pada pasien DM di RSUD Ulin Banjarmasin bulan April-September 2012. Penelitian ini adalah penelitian survei observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Pemilihan sampel menggunakan metode total sampling dengan jumlah sampel sebanyak 100 sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien DM dengan kaki diabetik yang memiliki kadar HbA1C ≥ 7% (buruk) adalah 13 orang (100%) dan tidak ada pasien yang memiliki kadar HbA1C < 7% (normal), sedangkan pasien DM tanpa kaki diabetik yang memiliki kadar HbA1C < 7% sebanyak 31 orang (35,6%) dan yang memiliki kadar HbA1C ≥ 7% adalah 56 orang (64,4%). Hasil analisis data menggunakan uji Fisher menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara kadar HbA1C dengan kejadian kaki diabetik (p = 0,008). Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kadar HbA1C dengan kejadian kaki diabetik pada pasien DM di RSUD Ulin Banjarmasin bulan April-September 2012. Kata-kata kunci: HbA1C, kaki diabetik, diabetes melitus
Perbandingan Tekanan Nadi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Niarsari Anugrahing Putri; Asnawati Asnawati; Alfi Yasmina
Berkala Kedokteran Vol 9, No 1 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20527/jbk.v9i1.913

Abstract

ABSTRACT: Obesity is a global problem occurring worldwide, both in developed and developing countries, including Indonesia. Obesity and overweight may affect the pulse pressure through the increased level of leptin, which mainly secreted by adipose tissue. The research was aimed to determine the difference in pulse pressure based on body mass index (BMI) in students of Faculty of Medicine, Lambung Mangkurat University (FM LMU). This research applied analytic observational method with cross sectional approach, with 60 male students of FM LMU as subjects. Data were obtained based on the measurement of pulse pressure and BMI. Result showed that as many as 66.8% of the students of FM LMU had normal BMI and 19.2% had BMI of overweight and obesity. The average pulse pressure of students with normal BMI was 33 mmHg and students with overweight and obesity was 42 mmHg. Data analysis using the Mann-Whitney test with confidence level of 95% gave the value of p = 0.000. It was concluded that there was a significant difference in pulse pressure based on BMI in students of FM LMU. Keywords: pulse pressure, body mass index ABSTRAK: Obesitas merupakan masalah global yang melanda masyarakat dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Obesitas dan overweight dapat mempengaruhi tekanan nadi melalui peningkatan kadar leptin yang terutama disekresi oleh jaringan adiposa. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan tekanan nadi berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat (FK Unlam). Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan cross sectional dengan subyek penelitian mahasiswa FK Unlam sebanyak 60 orang. Data diperoleh berdasarkan pengukuran tekanan nadi dan IMT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 66,8% mahasiswa di FK Unlam memiliki IMT normal dan 19,2% memiliki IMT overweight dan obesitas. Rerata  tekanan nadi pada mahasiswa dengan IMT normal adalah sebesar 33 mmHg dan pada mahasiswa dengan IMT overweight dan obesitas sebesar 42 mmHg. Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney dengan tingkat kepercayaan 95% memberikan  nilai p = 0,000. Dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan tekanan nadi yang bermakna berdasarkan IMT pada mahasiswa FK Unlam. Kata-kata kunci : tekanan nadi, indeks massa tubuh
Perbandingan Perubahan Kepekaan Staphylococcus aureus ATCC 25923 Pada Pemaparan Amoksisilin-Asam Klavulanat Dan Eritromisin Kadar Subinhibisi In Vitro Diah Puspita Rifasanti; Lia Yulia Budiarti; Alfi Yasmina
Berkala Kedokteran Vol 9, No 2 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20527/jbk.v9i2.943

Abstract

ABSTRACT: Staphylococcus aureus is an organism that causes infections that can spread widely in the human body. The therapy for infection by S. aureus is amoxicillin-clavulanic acid or erythromycin, but resistance has been reported to both of them, and one of the causes was exposure to subinhibitory level of antibiotic. This study was aimed to determine whether there were any changes in the sensitivity of S. aureus ATCC 25923 caused by the exposure to subinhibitory level of amoxicillin-clavulanic acid and erythromycin and to compare the time needed to cause changes in sensitivity between the two antibiotics. It was an experimental study, using a completely randomized design, which consisted of 14 treatments based on duration of exposure, with three repetitions. Kirby Bauer disk diffusion method was used to evaluate the inhibitory effect. The result showed that there were changes in the sensitivity of S. aureus ATCC 25923 after being exposed to subinhibitory level of both antibiotics, and exposure to amoxicillin-clavulanic acid caused faster changes in sensitivity compared with exposure to erythromycin. Data analysis using the Mann-Whitney test indicated that there was a significant difference between the exposure to subinhibitory level of the two antibiotics (p = 0.025). It was concluded that there was a significant difference in changes in sensitivity of S. aureus ATCC 25923 caused by in vitro exposure to subinhibitory level of amoxicillin-clavulanic acid and erythromycin.                                          ListenRead phoneticallyKeywords: amoxicillin-clavulanic acid, erythromycin, sensitivity, Staphylococcus aureus, subinhibitory level ABSTRAK: Staphylococcus aureus merupakan organisme penyebab infeksi yang dapat menyebar luas. Terapi untuk infeksi oleh S. aureus diantaranya adalah antibiotik amoksisilin-asam klavulanat atau eritromisin. Telah dilaporkan adanya resistensi pada kedua antibiotik tersebut dan salah satu penyebabnya adalah akibat pengaruh antibiotik kadar subinhibisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan kepekaan pada S. aureus ATCC 25923 pada pemaparan amoksisilin-asam klavulanat dan eritromisin kadar subinhibisi dan membandingkan waktu yang diperlukan yang dapat menimbulkan perubahan kepekaan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, menggunakan rancangan acak lengkap, terdiri dari 14 perlakuan antibiotik berdasarkan lama pemaparan dan pengulangan sebanyak 3 kali. Metode ujinya adalah metode difusi Kirby Bauer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perubahan kepekaan pada S. aureus ATCC 25923 setelah dipaparkan pada antibiotik kadar subinhibisi, dan pada pemaparan antibiotik amoksisilin-asam klavulanat memerlukan waktu lebih cepat untuk menimbulkan perubahan kepekaan dibandingkan dengan pemaparan kadar subinhibisi eritromisin. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara pemaparan amoksisilin-asam klavulanat dan eritromisin kadar subinhibisi in vitro (p = 0,025). Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perubahan kepekaan S. aureus ATCC 25923 pada pemaparan amoksisilin-asam klavulanat dan eritromisin kadar subinhibisi in vitro. Kata kunci: amoksisilin-asam klavulanat, eritromisin, kadar subinhibisi, kepekaan, Staphylococcus aureus
Pengaruh Intensitas Kebisingan Lingkungan Kerja Terhadap Waktu Reaksi Karyawan PT. PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin Adelia Octavia; Asnawti Asnawati; Alfi Yasmina
Berkala Kedokteran Vol 9, No 2 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20527/jbk.v9i2.948

Abstract

ABSTRACT: PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin is an industry that uses diesel power for generating electric power by using machines and work tools which produce loud noise, increasing exposure to noise. Noise with high intensity can change the accuracy of movement coordination, which assumed to lengthen the reaction time. This study was conducted with the objective to find out the effect of occupational noise exposure on the reaction time among the employees of PT. PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin. It was an observational research  with cross-sectional approach, conducted on 30 employees of PT. PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin, choosen with purposive sampling. The result showed that the average reaction time for employees in operator division was 0.318 seconds and that for employees in maintenance division was 0.356 seconds. Statistical analysis with Mann-Whitney test with 95% confidence interval showed that  there was a significant difference between reaction time of employees in operator division and those in maintenance division (p = 0.004). It was concluded that occupational noise exposure intensity had effect on the reaction time among the employees of PT. PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin.  Keywords: noise, reaction time ABSTRAK: PT. PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin merupakan industri yang menggunakan tenaga diesel untuk pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan mesin dan alat kerja yang mempunyai suara keras, sehingga meningkatkan paparan bising. Kebisingan yang tinggi  dapat mengubah ketepatan koordinasi gerakan sehingga diduga dapat memperpanjang waktu reaksi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh intensitas kebisingan lingkungan kerja terhadap waktu reaksi karyawan PT. PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan studi pendekatan cross sectional, dengan sampel 30 orang pekerja di PT PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin, yang dipilih dengan purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata waktu reaksi karyawan di bagian operator (dengan tingkat kebisingan < NAB) adalah sebesar 0,318 detik, sedangkan rerata waktu reaksi karyawan di bagian pemeliharaan (dengan tingkat kebisingan > NAB) adalah sebesar 0,356 detik. Analisis statistik dengan uji Mann-Whitney dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara waktu reaksi karyawan bagian operator dan bagian pemeliharaan (p = 0,004). Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh intensitas kebisingan lingkungan kerja dengan waktu reaksi karyawan PT. PLN (Persero) Sektor Barito PLTD Trisakti Banjarmasin. Kata-kata kunci: kebisingan, waktu reaksi
Hubungan Tingkat Keparahan Klinik Urtikaria Dengan Kualitas Hidup Penderita Urtikaria Kronik Rahmatun Nisa; Sani Widjaja; Alfi Yasmina
Berkala Kedokteran Vol 9, No 2 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20527/jbk.v9i2.944

Abstract

ABSTRACT: Chronic urticaria may decrease the quality of life as a result of complaints of sleep disturbance due to the intense itching, fatigue, social isolation, loss of energy, and emotional or sexual disorders. Quality of life in patients with chronic urticaria can be assessed using the dermatology life quality index. The aim of this research was to determine the relationship between the clinical severity of urticaria and dermatology life quality in patients with chronic urticaria in RSUD Ulin Banjarmasin. The research used analytic observational method with cross-sectional approach. Thirty subjects were taken with purposive sampling. The data were collected with validated dermatology quality of life index questionnaire. The result showed that 60% patients diagnosed with chronic urticaria had mild clinical severity and 40% had severe clinical severity. In patients diagnosed with chronic urticaria, 36.67% had poor quality of life, 43.33% had moderate quality of life, and 20.00% had good quality of life. Statistical analysis with chi-square test with 95% confidence level indicated that there was a significant relationship between the clinical severity of urticaria and dermatology quality of life (p = 0.006). It was concluded that there was a relationship between the clinical severity of urticaria and dermatology quality of life in patients with chronic urticaria in RSUD Ulin Banjarmasin. Keywords: clinical severity, chronic urticaria, dermatology quality of life ABSTRAK: Urtikaria kronik dapat menurunkan kualitas hidup sebagai dampak keluhan gangguan tidur akibat intensitas gatal yang hebat, keletihan, isolasi sosial, kehilangan energi, dan gangguan emosional atau seksual. Kualitas hidup pada penderita urtikaria kronik dapat dinilai menggunakan indeks kualitas hidup dermatologi. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat keparahan klinik urtikaria dengan kualitas hidup dermatologi pada penderita urtikaria kronik di RSUD Ulin Banjarmasin. Rancangan penelitian menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian diambil dengan metode purposive sampling sebanyak 30 pasien. Pengumpulan data menggunakan kuesioner indeks kualitas hidup dermatologi yang telah divalidasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita urtikaria kronik menunjukkan tingkat keparahan klinik ringan sebanyak 60% dan tingkat keparahan klinik berat sebanyak 40%. Pada pasien yang didiagnosis urtikaria kronis, 36,67% memiliki kualitas hidup buruk, 43,33%  kualitas hidup sedang, dan 20,00% kualitas hidup baik. Analisis statistik dengan uji Kolmogorov-Smirnov dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara tingkat keparahan klinik urtikaria dengan kualitas hidup dermatologi (p = 0,006). Disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat keparahan klinik urtikaria dengan kualitas hidup dermatologi pada penderita urtikaria kronik di RSUD Ulin Banjarmasin. Kata-kata kunci: tingkat keparahan klinik, urtikaria kronik, kualitas hidup dermatologi