Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Pembayaran Pajak Penghasilan Setelah Diberlakukannya Penghapusan Sanksi Administrasi Bunga Utang Pajak di Banda Aceh Gebrina Malahayati; Mahdi Syahbandir; Azhari Azhari
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 2: Agustus 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (257.128 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i2.8470

Abstract

Salah satu faktor keberhasilan pemungutan pajak pada suatu negara adalah dengan adanya kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak tepat pada waktunya. Akan tetapi, kondisi ideal ini tidak selalu terjadi. Banyak faktor yang menyebabkan wajib pajak tidak menunaikan kewajibannya. Kondisi tersebut menyebabkan masih ada wajib pajak yang miliki utang pajak. Terhadap utang pajak tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan atau berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 tentang penghapusan sanksi administrasi bunga.One of the successful factors in collecting tax at a state is by the obligation of taxpayers' obedience to pay tax on due date. However, this ideal condition is not always happening. There are many factors that are causing taxpayers not obeying the obligation. Such condition has caused many taxpayers having tax loans. Towards the loans, it has administrative sanction such as 2% monthly or based on Article 19 (1) of the Act Number 28, 2007 on the Third Amendment of the Act Number 6, 1983 on General Rules and Tax Conducts' Procedures. Based on such rules, the government has issued the policy worded in Finance Minister Regulation Number 29/PMK.03/2015 on the Abolition of Administrative Interests Sanction.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Pasien Pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kelas 3 Eka Ryanda Pratiwi; Mahdi Syahbandir; Azhari Yahya
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.182 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12270

Abstract

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat kesehatan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menyatakan bahwa Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlidungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dalam Pasal 224, 225, dan 226 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang UUPA, kewajiban kepada Pemerintah Aceh untuk memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada penduduk Aceh terutama penduduk miskin, fakir miskin, anak yatim dan terlantar. Pasien BPJS Kelas 3 di beberapa Rumah Sakit di Kota Banda Aceh memerlukan perlindungan secara hukum dalam menerima pelayanan kesehatan yang bertujuan menjamin adanya kepastian hukum yang didapatkan oleh pasien, sehingga pasien terhindar dari kerugian saat menerima pelayanan kesehatan yang seharusnya diberikan secara baik dan optimal oleh tenaga kesehatan.Kerugian sebagaimana dimaksud berupa kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian menderita penyakit/cacat sebagai akibat perbuatan/kesalahan dokter. Bentuk ganti kerugian berupa perawatan kesehatan dalam rangka memulihkan kondisi pasien, pengembalian uang atau pengembalian barang dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.National Social Security Agency (BPJS) has a function to conduct national health of social security based social insurance principle and equity principle aiming at securing the members in order to obtain the benefit of health care. Article 1 point 2 of the Act Number 24, 2011 regarding National Social Security Agency stipulates that Social Security is one of the forms of social protection in securing all people to fulfill basic need of proper lives. Articles 224, 225, and 226 of the Act Number 11, 2006 regarding Aceh Governance Act oblige the Aceh Government especially the poor, orphan and abandoned kids. Patients of the National Social Security Agency of Class 3 in several hospitals in Banda Aceh need law protection in providing health services aiming to secure the existence of law certainty acquired by the patients hence it prevents from the loss while accepting the health services that should be provided well and optimally by medical staffs. The loss aforementioned are damages, contamination, or suffering from illness/disability resulted from medical malpractice. The kinds of the loss are health care in recovering patients’ condition, compensating or returning things or the compensation that is not based on existing rules.
Zakat Penghasilan Pegawai Negeri Sipil dan Relevansinya Dengan Pengurangan Jumlah Pajak Penghasilan di Aceh Anisah Anisah; Syahrizal Syahrizal; Mahdi Syahbandir
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 2: Agustus 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (274.133 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i2.8475

Abstract

Zakat merupakan salah satu dana wajib yang dibayar umat Islam melalui badan yang ditunjuk oleh undang-undang. Khusus Aceh disebutkan zakat merupakan salah satu sumber dari PAD dan mempunyai kaitannya dengan pajak, khususnya pajak penghasilan. Dasar hukum yang digunakan yaitu Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 UU No. 17 Tahun 2000, Pasal 191 UU No. 11 Tahun 2006 dan Pasal 22 UU No. 23 Tahun 2011. Zakat sebagai faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang, pemberlakuan ketentuan tersebut merupakan suatu kemajuan bagi umat Islam Aceh. Hal ini dikuatkan dengan diberlakukannya Keputusan Dirjen Pajak No KEP−542/PJ/2001 bahwa zakat atas penghasilan dapat dikurangkan atas penghasilan netto. Pemberlakuan zakat pengurang pajak atas penghasilan yang diperoleh setiap orang dianggap penting dalam melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim di Aceh. Ketentuan ini hingga sekarang belum diterapkan di Aceh dimana seharusnya Zakat dapat mengurangkan pajak penghasilan. Zakat is one of the compulsory funds paid by Muslims through bodies appointed by law. Special Aceh mentioned zakat is one source of PAD and has a relation to the tax, especially income tax. The legal basis used is Article 4 paragraph (3) letter a number 1 of Law no. 17 of 2000, Article 191 of Law no. 11 of 2006 and Article 22 of Law no. 23 of 2011. Zakat as a subtracting factor against the amount of income tax payable, the enforcement of these provisions is an improvement for the Muslims of Aceh. This is reinforced by the enactment of Decision of the Director General of Taxes No. KEP-542 / PJ / 2001 that zakah on income can be deducted on net income. The enactment of zakat tax deductions on income earned by each person is considered important in carrying out its obligations as a Muslim in Aceh. This provision has not been applied in Aceh where Zakat should be able to deduct income tax.
Kendala dan Hambatan Dalam Pelaksanaan Penanaman Modal di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Gita Melisa; Azhari Yahya; Mahdi Syahbandir
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 3: Desember 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (252.36 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i3.9634

Abstract

Salah satu upaya Pemerintah guna memperlancar kegiatan pengembangan fungsi Kawasan Sabang, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang yang salah satu pelimpahan kewenangannya adalah pada Bidang Penanaman Modal. Kedua peraturan ini dikeluarkan dengan tujuan memperlancar fungsi kegiatan penanaman modal di Kawasan agar dapat berjalan maksimal. Namun dari hasil penelitian, ditemukan masih ada beberapa faktor kendala dan hambatan pelaksanaan penanaman modal tidak berjalan maksimal seperti kurangnya  kemampuan SDM secara internal BPKS dan sarana infrastruktur penunjang investasi, kondisi kemanan yang belum kondusif, kesulitan dalam menarik minat investor, kurangnya kenyamanan dalam berinvestasi, letak regional Kawasan yang belum strategis serta belum dijadikannya Kawasan Sabang sebagai daerah tujuan investasi.One of the government efforts to stimulate the activity of Sabang’s regional development function is done through the Act Number 37, 2000 regarding the Establishment of the Government Regulation Replacing the Act Number 2, 2000 regarding the Free Trade Area and Free Port of Sabang becoming the Act and the Government regulation number 83, 2010 on the Distribution of the Government Authority to Sabang Regional Board which is one of the authorities given is in the field of Capital Investment. Both regulations are issued in order to boost the capital investment function in the region hence it can run maximally. However, the research shows that there are some hurdles in the capital investment for instances lack of human resources of BPKS, and supporting infrastructures are, insecure, lack of effort to attract investors, lack of confortable condition, the position that is not strategic and the region has not been targeted as the capital investment region.
Tinjauan Yuridis Akibat Berlakunya UU No. 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak Terhadap Sanksi Pidana Perpajakan Hadzil Hadzil; Mahdi Syahbandir; Syarifuddin Hasyim
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 2: Agustus 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (504.916 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i2.12084

Abstract

Terdapat cukup banyak masyarakat yang dengan sengaja melakukan kecurangan-kecurangan dan melalaikan kewajibannya dalam melaksanakan pembayaran pajak yang telah ditetapkan sehingga menyebabkan timbulnya tunggakan pajak. Menyikapi hal tersebut, Pemerintah mengesahkan Undang-undang Tax Amnesty Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Salah satu jenis pengampunan yang ditawarkan adalah memberikan penghapusan tindak pidana bagi Wajib Pajak (WP) yang melanggar undang-undang. Oleh sebab itu, hal ini menjadi menarik untuk diteliti karena dapat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat miskin atau WP yang taat pajak. Masalah pokok dalam penelitian ini adalah apakah penghapusan sanksi pidana terkait pengampunan pajak (tax amnesty) sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pemidanaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan penghapusan sanksi pidana telah sesuai atau tidak dengan prinsip-prinsip pemidanaan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan tujuan mengkaji asas-asas dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam ilmu hukum. Data yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal penghapusan sanksi pidana dalam tax amnesty tidaklah sesuai dengan prinsip-prinsip penghapusan pidana dalam konsep KUHP, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf karena apabila harta tersebut berasal dari hasil korupsi, hal tersebut bukanlah merupakan perbuatan yang patut dan benar untuk dimaafkan. Disarankan kebijakan dalam pengampunan pajak (tax amnesty) sebaiknya tidak diberlakukan penghapusan pada unsur tindak pidana, apalagi dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur yang merugikan negara.There are enough people who deliberately commit fraud and neglect their obligations in carrying out the payment of taxes that have been set so as to cause the arrears of taxes. In response, the Government passed the Tax Amnesty Act Number 11 Year 2016 About Tax Amnesty. One type of amnesty offered is to provide the abolition of a criminal offense for a Taxpayer (WP) that violates the law. Therefore, it is interesting to investigate because it can be considered as a form of betrayal of the poor or WP who are tax-conscious. The main problem in this research is whether the abolition of criminal sanctions related to tax amnesty is in line with the principles of punishment. This study aims to determine and explain the elimination of criminal sanctions are appropriate or not with the principles of punishment. This study is a normative juridical research with the aim of studying the principles and rules contained in the science of law. The data used consist of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The results indicate that of the abolition of criminal sanctions in the tax amnesty is not in accordance with the principles of criminal abolition in the concept of the Criminal Code, namely the justification and reasons for forgiveness because if the property is derived from the corruption, it is not a proper and proper act to be forgiven. It is recommended that the tax amnesty should not be abolished on the element of criminal acts, morever in the criminal act there are elements that harm the state.
Kedudukan Pegawai Negeri Sipil Yang Diberhentikan Secara Tidak Hormat Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan Wirza Fahmi; Mahdi Syahbandir; Efendi Efendi
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (243.205 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12293

Abstract

Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum. Tujuan penelitian ini untuk  mengetahui, dan menganalisis kedudukan hukum terhadap Pegawai Negeri Sipil yang telah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan dan konsekwensi yuridis terhadap Pegawai Negeri Sipil yang tidak Diberhentikan karna melakukan tindak pidana jabatan. Metode penelitian yang digunakan adalah  penelitian hokum empiris. Terkait Kedudukan Pegawai Negeri Sipil Yang Diberhentikan Secara Tidak Hormat Karena Melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan harus diberhentikan secara tidak dengan hormat dari jabatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil. konsekwensi yuridis terhadap Pegawai Negeri Sipil yang tidak diberhentikan pemblokiran data base bersangkutan dalam Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian, sehingga tidak dapat diberikan pelayanan dalam pembinaan karirnya termasuk  tidak berhak untuk memperoleh kenaikan pangkat dan pensiun serta promosi jabatan.Article 87 (4) verse b of the Act Number 5, 2014 regarding Civil Servant (Official Apparatus) states that a civil servant is removed from office irrespectively as being punished or put in custody based on the permanent court decision due to committing official crimes or the crime having relation to official/or public crime. The purpose of this study is to know and analyze the legal status of Civil Servants who have been sentenced who have had permanent legal force for committing crimes of offense and juridical consequences against Civil Servants who are not dismissed for committing offense. The research method used is empirical law study. Related to Position of Civil Servant who was dismissed disrespectfully for Committing Crime of Official Crimes shall be dismissed with respect from his position as Civil Servant. The juridical consequences of Civil Servants who are not dismissed from blocking the relevant data base in the Staffing Service Application System so that they can not be given services in their career development including not being eligible for promotion and retirement and promotion of position.
Eksistensi Lembaga Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara Dalam Penegakan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Suatu Penelitian pada Kejaksaan Tinggi Aceh) Agus Kelana Putra; Faisal A. Rani; Mahdi Syahbandir
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 2: Agustus 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.87 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i2.8479

Abstract

Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa di bidang perdata dan tata usaha negara, “kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Kejaksaan dalam hal ini dapat menjalankan  tugas dan wewenang di bidang perdata dan tata  usaha negara sebagai jaksa pengacara negara (JPN) guna menjaga kewibawaan pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya adanya jaksa pengacara negara ini, belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh lembaga pemerintah, (BUMN) dan (BUMD) guna membela kepentingannya dalam perkara perdata dan tata usaha negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  alasan badan/instansi pemerintah tidak memberikan kuasa khusus kepada lembaga kejaksaan dalam penanganan perkara perdata dan tata usaha negara disebabkan karena ketentuan penggunaan jasa dari pengacara negara ini masih bersifat menganjurkan belum dilakukan penerapan ketentuan sanksi serta masih kurangnya kepercayaan kepada lembaga kejaksaan. Kondisi ini selanjutnya berakibat tidak terlaksananya ketentuan mengenai tugas dan fungsi jaksa pengacara negara dan berpengaruh pada nama baik dan wibawa pemerintah serta mengurangi minat Jaksa Pengacara Negara dalam penyelesaian perkara datun. Konsekwensi hukum terhadap badan/instansi pemerintah yang tidak memberikan kuasa khusus kepada lembaga kejaksaan dalam penanganan perkara perdata dan tata usaha negara tidak ada sama sekali karena tidak ada satupun ketentuan sanksi yang mengaturnya. Terhadap badan/instansi pemerintah tersebut tidak patuh pada ketentuan yang berlaku dan apabila menggunakan jasa pengacara atau advokad hanya berpengaruh pada anggaran yang digunakan untuk membiayai suatu perkara yang berkaitan dengan bidang perdata dan tata usaha negara serta nama baik dan wibawa pemerintah. Article 30 (2) of the Act Number 16, 2004 regarding the Public Prosecution Office of the Republic of Indonesia states that in the field of civil and administrative state, the prosecution oofice by a special mandate that might act either inside or outside a court for and in the name of the government”. The prosecution office might run its duties and functions in the field of civil and administrative states as the state attorney in terms of keeping the honour of the government. However, in its implementation there are prosecutors who are not fully used by the government istitutions, State’s Owned Companies, Regional Owned Companies in order to defend those interes in the civil and administrative satates. The research shows that the reasons of government isntitutions for not providing special mandate for the prosecution office in handling civil and administrative state cases caused by lack of trust to the institutions of the prosecution office. The condition is then resulting in lacking the interest of the state attorney hence it is not optimal in settling civil and administrative state cases, the perception that the attorney is lack of capacity, and the cases are not relevant to other fileds andthe function and duties of the Attorney has not been eminentamongsstakeholders and community generally. There is no consequences of law towards institutions of government that are not providing mandate to the prosecution office in handling the civiland administrative state cases as there is no legislation on sanction regulting it. Towards institutions of the government that are not obeying the existing rules and if using the state attorney or satate’s lawyer is only depending on budget that is not used to fund a case relevant to civil and administrative state and honourand the government pride.