Claim Missing Document
Check
Articles

Found 26 Documents
Search

HUDÛD DAN HAM: ARTIKULASI PENGGOLONGAN HUDÛD ABDULLAHI AHMED AN-NA’IM Dedy Sumardi
MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman Vol 35, No 2 (2011)
Publisher : State Islamic University North Sumatra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30821/miqot.v35i2.149

Abstract

Abstrak:Hudûd adalah ancaman hukuman yang ditegaskan al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan teori hukuman yang menganut aspek reformasi. Penggolonganhudûd ke dalam enam macam merupakan hasil ijtihad fukaha yang bersifat tekstual, dan nash sebagai sumber pengambilanhudûd masih diperdebatkan. Sehingga muncul reaksi pemikir hukum Islam Modern, terutama penerapan hukumanhudûd dalam konteks negara-bangsa berbenturan dengan prinsip penologis dan keuniversalan norma HAM. Tulisan ini mengkaji pemikiran an-Na’im dalam upaya menemukan kesesuaian antara syarî‘ah dan HAM. Hasil penelitian menunjukkan titik temunya adalah membatasi penerapan hudûd ke dalam empat jenis, sesuai dengan prinsip ayat Makkiyah yang mengandung nilai mashlahah terealisir dalam teori naskh.Abstract: Punishment and Human Rights: The Articulation of Abdullahi Ahmed an-Na’im’s Categorization of Hudûd. Hudûd is an offence for which punishment prescribed by the Qur’an and Sunnah based on the theory of punishment constituting reformation aspect. The classification of hudûd into six categories is the product of literal legal deduction of Islamic jurisprudents, and that the legal argument forhudûd is still debatable which lead to reactions of modern Islamic legal thinkers, especially on the application of hudûd in the context of those countries which are against penological principles and the universality of human right norms. This article studies the thoughts of an-Na’im in an attempt to seek confirmity between syarî‘ah. This research reveals that the meeting point between the two would be the restriction of the application of hudûd into four types, in line with the prinples of Meccan verses bearing public interest values realized in the theory of abrogation.Kata Kunci: hudûd, HAM, mashlahah
TRADISI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM DINASTI TIMUR TENGAH Dedy Sumardi
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (112.553 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v1i1.593

Abstract

Artikel ini bertujuan menguraikan karakteristik pemikiran hukum Islam pada masa Dinasti Umayyah yang sarat dengan nuansa kedaerahan. Dominannya penguasa yang berasal dari suku Arab turut mempengaruhui sejumlah kebijakan terkait dengan perkembangan hukum Islam pada saat itu. Penggunaan riwayat sahabat diberlakukan sebagai rujukan utama dalam memutuskan hukum. Kebijakan ini sangat erat kaitannya dengan hubungan emosional dan geografis dengan tradisi ulama Hijaz yang masih memegang kuat hadis Nabi. Namun demikian, penguasa Dinasti Umayyah memberikan kewenangan berkreasi pada lembaga peradilan sebagai lembaga independensi yang berfungsi menjalankan putusan-putusan hukum yang berasal dari pendapat para tabi’in. Pendapat tabi’iin menjadi rujukan para hakim dalam memutskan perkara disamping mereka melakukan ijtihad melalui penalaran deduksi yang selanjutnya menjadi yurispridensi hukum Islam pada saat itu.    The aim of this article is to describe the characteristics of Islamic legal thought during the Umayyad era laden with regional nuances. The dominance of rulers who came from Arab tribes also affect a number of policies related to the development of Islamic law at the time. The use of companions’ reports imposed as the main reference in the judgment. This policy is very closely related to the emotional and geographical ties with the tradition of Hijaz scholars who still holds strong traditions of the Prophet. However, the ruling Umayyads ruling authorizes the independence of the judiciary as an institution that functions execute decisions of law derived from the opinions of tabi'in. Tabi'in a reference opinion of the judges in deciding cases in addition to those doing ijtihad through deductive reasoning which subsequently became yurispridensi Islamic law at the time.
Islam, Pluralisme Hukum dan Refleksi Masyarakat Homogen Dedy Sumardi
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 50, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2016.50.2.481-504

Abstract

THE DISCOURCE OF DRESS CODE IN ISLAMIC LAW Rusjdi Ali Muhammad; Dedy Sumardi
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 4 No 2 (2019)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3407.071 KB) | DOI: 10.22373/petita.v4i2.18

Abstract

The discussion concerning dress code or clothing will always be closely related to the debate of aurat or ‘awrah, as the clothing mainly serves to cover aurat. The ‘awrah (in Arabic) or aurat (in Bahasa) is the parts of the body which must be covered with clothing. The boundary of the aurat in the Islamic jurisprudence (fiqh) study is associated with the prayer (salah), which is then ascribed to the boundary of the aurat beyond prayer, based on qiyas. The thinking framework of fuqaha’ (the expert in Islamic law) in their attempt to cover the aurat of Muslim men and women refers to common terms, such as hijab, jilbab, khimar, dir sabigh and milhaf. Even though these terms do not represent the standard form and model of dressing, they are adequate to reveal the restriction of dressing based on Islamic teaching (shariah). The absence of a standard formulation for the form and model of Islamic dressing indicates that Islamic teachings are flexible for the discovery of ideal forms and models of clothing adhering to religious norms, ethics and moral teachings. Clothing is part of the cultural product as well as religious and moral requirements without denying the custom of society. Abstrak: Pembahasan tentang busana/pakaian akan senantiasa terkait erat dengan pembahasan aurat, karena fungsi utama pakaian adalah sebagai penutup aurat. Batasan aurat dalam kajian fiqh Islam dikaitkan dengan ibadah shalat, yang kemudian diaplikasikan kepada batasan aurat di luar shalat, berdasarkan qiyas. Landasan berpikir yang digunakan fuqaha' dalam upaya menutup aurat laki-laki dan perempuan muslim merujuk pada istilah umum seperti hijab, jilbab, khimar, dir sabigh dan milhaf. Meskipun istilah-istilah ini belum mewakili bentuk dan model busana/pakaian yang baku, tetapi mampu mengungkap batasan makna busana/pakaian dalam ajaran Islam. Tidak adanya rumusan baku tentang bagaimana bentuk dan model busana/pakaian islami mengindikasikan bahwa ajaran Islam memberi keleluasaan dalam menemukan bentuk dan model pakaian ideal yang tetap mengacu pada norma-norma agama, etika dan ajaran moral. Pakaian merupakan bagian dari produk budaya sekaligus tuntunan agama dan moral tanpa menafikan adat kebiasaan suatu masyarakat. Kata Kunci: Pakaian, Aurat, Fiqh
Transition of Civil Law to Public Law: Integration of Modern Punishment Theory in Criminal Apostasy Dedy Sumardi; Mukhsin Nyak Umar; Ruslan Sangaji; Firdaus M Yunus; Rahmatul Akbar
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 22, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v22i1.26359

Abstract

This paper aims to analyze the determination of death penalty in apostasy through modern criminal theories and human rights considerations. The approach is used to objectively view the purpose of death penalty on a criminal act in the context of religious freedom. This study is a conceptual study using the library research and descriptive-analytical  approach. Based on the analysis of punishment theories, it is found that the determination of the death penalty in apostasy takes a combined pattern of punishment theories: retributive, deterrence, and reformative theories. The combination of these theories leads to an integration, as it does not focus only on the retributive and deterrence aspects, but it also emphasizes on the reformative aspect, as a means of therapy for apostate criminals so they will not repeat the same acts. The integration of the theories seems perfect when accompanied by moral education that can provide “spiritual enlightenment”, so that criminals can be accepted back into the community. The integrity-morality theory or pulse-integrity theory is expected to neutralize the difference in views on the purpose of punishment in Islamic criminal law, which has long been considered not in line with the norms of human rights under the pretext of the sovereign system of the nation-state, where citizenship status is limited by territorial areas. The equality of rights, justice, morality, and individual accountability is a universal principle of the teachings of the Qur’an which inspire the conception of human rights norms by every citizen.AbstrakArtikel ini menganalisis penetapan hukuman mati dalam pidana murtad menggunakan pendekatan teori pemidanaan dan pertimbangan hak asasi manusia. Pendekatan ini digunakan untuk melihat secara objektif tujuan ditetapkan hukuman mati sebagai perbuatan pidana dalam konteks kebebasan beragama. Studi ini merupakan kajian konseptual, dianalisis menggunakan data kepustakaan melalui pendekatan deskriptif-analitis. Berdasarkan analisis teori pemidanan ditemukan bahwa penetapan hukuman mati dalam pidana murtad mengambil pola perpaduan teori pemidanaan; teori retributif,deterrence dan reformatif. Perpaduan ketiga teori melahirkan integritas, tidak terfokus pada aspek retributif  dan deterrence, tetapi lebih menekankan pada aspek reformatif, sebagai terapi pelaku kajahatan murtad agar tidak mengulangi perbuatan yang sama. Pengintegrasian ketiga teori ini terlihat sempurna manakala diiringi pendidikan moral yang dapat memberikan “pencerahan spiritual”, sehingga pelaku kejahatan dapat diterima kembali dalam kehidupan masyarakat. Teori integritas-moralitas atau teori integritas-plus diharapkan dapat menetralisir perbedaan pandangan tujuan pemidanaan Islam. Persamaan hak, keadilan, moralitas dan pertanggunjawaban individu merupakan prinsip universal ajaran al-Qur’an menjadi inspirasi lahirnya norma hak asasi manusia setiap warga negara.
LEGITIMASI PEMUNGUTAN JIZYAH DALAM ISLAM: OTORITAS AGAMA DAN PENGUASA Dedy Sumardi
Media Syari'ah Vol 15, No 2 (2013)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v15i2.2051

Abstract

Jizyah is obliged to Non Muslim ahl dhimmah status as a voluntary compensation for protection both internally and externally. The legitimacy of the poll voting procedures derived from sources "religious" is the Qur'an, Hadith, and ijma ', and not as a ruling authority. The state has the authority to set the revenue from jizyah limited to the issue of voting systems and mechanisms. In practice, the poll voting procedures has been a shift and change in patterns over time. At the time of the prophet., The hallmark of the collection is a simple poll. While on the leadership of Umar bin Khatab friend, poll voting authority granted to the province and is fully accountable to the central government. Results of voting poll distributed to all public sector priorities based on community needs that can not be financed by the proceeds of zakat.
MODEL PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DALAM MASYARAKAT ACEH Sayuthi Sayuthi; Dedy Sumardi
Indonesian Journal of Shariah and Justice Vol. 1 No. 2 (2021)
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga dan Hukum Ekonomi Syariah, Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (287.811 KB) | DOI: 10.46339/ijsj.v1i2.10

Abstract

This article analyzes the models of the application of the theory of the inheritance dispute resolution in Bireuen community, Aceh. The inheritance dispute resolution in Aceh is not always done through the litigation system, but can also be done through non-litigation channels. This study is limited to the practice of the application of the alternative dispute resolution theories that took place in Bireuen community, Aceh, and describes the tendency of the Bireuen community to choose to resolve the inheritance disputes through the gampoeng justice system. The field data collection was carried out by observing the practice of dispute resolution in the community, and in-depth interviews with village officials and the disputing parties. The results show that the Bireuen community, Aceh tends to use the theory of negotiation, conciliation and facilitation through the customary justice system, namely the gampoeng court and the mukim court. Both of the gampoeng justice systems prioritize peaceful efforts and ensure privacy between family members. This principle is a consideration for the Bireuen community, Aceh chooses to resolve the inheritance disputes following the customary justice system compared to the official state justice system as a characteristic of the modern justice system implemented by the nation state.
Restoratif Justice, Diversi dan Peradilan Anak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/Puu-X/2012 Dedy Sumardi; Mansari Mansari; Maulana Fickry Albaba
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v11i2.16010

Abstract

The Constitutional Court, by Decision No. 110/Law-X/2012, repealed Articles 96, 100, and 101 of Law No. 11 of 2012 on the Child Criminal Justice System, which establishes penalties for judges, prosecutors, and investigators who do not seek discrimination against children who face the law. These provisions have no more binding legal force for judges, police, and prosecutors who do not perform their duties. The study focuses on the implementation of diversity and the impact of child protection before and after the Constitutional Court rulings. The interview data is obtained from the Banda Aceh State Court, supported by library data, and analyzed using a juridico-empirical approach. Based on the analysis of the data, it was found that the execution of diversion in the Banda Aceh State Court before the birth of the decision of the Constitutional Court Number 110/PUU-X/2012 was in accordance with the regulations of the laws in force and was accompanied by the threat of criminal offenses. After the birth of the judgment of the Constitutional Court, the execution of differences is an obligation that must be carried out by the judge but is not accompanied by the threat of a criminal offense for a judge who does not perform it. The impact of the ruling of the Constitutional Court is that there is no criminal threat to the judge, JPU, and investigator because the Constitutional Court ruling has declared Articles 96, 100, and 101 to have no binding legal force. Nevertheless, the duty of diversification remains a duty that must be enforced by law enforcement.
HAK MATERNITIS TENAGA KERJA PEREMPUAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (Studi Kasus di Kampus Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan) Difa Mutia Dara; Dedy Sumardi
As-Siyadah : Jurnal Politik dan Hukum Tata Negara Vol 1 No 1 (2022): September As-Siyadah : Jurnal Politik dan Hukum Tata Negara
Publisher : Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (504.441 KB)

Abstract

Penelitian ini membahas tentang penerapan hak maternitas tenaga kerja perempuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 di Kampus Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan. Hak maternitas adalah hak-hak kesehatan reproduksi yang terdapat pada perempuan. Hak maternitas merupakan salah satu hak yang diterima para tenaga kerja. Hak maternitas tenaga kerja perempuan telah diatur dalam undang-undang tersebut, akan tetapi terdapat hak-hak maternitas tenaga kerja perempuan yang terabaikan oleh Kampus Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan. Studi ini mengkaji bagaimana hak maternitas tenaga kerja perempuan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan bagaimana Kampus Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan memenuhi hak-hak maternitas tenaga kerja perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan yuridis-empiris. Data diperoleh melalui teknik observasi dan wawancara. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa Kampus Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan belum sepenuhnya memenuhi hak-hak tenaga kerja perempuan seperti hak mendapatkan cuti menstruasi, dan hak mendapatkan fasilitias menyusui. Hak mendapatkan cuti menstruasi dikarenaka minimnya pengetahuan dari tenaga kerja perempuan, sehingga hak-hak ini sering terabaikan di Kampus Politeknik Industri Teknologi Medan. Sedangkan hak mendapatkan fasilitas menyusui dikarenakan terbatasnya alokasi anggaran Kampus Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan untuk menyediakan fasilitas perempuan menyusui atau ibu hamil. Di samping itu juga minimnya pengawasan dan sosialisasi dari dinas tenaga kerja dan transmigrasi.
PERAN MUKIM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TAPAL BATAS TANAH DI KEMUKIMAN SILANG CADEK KEC. BAITUSSALAM KAB. ACEH BESAR MENURUT KONSEP SYURA Lia Sahfitri Saraan; Dedy Sumardi; Azmil Umur
As-Siyadah : Jurnal Politik dan Hukum Tata Negara Vol 2 No 2 (2023): September As-Siyadah : Jurnal Politik dan Hukum Tata Negara
Publisher : Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Aceh sebagai daerah istimewa melalui Qanun Nomor 8 tahun 2009 tentang Pemerintahan Mukim, terkait dengan peran mukim dalam menyelesaikan sengketa tapal batas tanah di kemukiman Silang Cadek. Mukim sebagai penyelesai sengketa di dalam masyarakat dan sebagai tokoh utama dalam pembuat keputusan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi, sehingga pengambilan keputusan nantinya menjadi pemecahan masalah yang dihadapi, dapat diselesaikan dengan tegas dan memberikan setiap jawaban atas permasalahan dan tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Tak terkecuali pemerintahan mukim yang ada kemukiman Silang Cadek. Imeum mukim juga harus mampu menyelesaikan setiap persoalan dan permasalahan yang muncul di wilayahnya dapat diselesaikan dengan baik. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana peran mukim dalam menyelesaikan sengketa tapal batas tanah di kemukiman Silang Cadek kecamatan baitussalam kabupaten Aceh Besar, dan bagaimana tinjauan konsep syura terhadap peran mukim dalam menyelesaikan sengketa tapal batas tanah di kemukiman Silang Cadek. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan metode wawancara dan dokumentasi. Dari hasil penelitian ini, peran imeum mukim Silang Cadek dalam menyelesaikan sengketa tapal batas tanah antara gampong Baet dan gampong Blangkrueng masih belum maksimal, dimana tidak adanya langkah-langkah kongkrit atau penuntasan dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam hukum islam syura adalah salah satu cara menyelesaikan masalah atau sengketa, di dalam penyelesaian sengketa ini mukim menyelesaikannya dengan konsep syura (musyawarah), namun penyelesaian sengketa tersebut belum berakhir damai sampai sekarang, dikarenakan adanya ego masing-masing gampong dan tidak adanya keputusan yang ditetapkan oleh imeum mukim. Ditinjau dari konsep syura seorang pemimpin berhak membuat keputusan dan menetapkan suatu penyelesaian yang sudah di musyawarahkan. Sebagai pemimpin dalam konsep syura harus mempunyai suatu kemampuan yang melekat pada dirinya untuk melakukan kewajibannya sebagai fungsi kepemimpinan penentu arah tujuan, menyelesaikan tugas, pimpinan juga harus memiliki sikap tegas dalam mengambil keputusan.