Tantri, Aida Rosita
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia – Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

Published : 25 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Delirium Pasca Operasi sebagai Prediktor Mortalitas pada Geriatri yang Menjalani Operasi Non-Kardiak: Tinjauan Sistematis Aida Rosita Tantri; Muncieto Andreas; Clarissa Emiko Talitaputri; Saur Maruli Evan Johannes
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 10, No 3 (2022)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v10n3.2975

Abstract

Delirium postoperatif merupakan suatu bentuk delirium yang sering tidak disadari serta dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Studi yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan masih terdapat konflik terkait hubungan delirium pascaoperasi sebagai prediktor mortalitas, terutama pada pasien geriatri. Oleh karena itu, tinjauan sistematis ini bertujuan mengetahui hubungan delirium pascaoperasi sebagai prediktor mortalitas pada pasien geriatri yang menjalani anestesi pada pembedahan non-kardiak. Penelusuran dilakukan melalui database online seperti Medline®, ClinicalKey®, Science Direct®, EBSCO®, ProQuest®, dan Cochrane®. Telaah kritis terhadap artikel ilmiah yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk eksklusi dilakukan berdasarkan Center of Evidence-Based Medicine, University of Oxford for prognosis study.Berdasarkan hasil penelusuran diperoleh tiga studi yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk eksklusi. Hasil telaah kitis terhadap ketiga studi tersebut menunjukkan tidak terdapat cukup bukti kuat yang mendukung delirium pascaoperasi merupakan prediktor independen terhadap mortalitas pada pasien geriatri. Delirium pascaoperasi bukan merupakan prediktor independen, namun meningkatkan risiko mortalitas bersama faktor lain seperti frailty, usia, jenis operasi, urgensi operasi, dan komorbid, hingga terdapat studi yang cukup kuat untuk mendukung delirium pascaoperasi bukan sebagai prediktor mortalitas. Klinisi tetap harus berupaya mencegah kondisi delirium pascaoperasi agar tidak menjadi mediator yang meningkatkan risiko mortalitas. Postoperative Delirium as Mortality Predictor in Geriatrics Undergoing Non-Cardiac Surgery: A Systematic ReviewPostoperative delirium is a form of delirium that often goes unrecognized and can increase morbidity and mortality. However, there are still conflicts in previous studies regarding the relationship between postoperative delirium as a predictor of mortality, especially in geriatric patients. Therefore, this systematic review aimed to determine the relationship to postoperative delirium as a predictor of mortality in geriatric patients undergoing anesthesia for non-cardiac surgery. Searches were conducted through online databases such as Medline®, Clinical Key®, Science Direct®, EBSCO®, ProQuest®, and Cochrane®. A critical review of scientific articles that met the inclusion and exclusion criteria was carried out by the Center for Evidence-Based Medicine, University of Oxford, for prognostic studies. The search resulted in three studies that met the inclusion criteria. A clinical review of these three studies has shown insufficient evidence to support that postoperative delirium is an independent predictor of death in geriatric patients. Postoperative delirium is not an independent predictor but increases the risk of death and other factors such as frailty, age, type of surgery, urgency of surgery, and co-morbidities. Until there are sufficiently robust studies to support postoperative delirium rather than as a predictor of mortality, clinicians should continue to strive to prevent postoperative delirium from becoming a mediator that increases the risk of death.  
Pengaruh Jenis Kelamin, Usia, dan Data Antropometrik terhadap Landmark Blok Popliteal Aida Rosita Tantri; Sri Rejeki; Darto Satoto; Ratna Farida Soenarto; Riyadh Firdaus
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 14, No 3 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v0i0.47064

Abstract

Latar Belakang: Teknik blok popliteal menggunakan stimulator saraf masih menjadi pilihan di Indonesia. Keberhasilan blok meningkat jika pengetahuan dan pemahaman landmark anatomi baik. Landmark anatomi berupa jarak titik percabangan saraf skiatik terhadap lipatan fossa popliteal dan kedalaman titik tersebut dari kulit. Perbedaan landmark anatomi dapat terjadi karena perbedaan ukuran tulang panjang dan massa otot. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis kelamin, usia, dan data antropometri terhadap landmark blok popliteal dengan menggunakan panduan ultrasonografi (USG).Metode: Penelitian bersifat analitik observasional dengan rancangan potong lintang. Penelitian dilaksanakan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah mendapatkan izin dari komite etik. Usaha mencari gambaran percabangan saraf skiatik pada tungkai kanan dan kiri menggunakan USG dua dimensi dilakukan pada 107 pasien yang akan menjalani operasi bedah terencana di Instalasi Bedah Terpadu. Data yang diperoleh dianalisis melalui Statistical Program for Social Science (SPSS) untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara jenis kelamin, usia tinggi badan, berat badan dan indeks massa tubuh (IMT) terhadap landmark blok popliteal serta memperoleh formula prediksi landmark blok popliteal.Hasil: Pada penelitian ini diperoleh hubungan bermakna jenis kelamin, tinggi badan terhadap jarak percabangan saraf skiatik ke lipatan fossa popliteal dan hubungan bermakna berat badan, IMT terhadap jarak percabangan saraf skiatik pada permukaan kulit dengan nilai p <0,005. Tinggi badan (TB) dominan berpengaruh terhadap jarak percabangan saraf skiatik dari lipatan fossa popliteal (adjusted R2 38,8% dan 32,4%) sedangkan berat badan dominan terhadap jarak percabangan saraf skiatik ke permukaan kulit (adjusted R2 22,5% dan 24,7%). Formula prediksi jarak percabangan skiatik dari lipatan fossa popliteal (cm) pada tungkai kanan12,548 + 0,133 x (TB dalam cm) dan tungkai kiri -6,549 + 0,091 x (TB dalam cm) + 0,63 x jenis kelamin. Formula prediksi jarak percabangan skiatik ke kulit pada tungkai kanan 0,277 + 0,288 x (BB dalam kg) dan tungkai kiri 0,319 + 0,028 x (BB dalam kg).Kesimpulan: Terdapat pengaruh jenis kelamin dan data antropometrik terhadap landmark blok popliteal.
Model Prediksi Kebutuhan Transfusi Packed Red Cell Perioperatif pada Operasi Tumor Tulang Aida Rosita Tantri; Tri Asmaningrum Larasati; Rahendra Rahendra
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 14, No 2 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v0i0.44686

Abstract

Latar Belakang: Dua puluh persen dari operasi tumor tulang membutuhkan transfusi darah packed red cell (PRC) intraoperatif, dengan volume transfusi rata-rata 1200 ml. Kekurangan dalam jumlah PRC yang disediakan dapat menimbulkan perburukan kondisi pasien, sedangkan kelebihan permintaan darah dapat menimbulkan kerugian biaya.Tujuan: Penelitian ini bertujuan membuat model prediksi jumlah kebutuhan transfusi PRC pada operasi tumor tulang berdasarkan faktor-faktor letak, ukuran, karakteristik keganasan tumor, nilai Hb prabedah dan nilai ASA prabedah. Metode: Penelitian kohort retrospektif ini dilakukan pada pasien dewasa, ASA 1-3 yang menjalani pembedahan tumor tulang tahun 2015- 2018 dan setelah mendapat ijin dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo. Pasien dengan tindakan core biopsy dan data rekam medis yang tidak lengkap dikeluarkan dari penelitian. Data lokasi, ukuran, dan karakteristik malignansi tumor, konsentrasi Hb preoperatif serta jumlah PRC yang ditransfusikan dicatata dan dianalisis. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan statistical package for the social sciences (SPSS) versi 21.Hasil: Analisis dilakukan pada 82 data yang didapat dari rekam medis. Uji bivariat menunjukkan letak tumor, ukuran tumor, karakteristik keganasan tumor, nilai Hb prabedah dan nilai ASA prabedah memiliki hubungan bermakna terhadap kebutuhan transfusi PRC perioperatif. Analisis multivariat regresi linier menunjukan hanya letak tumor dan nilai Hb prabedah yang dapat memprediksi jumlah kebutuhan transfusi PRC perioperatif pada operasi bedah tulang. Kesimpulan: Letak tumor dan nilai Hb dapat memprediksi memprediksi jumlah kebutuhan transfusi PRC perioperatif pada operasi bedah tulang.
Interleukin-1 beta (IL-1β) and interleukin-6 (IL-6) as proinflammatory cytokines in traumatic brain injury (TBI) of rat (Sprague-Dawley) : A study of propofol administration Riyadh Firdaus; Franciscus Dhyana Giri Suyatna; Aida Rosita Tantri; Yetty Ramli; Ekowati Handharyani; Arni Diana Fitri
Journal of Global Pharma Technology Volume 12 Issue 11 (2020) Nov. 2020
Publisher : Journal of Global Pharma Technology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (756.843 KB)

Abstract

The increase in the prevalence of traumatic brain injury (TBI) followed by increased morbidity and mortality challenges anesthetists to perform the treatment patients with TBI. Menwhile, interleukin-1 beta (IL-1β) and interleukin-6 (IL-6) are the first pro-inflammatory markers expressed after secondary injury occurs. In addition, propofol (2,6-disopropylphenol) is a short-acting intravenous agent that reported to play role in inflammatory process. This study aims to determine the effects of propofol administration on the neuroinflammatory pathway. Thirty adult female Sprague Dawley rats were randomly assigned as TBI rats (T), rats that received propofol infusion (P), or TBI rats that received propofol infusion (TP). The rat model of TBI was developed using the Marmarou Weight Drop method. Clinical assessment was performed using the Neurobehavioral Severity Score-Revised (NSS-R). Brain tissues were taken 24 h after TBI and the levels of interleukin-1 (IL-1) and interleukin-6 (IL-6) mRNA expression levels were examined using qRT-PCR, while the concentration were examined using ELISA and immunohistochemistry. On clinical examination, a decrease in the median value of NSS-R in the TP group was found from 30th minute to 120th minute. 24 hours after the occurrence of TBI, there was a decrease in both the TP and T groups. However, the NSS-R values in the TP group were lower than those in the T group. The expression of IL-1β was found in the nuclei and cytosol, while IL-6 was found in the axons and cytosol. The expression and concentration of IL-1β and IL-6 were the highest in the TP group, followed by the P and then the T group. Propofol can improve neurological function in rats with TBI, probably through the mechanism involves neuroinflammatory pathways, particularly IL-1β and IL-6.
Pre-emptive versus preventive analgesia for postoperative pain: a systematic review and meta-analysis Aida Rosita Tantri; Riyadh Firdaus; Hansen Angkasa; Ahmad Pasha Natanegara; Muhammad A. I. Maulana
Universa Medicina Vol. 42 No. 2 (2023)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18051/UnivMed.2023.v42.227-239

Abstract

BackgroundPostoperative pain is a type of nociceptive pain that originates from tissue damage due to trauma caused by surgery. Pre-emptive analgesia is treatment that starts before surgery, to prevent or reduce the establishment of sensitization of dorsal horn neurons caused by tissue injury, the sensitized neurons being supposed to amplify postoperative pain. Pre-emptive analgesia consists of administering analgesic medication before tissue injury, that is, before the reception, transmission, modulation, and nociception of the aggressive stimulus, aiming to prevent hyperalgesia. This review aims to compare the efficacy of pre-emptive analgesia and preventive analgesia in postoperative pain. MethodsArticle searching was done on five databases (PubMed, ProQuest, Scopus, ScienceDirect, ClinicalKey). Hand-searching was also done to find additional articles. We have only included double-blind, randomized, controlled trials (RCT). A total of fifteen articles were included and all were RCT studies comparing pre-emptive analgesia with preventive analgesia. The quality of the included studies was evaluated with Cochrane risk-of-bias assessment tools. Quantitative analysis was performed by Review Manager 5.4. ResultsFifteen studies comprising 830 subjects were included in this study. Our analysis revealed that pre-emptive analgesia significantly improved visual analog scale (VAS)/numeric rating scale (NRS)/verbal rating scale (VRS) 4 hours postoperatively [mean difference (MD) = -0.25, 95% CI: [- 0.49, -0.02]; I2 = 94%]. Unfortunately, pain scoring at 6, 12 and 24 hours after surgery did not differ significantly between pre-emptive and preventive analgesia. Duration of analgesia was comparable between the two groups. Time to rescue analgesics was similar between the two groups, but the pre-emptive group was associated with less analgesic consumption postoperatively than the preventive group. ConclusionPre-emptive analgesia provided better pain relief than preventive analgesia during the short term. Time to rescue analgesics is comparable between both groups, but pre-emptive analgesia is associated with lower amounts of rescue analgesics postoperatively.
Nyeri Pasca Operasi Dekompresi dan Stabilisasi Vertebra: Sampai Dimana Kita Saat Ini? Tantri, Aida Rosita
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 40 No 2 (2022): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.801 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v40i2.272

Abstract

Pembedahan dekompresi dan stabilisasi tulang belakang ini berkaitan dengan nyeri perioperatif yang cukup signifikan. Nyeri pascabedah dekompresi dan stabilisasi tulang belakang lumbal dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan yang terjadi selama pembedahan dan melibatkan aktivasi berbagai mekanisme nyeri. Nyeri dapat berasal dari struktur vertebra, diskus intervertebralis, ligamen, dura, sarung saraf, kapsula sendi faset dan otot. Struktur ini diinervasi oleh ramus posterior nervus spinalis yang memiliki hubungan erat dengan saraf simpatis dan parasimpatis. Selain akibat kerusakan jaringan selama pembedahan, nyeri pascabedah juga dapat disebabkan oleh iritasi mekanis, kompresi atau inflamasi pascabedah. Kegagalan dalam penanganan nyeri intraoperatif akan menyebabkan stimulasi simpatis, ditandai dengan timbulnya gangguan hemodinamik intraoperatif seperti takikardia, peningkatan tekanan darah, peningkatan isi sekuncup, dan peningkatan konsumsi oksigen jantung. Nyeri yang dialami pada pasien risiko tinggi dapat berakibat terjadinya iskemia atau bahkan infark miokard. Selain itu, nyeri akut pascabedah yang tidak tertangani dengan baik dapat menjadi nyeri kronik pascabedah. Oleh karena itu, manajemen nyeri intraoperatif yang baik dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien, memperbaiki kualitas hidup pasien, mempercepat pemulihan, mobilisasi dan mencegah timbulnya nyeri kronis. Analgesia multimodal saat ini merupakan pilihan manajemen nyeri perioperatif terbaik dalam pembedahan dekompresi dan stabilisasi tulang belakang. Analgesia multimodal mencakup pemberian obat-obatan intravena maupun analgesia regional selama periode perioperatif. Analgesia berbasis anestesia regional yang dapat digunakan adalah blok interfasia, yaitu infiltrasi dan pemberian anestetika lokal di antara fasia otot. Teknik ini mulai banyak digunakan baik sebagai suplementasi analgesia maupun anestesi tunggal pada berbagai pembedahan.
Opioid-Free Anesthesia yang Menjanjikan Tantri, Aida Rosita
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 42 No 2 (2024): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v42i2.412

Abstract

Anestesia tanpa opioid (ATO) semakin populer sebagai strategi manajemen anestesi multimodal yang menghindari penggunaan opioid. ATO bertujuan mengurangi efek samping opioid, seperti mual muntah pascabedah, gangguan motilitas gastrointestinal, ketergantungan fisik, dan hiperalgesia. Konsep analgesia multimodal menggunakan kombinasi analgesik dari berbagai kelas dan teknik anestesi regional untuk optimalisasi nyeri. Agen non-opioid dalam ATO meliputi ketamin, lidokain, magnesium sulfat, NSAID, deksametason, serta agonis alfa-2 seperti dexmedetomidine dan klonidin. Pemilihan obat, dosis, dan cara pemberian disesuaikan untuk menghindari efek samping. Lidokain efektif mengurangi nyeri pascabedah, mempercepat rehabilitasi, dan mempersingkat masa rawat inap. Magnesium sulfat mengurangi variabilitas detak jantung dan hemodinamik intraoperatif. NSAID dan deksametason mengurangi penggunaan opioid dan insiden PONV. Dexmedetomidine memberikan efek sedasi dan analgesik dengan stabilitas hemodinamik, meskipun memiliki risiko hipotensi dan bradikardia. Penelitian menunjukkan kombinasi dexmedetomidine dengan analgesik lain dalam ATO memberikan analgesia yang baik dan menurunkan risiko PONV. ATO diharapkan semakin direkomendasikan di masa depan dengan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan regimen anestesi yang aman dan efektif.
Efek Penggunaan Propofol terhadap Kejadian Disfungsi Kognitif Pasca Operasi pada Pasien Lanjut Usia: Sebuah Telaah Sistematik Firdaus, Riyadh; Tantri, Aida Rosita; Wicaksana, Daffa Abhista; Theresia, Sandy; Anakotta, Vircha
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 3 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v11i3.481

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi/Postoperative Cognitive Dysfunction (POCD) umum terjadi pada pasien usia lanjut setelah operasi. Propofol merupakan salah satu agen anestesi yang sering digunakan, namun keterkaitannya dengan kejadian POCD. Telaah sistematik ini bertujuan mengetahui efek anestesi propofol terhadap POCD pada pasien lanjut usia.Subjek dan Metode: Penelusuran literatur melalui database PubMed, Cochrane, dan ScienceDirect untuk mengidentifikasi semua uji acak yang membandingkan tingkat kejadian POCD pada pasien lanjut usia ? 55 tahun yang menerima agen anestesi propofol dengan agen anestesi lainnya dan dipublikasikan dalam Bahasa Inggris. Artikel sekunder yang bukan merupakan jurnal dan artikel penelitian akan dieksklusi. Cochrane Risk of Bias digunakan untuk menilai potensi bias. Hasil: Kami mengidentifikasi 3 uji acak dengan total 478 pasien yang menjalani pembedahan. 478 pasien yang menjalani operasi non-kardiak. 212 subjek mendapatkan intervensi propofol, 266 mendapat intervensi agen anestesi lain seperti dexmedetomidine, midazolam, atau sevoflurane. Mayoritas membahas perbandingan propofol dan agen anestesi lain terhadap kejadian POCD pada bedah non-kardiak Simpulan: Propofol dan agen anestesi lain seperti dexmedetomidine, midazolam, dan sevoflurane tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap insidensi POCD pada pasien lanjut usia. Namun, propofol terbukti memiliki insidensi POCD jangka pendek yang lebih rendah dibandingkan dengan agen anestesi lain..
Penggunaan Lidokain Intravena untuk Adjuvan Obat Analgesik pada Operasi Bedah Saraf Firdaus, Riyadh; Tantri, Aida Rosita; Kurniawan, Teddy; Agusta, Laksmi Senja; Fadhila, Fulki; Sukoco, Gunawan; Reza, Harris Putra
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.975 KB) | DOI: 10.24244/jni.v11i2.448

Abstract

Nyeri merupakan suatu perasaan atau pengalaman yang bersifat subjektif yang melibatkan sensoris, emosional, dan tingkah laku yang tidak menyenangkan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan. Manajemen nyeri pascaoperasi dinilai esensial karena akan memberikan hasil luaran yang baik pada pasien serta meningkatkan kualitas hidup pascaoperasi. Opioid merupakan obat analgesik intravena yang paling sering digunakan sebagai terapi nyeri perioperatif, namun memiliki efek samping yang kurang menyenangkan. Pengembangan dalam penggunaan obat analgesik yang lebih efektif diperlukan, salah satu adalah lidokain intravena yang memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan opioid. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan lidokain sebagai obat analgesik intraoperatif memiliki efek samping minimal dan pemulihan lebih cepat. Penelitian lain juga menunjukkan penggunaan lidokain sebagai analgesik pada operasi bedah saraf memiliki efek yang cukup baik. Maka dari itu, tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai penggunaan lidokain sebagai terapi adjuvan obat analgesik, khususnya pada operasi bedah saraf.The Use of Intravenous Lidocaine as Adjuvant Analgesia in NeurosurgeryAbstractPain is a subjective feeling or experience involving sensory, emotional, and unpleasant behavior caused by tissue damage. Postoperative management is considered essential because it will provide excellent results for patients and improve postoperative quality of life. Opioids are intravenous analgesic drugs that are most often used as perioperative pain therapy but have unpleasant side effects. Developments in using more effective analgesic drugs are needed, one of which is intravenous lidocaine which has fewer side effects than opioids. Several studies have shown that lidocaine as an intraoperative analgesic drug has minimal side effects and faster recovery. Other studies have also shown lidocaine as an analgesic in neurosurgery surgery to have a fairly good effect. Therefore, this literature will discuss lidocaine as an adjuvant therapy, especially in neurosurgery operations.
Effect of Exclusive Breastfeeding on Neurodevelopmental of Children 6-24 Months: A Case-Control Study Putri, Armitha; Mangunatmadja, Irawan; Tantri, Aida Rosita
Archives of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition Vol. 3 No. 4 (2024): APGHN Vol. 3 No. 4 November 2024
Publisher : The Indonesian Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58427/apghn.3.4.2024.15-22

Abstract

Background: The ketogenic diet (KD) has long been prescribed to children with recurrent epilepsy due to its minimal neurotoxic effects. The side effects caused this diet to be abandoned. New diets are emerging as options such as modified Atkins diet (MAD), low glycemic index therapy (LGIT) and medium-chain triglyceride (MCT). This study compared the safety and effectiveness of the KD and these new methods. Method: Systematic review was conducted by searching databases such as PubMed, ScienceDirect, SpringerOpen, Cochrane, Proquest and Scopus based on the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta Analyses (PRISMA) guidelines. Result: : A total of 439 pediatric patients aged 0 - 18 years who were intervened with a ketogenic diet compared with other dietary options. A total of five studies reported a higher mean reduction in seizure incidence >90% in children who were intervened with a ketogenic diet compared to other diets, one of which reported KD > MAD (53.3% KD vs. 26.6% MAD). Conclusion: Although KD remains effective, MAD, LGIT, MCT and Polyunsaturated Fatty Acids KD (PUFAKD) diets provide comparable benefits with potential for better adherence. The classic KD group showed a higher morbidity rate; however, it demonstrated significant effectiveness in lowering the incidence of recurrent seizures in children.