Priyono, Harim
Departemen Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta

Published : 18 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

Gambaran persepsi auditori CAP-II pada anak tuli prelingual bilateral 6–12 bulan pasca implantasi koklea Arief, Wresty; Zizlavsky, Semiramis; Priyono, Harim; Wahyuni, Luh Kurnia; Medise, Bernie Endyarni; Prihartono, Joedo
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 48, No 1 (2018): Volume 48, No. 1 January - June 2018
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (341.189 KB) | DOI: 10.32637/orli.v48i1.250

Abstract

Latar belakang: Anak tuli prelingual akan kehilangan fungsi mendengar dan bicara, sehingga akan berpengaruh pada komunikasi, psikologis, dan kualitas hidupnya. Implan koklea hadir sebagai alat habilitasi terutama pada anak dengan tuli derajat berat dan sangat berat. Tujuan: Membahas karakteristik anak 6-12 bulan pasca implantasi koklea, evaluasi perkembangan auditori anak, serta faktor-faktor yang memengaruhi hasil keluaran. Metode: Bersifat deskriptif potong lintang, pada 36 subjek yang dievaluasi dengan metode penilaian berupa pengamatan yang bersifat global yaitu Categories Auditory Performance (CAP)-II. Hasil: Median waktu saat evaluasi 8,9 bulan, median CAP-II pada subjek ialah 3 (minimal 2-maksimal 7), dengan pencapaian 33,3% subjek dalam kategori CAP tinggi (skor 5 atau lebih). Kesimpulan: anak pasca implantasi koklea memiliki peningkatan persepsi auditori CAP-II dibandingkan sebelum penggunaan implan koklea yang dapat mulai dievaluasi sejak 6 bulan pasca implan. ABSTRACT Background: Prelingual deaf in children will cause the sufferers to loose their function of hearing and speaking, thus, are unable to hear and speak, and impacting on their ability to communicate, to grow psychologically, and on their overall life quality. Cochlear implant comes as a habilitating device especially mainly for children with severe and profound deafness. Purpose: This study described the children’s characteristics at 6-12 months after cochlear implantation, by evaluating their auditory development, and other factors influencing the output. Method: A descriptive cross sectional study, conducted on 36 subjects, evaluating the subjects by using the global observation method of Categories Auditory Performance (CAP)-II. Results: The median hearing age was 8.9 months, the median score of CAP-II was 3 (minimum 2-maximum 7), and 33.3% of subjects reached high CAP scores (CAP score of ≥ 5). Conclusion: CAP-II score would increase in children
PENANGANAN MIKROTIA BILATERAL: LAPORAN KASUS BERBASIS BUKTI Widodo, Dini Widiarni; Priyono, Harim; Suryati, Irma
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 44, No 1 (2014): Volume 44, No. 1 January - June 2014
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (343.988 KB) | DOI: 10.32637/orli.v44i1.84

Abstract

Latar Belakang: Mikrotia didefinisikan sebagai daun telinga berukuran kecil dengan insiden sekitar 1 dari 7000-8000 ribu kelahiran, dengan insiden pada satu telinga sekitar empat kali lipat lebih banyak dibanding dua telinga. Rekonstruksi mikrotia merupakan salah satu prosedur cukup sulit pada bidang plastik rekonstruksi. Saat ini, penggunaan tandur tulang rawan iga autologus masih menjadi baku emas untuk rekonstruksi mikrotia. Tujuan: mengingatkan kembali para ahli THT tentang pertimbangan pemilihan rekonstruksi bersamaan pada kasus mikrotia bilateral dengan pencarian literatur berbasis bukti. Kasus: dilaporkan satu kasus mikrotia bilateral derajat 3, dengan hantaran tulang telinga kanan 60 dB, dan hantaran tulang telinga kiri 72,5 dB. Dengan pertimbangan memilih rekonstruksi bersamaan atau bertahap pada kedua telinga dan mengetahui prediksi perbaikan fungsi pendengarannya. Penatalaksanaan: aurikuloplasti tahap 1 dilakukan bersamaan pada kedua telinga. Skor Jahrsdoefer kedua telinga masing-masing 3 dan karena keterbatasan ekonomi dianjurkan menggunakan alat bantu dengar bukan BAHA untuk mengatasi hambatan komunikasi. Kesimpulan: penatalaksanaan mikrotia bilateral di bidang THT tidak hanya mencakup aspek rekonstruksi bentuk namun menekankan fungsi telinga sebagai alat berkomunikasi yang optimal. Kata kunci: mikrotia bilateral, ambang pendengaran, aurikuloplasti. ABSTRACTBackground:Microtia is defined as small sized ear with incidence approximately 1 in 7000-8000 births, which incidents in one ear is 4 times more compared to bilateral ear. Microtia reconstruction is one of difficult procedures in plastic reconstruction field. Recently, the use of rib cartilage autograft is still the gold standard for ear reconstruction. Purpose: to inform otorhinolaryngologist concerning simultaneous ear reconstruction in bilateral microtia case with evidence based method. Case: a third grade bilateral microtia, with the result of bone conduction are 60 dB for right ear dan 72,5 dB for left ear, the consideration to reconstruct both ear simultaneously or gradually, and how to predict the hearing improvement Management: first step of auriculoplasty was done in both ears, with Jahrsdoefer score is 3 for each ear, BAHA is adviceable but due to economic limitation the patients chose hearing aids. Conclusion: Bilateral microtia management in otorhinolaryngology does not only emphasize on ear reconstruction aspects but also to restore ear function as a means of optimal communicating.Keywords: bilateral microtia, hearing thresholds, auriculoplasty.
Coalescent mastioditis as a complication of acute otitis media Ratna Dwi Restuti; Harim Priyono; Dora A Marpaung; Ayu Astria Sriyana; Rangga Rayendra Saleh
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 51, No 1 (2021): Volume 51, No. 1 January - June 2021
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v51i1.443

Abstract

Background: Acute otitis media (AOM) is one of the most common infections in children. AOM disease can lead to complications such as coalescent mastoiditis. Mastoidectomy surgery in cases of coalescent mastoiditis in children is still a debate. Purpose: To convey the management of coalescent mastoiditis in pediatric patients as complication of AOM using an evidence-based literature search. Case Report: A 10-month old patient with a diagnosis of AOM and coalescent mastoiditis, who was given antibiotic therapy and abscess drainage incision. Clinical question: In a child with coalescent mastoiditis as a complication of otitis media, could the disease be cured with intravena antiobitic therapy only without mastoidectomy operation? Review methods: Evidence-based literature searches through Pubmed, Proquest and Cochrane were performed using the keywords mastoidectomy, antibiotics and coalescent mastoiditis. Result: The search resulted in 277 literatures, and 12 were relevant with the case, and two journals stating that in cases of uncomplicated coalescent mastoiditis, mastoidectomy operation could be postponed and intravenous antibiotic could be administered with monitoring of the patient’s condition for 48 hours. Conclusion: Intravenous antibiotic is the primary therapy in cases of coalescence mastoiditis accompanied by clinical monitoring for 48 hours. Additional mastoidectomy and other surgeries were performed in cases of clinical deterioration after intravenous antibiotic therapy, and in cases of intratemporal or intracranial complications. ABSTRAK Latar belakang: Otitis Media Akut (OMA) merupakan salah satu infeksi yang sering ditemukan pada anak. Penyakit OMA dapat mengakibatkan komplikasi seperti mastoiditis koalesens. Operasi telinga mastoidektomi untuk kasus mastoiditis koalesens anak masih merupakan perdebatan sampai saat ini. Tujuan: Mengulas tatalaksana mastoiditis koalesens akibat OMA pada pasien anak menggunakan pencarian literatur berbasis bukti. Laporan Kasus: Seorang pasien umur 10 bulan dengan OMA dan komplikasi mastoiditis koalesens. Dilakukan tatalaksana terapi antibiotik dan insisi drainase abses. Pertanyaan klinis: Pada kasus anak kecil dengan mastoiditis koalensens sebagai komplikasi otitis media akut, apakah penyakit ini dapat disembuhkan hanya dengan pemberian terapi antibiotik intravena tanpa operasi mastoidektomi? Telaah literatur: Telaah berbasis bukti dilakukan melalui Pubmed, Proquest dan Cochrane, dengan menggunakan kata kunci mastoidektomi, antibiotik dan mastoiditis koalesens. Hasil: Telaah berbasis bukti menghasilkan 277 literatur, 12 diantaranya relevan dengan kasus, dan dua literatur menyatakan bahwa pada kasus mastoiditis koalesens tanpa komplikasi, mastoidektomi bisa ditunda dan pemberian antibiotik intravena bisa diberikan dengan pemantauan kondisi pasien selama 48 jam. Kesimpulan: Pemberian antibiotik intravena merupakan terapi utama pada kasus mastoiditis koalesens disertai pemantauan klinis selama 48 jam. Terapi lanjutan berupa mastoidektomi dan operasi lainnya dilakukan pada kasus dengan perburukan klinis sesudah terapi antibiotik intravena, dan pada kasus komplikasi intratemporal atau intrakranial.Kata kunci: mastoiditis koalesens, otitis media akut, antibiotik, mastoidektomi
Labyrinthine fistula size as a prognostic factor for postoperative hearing deterioration Ratna Dwi Restuti; Harim Priyono; Ayu Astria Sriyana; Rangga Rayendra Saleh; Eka Dian Safitri
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 51, No 2 (2021): VOLUME 51, NO. 2 JULY - DECEMBER 2021
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v51i2.497

Abstract

ABSTRACTBackground: A labyrinthine fistula is an abnormal opening in the bony capsule of the inner ear, such as cochlea or semi-circular canals that may occur as a complication of chronic suppurative otitis media (CSOM) with cholesteatoma. Purpose: To find out the relation of the size of labyrinthine fistula as a prognostic factor of hearing deterioration after a complete cholesteatoma removal. Case report: Two cases of labyrinthine fistula in CSOM with cholesteatoma, along with preoperative and postoperative audiometry results. Clinical question: Does the labyrinthine fistula size in CSOM with cholesteatoma patients could serve as a prognostic factor in the postoperative hearing outcome? Review method: A structured, evidence-based literature search using Pubmed, Proquest and Cochrane to find studies of labyrinthine fistula as a complication of CSOM. The articles were selected based on eligibility criteria i.e. surgery procedure, labyrinthine fistula measurement, and postoperative evaluation of hearing function. The appraisal of each article used Oxford critical appraisal independently for prognostic study and systematic review. Result: Two studies met the inclusion criteria. One article used cohort retrospective method valid based on appraisal for prognostic studies. The other article used a systematic review method which had low validity. Conclusion: Fistula size is still debatable as a postoperative prognostic factor for hearing deterioration in CSOM with cholesteatoma. Larger sample size and better methods of study are necessary to resolve the clinical question.Keywords: chronic suppurative otitis media (CSOM), cholesteatoma, labyrinthine fistula, fistula sizeABSTRAKLatar belakang: Fistula labirin adalah terbukanya dinding tulang pada koklea atau kanalis semisirkularis yang merupakan suatu komplikasi dari otitis media supuratif kronik (OMSK) tipe bahaya. Tujuan: Untuk menjawab pertanyaan klinis terkait hubungan antara ukuran fistula labirin dengan prognosis penurunan pendengaran pasca operasi pengangkatan kolesteatoma. Laporan kasus: Dua kasus fistula labirin pada penderita OMSK tipe bahaya, disertai dengan hasil pemeriksaan audiometri pendengaran sebelum dan sesudah operasi. Pertanyaan klinis: Apakah ukuran fistula labirin pada kasus OMSK dengan kolesteatoma dapat menjadi faktor penentu prognosis untuk hasil pemeriksaan pendengaran pasca operasi? Telaah literatur: Pencarian literatur berbasis bukti menggunakan Pubmed, Proquest dan Cochrane terkait fistula labirin pada kasus OMSK. Kriteria inklusi studi berdasarkan teknik operasi, ukuran fistula dan evaluasi pendengaran pasca operasi. Metode Oxford critical appraisal digunakan untuk studi prognosis pada satu artikel, dan digunakan systematic review untuk artikel lainnya. Hasil: Dari pencarian literatur terdapat dua artikel yaitu studi kohort retrospektif, dan systematic review yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil telaah literatur menunjukan bahwa study kohort retrospektif memiliki validitas cukup baik, sedangkan studi systematic review memiliki validitas yang kurang baik. Kedua artikel ini memiliki hasil yang berbeda dalam hubungan ukuran fistula labirin dengan prognosis penurunan pendengaran pasca operasi. Kesimpulan: Ukuran fistula sebagai faktor prognosis penurunan pendengaran pasca operasi pada kasus OMSK tipe bahaya masih memerlukan penelitian dengan sampel yang lebih banyak, dan metode yang lebih baik untuk dapat menjawab pertanyaan klinis.Kata kunci: otitis media supuratif kronik (OMSK), kolesteatoma, fistula labirin, ukuran fistula
Miringoplasti tandur lemak autologus: alternatif pilihan miringoplasti di poliklinik Harim Priyono; Dini Widiarni; Afrina Yanti
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 41, No 2 (2011): Volume 41, No. 2 July - December 2011
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (440.831 KB) | DOI: 10.32637/orli.v41i2.47

Abstract

Background : The most common material used for the closure of tympanic membrane perforation istemporalis fascia. However, for a dry, small central perforation, the adipose tissue is a good alternative. Moreover, fat myringoplasty can be performed as an office based procedure in adult patients. Purpose:This paper will discuss the use of adipose tissue for the closure of dry, small perforations of the tympanicmembrane. Cases: A series of cases with tympanic membrane central perforation, three adult patientswith small perforations and one patient with large perforation, underwent fat autograft myringoplasty.The adipose tissue was harvested from the patients’ ear lobe. All of the patients were given decongestan,systemic and topical antibiotics as medication. Follow-ups were performed at seven days, two weeks,and one month after the procedure. Pure tone audiometry was conducted before and one month afterthe procedure. The result showed all of the patients had improvement on hearing function and no post surgical infection.  Conclusion: Fat autograft myringoplasty was conducted as an outpatient clinic procedure with high success rates. This procedure can be performed under local analgesia that causingminimal discomfort. Proper patient selection making it a cost-effective procedure for an alternative ofmyringoplasty.  Keywords: myringoplasty, tympanic membrane perforations, fat autograft Abstrak :  Latar belakang: Jaringan yang digunakan untuk menutup perforasi membran timpani biasanyadipilih fasia temporalis. Akan tetapi, untuk perforasi yang berukuran kecil dan tidak terdapat sekret,jaringan lemak dapat digunakan sebagai bahan alternatif. Keuntungan prosedur miringoplasti denganmenggunakan jaringan lemak ini dapat dilakukan di poliklinik pada pasien dewasa. Tujuan: Makalahini akan membahas tentang kegunaan jaringan lemak untuk menutup perforasi membran timpani yangberukuran kecil dan tidak terdapat sekret. Kasus: Serial kasus empat pasien dewasa dengan perforasisentral membran timpani, tiga orang dengan perforasi kecil dan satu orang dengan perforasi luas.Penatalakasanaan: Semua pasien menjalani miringoplasti dalam analgesi lokal menggunakan tandurlemak autologus daun telinga. Keempat pasien mendapatkan terapi medikamentosa dekongestan oral,antibiotika sistemik dan topikal. Evaluasi dilakukan pada tujuh hari, dua minggu, dan satu bulan setelahprosedur dilakukan.Audiometri nada murni dilakukan sebelum dan satu bulan setelah prosedur dilakukan.Hasil audiometri menunjukkan perbaikan fungsi pendengaran pada keempat pasien dan tidak didapatkan infeksi pasca operasi. Kesimpulan: Miringoplasti tandur lemak autologus dapat dilakukan di poliklinikdalam analgesi lokal dengan tingkat kesuksesan yang tinggi dan hanya menimbulkan rasa sedikit tidaknyaman bagi pasien. Pemilihan pasien yang tepat menjadikan prosedur ini sebagai salah satu teknikalternatif miringoplasti.  Kata kunci: miringoplasti, tandur lemak autologus, perforasi membran timpani
Komplikasi intratemporal dan intrakranial pada otitis media akut anak Harim Priyono; Ratna Dwi Restuti; Andre Iswara; Setyo Handryastuti
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 41, No 1 (2011): Volume 41, No. 1 January - June 2011
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (346.733 KB) | DOI: 10.32637/orli.v41i1.55

Abstract

Background: Acute otitis media (AOM) is an acute inflammation in the middle ear caused by various factors such as blockage of Eustachian tube, infection and allergy. Purpose: The case report is to forewarn general practitioners and ENT specialists concerning AOM potentially causes intratemporal and intracranial complications. Case: We report an eleven-years-old girl with acute otitis media with intratemporal complications (labirynthitis and sensorineural hearingloss) and intracranial complication (meningitis). Case management: The recent management of acute otitis media with complications includes  empiric antibiotics, analgesic, anti-inflammatory drugs and miringotomy with ventilation tube insertion. Conclusion: The accuracy of diagnosing AOM with complication depends on the clinical symptomps such as vertigo, fever, seizure, meningism and unconsciousness. The pneumatic otoscopy examination is the gold standard in diagnosing AOM. Our patient was given antibiotics for 14 days, anti- inflamation and myringotomy with ventilation tube insertion procedure. Keywords: acute otitis media, intracranial complications, intratemporal complications    Abstrak :  Latar belakang: Otitis media akut (OMA) merupakan peradangan akut yang berlangsung di telinga tengah akibat berbagai faktor predisposisi seperti sumbatan tuba Eustachius, infeksi dan alergi.Tujuan: Kasus ini diajukan untuk mengingatkan dokter umum maupun spesialis THT mengenali gejala komplikasi OMA pada anak yang mempunyai potensi menimbulkan komplikasi intratemporal dan intrakranial. Kasus: Dilaporkan satu kasus OMA dengan komplikasi intratemporal (labirintitis dan tuli saraf) dan intrakranial (meningitis) pada anak perempuan usia 11 tahun.Penatalaksanaan: Penatalaksanaan otitis media akut dengan komplikasi intrakranial dan intratemporal mencakup pemberian antibiotik empiris, analgetik, anti-inflamasi dan tindakan miringotomi dengan pemasangan pipa ventilasi. Kesimpulan: Ketepatan dalam mendiagnosis OMA dengan komplikasi tergantung pada gejala klinis yang bisa dikenali seperti pusing berputar, demam, kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran. Pemeriksaan otoskopi pneumatik merupakan gold standard dalam membantu diagnosis. Terapi untuk kasus ini terdiri atas antibiotik selama 14 hari, anti-inflamasi dan tindakan berupa miringotomi dengan pemasangan pipa ventilasi.Kata kunci: otitis media akut, komplikasi intrakranial, komplikasi temporal
A survey of Indonesian otolaryngologist behavior in medical service during the CoVid-19 pandemic Indra Zachreini; Jenny Bashiruddin; Susyana Tamin; Harim Priyono; Ika Dewi Mayangsari; Respati Ranakusuma; Natasha Supartono; Fikri Mirza Putranto; Dewo Aksoro; Selfiyanti Bimantara; Yussy Afriana Dewi; Kote Noordhianta; Bintang Napitupulu; Sagung Rai Indrasari; Nyilo Purnami; Tengku Siti Hajar Haryuna; Juliandi Harahap; Eka Savitri; Tjandra Manukbua
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 51, No 1 (2021): Volume 51, No. 1 January - June 2021
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v51i1.444

Abstract

Background: World Health Organization (WHO) announced a newly discovered virus that first identified in Wuhan, China on December 2019, namely SARS-CoV-2 as the cause of corona virus disease (COVID-19) which had become global pandemic. Doctors as medical practitioners are categorized as vulnerable group to be infected by corona virus, and many otorhinolaryngologists had been infected and even died in performing medical services. Among the causative factors why otorhinolaryngologists could get infected by corona virus is their behavior. Purpose: To assess the behavioral level of otorhinolaryngologists in medical services during Covid-19 pandemic. Method: Descriptive study with a cross sectional design. Research samples were otorhinolaryngologists in Indonesia who met the inclusions criteria. The samples were selected by consecutive sampling method, and obtained 1299 subjects. Behavioral level was assessed from 3 aspects: knowledge, attitude, and practice, which comprised of 12 questions. Result: It was found that 461 respondents had a good behavioral level (35.5%), 677 respondents had moderate levels (52.1%) and 161 respondents had low level (12.4%). There was a statistically significant correlation between knowledge with behavioral level, attitude with behavioral level, and practice with behavioral level (p=0.001). Conclusion: The study of behavioral level of otorhinolaryngologists in medical service during Covid-19 pandemic obtained the highest number was moderate level 677 respondents (57.2%), and there was a statistically significant correlations between the variable of knowledge with behavioral level, the variable of attitude with behavioral level, and the variable of practice with behavioral level (p=0.001).ABSTRAK Latar belakang: Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengumumkan virus baru yang pertama kali muncul di Wuhan China, pada Desember 2019, yaitu SARS-CoV-2 sebagai penyebab corona virus disease 19 (Covid 19) dan menyatakan sebagai pandemi. Dokter sebagai tenaga kesehatan merupakan kelompok yang rentan terinfeksi virus corona dan berdasarkan laporan, sudah banyak dokter Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher (THT-KL) yang terinfeksi bahkan meninggal dunia dalam pelayanan medis. Salah satu faktor penyebab dokter THT-KL terinfeksi oleh virus corona adalah tingkat perilaku dokter THT-KL. Tujuan: Mengetahui tingkat perilaku dokter THT-KL dalam melakukan pelayanan medis saat pandemi Covid 19. Metode: Penelitian deskriptif dengan rancangan studi potong lintang. Sampel penelitian adalah dokter THT-KL di Indonesia yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel secara berurutan, dan mendapatkan 1299 sampel. Tingkat perilaku dinilai dari 3 aspek yaitu dimulai dari pengetahuan, sikap dan tindakan yang terdiri dari 12 pertanyaan. Hasil: Didapatkan tingkat perilaku responden dokter THT-KL dalam pelayanan medis pada pandemi Covid 19, tingkat perilaku baik sebanyak 461 responden (35,4%), tingkat sedang 677 responden (52,1%), dan tingkat kurang 161 responden (12.4%). Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan tingkat perilaku, sikap dengan tingkat perilaku dan tindakan dengan sikap perilaku (p=0,001). Kesimpulan: Didapatkan tingkat perilaku dokter THT-KL dalam pelayanan medis pada pandemi covid 19, terbanyak adalah tingkat perilaku sedang sebanyak 677 responden (57,2%), dan terdapat hubungan yang bermakna antara variabel pengetahuan dengan tingkat perilaku, variabel sikap dengan tingkat perilaku dan variabel tindakan dengan tingkat perilaku dokter THT-KL dalam pelayanan medis pada pandemi Covid 19, dimana nilai p = 0,001. Kata kunci: perilaku, dokter THT-KL, pandemic, Covid-19
Tuberculous Otitis Media: a case report of hearing impairment in developing country Giovanni Reynaldo; Bernadina Chyntia Carsantiningrum; Harim Priyono
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 50, No 2 (2020): Volume 50, No. 2 July - December 2020
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v50i2.342

Abstract

ABSTRACTBackground: Tuberculosis is one of major health problems in developing countries, especially extrapulmonary tuberculosis. Tuberculous otitis media (TOM) is one of extrapulmonary manifestations which is a rare phenomenon characterized by painless otorrhea, insidious onset of ear discharge, multiple perforations in the tympanic membrane, and pale granulation tissues in middle ear cleft. Purpose: Reporting one rare case of TOM. Case Report: A 58-year-old male came with painless otorrhea and recurrent hearing impairment. Tympanomastoidectomy was carried out to repair the tympanic membrane, to cleanse the secret from the middle ear, and to obtain sample for biopsy. Histopathological examination showed necrotizing granuloma which contained mycobacterium tuberculosis infection. Medical treatment was administration of anti tuberculosis drugs. Clinical Question: How to establish TOM diagnosis? Review Method: Searching for literature evidence through Google Scholar. Result: The search obtained 20 journals which in accordance with the inclusion and exclusion criteria. There were similarities on clinical and therapeutic symptoms with this reported case. Discussion: In the reported case, the probable pathophysiology was bacterial aspiration through the Eustachian tube, which was just diagnosed during pre-operative screening. There was no apparent pulmonary tuberculosis symptom. Diagnosis TOM with mastoiditis was difficult, it required high skilled accuracy. Conclusion: TOM is a rare manifestation of extrapulmonary tuberculosis. High suspicion of TOM is needed in patients who did not respond to standard treatment. Treatment includes administration of anti-tubercular drugs, and surgical procedure to cleanse the secretion and granulation tissues. Permanent hearing loss can occur in cases of delayed diagnosis. ABSTRAKLatar belakang: Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan di negara berkembang, terutama tuberkulosis ekstra pulmonal. Otitis media tuberkulosa (OMT) merupakan salah satu manifestasi tuberkulosis ekstra pulmonal yang jarang terjadi dan ditandai dengan gejala klinis berupa keluar cairan dari telinga tanpa disertai rasa nyeri, onset penyakit berjalan lambat, terdapat perforasi multipel pada membran timpani, dan jaringan granulasi pucat di rongga telinga tengah. Tujuan: Melaporkan satu kasus OMT yang jarang ditemukan. Laporan Kasus: Seorang laki-laki 58 tahun datang dengan keluhan keluar cairan dari telinga tanpa disertai rasa nyeri, dan ada gangguan pendengaran berulang. Pada pasien dilakukan tindakan bedah timpanomastoidektomi untuk memperbaiki membran timpani yang rusak, membersihkan sekret, dan melakukan biopsi jaringan. Hasil pemeriksaan histopatologi didapati jaringan granuloma nekrotikans yang menunjukkan adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis. Diberikan terapi medikamentosa obat anti tuberkulosa. Pertanyaan Klinis: Bagaimana menegakkan diagnosa OMT? Telaah literatur: Penelusuran bukti kepustakaan melalui Google Scholar. Hasil: Penelusuran menghasilkan 20 jurnal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan memiliki kesamaan gejala klinis dan terapi dengan kasus yang dilaporkan. Diskusi: Pada kasus ini kemungkinan patofisologinya adalah aspirasi bakteri melalui tuba eustachius, dan OMT baru terdiagnosis saat dilakukan skrining pra-operasi. Tidak didapati gejala tuberkulosis paru. Diagnosis OMT dengan mastoiditis cukup sulit, diperlukan ketelitian yang tinggi. Kesimpulan: OMT merupakan manifestasi tuberkulosis ekstra pulmonal yang jarang terjadi. Perlu kecurigaan yang tinggi adanya OMT pada pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan standar. Penatalaksanaan meliputi pemberian obat anti tuberkulosa, dan tindakan bedah untuk mengeluarkan dan membersihkan sekret dan jaringan granulasi. Gangguan pendengaran permanen bisa terjadi pada kasus yang penatalaksaannya terlambat.
Peran blok servikal superfisialis pada timpanomastoidektomi dalam anestesia umum Pryambodho Pryambodho; Ruth Evlin Margaretha; Aida Rosita Tantri; Harim Priyono
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 45, No 1 (2015): Volume 45, No. 1 January - June 2015
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1779.824 KB) | DOI: 10.32637/orli.v45i1.100

Abstract

Pendahuluan: Blok perifer yang digunakan saat pasien teranestesi akan mengurangi kebutuhan anestesia dan analgesia selama pembedahan. Berkurangnya pemakaian opioid intraoperatif juga akan mengurangi morbiditas pascaoperatif yang berkaitan dengan opioid. Tujuan: Penelitian dilakukan untuk mengetahui peran Blok Pleksus Servikal Superfisialis (BPSS) dalam mengurangi konsumsi fentanil intraoperatif, menstabilkan hemodinamik intraoperatif, dan mempercepat waktu pulih pada timpanomastoidektomi dalam anestesia umum. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal yang dilakukan di RSCM selama bulan September-November 2013 pada 32 pasien usia 19-65 tahun, ASA I-III dengan berat badan 35-80 kg yang dibagi menjadi dua kelompok. Hasil: Pada kelompok BPSS, dilakukan BPSS sebelum induksi menggunakan bupivakain 0,5%, sedangkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan. Anestesia dipertahankan dengan FGF 0,8-1,6 lpm, compress air: O2 (konsentrasi 40%); isofluran ±1 MAC dan atrakurium 0,25 mg/kgBB setiap 30 menit untuk menjaga nilai BIS 45-60. Fentanil diberikan setiap ada peningkatan tekanan darah sistolik atau frekuensi nadi ≥20% dari nilai 5 menit sebelumnya. Saat 30 menit sebelum operasi selesai diberikan parasetamol 1 gram iv dan ondansetron 4 mg iv. Rerata konsumsi fentanil intraoperatif, tekanan darah sistolik, dan frekuensi nadi kelompok BPSS lebih rendah dan bermakna secara statistik dibandingkan kelompok kontrol: 150 mcg vs 262,5 mcg, p<0,001; 104 (90-112) vs 120 (110-130), p<0,001 dan 68 (62-86) vs 80 (68-100), p<0,001. Kesimpulan: Pemberian blok pleksus servikal superfisialis sebelum induksi mengurangi konsumsi fentanil intraoperatif, menekan respon hemodinamik terhadap insisi kulit, dan mempercepat waktu pulih pada timpanomastoidektomi dalam anestesia umum. Kata kunci: anestesia umum, blok pleksus servikal superfisialis, kecepatan waktu pulih, konsumsi fentanil, timpanomastoidektomiABSTRACT Background: The peripheral block combined with general anesthesia reduces intraoperative anesthesia and analgesia requirement. Reduced opioid consumption decreases postoperative morbidity related to opioid. Purpose: The aim of this study was to assess the role of superficial cervical plexus block (SCPB) before induction in reducing fentanyl consumption, stabilizing intraoperative hemodynamic, and speeding up recovery time in tympanomastoidectomy.  Methods: This single blind randomized clinical trial was conducted in RSCM from September to November 2013 on 32 ASA I-III patients, 13-65 years old, with body weight range 35-85 kg which were randomized into 2 groups. Result: SCPB was performed in SCPB group before induction using bupivacaine 0.5%, whereas in the control group was not performed. Anesthesia was maintained with FGF 0,8-1,6 lpm, compress air: O2 with O2 consentration 40%, isoflurane ± 1 MAC, and atracurium 0,5 mg/kgBW every 30 minutes to keep BIS level 45-60. Fentanyl was given when there was an increase in systolic blood pressure or pulse rate ≥20% more than the value of 5 minutes previously. Paracetamol 1 g iv and ondansetron 4 mg iv were given 30 minutes before the end of the surgery. The average intraoperative fentanyl consumption, systolic blood pressure, and pulse rate was lower and statistically significant in BPSS group compared to the control group: 150 mcg vs 262,5 mcg, p<0,001; 104 (90-112) vs 120 (110-130), p<0,001 and 68 (62-86) vs 80 (68-100), p<0,001 Conclusion: Administration of SCBP before induction, reduced the intraoperative fentanyl consumption, suppressed hemodynamic responses to skin incision and speed up recovery time on tympanomastoidectomy in general anesthesia. Keywords: general anesthesia, superficial cervical plexus block, recovery time, fentanyl consumption,tympanomastoidectomy
Factors Affecting Adverse Events Following SARS-CoV-2 Vaccine among Indonesian Ear, Nose, and Throat Specialist, and Residences Susyana Tamin; Jenny Bashiruddin; Indra Zachreini; Harim Priyono; Ika Dewi Mayangsari; Respati Ranakusuma; Natasha Supartono; Khoirul Anam; Anggina Diksita; Yussy Afriana Dewi; Sagung Rai Indrasari; Nyilo Purnami; Tengku Siti Hajar Haryuna; Juliandi Harahap; Eka Savitri; Tjandra Manukbua
eJournal Kedokteran Indonesia Vol. 10 No. 2 - Agustus 2022
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23886/ejki.10.165.129-37

Abstract

This study’s objectives were to investigate factors affecting the adverse events of the COVID-19 vaccine in Indonesia among health care workers and compare adverse events following SARS-CoV-2 vaccine using CoronaVac as the first and second dose and Moderna used as the booster third dose. A cross-sectional study was conducted using the Self-reporting Online Survey Platform (Google Form) from August to October 2021. Subjects included in the study were ENT specialists and residents all over Indonesia who had been vaccinated with both doses of CoronaVac COVID-19 vaccine and Moderna COVID-19 vaccine as a booster dose. Among a total of 1394 participants, 51.2% and 43.7% of subjects experienced adverse events following the first and second dose of the CoronaVac vaccine. Adverse events are significantly higher following the third dose of Moderna vaccine (95.3%) with p-value <0.001, odds ratio (OR) 26.63 (95% CI 19.87-35.7). Adverse events following the CoronaVac vaccine were significantly higher in females and individuals with comorbidities in the first dose (p=0.002 and p=0.04), and the second dose (p=0.008 and p=0.042). Adverse events following the Moderna vaccine were significantly higher in females (p=0.01) and lower in individuals ≥40 years of age (p=0.017). Comorbidity status did not affect adverse events following the Moderna vaccine. Keywords: adverse events, SARS-CoV-2, COVID-19, vaccine, otorhinolaryngology.   Faktor yang Mempengaruhi Efek Samping Vaksin SARS-CoV-2 terhadap Dokter Spesialis dan Residen Telinga, Hidung, dan Tenggorok di Indonesia Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efek samping vaksin COVID-19 di Indonesia pada petugas kesehatan dan membandingkan efek samping setelah vaksin SARS-CoV-2 menggunakan CoronaVac sebagai dosis pertama dan kedua dan Moderna sebagai booster dosis ketiga. Studi potong lintang dilakukan dengan menggunakan self-reporting survei online (Google Form) dari Agustus-Oktober 2021. Subjek yang termasuk dalam penelitian adalah dokter residen dan spesialis THT di Indonesia yang telah divaksinasi dengan kedua dosis vaksin CoronaVac COVID-19 dan vaksin Moderna COVID-19 sebagai dosis tambahan. Dari total 1394 peserta, 51,2% dan 43,7% subjek mengalami efek samping setelah dosis pertama dan kedua vaksin CoronaVac. Efek samping secara signifikan lebih tinggi setelah dosis ketiga vaksin Moderna (95,3%) dengan p-value <0,001, rasio odds (OR) 26,63 (95% CI 19,87-35,7). Efek samping setelah vaksin CoronaVac secara signifikan lebih tinggi pada wanita dan individu dengan penyakit penyerta pada dosis pertama (p=0,002 dan p=0,04), dan dosis kedua (p=0,008 dan p=0,042). Efek samping setelah vaksin Moderna secara signifikan lebih tinggi pada wanita (p=0,01), dan lebih rendah pada individu ≥ 40 tahun (p=0,017). Status komorbiditas tidak mempengaruhi efek samping setelah vaksin Moderna. Kata kunci: efek samping, SARS-CoV-2, COVID-19, vaksin, otorinolaringologi.
Co-Authors Afrina Yanti Ahmad Sulaeman Airlangga, Tri Juda Alia, Dina Alida Harahap Aminuyati Andre Iswara Anggina Diksita Ari Prayitno, Ari Arief, Wresty Arman, Fitri Ascobat, Purwantyastuti Ayu Astria Sriyana Ayu Astria Sriyana Bernadina Chyntia Carsantiningrum Bernie Endyarni Medise Bintang Napitupulu Brastho Bramantyo Cahyono, Arie Damayanti, Heditya Dewi Sumaryani Soemarko Dewo Aksoro Dini Widiarni Dora A Marpaung Eka Dian Safitri Eka Savitri Eka Savitri Fikri Mirza Putranto Giovanni Reynaldo Harahap, Juliandi Haryuna, Tengku Siti Hajar Hidayati, Anggi Puspa Nur Hidayatul Fitria Ika Dewi Mayangsari Indra Kusuma Indra Zachreini Indra Zachreini Indrati Suroyo Jenny Bashiruddin Jenny Bashiruddin Joedo Prihartono Juliandi Harahap Juliandi Harahap Kote Noordhianta Lazarus, Gilbert Lina Lasminingrum Mariska, Tara Candida Marpaung, Dora A Mayangsari, Ika Dewi Mayangsari, Ika Dwi Natasha Supartono Natasha Supartono Nyilo Purnami Pratamisiwi, Rindy Yunita Prihartanto, Joedo Priyanto, Suko Dwi Pryambodho Pryambodho Putri, Pingkan Permata Ranakusuma, Respati Ranakusuma, Respati Wulansari Rangga Rayendra Saleh Rangga Rayendra Saleh Ratna Dwi Restuti Respati Ranakusuma Respati Ranakusuma Respati W. Ranakusuma Restuti, Ratna Dwi Rianto Setiabudy Ruth Evlin Margaretha Safitri, Eka Dian Sagung Rai Indrasari Sagung Rai Indrasari Saleh, Rangga Rayendra Sari, Anita Amalia Selfiyanti Bimantara Setyo Handryastuti Setyo Handryastuti, Setyo Sitohang, Gortap Soetjipto, Damayanti Sriyana, Ayu Astria Supartono, Natasha Suryati, Irma Susyana Tamin Susyana Tamin Tamin, Susyana Tantri, Aida Rosita Tjandra Manukbua Tjandra Manukbua Wahyuni, Luh Kurnia Warto, Nirza Widayat Alviandi Widodo, Dini Widiarni Yussy Afriana Dewi Yussy Afriana Dewi Yusuf, Prasandhya Astagiri Zachreini, Indra Zizlavsky, Semiramis Zizlavsky, Semiramis