Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

Pelaksanaan Zakat Sebagai Faktor Pengurang Terhadap Pajak Penghasilan Terhutang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Afrilia Lavanda; Mahdi Syahbandir
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 3: Agustus 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 192 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dinyatakan bahwa Zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak. Namun pada kenyataannya hingga kini belum dapat dilaksanakan sejak Undang-Undang Pemerintah Aceh disahkan tahun 2006. Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan mengapa zakat sebagai faktor pengurang terhadap pajak penghasilan terhutang menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh belum dapat dilaksanakan dan untuk menjelaskan bagaimana upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh mengenai belum berlakunya zakat sebagai faktor pengurang terhadap pajak penghasilan terhutang di Aceh. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dengan cara memperlajari peraturan perudang-undangan, buku-buku, bahan internet dan hasil karya ilmiah lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini serta penelitian lapangan yang dilakukan untuk memperoleh data primer dengan mewawancarai responden dan informan. Berdasarkan hasil dari penelitian diketahui bahwa Pasal 192 dari Undang-Undang Pemerintah Aceh yaitu zakat sebagai faktor pengurang terhadap pajak penghasilan terhutang belum dapat dilaksanakan hingga sekarang. Hal ini dikarenakan yang pertama terjadinya regulasi antara Undang-Undang Pemerintahan Aceh dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang kedua Pasal 192 Undang-Undang Pemerintah Aceh belum ada aturan pelaksananya dan belum ada kebijakan atau persetujuan dari Pemerintah Pusat, yang ketiga belum ada upaya yang maksimal dari Pemerintah Aceh. Upaya telah yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh mengenai belum berlakunya zakat sebagai faktor pengurang terhadap pajak penghasilan terhutang di Aceh yaitu Pemerintah Aceh telah mengirimkan surat kepada Bapak Presiden Republik Indonesia dalam hal untuk mengimplementasikan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan terhutang, kemudian Anggota DPD/MPR RI juga mengirimkan surat kepada Bapak Presiden Republik Indonesia. Dalam hal mendukung surat dari Gubernur Aceh, mendukung Implementasi Zakat Sebagai Pengurangan Pajak. Disarankan kepada Pemerintah Pusat agar berkenan mengeluarkan kebijakan dan menyetujui Pasal 192 UUPA dapat dilaksanakan, dan disarankan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan pertemuan langsung, membicarakan dan berkonsultasi dengan Bapak Presiden Republik Indonesia agar Pasal 192 UUPA dapat diimplementasikan seperti harapan seluruh masyarakat Aceh.
Penertiban Pegawai Negeri Sipil Yang Melanggar Disiplin Dalam Jam Kerja Fionna Marizka; Mahdi Syahbandir
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 3: Agustus 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 3 ayat (11) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil menetapkan setiap PNS wajib datang, melaksanakan tugas, dan pulang sesuai dengan ketentuan jam kerja serta tidak berada pada tempat umum bukan karena dinas. Selanjutnya Pasal 5 menegaskan PNS yang tidak mentaati ketentuan tersebut, maka akan dijatuhi hukuman disiplin. Namun dalam kenyataannya penerapan hukuman disiplin terhadap PNS yang melanggar disiplin dalam jam kerja masih belum sesuai penerapannya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang penerapan sanksi terhadap pegawai negeri sipil yang melanggar disiplin dalam jam kerja sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, menjelaskan hambatan-hambatan dalam penerapan sanksi terhadap pegawai negeri sipil yang melanggar disiplin dalam jam kerja dan menjelaskan upaya yang akan dilakukan terhadap pembinaan pegawai negeri sipil yang melanggar disiplin dalam jam kerja di lingkungan Dinas Pengairan Aceh. Untuk memperoleh data dalam penulisan artikel ini, penulis melakukan penelitian Yuridis Empiris. Penelitian ini untuk mendapatkan data primer melalui wawancara dengan responden maupun informan dan pendekatan perundang-undangan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan yang sedang diteliti. Hasil penelitian lapangan didapatkan hasil bahwa penerapan sanksi terhadap PNS pada Dinas Pengairan Aceh yang melanggar disiplin dalam jam kerja belum sesuai dengan peraturan yang berlaku yakni PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS serta Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor: 800/22476, 15 Agustus 2012 tentang Pembinaan Disiplin dan Kerja PNS dilingkungan Pemerintah Aceh. Penyebab terjadinya pelanggaran disiplin dalam jam kerja tersebut dikarenakan lebih mengutamakan kepentingan pribadi pada saat jam kerja dan tidak dapat pengawasan langsung dari Kepala Dinas maupun kepala bidang tertentu. Upaya pembinaan yang akan dilakukan terhadap pegawai negeri sipil yang melanggar disiplin dalam jam kerja adalah Pemberian sosialisasi secara berkala mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, atasan atau pejabat yang berwenang  memberikan sanksi secara tegas, dan setiap kepala sub Bidang dan sub Bagian harus memiliki rasa tanggung jawab dalam mengawasi dan melakukan pembinaan di lingkungan kerjanya mengenai kedisiplinan setiap pegawainya. Disarankan kepada pejabat yang berwenang adalah  meningkatkan pembinaan dan pengawasan serta pemberian sanksi disiplin guna meningkatkan kepatuhan dan kesadaran terhadap disiplin dalam jam kerja. Diharapkan para pegawai negeri sipil lebih memahami peraturan Disiplin PNS. Dan mengatasi hambatan-hambatan yang ditemui dengan menerapkan upaya terhadap pembinaan pegawai negeri sipil yang melanggar disiplin dalam jam kerja.
Pelaksanaan Ganti Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Fly Over Pangoe Di Kabupaten Aceh Besar Fahlevi Khaddomi; Mahdi Syahbandir
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Undang-undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Pasal 37 ayat (2) menyebutkan bahwa Hasil kesepakatan musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan. Sedangkan yang terjadi dalam Pelaksanaan Ganti Rugi untuk Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Fly Over Pangoe harga langsung ditetapkan secara sepihak tanpa persetujuan dari masyarakat. Penelitian artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tata cara penentuan ganti rugi, menjelaskan tata cara dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan ganti rugi dan Upaya-upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan permasalahan pembayaran ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Fly Over Pangoe di Kabupaten Aceh Besar. Penelitian artikel ini, dilakukan dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer, dengan mengadakan wawancara terhadap responden dan informan, serta penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder, dengan mempelajari literatur, peraturan perundang-undangan dan bacaan-bacaan lain yang ada hubungannya dengan artikel ini. Berdasarkan hasil yang dijelaskan bahwa pelaksanaan Ganti rugi untuk pembangunan Fly Over Pangoe  tidak sesuai dengan ketentuan berlaku seperti penetapan harga yang bermasalah dimana penetapan harganya dilakukan secara sepihak dan banyaknya warga pemilik tanah yang belum sepakat dengan nilai ganti rugi. Serta tidak dilakukan upaya lanjutan untuk menuntaskan ganti rugi. Disarankan kepada Pemerintah dan Instansi yang berkepentingan untuk melaksanakan kegiatan pembebasan tanah selalu berpedoman dan mentaati Peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta lebih transparansi dalam melaksanakan tugasnya dan yang lebih penting adalah adanya peningkatan pendekatan secara sosiologis dengan melakukan penyuluhan/sosialisasi dan bisa menerima aspirasi pemegang hak milik atas tanah.
Upaya Dinas Pendapatan Dan Kekayaan Aceh (DPKA) Terhadap Penagihan Pajak Kendaraan Bermotor Yang Tertunggak Intan Rizki; Mahdi Syahbandir
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 3: Agustus 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam Pasal 2 Qanun Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pajak Aceh disebutkan bahwa, salah satu jenis pajak Aceh adalah pajak kendaraan bermotor. Pajak kendaraan bermotor merupakan salah satu pendapatan asli daerah (PAD). Dalam kenyataannya pada  pajak kendaraan bermotor di Aceh banyak terjadi tunggakan pajak, diperkirakan pada tahun 2014 jumlah tunggakan pajak mencapai  sebesar Rp. 2.027.971.699, pada tahun 2015 meningkat sebesar Rp. 2.880.518.600, dan pada tahun 2016 sebesar Rp. 2.345.394.800. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan upaya Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh (DPKA) terhadap penagihan pajak kendaraan bermotor yang tertunggak. Dan untuk menjelaskan hambatan Dinas Pedapatan dan Kekayaan Aceh (DPKA) terhadap penagihan pajak kendaraan yang tertunggak. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan ini adalah metode penelitian empiris dengan pendekatan yuridis empiris. Hasil penelitian menjelaskan upaya yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan dan Kekayaan Daerah terhadap penagihan pajak kendaraan bermotor yang tertunggak, pertama dengan melakukan penguatan dibidang hukumnya, yaitu dengan membuat beberapa aturan sebagai payung hukum. Kedua melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat sadar akan pembayaran pajak kendaraan bermotor khususnya yang tertunggak. Kemudian yang ketiga, secara represif dengan penerbitan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) tentang berapa pajak yang harus dilunasi. Kemudian yang keempat pemutihan pajak, dimana utang-utang pajak terdahulu di hapus dan wajib pajak hanya harus membayar pajak pada tahun itu saja.  Dan Hambatan Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh (DPKA) terhadap penagihan pajak kendaraan bermotor yang tertunggak pertama, Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak kendaraan bermotor tepat waktu. Kedua, Kemampuan masyarakat yang masih rendah. Ketiga, Kurangnya melakukan tindakan dilapangan. Keempat, Kurangnya petugas dan  fasilitas bagi petugas penagih pajak. Disarankan kepada Pemerintah Daerah harus memberikan kebijakan lebih tegas bagi masyarakat yang tertunggak pajak kendaraan bermotornya di Aceh. Disarankan kepada Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh untuk melakukan sosialisasi lebih intensif  untuk merubah budaya masyarakat agar sadar untuk membayar pajak kendaraan bermotor agar tidak tertunggak. Dan melakukan tindakan dilapangan dengan mengecek langsung terhadap masyarakat yang tertunggak pajak kendaraan bermotor.
Penerapan Sanksi Administrasi Terhadap Perguruan Tinggi Swasta Yang Beroperasi Tanpa Izin Nur Hidayati; Mahdi Syahbandir
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 2, No 2: Mei 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 60 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan bahwa pendirian perguruan tinggi swasta wajib memperoleh izin menteri. Dengan demikian maka setiap penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak memperoleh izin menteri dapat dikenakan sanksi berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana. Realitas di lapangan ditemukan satu perguruan tinggi swasta yang beroperasi tanpa izin yaitu STIKes Citra Bangsa Sigli yang akan diuji dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 50 Tahun 2015 mengatur tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan (1) proses pelaksanaan pemberian izin terhadap perguruan tinggi swasta menurut ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) menjelaskan faktor penyebab sanksi administrasi tidak terlaksana, dan (3) menjelaskan upaya penerapan sanksi administrasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode empiris yakni dengan studi dokumen dan studi lapangan. Studi dokumen dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat teoritis atau data sekunder, sedangkan studi lapangan dilakukan guna memperoleh data primer melalui wawancara dengan responden dan informan. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses pelaksanaan pemberian izin perguruan tinggi swasta sebagaimana ditentukan oleh Kemenristekdikti tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh penyelenggara pendidikan STIKes Citra Bangsa Sigli. Faktor tidak terlaksana sanksi administrasi dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat sekitas yang menginginkan STIKes Citra Bangsa Sigli tetap beroperasi sebagaimana biasanya (a quo). Disarankan kepada STIKes Citra Bangsa Sigli agar segera melengkapi persyaratan administrasi perizinan yang berlaku. Selanjutnya perlu adanya pengawasan ekstra terhadap penyelenggara pendidikan tanpa izin oleh Kemenristekdikti. Terakhir, dianggap perlu untuk mempublikasikan status beroperasi tanpa izin STIKes Citra Bangsa Sigli melalui media-media massa yang diikuti dengan upaya tegas untuk tindakan penutupan sementara.
PERAN KANTOR BEA DAN CUKAI DALAM MENGAWASI PEMASUKAN GULA ILEGAL DI BANDA ACEH Ratna Ratna; Mahdi Syahbandir
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 3, No 1: Februari 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 82 ayat (1) undang-undang nomor 17 tahun 2006 tentang kepabeanan menyatakan bahwa, Direktorat Jendral Bea Dan Cukai mempunyai tugas pokok yang ditunjuk oleh kementrian keuangan No.206/PMK.01/2014 tentang tata organisasi dan tata kerja instansi vartikal direktorat jenderal bea dan cukaiyang berkaitan dengan lalu lintas barang masuk dan keluar daerah kepabeanan serta pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan didaerah kepabeanan mengenai barang impor yang tidak kena pajak. Namun dalam kenyataannya kantor bea dan cukai tidak optimal dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap Gula pasir ilegal yang di kawasan pelabuhan Ulee Lheue.Tujuan dari penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui mengapa Gula pasir ilegal masih bisa masuk kepabeanan, mengapa kantor direktorat jenderal bea dan cukai tidak melaksanakan pemeriksaan terhasap keluar masuknya Gula impor tersebut, sehingga Gula pasir ilegal bisa beredar di kota banda aceh.Untuk memperoleh data dalam penelitian artikel ini dilakukan penelitian kepustakaan dan lapangan. Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan dengan cara membaca peraturan perundang-undangan dan buku literatur hukum atau badan hukum lainya. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer yang berhubungan dengan penelitian ini melalui wawancara dengan responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyebab Gula pasir ilegal masih ditemukan di kota banda aceh  karena kurangnya pengawasan Bea Dan Cukai yang dikarnakan kurangnya anggaran sehingga jarang dilakukan pengawasan, karena kurangnya pegawai kantor bea dan cukai dan kesadaran hukum sehingga gula ilegal diberikan masuk begitu saja.Disarankan kepada kantor pengawasan direktorat jenderal Bea dan Cukai kota Banda Aceh untuk sering melakukan pengawasan seperti melakukam razia dengan menggunakan Detektor dan memasang CCTV, sehingga bisa mengurangi dan mencegah masuknya Gula ilegal di kota Banda Aceh.
PENERAPAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PENGUSAHA YANG MEMPERJUAL BELIKAN GAS LPG 3KG TANPA IZIN USAHA PERDAGANGAN DI KOTA BANDA ACEH Muhammad Mahzar; Mahdi Syahbandir
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 3, No 1: Februari 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan pelaksanaan pemberian surat izin usaha perdangan gas LPG Di Kota Banda Aceh, pengawasan izin usaha perdagangan gas LPG di Kota Banda Aceh, dan upaya dan penerapan sanksi terhadap pelaku usaha perdagangan gas LPG di Kota Banda Aceh yang tidak memiliki surat izin usaha perdagangan. Untuk memperoleh data dalam penulisan artikel ini, dilakukan penelitian kepustakaan dan lapangan. Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan dengan cara membaca peraturan Perundang-undangan, karya ilmiah, pendapat para sarjana, buku-buku dan artikel. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer yang berhubungan dengan penelitian ini melalui wawancara dengan responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa pelaksanaan pemberian izin usaha masih dianggap sulit oleh sebagian pengusaha gas LPG 3 Kg, pengawasan izin usaha yang dilakukan oleh pihak Pertamina, Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan Kota Banda Dinas Penanaman Modal serta Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) masih adanya hambatan internal meliputi anggaran dan sumber daya manusia (SDM), Sanksi yang diberikan kepada pengusaha yang tidak memiliki izin usaha perdagangan, hanya berupa teguran langsung yang selanjutnya diberikan sosialisasi dan pembinaan kepada pengusaha tersebut. Disarankan kepada pihak Pertamina, Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan Kota Banda Aceh agar dapat bekerja sama dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) untuk meningkatkan pengawasan di lapangan, menerapkan sanksi yang dapat menimbulkan efek jera kepada pengusaha yang memperjualbelikan gas LPG tidak mengantongi izin usaha, dan serta terus meningkatkan strategi dalam pembenahan kinerja internal masing-masing.
Analisis Terhadap Aturan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Aceh di Kabupaten/Kota Ainal Mardhiah; Eddy Purnama; Mahdi Syahbandir
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (268.706 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11628

Abstract

Permendagri Nomor 95 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah Aceh tidak mengatur secara detail tentang Satpol PP dan WH. Satpol PP dan WH diatur dengan Qanun Aceh/Qanun Kabupaten/Kota atau Peraturan Gubernur/Peraturan Bupati/Walikota. Karena tidak ada aturan dari pemerintah pusat yang mengatur khusus tentang Satpol PP dan WH, mengakibatkan adanya perbedaaan struktur organisasi tata kerja, penyebutan nomenklatur dan standar operasional prosedur baik provinsi dengan kabupaten/kota maupun antara sesama kabupaten/kota. Untuk itu perlu aturan khusus yang bersifat nasional atau aturan dari pusat yang mengatur tentang Satpol PP dan WH di Aceh. Kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota diharapkan dapat mendorong Pemerintah Pusat melakukan upaya agar melahirkan regulasi yang bersifat nasional yang mampu mengakomodir kepentigan Satpol PP dan WH di Aceh dan terus melakukan review terhadap aturan yang sudah ada maupun yang akan dilahirkan nantinya. The Internal Affair Ministry Regulation Number 95, 2016 regarding Aceh Official Structure does not mention detailed regarding the organizational structure of the Municipal Police and the Sharia Police. The Governor or Head of Region/Major Regulation is only rule on the Municipal Police and the Sharia Police. Hence it has impact on the different structures of working unit organization, the wording and the standard operating procedure either provincial or local or between regions.  It is recommended that it is necessary to enact special law, which is nationally ruling on the municipal and Sharia Police in Aceh. In addition, the government of Aceh and the Regional/municipal Government should encourage the central government to enact national laws on the interest of the polices in Aceh and these should be reviewed.
Tinjauan Yuridis Pembatasan Upaya Hukum Kasasi Dalam Kasus Gugatan Terhadap Keputusan Pejabat Daerah Muhibuddin Muhibuddin; Mahdi Syahbandir; M. Nur Rasyid
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 2: Agustus 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (327.826 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i2.8474

Abstract

Pasal 45A Ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung membatasi pengajuan upaya hukum kasasi terhadap perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah. Pembatasan ini menimbulkan ketidakadilan bagi pencari keadilan (yustisiable) yang ingin mendapatkan keadilan jika pada tingkat pertama dan banding tidak diterima gugatannya. Di samping itu, pembatasan tersebut telah merubah sistem peradilan di Indonesia yang terdiri dari tingkat pertama, banding dan kasasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan pembatasan upaya hukum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, tinjauan keadilan kepada warga negara dan asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif  yang ingin mengidentifikasi dari aspek hukumnya. Data yang digunakan terdiri bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatasan pengajuan upaya hukum untuk mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Akibat pembatasan tersebut sangat merugikan warga negara yang ingin memperjuangkan haknya dan tidak mencerminkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.Article 45 (2) point C of the Act Number 5, 2004 on the Supreme Court Especially Limiting judicial review on the decision of the object of civil administrative state’s case which its lawsuit is the decision of officials in district, municipality or provincial officials. The limitation is not fair towards every justice seekers who are willing to obtain justices in the first court and the court of appeal have not tried the cases fairly. Apart from that the limitation has changed the justice system in Indonesia consisting of the first instance court, the court of appeal, and review court of the Supreme Court. This research aims to know the reasons of such limitation in the Act Number 5, 2004, justice review for citizens and principles of well law making. This is juridical normative research, which is trying to identify legal substances. The sources of data are secondary that are primary, secondary and tertiary legal sources. The research shows that the limitation of judicial review is to reduce the number of cases at the Supreme Court. The result of the nullification causes loss for citizens who are trying to fight for their rights and it does not reflect the principle of well law making process.
Implementasi Kebijakan Pengampunan Pajak Kaitannya Dengan Kepatuhan Wajib Pajak di Aceh Deddy Irwansyah Azyus; Mahdi Syahbandir; Sri Walny Rahayu
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (268.762 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12237

Abstract

Berbagai kebijakan telah dijalankan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat akan pemenuhan kewajiban perpajakanya, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, kebijakan ini berlaku mulai 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017. Dengan adanya kebijakan ini pemerintah memberikan fasilitas berupa penghapusan atas utang pajak, sanksi denda atau administrasi, maupun sanksi pidana di bidang perpajakan terhadap wajib pajak yang  belum melaporkan harta sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan membayar sejumlah uang tebusan dengan tarif yang relatif  rendah. Kebijakan ini semestinya dapat dimanfaatkan oleh para wajib pajak agar kepatuhan wajib pajak dapat meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Namun pada kenyataannya tidak semua pembayar pajak di Aceh yang mengikuti atau memanfaatkan kebijakan tersebut. Melalui tulisan ini akan dijelaskan mengenai alasan yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan pengampunan pajak, pengaruhnya dengan kepatuhan wajib pajak di Aceh, dan sanksi bagi wajib pajak yang tidak mengikuti kebijakan pengampunan pajak.Various efforts have been made in order to increase public awareness and compliance in fulfillment of its tax obligations, one of them the government has enacted a policy known as tax amnesty, based on the provisions of Law Number 11 Year 2016 on Amnesty of Taxes, this policy came into force on 1 July 2016 and ended March 31, 2017. With this policy the government provides facilities in the form of abolition of tax debt, fine or administrative sanctions, as well as criminal sanctions in the field of taxation on taxpayers who have not reported the property in accordance with the actual situation by paying a ransom with a relatively low tariff. But in reality within nine months of this policy, not all taxpayers, especially those in Aceh who follow or take advantage of this policy. This research aims to: know and explain the things or reasons behind the enactment of tax amnesty policy, and also to know and explain the influence of this policy to taxpayer awareness and compliance in Aceh, as well as legal sanctions for taxpayers who do not follow this policy.