Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Jurnal Yudisial

MODEL PEMILIHAN SERENTAK DI INDONESIA Muhammad Anwar Tanjung; Derita Prapti Rahayu; Putri Ade Tami
Jurnal Yudisial Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i3.431

Abstract

ABSTRAKKajian ini mengeksplorasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 mengenai beberapa model dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan serentak di Indonesia. Fakta pemilu serentak lima kotak suara sebagai model penyelenggaraan pemilu serentak bukanlah satu-satunya gagasan yang berkembang dan diperdebatkan selama perubahan UUD NRI 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang Uji Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD NRI 1945 telah memberikan pilihan model pemilihan serentak di Indonesia. Oleh sebab itu, rumusan masalah dalam kajian ini ialah bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dapat menjadi landasan normatif yang mengarah kepada transformasi pemilihan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan UUD NRI 1945 dan putusan hakim sebagai bahan hukum primer dan hasil penelitian terkait sebagai bahan hukum sekunder. Temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa transformasi pemilihan di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan batasan/defenisi rezim pemilu dan rezim pemilu daerah/lokal. Rezim pemilu berdasarkan UUD NRI 1945 yakni Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD. Rezim pemilihan daerah/lokal adalah pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan bupati/wakil bupati maupun walikota/wakil walikota. Landasan normatif menuju transformasi pemilu dan model pemilihan di Indonesia dilakukan dengan penerapan e-rekap, penyederhanaan jumlah partai politik atau penggunaan proporsional tertutup, penataan ulang kelembagaan penyelenggara pemilu, model sosialisasi yang efektif, rekrutmen penyelenggara pemilu yang berintegritas, pengawasan dan penegakan hukum pemilu melalui khusus pemilu.Kata kunci: pemilu lima kotak; pemilihan serentak; peradilan khusus pemilu; uji materiil. ABSTRACTThis study explores the Constitutional Court Decision Number 55/PUU-XVII/2019 regarding several models in holding general elections and simultaneous elections in Indonesia. The fact that the simultaneous election of five ballot boxes as a model for simultaneous  elections is not the only idea that has developed and been debated during the amendment to the 1945 Constitution. The Constitutional Court Decision Number 55/PUU-XVII/2019 on the Judicial Review of Law Number 7 of 2017 concerning General Elections to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia has provided a choice of simultaneous election models in Indonesia. Therefore, the formulation of the problem in this study is how the judges’ considerations in the Constitutional Court Decision Number 55/PUUXVII/2019 can be a normative basis that leads to the transformation of elections in Indonesia. This study uses a normative legal method with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and the judges’ decisions as primary legal sources and the relevant research results as secondary legal sources. From the results of this study, it can be concluded that the electoral transformation in Indonesia is carried out by taking into account the boundaries/ definitions of the electoral regime, and the regional/local election regime. The election regime is based on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which includes the elections for the President and Vice President, DPR, DPD and DPRD. Regional/local election regimes cover the election of governors and deputy governors and regents/deputy regents as well as mayors/deputy mayors. The normative basis for the transformation of elections and electoral models in Indonesia is carried out by implementing e-recap, simplifying the number of political parties or using closed proportional, reorganizing election management institutions, implementing effective socialization models, logistics management, recruitment of election organizers of integrity, supervision and law enforcement through a special election court.Keywords: election of five ballot boxes; simultaneous election; special election court; judicial review.
NEGARA: ANTARA PENGUSAHA TAMBANG DAN TAMBANG RAKYAT Derita Prapti Rahayu; M Shidqon Prabowo; Faisal Faisal
Jurnal Yudisial Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i2.492

Abstract

ABSTRAKTulisan ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010, yang merupakan putusan mengenai uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Substansi yang krusial dalam putusan tersebut adalah telah membatalkan bunyi Pasal 52 ayat (1) yang mengatur mengenai luas wilayah izin usaha pertambangan seluas 5.000 hektare tidak berlaku lagi, di mana konsekuensinya untuk wilayah izin usaha pertambangan tidak memiliki luas minimal untuk ditambang. Permasalahan yang akan dibahas adalah pertama, bagaimanakah akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010? Kedua, bagaimanakah arah keberpihakan negara melalui putusan ini? Permasalahan akan dianalisis menggunakan metode hukum normatif, dengan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum tersier. Hasil analisis menemukan bahwa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 antara lain, menjadi tidak ada bedanya antara luas wilayah minimal bagi wilayah izin usaha pertambangan dan wilayah pertambangan rakyat. Arah keberpihakan negara melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 dinilai lebih berpihak pada pengusaha tambang, karena melalui putusan ini ada ketidakcermatan hakim terkait kata “rakyat” yang dimaksud lebih mengarah pada pengusaha tambang, bukan penambang rakyat. Putusan ini posisi negara membingungkan, membela hak rakyat atau membela hak pengusaha. Dengan tidak adanya minimal luas wilayah untuk usaha pertambangan. akan semakin menjadi tidak jelas perbedaan tambang rakyat dan usaha pertambangan, di luar juga terkait dampak lingkungan.Kata kunci: wilayah izin usaha pertambangan; izin pertambangan rakyat; wilayah pertambangan rakyat; tambang timah inkonvensional. ABSTRACT This writing is inspired by the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-VIII/2010, which is the decision towards the judicial review of Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining. The crucial substance in the decision is it annuls Article 52 paragraph (1) which regulates the range of the concession area of mining business for 5,000 hectares is invalid. As a result, the concession area of mining business doesn’t have a minimum range area for mining activities. The problems that will be discussed are rst, what are the legal consequences from the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-VIII/2010? Second, what direction does the state stand through this decision? The problems will be analyzed using normative legal methods with secondary data consisting of primary and tertiary legal materials. The analysis nds that the legal consequences of the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-VIII/2010, among others, there is no distinction between the minimum range area for the concession area of mining business and the people mining area. The state position tendency through the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-VIII/2010 is considered more likely in favor of mining entrepreneurs. There is a judge’s inaccuracy in the decision regarding the word “people” which tends to point to the mining entrepreneurs, not the people miners. The state position in this decision is ambiguous, whether it stands for the people’s rights or the entrepreneurs’ rights. With the absence of the minimum range area requirement for mining business, it becomes more obscure of the difference between people mining and corporate mining, likewise the environmental impact. Keywords: concession area of mining business; concession of people mining; area for people mining; unconventional stannary.
DELIK IZIN LINGKUNGAN YANG TERABAIKAN Derita Prapti Rahayu
Jurnal Yudisial Vol 8, No 2 (2015): FLEKSIBILITAS DAN RIGIDITAS BERHUKUM
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v8i2.53

Abstract

ABSTRAKDelik izin lingkungan dalam Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) akan dipidana. Terdapat aspek kontroversi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 258 K/Pid.Sus/2012 yang membenarkan Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 357/PID.B/2010/PN.Mdo tanggal 24 Mei 2011. Putusan itu menetapkan terdakwa VP bebas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum yaitu Pasal 99 ayat (1)jo. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Dalam kasus ini dakwaan penuntut umum dinilai tidak cermat dengan tidak mencantumkan delik yang berkaitan dengan pasal yang didakwakan, selain itu putusan hakim dinilai tidak memberikan perlindungan hukum pada masyarakat, cenderung berpikiran sempit dengan telah mengabaikan delik izin lingkungan yang terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan, tetapi hal itu tidak terdapat dalam dakwaan jaksa/penuntut umum. Hakim seharusnya tidak mengabaikan hal itu, karenatugas hakim adalah untuk mendapatkan kebenaran materiil yang pada hakikatnya untuk keadilan. Putusan ini juga bisa menjadi dasar bagi kasus-kasus  selanjutnya, di mana pihak yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal dan UKL/UPL tidak akan mengurus izin, mereka akan mengurus izin lingkungan dan izin usahanya jika sudah ada tuntutan delik di salah satu pasal dalam UUPPLH dan hal ini berakibat masyarakat tidak mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum atas kejahatan lingkungan.Kata kunci: delik lingkungan, izin lingkungan, amdal. ABSTRACTThe environmental offense concerning environmental permit in Article 109 of Law Number 32 of 2009 on Environmental Conservation and Preservation states that any person running any business and/or activities without an environmental permit as referred to in Article 36 paragraph (1) shall be subject to criminal offense. There is a controversial aspect in the Court Decision Number 258K/Pid.Sus/2012 justifying theCourt Decision Number 357/Pid.B/2010/PN.Mdo issued on May 24, 2011. The Defendant VP was acquitted, not proven legally and convincingly guilty of any offense as accused by the public prosecutor, referring to Article 99, paragraph (1) in  conjunction to Article 36, paragraph (1) of Law Number 32 of 2009. In this case, the accusation of the prosecutor is considered inaccurate because it does not point to the offense in the article prosecuted. Moreover, the court decision is deemed incapable of giving legal protection to the public, and apt to be narrow-minded disregarding the environmental offense on environmental permit which is proven in the examination at court, yet not indicated in the accusation. The judge shall not disregard it for taking into account that a judge is responsible to obtain material truth for the sake of justice. This decision may also be the basis for subsequent cases, in the event thatthe parties running business and/or activities that are subject to liability of Environmental Impact Assessment (EIA) and Environmental Management Effort (UKL)and Environmental Monitoring (UPL) but disregard the environmental permit, and will only take care of environmental permit and the operational authorization if there have been claim for environmental offense in one article in the Law on Environmental  Conservation and Preservation (UUPPLH), thus cause damages to the community to obtain legal certainty and the protection of the environmental offenses. Keywords: environmental offense, environmental permit, environmental impact analysis.