Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

PRODUKSI N-ASETILGLUKOSAMIN DARI KITIN KULIT UDANG DENGAN FERMENTASI MENGGUNAKAN Salmonella enterica STRAIN LT2 [PRODUCTION OF N-ACETYLGLUCOSAMINE FROM SHRIMP SHELLS’ CHITIN BY FERMENTATION USING Salmonella enterica STRAIN LT2] Yuniwaty Halim; Lucia Crysanthy Soedirga; Valentina Michelle
FaST - Jurnal Sains dan Teknologi (Journal of Science and Technology) Vol 6, No 2 (2022): NOVEMBER
Publisher : Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/jstfast.v6i2.5920

Abstract

Chitin is found abundantly in shrimp shells and can be converted into N-acetylglucosamine, which has a wide range of uses in the biomedical and industrial fields. Chitin can be produced using chitinase produced by bacteria through the fermentation process. Salmonella enterica strain LT2 was one of the chitinolytic bacteria that was isolated from shrimp shells. This research aimed to determine the best pH (5, 6, 7, 8, and 9) and temperature (32oC, 37oC, and 42oC) of fermentation, as well as fermentation time (2, 3, 4, 5, and 6 days) for the production of N-acetylglucosamine using the S. enterica strain LT2. Results showed that the highest production of N-acetylglucosamine occurred at the temperature of 37oC, pH of 8, and 4 days of fermentation, which produced 69.62 ± 1.00 g/L of N-acetylglucosamine. Furthermore, the highest N-acetylglucosamine production for the fermentation time occurred on the third day which produced 73.19 ± 1.63 g/L of N-acetylglucosamine.Bahasa Indonesia Abstract:Kitin banyak ditemukan pada cangkang udang dan dapat dipecah menjadi N-asetilglukosamin, yang banyak digunakan dalam dunia biomedik maupun industri lainnya. Kitin dapat diproduksi menggunakan kitinase yang dihasilkan oleh bakteri melalui proses fermentasi. Salmonella enterica strain LT2 merupakan salah satu bakteri kitinolitik yang diisolasi dari cangkang udang. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pH (5, 6, 7, 8, dan 9) dan suhu fermentasi (32oC, 37oC, dan 42oC) terbaik, serta lama fermentasi terbaik (2, 3, 4, 5, dan 6 hari) untuk produksi N-asetilglukosamin menggunakan S. enterica LT12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi N-asetilglukosamin diperoleh pada suhu fermentasi 37oC, pH 8, dan waktu fermentasi 4 hari, yang menghasilkan N-asetilglukosamin sebesar 69,62 ± 1,00 g/L. Selain itu, produksi N-asetilglukosamin tertinggi terjadi setelah fermentasi pada hari ketiga, yaitu sebesar 73,19 ± 1,63 g/L.
PEMANFAATAN TEH DAUN SALAM DALAM PEMBUATAN KOMBUCHA [UTILIZATION OF BAY LEAF TEA IN KOMBUCHA PRODUCTION] Yuniwaty Halim
FaST - Jurnal Sains dan Teknologi (Journal of Science and Technology) Vol 7, No 1 (2023): May
Publisher : Universitas Pelita Harapan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/jstfast.v7i1.6612

Abstract

Kombucha is a beverage made from tea and sugar, fermented with a symbiosis of bacteria and yeast. Kombucha is known for its health effect, therefore many traditional plants are used in the making of kombucha. Bay leaf or Syzygium polyanthum is one type of tropical plant that is often found in Indonesia. Bay leaf functions as an antioxidant, antiviral, antimicrobial, anti-inflammatory, and antitumor. In this research,  bay leaves were processed using different processing methods, namely fresh tea (unprocessed), black tea, and green tea to reduce their astringency. The aims of this research were to determine the best processing method for bay leaf to be used in kombucha making and to determine the best concentration of bay leaf tea and fermentation time in making kombucha. The bay leaf tea concentration of 30%, 40%, and 50% and fermentation time of 7, 10, and 13 days were used. Results showed that bay leaf was best processed using green tea method, with total phenolic content obtained of 240.29 ± 9.48 mg GAE/L, total flavonoids of 41.61 ± 0.97 mg QE/L, total condensed tannins of 371.03 ± 5.60 mg CE/L, and antioxidant activity with IC50 of  9605.58 ± 279.12 ppm. Furthermore, kombucha made with the addition of 50% bay leaf tea and fermentation time of 10 days was chosen because it had the best organoleptic characteristics and antioxidant activity with IC50 of 6920.10 ± 360.04 ppm, total phenolic content of 340.21 ± 0.45 mg GAE/L, and total flavonoid content of 122.21± 1.53 mg QE/L.Bahasa Indonesia Abstract:Kombucha merupakan produk minuman yang dibuat dari teh dan gula yang difermentasi menggunakan simbiosis bakteri dan khamir. Kombucha diketahui memiliki berbagai manfaat bagi kesehatan, sehingga banyak tanaman tradisional yang dimanfaatkan dalam pembuatan kombucha. Daun salam atau Syzygium polyanthum merupakan salah satu tanaman tropis yang banyak ditemukan di Indonesia. Daun salam diketahui berfungsi sebagai antioksidan, antivirus, antimikroba, antiinflamasi, dan antitumor. Pada penelitian ini, dan salam diproses dengan berbagai metode, yaitu teh segar (tanpa proses), teh hitam, dan teh hijau, untuk mengurangi rasa sepat daun salam. Tujuan penelitian ini adalah menentukan metode pengolahan daun salam terbaik untuk pembuatan kombucha, serta menentukan konsentrasi teh dan lama fermentasi terbaik dalam pembuatan kombucha. Adapun konsentrasi teh daun salam yang digunakan adalah 30, 40, dan 50%, dengan lama fermentasi 7, 10, dan 13 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pengolahan daun salam terbaik adalah dengan metode pengolahan teh hijau, yang menghasilkan total fenolik sebesar 240,29 ± 9,48 mg GAE/L, total flavonoid sebesar 41,61 ± 0,97 mg QE/L, total tanin terkondensasi sebesar 371,03 ± 5,60 mg CE/L, dan aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 9605,58 ± 279,12 ppm. Selain itu, kombucha yang dibuat dengan penambahan teh daun salam sebesar 50% dan lama fermentasi 10 hari merupakan formulasi terpilih karena memiliki karakteristik organoleptik terbaik, dan aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 6920,10 ± 360,04 ppm, total fenolik sebesar 340,21 ± 0,45 mg GAE/L, dan total flavonoid sebesar 122,21± 1,53 mg QE/L.
PENENTUAN KONDISI FERMENTASI DALAM PRODUKSI N-ASETILGLUKOSAMIN DARI KULIT UDANG MENGGUNAKAN BAKTERI Providencia stuartii Yuniwaty Halim; Ratna Handayani; Shella Trey Lamtoro; Hardoko Hardoko
Jurnal Sains dan Teknologi Pangan Vol 8, No 5 (2023): Jurnal Sains dan Teknologi Pangan
Publisher : JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN, UNIVERSITAS HALU OLEO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/jstp.v8i5.43422

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan jenis substrat, pH, suhu, dan lama fermentasi terbaik untuk menghasilkan N-asetilglukosamin oleh bakteri Providencia stuartii. Bakteri Providencia stuartii yang digunakan merupakan hasil isolasi dari penelitian sebelumnya. Kondisi fermentasi terbaik ditentukan dengan melakukan fermentasi pada berbagai suhu (32oC, 37oC, dan 42oC), pH (5, 6, 7, dan 8), serta lama fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi N-asetilglukosamin tertinggi dengan menggunakan substrat tepung cangkang udang dihasilkan pada suhu fermentasi 37oC dengan pH media 7 dan lama fermentasi 9 hari, yaitu sebesar 178.752,670 ± 1.774,478 ppm. Sedangkan konsentrasi N-asetilglukosamin tertinggi dengan menggunakan substrat kitin dihasilkan pada suhu fermentasi 37oC dengan pH media 8 dan lama fermentasi 4 hari, yaitu sebesar 68.789,00 ± 2682,65 ppm.
Immobilization of Providencia stuartii Cells in Papaya Trunk Wood for N-acetylglucosamine Production from Pennaeus vannamei Shrimp Shells Yuniwaty Halim; Steven Fausta Tantradjaja; Hardoko Hardoko; Ratna Handayani
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 13 No. 2 (2021): JURNAL ILMIAH PERIKANAN DAN KELAUTAN
Publisher : Faculty of Fisheries and Marine Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/jipk.v13i2.28011

Abstract

Highlight Research AbstractChitin is a natural compound found abundantly in shrimp shells. Chitin can be degraded to produce N-acetylglucosamine, which has wide applications in the food and pharmaceutical fields. Fermentation using chitinolytic microorganisms can be used to produce N-acetylglucosamine from shrimp shells' chitin. One of the strong chitinolytic bacteria that was isolated from previous research was Providencia stuartii. To provide better stability and efficiency in fermentation, P. stuartii cells were immobilized using entrapment method in papaya trunk wood. The aims of this research were to determine the optimum papaya trunk wood size, ratio of papaya trunk wood and growth medium, as well as the optimum fermentation cycle to produce N-acetylglucosamine from P. vannamei shrimp shells using submerged fermentation method. The research used experimental method with treatment of different sizes of papaya trunk wood (1 x 1 x 1 cm3, 1.5 x 1.5 x 1.5 cm3, and 2 x 2 x 2 cm3), different ratio of papaya trunk wood and growth medium (1:10, 1:15 and 1:20), and 4 fermentation cycles. Results showed that papaya trunk wood with size of 1 x 1 x 1 cm3 and ratio (w/v) of 1:10 could immobilize 87.08±2.05% of P. stuartii cells and produce the highest N-acetylglucosamine concentration, which was 238177.78±3153.48 ppm. The highest N-acetylglucosamine production was obtained from first fermentation cycle and decreased over the last three cycles, but still produced high concentration of N-acetylglucosamine. Therefore, it is possible to perform continuous N-acetylglucosamine production from shrimp shells using P. stuartii cells immobilized in papaya trunk wood. 
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA CIBUGEL MELALUI USAHA PENINGKATAN MUTU ALPUKAT BEKU TEROLAH MINIMAL Parhusip, Adolf; Cidarbulan Matita, Intan; Halim, Yuniwaty; Wijaya, Julia Ratna; Tri Nugroho, Raphael Dimas
Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR) Vol 6 (2023): INOVASI PERGURUAN TINGGI & PERAN DUNIA INDUSTRI DALAM PENGUATAN EKOSISTEM DIGITAL & EK
Publisher : Asosiasi Sinergi Pengabdi dan Pemberdaya Indonesia (ASPPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37695/pkmcsr.v6i0.2217

Abstract

Desa Cibugel merupakan salah satu desa di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten yang memiliki jumlah penduduk sekitar 12.069 jiwa dengan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai wiraswasta atau pedagang. Usaha yang telah dirintis oleh salah satu kelompok masyarakat Desa Cibugel adalah usaha buah beku (frozen fruit) dari alpukat. Namun, dalam pelaksanaan produksi usaha ini, masyarakat Desa Cibugel belum memiliki kesadaran akan pentingnya pengetahuan dalam penanganan pasca panen buah alpukat dan pengolahan buah alpukat beku yang benar. Hal ini terlihat dari perlakuan pekerja terhadap buah alpukat tersebut, seperti belum diaplikasikannya hygiene pekerja dan sanitasi area kerja, serta prosedur kerja yang kurang tepat. Penanganan yang belum optimal dapat meningkatkan risiko kontaminasi yang tidak diinginkan dan mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas pada buah alpukat beku. Berdasarkan informasi dan permasalah yang telah diperoleh, maka tim PKM Teknologi Pangan UPH melakukan kegiatan penyuluhan sanitasi pangan dan prosedur kerja untuk produk alpukat terolah minimal agar memberdayakan masyarakat Desa Cibugel melalui usaha peningkatan mutu buah alpukat beku. Kegiatan PKM ini dilakukan melalui survei, wawancara/diskusi, penyuluhan, pemberian video panduan, dan pemberian peralatan penunjang pada pelaku usaha alpukat terolah minimal (beku). Antusiasme peserta PKM dapat dilihat melalui sesi diskusi yang interaktif. Hasil evaluasi dari 84% responden menyatakan bahwa 100% peserta PKM merasa kegiatan PKM ini bermanfaat dan ingin mengikuti kembali kegiatan PKM yang serupa.