Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Partisipasi Perempuan Dalam Penyusunan Reusam Perlindungan Anak Di Tingkat Gampong Di Aceh Besar Mansari Mansari
Muwazah Vol 10 No 2 (2018)
Publisher : UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.28918/muwazah.v10i2.1780

Abstract

Women's participation in the preparation of gampong reusam (village rules) that regulate child protection is relatively small compared to men. Whereas the participation of women has an important role so that the rules produced can represent their role. Without the involvement of women implicate the reusam that does not berperspektif gender. The research aimed to answer the problems about women's mechanism and participation in the formulation of gampong reusam in Kabupaten Aceh Besar, and the process of involvement of women in the preparation of village reusam. This empirical research was conducted in Aceh Besar District in three gampongs, namely Gampong Lambirah Kecamata Suka Makmur, Gampong Neusok Darul Kamal Subdistrict and Gampong Neuheun District Mesjid Raya. The research data was obtained through interviews with keuchik gampong, female characters and Tuha Peut Gampong. The results showed that the mechanism of compilation of reusam was done by way of deliberation in meunasah and balee (balai) pengajian by involving various elements in society, especially gampong, women and children figures also involved. Involvement of women is usually done by invited by loudspeakers in meunasah and also delivered orally by Keuchik (Village Head). The presence of women has not been maximized in the process of preparing the reusam gampong because the arrangement is done at night, time to rest, keeping the children at home, the weather is not supportive because of the rain. The role of women in the village reusam has been represented in the context of the handling of children against the law
PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM PENYELESAIAN HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN DI BANDA ACEH Faizah Faizah; Rizkal Rizkal; Mansari Mansari; Zahrul Fatahillah
SYARIAH: Journal of Islamic Law Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : STIS Nahdlatul Ulama Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55721/sy.v3i1.299

Abstract

This study seeks to discuss the role of women's non-governmental organizations (NGOs) in resolving post-divorce custody of children. This is because the problem of post-divorce custody is always a struggle between father and mother. Sometimes custody is given to the mother in the decision of the Syar'iyah Court judge, but the empirical facts are taken by the father. This study aims to determine the roles, efforts and challenges faced by women's NGOs in resolving post-divorce custody of children. This type of research includes empirical juridical research. The primary legal materials used are Law Number 1 Year 1974, secondary legal materials and tertiary legal materials. Primary data obtained through interviews with respondents who carry out tasks in NGOs. Data analysis was carried out in a prescriptive manner which attempted to provide an explanation of primary data and secondary data and primary and secondary legal materials. The results showed that women's NGOs have a strategic role in resolving post-divorce custody issues, because most mothers resolve custody issues through women's NGOs. The efforts taken are: First, assisting them to the Police or Polres level to make a report to the Police. Second, assisting in reporting the case to P2TP2A. Third, bringing together the mother and father of the child in order to find the right solution for the maximum development of the child. Fourth, assist and represent the mother of the child in handling the cases currently being faced at the Syar'iyah Court. The challenges faced are: First, the lack of human resources at NGOs for Women and Children. Second, it is difficult to reconcile the father and mother of the child. Third, the whereabouts of the child and the father are unknown. Fourth, some mothers just gave up because they no longer fought for custody again.
Analisis Kepentingan Terbaik Bagi Anak dalam Hukum Jinayat Aceh Salman Abdul Muthalib; Mansari Mansari; Mahmuddin Mahmuddin; Muslim Zainuddin; Hasnul Arifin
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 9, No 02 (2021): Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30868/am.v9i02.1621

Abstract

Qanun Jinayat tidak hanya diberlakukan bagi orang dewasa, bagi anak yang telah berumur 12 tahun dan belum sampai 18 tahun atau telah melangsungkan perkawinan dapat dikenakan sanksi jinayat bila melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Kajian ini menganalisis secara komprehensif dengan metode kontens analisis ketentuan yang diatur dalam Qanun Hukum Jinayat berkaitan dengan kepentingan terbaik bagi anak. Kajian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menjadi Qanun Hukum Jinayat sebagai bahan hukum primernya. Analisis data dilakukan kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Qanun Hukum Jinayat belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan terbaik bagi anak. Aspek yang belum terakomodir yaitu: Pertama, penyelesaian anak berhadapan dengan jinayat menggunakan system peradilan pidana anak, adanya restitusi bagi korban pemerkosaan, independensi hakim dalam menjatuhkan ‘uqubat  ,’uqubat   Bagi Anak 1/3 dari Orang Dewasa, Hukuman Bagi Pelaku yang Korbannya Anak Lebih Tinggi, Anak Memungkinkan Dijatuhi ‘uqubat   Tindakan. Aspek yang belum mencerminkan kepentingan terbaik bagi anak meliputi, anak dapat memungkinkan dijatuhkan hukuman cambuk, batasa usia anak, restitusi harus diminta oleh korban pemerkosaan anak, hakim terikat pada Qanun Hukum Jinayat, adanya peluang bagi hakim menjatuhkan hukuman cambuk dalam kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Peranan Hakim dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Anak: Antara Kemaslahatandan Kemudharatan Mansari Mansari; Rizkal Rizkal
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 4, No 2 (2021): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v4i2.10219

Abstract

Hakim Mahkamah Syar’iyah memiliki peranan strategis dalam upaya pencegahan perkawinan anak, karena setiap orangtua yang ingin menikahkan anak di bawah umur harus mendapatkan dispensasi perkawinan dari Mahkamah Syar’iyah. Kajian ini berusaha untuk menganalisis peran dan tantangan yang dihadapi hakim dalam mencegah perkawinan usia anak di Mahkamah Syar’iyah serta pertimbangan dalam menerima maupun menolak dispensasi kawin. Jenis penelitian yang digunakan yuridis empiris dengan tujuan mendeskripsikan peranan hakim mencegah perkawinan anak. Sumber data primer diperoleh melalu wawancara langsung dengan hakim. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim memiliki peranan strategis dalam upaya mencegah praktik perkawinan usia anak, hal ini disebabkan setiap perkawinan anak harus memperoleh izin Mahkamah Syar’iyah. Wujud peranan hakim dikonkritkan dengan mendorong orangtua tidak melanjutkan permohonan dispensasi kawin dengan memberikan nasehat-nasehat serta dampak yang muncul pasca perkawinan baik psikologis, mental maupun pendidikan anak. Tantangan yang dihadapi hakim dalam mengadili perkara dispensasi adalah pemahaman masyarakat terhadap bahaya perkawinan anak belum tersosialisasikan dengan baik dan harus menghadirkan saksi yang memadai agar latar belakang keinginan menikah dapat didalami secara komprehensif. Pertimbangan hakim mengabulkan permohonan dispensasi dengan mempertimbangkan aspek kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) dan adanya bukti yang menunjukkan bahwa pernikahan suatu hal yang mendesak dilakukan berdasarkan fakta di persidangan.
ENFORCEMENT OF JINAYAT LAW FOR NON-MUSLIMS IN ACEH Mahmuddin Mahmuddin; Mansari Mansari; Khairuddin Khairuddin; Ahmad Fikri Oslami; Mul Irawan
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25216/jhp.11.1.2022.21-42

Abstract

Law enforcement against non-Muslims who commit violations of jinayat law tends to use the penalties stipulated in the Qanun Hukum Jinayat compared to other criminal statutory provisions. This phenomenon is interesting to study because non-Muslims who commit criminal acts (Jarimah) are given the choice of choosing to use Qanun or other Criminal Law which is regulated outside the Qanun. This study aims to analyze how the enforcement of jinayat law against Jarimah is carried out by non-Muslims, why non-Muslims are more likely to choose jinayat law than the provisions of other criminal laws and regulations outside of the Qanun and which penalties are imposed more dominantly by syar'iyah court judges. The author uses the empirical juridical research method with the aim of describing concrete facts about jinayat law enforcement for non-Muslims. The primary legal materials used are Qanun Hukum Jinayat Qanun Hukum Procedural Jinayat. Secondary legal materials, namely through books, journals and research results. Primary data was obtained through interviews with non-Muslims who had been sentenced according to qanun, judges and Wilayatuh Hisbah (WH). The results showed that enforcement of jinayat law for non-Muslims must first seek approval from the suspect to use qanuns or criminal laws other than qanuns. Then the investigator takes action according to the choice set by the suspect. Non-Muslims tend to choose qanuns due to several factors: first, the punishment is more instantaneous than the KUHP which carries a prison sentence. Second, the people who witnessed the execution of the caning were not all citizens who knew him. The more dominant punishments handed down by judges were ta'zir flogging and actions in the form of revoking their business license.
KEPASTIAN HUKUM PENGASUHAN ANAK PASCA PERCERAIAN AKIBAT PENOLAKAN GUGATAN REKONVENSI Mansari Mansari; Yuliati Yuliati
Al-Ahkam: Jurnal Syariah dan Peradilan Islam Vol. 1 No. 1 (2021)
Publisher : FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM UNIVERSITAS ISKANDARMUDA BANDA ACEH

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (261.541 KB)

Abstract

Majelis hakim yang mengadili putusan Nomor 7/Pdt.G/2020/MS.Bna. menolak gugatan rekonvensi yang diajukan termohon yang meminta agar hakim memberikan hak asuh kepadanya. Konsekuensi yuridis penolakan tersebut adalah memunculkan ketidakpastian hukum terkait pengasuhan bagianak. Penelitian ini berusaha menjawab apa pertimbangan hakim menolak gugatan rekonvensi dalam putusan Nomor 7/Pdt.G/2020/MS.Bna. dan kepastian hukum terhadap pengasuhan anak. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang berusaha mengkaji kaidah dan konsep-konsep dalam ilmu hukum. Bahan hukum primer yang digunakan adalah UU Perkawinan dan putusan Nomor 7/Pdt.G/2020/MS.Bna. Analisis data dilakukan secara preskriptif dengan tujuan untuk memberikan penilaian terhadap putusan tersebut dalam perspektif ilmu hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim menolak gugatan rekonvensi yang diajukan oleh termohon secara lisan adalah dikarenakan tidak pernah hadir lagi pada tahap replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan di persidangan sehingga ibu tidak menguatkan alasan-alasannya meminta anak tersebut. Akibat hukumnya adalah adanya ketidak pastian hukum pengasuhan bagi anak pasca perceraian dalam putusan Nomor 7/Pdt.G/2020/MS.Bna. sehingga berpeluang terjadi konflik baru di masa yang akan dating dalam memperebutkan hak asuh anak.
KEWENANGAN HAKIM MELAKSANAKAN MEDIASI PADA PERKARA ISTBAT NIKAH DALAM RANGKA PENYELESAIAN PERCERAIAN Salman Abdul Muthalib; Mansari Mansari; M. Ridha
Al-Ahkam: Jurnal Syariah dan Peradilan Islam Vol. 2 No. 2 (2022): Al-Ahkam Jurnal Syariah dan Peradilan Islam
Publisher : FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM UNIVERSITAS ISKANDARMUDA BANDA ACEH

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (233.787 KB)

Abstract

Salah satu alasan pengajuan istbat nikah menurut KHI adalah karena adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. Persoalannya adalah di satu sisi istbat nikah bukanlah perkara yang wajib dimediasi, di sisi lain perkara perceraian menjadi salah satu perkara yang wajib dimediasi. Penelitian bertujuan untuk menganalisis apakah hakim berwenang melakukan mediasi terhadap istbat nikah dengan alasan perceraian dan bagaimana perspektif asas peradilan cepat serta biaya ringan dalam mengadili perkata istbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian. Kajian menggunakan metode penelitian hukum yuridis empiris. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan hakim dan advokat. Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari UU Perkawinan, KHI dan Perma Nomor 1 Tahun 2016. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim berwenang melaksanakan mediasi dalam perkara istbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian. Perkara pokok dari istbat nikah dalam rangka perceraian adalah perceraiannya sehingga menurut Perma Nomor 1 Tahun 2016 dapat dilaksanakan mediasi karena perkara perceraian merupakan salah satu kasus yang dapat dimediasikan oleh hakim. Permohonan isbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian mengakomodir asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan karena tidak memerlukan pembuktian yang sulit. Pembuktian dapat dilakukan sekaligus dengan menghadirkan saksi yang menyaksikan terpenuhinya rukun dan syarat sah perkawinan menurut hukum Islam serta telah terjadinya perselisihan secara terus menerus di antara pasangan suami isteri.
Restoratif Justice, Diversi dan Peradilan Anak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/Puu-X/2012 Dedy Sumardi; Mansari Mansari; Maulana Fickry Albaba
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v11i2.16010

Abstract

The Constitutional Court, by Decision No. 110/Law-X/2012, repealed Articles 96, 100, and 101 of Law No. 11 of 2012 on the Child Criminal Justice System, which establishes penalties for judges, prosecutors, and investigators who do not seek discrimination against children who face the law. These provisions have no more binding legal force for judges, police, and prosecutors who do not perform their duties. The study focuses on the implementation of diversity and the impact of child protection before and after the Constitutional Court rulings. The interview data is obtained from the Banda Aceh State Court, supported by library data, and analyzed using a juridico-empirical approach. Based on the analysis of the data, it was found that the execution of diversion in the Banda Aceh State Court before the birth of the decision of the Constitutional Court Number 110/PUU-X/2012 was in accordance with the regulations of the laws in force and was accompanied by the threat of criminal offenses. After the birth of the judgment of the Constitutional Court, the execution of differences is an obligation that must be carried out by the judge but is not accompanied by the threat of a criminal offense for a judge who does not perform it. The impact of the ruling of the Constitutional Court is that there is no criminal threat to the judge, JPU, and investigator because the Constitutional Court ruling has declared Articles 96, 100, and 101 to have no binding legal force. Nevertheless, the duty of diversification remains a duty that must be enforced by law enforcement.