p-Index From 2020 - 2025
0.408
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Jurnal Dimensi PETITA
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

FUNGSI LEMBAGA PERMASYARAKATAN WANITA SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN DARI AKSI KEKERASAN NARAPIDANA PRIA Rahmanidar Rahmanidar
JURNAL DIMENSI Vol 4, No 3 (2015): JURNAL DIMENSI (NOVEMBER 2015)
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/dms.v4i3.3151

Abstract

Jurisdictional review of the function of women's special prisons as an effort to protect against acts of violence by male inmates in Penitentiary Institutions is 1995 on Imprisonment, namely protection, equal treatment and service, education, guidance, respect for human dignity and worth, guaranteeing the right to remain in touch with families and certain people. Rights-The rights of women prisoners under Law Number 12 of 1995 on Imprisonment are about worship, physical and spiritual care, education and teaching, health and food services, complaints and remission. The formulation of the real problem is how the legal regulation of the rights of women prisoners and how the function of women's special prisons in an effort to protect from acts of violence by male prisoners in Prison Class II A Batam. This study uses normative methods and sociological or empirical legal research, while the approach method uses normative jurisprudence. This study aims to determine the regulation of the rights of women prisoners as well as to determine the function of special prisons for women in efforts to protect from acts of violence by male prisoners. Therefore, it is hoped that the Government will always pay attention and implement Law No. 12 of 1995 on Imprisonment in Penitentiary Institutions, and the need for a separation in the environment or place between the environment of women prisoners and the environment of male prisoners so that it can avoid and prevent acts of crime and violence against women prisoners.
PERAN DAN FUNGSI KOMISI POLISI NASIONAL DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN PROFESIONALITAS DAN KEMANDIRIAN Rahmanidar Rahmanidar
JURNAL DIMENSI Vol 3, No 3 (2014): JURNAL DIMENSI (NOVEMBER 2014)
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/dms.v3i3.3183

Abstract

Peran Dan Fungsi Komisi Polisi Nasional dalam melakukan Pengawasan Profesionalitas Dan Kemandirian, berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 menyatakan Komisi Kepolisian Nasional adalah lembaga non struktural yang berfungsi memberi saran kepada presiden mengenai arah dan kebijakan Polri serta pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Baik tugas maupun kewenangan yang dimuat pada kedua dasar hukum tadi dengan jelas mengarah pada satu kesimpulan, bahwa Komisi Kepolisian Nasional merupakan lembaga penasehat bukan lembaga pengawasan. Kewenangan - kewenangan yang diberikan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 Kepada Kompolnas hanyalah sebatas melakukan pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri yang tidak memiliki kewenangan penyidikan sendiri. Ini berbeda dengan di negara lain yang menempatkan komisi kepolisian sebagai lembaga pengawas, yang memiliki wewenang investigasi bahkan penangkapan. Fungsi pengawasan serta tugas yang diberikan kepada Kompolnas secara kesuluruhan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 diharapkan memberikan reformasi Kepolisian dan dapat memberikan kepercayaan publik terhadap Kepolisian.
ANALISIS HUKUM PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) PADA PERUSAHAAN PERHOTELAN Rahmanidar Rahmanidar; Tuti Herningtyas; Rizki Tri Anugrah Bhakti; Putri Dwi Yulisa; Tri Novianti
PETITA Vol 2, No 2 (2020): PETITA Vol. 2 No. 2 Desember 2020
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.904 KB) | DOI: 10.33373/pta.v2i2.4005

Abstract

Penelitian ini membahas mengenai pelanggaran perjanjian kerja waktu tertentu  yang terjadi pada perusahaan perhotelan, mengenai masa percobaan yang diterapkan oleh perusahaan. Perjanjian kerja adalah awal dari lahirnya kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan pekerja. Pada saat ini banyak ditemukan sebuah perusahaan yang menggunakan penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak lain untuk menekan biaya buruh demi meningkatkan keuntungan perusahaan. Penelitian ini bersifat deskriptif sedangkan data diperoleh, melalui penelitian kepustakaan. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian ini menunjukan pelaksanaannya masih terdapat pelanggaran yang dilakukan perusahaan perhotelan tentang penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, sehingga tidak terlaksana sesuai dengan aturan undang-undang nomor 13 tahun 2003.
SANKSI PIDANA PENCABUTAN HAK POLITIK DAN DENDA MAKSIMAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014) Rahmanidar Rahmanidar; Budiyardi Budiyardi
PETITA Vol 2, No 1 (2020): PETITA Vol. 2 No. 1 Juni 2020
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (173.074 KB) | DOI: 10.33373/pta.v2i1.4016

Abstract

Salah satu tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) adalah tindak pidana korupsi, sehingga upaya dalam pemberantasannya juga perlu cara yang luar biasa pula dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat, khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Namun semangat itu sepertinya hanya seruan saja, karena sampai saat ini kasus tindak pidana korupsi menunjukkan tren peningkatan yang sangat signifikan bahkan melibatkan semua lini birokrasi. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Sanksi Pencabutan Hak Politik dan Denda Maksimal Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dengan studi melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pengaturan sanksi pidana pencabutan hak politik dan denda maksimal dalam hukum pidana Indonesia dan bagaimanakah perspektif Hak Asasi Manusia terhadap sanksi pidana pencabutan hak politik dan denda maksimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Jenis penelitian ini adalah normatif yang mengacu pada norma hukum dan peraturan perundang-undangan, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses dengan menggunakan sumber data sekunder yang dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan yang dianalisa dengan metode deduktif dan kualitatif. Dari penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa pidana pencabutan hak politik dan denda maksimal seperti pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014, telah diatur dalam konsepsi hukum pidana Indonesia baik dalam KUHP maupun Undang-Undang Pemberantasan Tipidkor, namun pada konteks tidak adanya limitasi pencabutan hak adalah bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 KUHP maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Untuk itu, diperlukan adanya produk hukum dengan muatan sanksi yang lebih berat dari yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang mampu mewujudkan tujuan pemidanaan agar pelaku tindak pidana korupsi jera dan orang/pejabat lain tidak melakukan perbuatan yang sama dikemudian hari dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UPAH MINIMUM SEKTORAL (UMS) KOTA BATAM Rahmanidar Rahmanidar; Ferizone Ferizone
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.097 KB) | DOI: 10.33373/pta.v1i2.4055

Abstract

Kebijakan upah minimum hingga saat ini masih menjadi acuan pengupahan bagi pekerja/ buruh di Kota Batam. Upah Minimum Sektoral dapat terdiri atas Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/ Kota (UMSK). Penerapan upah minimum sektoral dikota Batam khususnya pada perusahaan- perusahaan shipyard dikawasan industri Tanjung Uncang, harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam penerapan upah minimum sektoral ini. Penerapan upah minimum sektoral di Kota Batam dibawah pengawasan Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. Untuk mendapatkan penghasilan hidup yang layak sehinga memenuhi kebutuhan hidup pekerja/ buruh maupun bagi keluarganya, hal yang paling penting dari penerapan upah minimum adalah terjaganya keseimbangan antara pengusaha dan pekerja/ buruh. 
KAJIAN KRIMINOLOGIS TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP ISTRI Rahmanidar Rahmanidar
JURNAL DIMENSI Vol 8, No 3 (2019): JURNAL DIMENSI (NOVEMBER 2019)
Publisher : Universitas Riau Kepulauan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33373/dms.v8i3.5363

Abstract

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana penganiyaan terhadap istri serta upaya-upaya yang seharusnya dilakukan dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana penganiyaan terhadap istri mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak pidana penganiayaan terhadap istri disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama, yaitu faktor internal seperti sakit mental, pecandu alkohol dan obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, kurangnya komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah, frustasi, perubahan situasi dan kondisi kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah. Faktor kedua yaitu faktor eksternal, dimana berkaitan dengan diskriminasi gender dikalangan masyarakat, sehingga suamilah yang memiliki otoritas, pembuat keputusan dan memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga lainnya.Untuk itu diharapkan peran aktif seluruh pihak, baik masyarakat, pemerintah dan penegak hukum agar memiliki perhatian besar terhadap permasalahan kekerasan dalam rumah tangga dengan sosialisasi kesetaraan gender, perlindungan hak asasi manusia, dan penindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga.