Articles
PENERAPAN TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DALAM MEWUJUDKAN PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA MURAH
I Ketut Tjukup;
Nyoman A. Martiana;
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra;
Nyoma Satyayudha Dananjaya;
I Putu Rasmadi Arsha Putra
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (348.559 KB)
|
DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.8
Hukum Acara Perdata sebagai hukum formil mempunyai fungsi untuk menegakkan hukum perdata materiil apabila ada pelanggaran. Hukum Acara Perdata adalah aturan main yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan. Hukum Acara Perdata yang masih berlaku sampai sekarang ialah hukum acara perdata peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yaitu HIR dan RBg. Banyak bidang Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman. Demikian juga dalam pelaksanaan dan penerapannya tidak dapat mewujudkan asas Trilogi Peradilan (sederhana, cepat dan biaya murah). Melalui penerapan Teori Hukum Pembangunan dalam pemeriksaan perkara perdata. Secara yuridis ketentuan Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR dan RBg memiliki kecenderungan untuk menghambat pelaksanaan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya murah. Dalam hal ini Teori Hukum Pembangunan sangat memegang peranan penting dalam pembaharuan hukum. Dapat disarankan hendaknya kedepan dibentuk hukum acara perdata yang bersifat nasional. Kata kunci: Hukum Acara Perdata, asas Trilogi Peradilan, Teori Hukum Pembangunan.
PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN BERDASARKAN HUKUM ACARA PERDATA YANG PLURALISTIK
I Ketut Tjukup;
Nyoman A. Martana;
Dewa N. Rai Asmara Putra;
Made Diah Sekar Mayang Sari;
I Putu Rasmadi Arsha Putra
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (740.014 KB)
|
DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.40
Hukum Acara Perdata yang berlaku sebagai dasar hukum dalam pemeriksaan perkara perdata di Indonesia sampai detik ini sangat pluralistik dan tersebar dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 masih tetap mempergunakan HIR (Reglement Indonesia yang diperbaharui STB 1941 No. 44 berlaku untuk wilayah hukum Jawa dan Madura), dan RBg (Reglement daerah seberang STB 1927 No. 227) berlaku luar Jawa dan Madura. Mencermati pluralistiknya hukum acara perdata Indonesia yang sampai sekarang belum memiliki Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata yang nasional, hukum acara yang demikian dalam penerapannya timbul multi interpretasi, sulit mewujudkan keadilan dan tidak menjamin kepastian hukum. Metode dalam penulisan ini ialah normatif dengan penelusuran bahan hukum primer dan sekunder. Pendekatan untuk menganalisis ialah pendekatan perundang-undangan, konseptual dan kasus. Hakim sebagai penegak hukum dan untuk mewujudkan keadilan tidak boleh mulut undang-undang, hakim harus progresif dan selalu memperhatikan perasaan keadilan para pihak dalam proses pemeriksaan di persidangan. Sebagaimana yang diatur oleh moralitas para pihak yang dilanggar selalu menginginkan keadilan atau penegakan hukum identik dengan penegakan keadilan. Dalam perkara perdata beraneka kepentingan akan dituntut hakim yang kritis, menguasai hukum secara koprehensif dan dapat mewujudkan hakikat keadilan dalam penegakan hukum berdasarkan hukum acara perdata yang fluralistik. Persoalan keadilan ialah persoalan yang sangat fundamental dalam penegakan hukum. Perwujudan keadilan haruslah didahului dengan kepastian hukum sehingga sangat diperlukan hukum acara perdata yang unifikasi atau tidak terlalu banyak multi interpretasi, yang akhirnya putusan Hakim yang adil dapat diketemukan. Jadi hukum acara perdata yang pluralistik dalam penerapannya banyak timbul hambatan, tidak mencerminkan kepastian hukum dan sangat sulit mewujudkan keadilan, sehingga sangat diperlukan satu kesatuan hukum acara perdata (unifikasi hukum).
Akibat Hukum Pendaftaran Penyelesaian Sengketa Alternatif
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra;
I Putu Rasmadi Arsha Putra
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 6, No 1 (2020): Januari - Juni 2020
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (238.474 KB)
|
DOI: 10.36913/jhaper.v6i1.102
Everyone is allowed to be in conflict with legal issues that exist in civil procedural law called cases that contain both disputes and those that do not contain disputes. Disputes are indeed important to mature the way of thinking, but more importantly must be agreed. Managing disputes means fi nding the best way to resolve them. The best way to resolve disputes is by means of a win-win solution in Act No. 30 of 1999 concerning Alternative Dispute Resolution (ADR). Settlement of disputes with ADR has the highest degree because it is really fi nished, not resolved the dispute, as long as each party obeys all the results of the agreement that has been made. In Article 6 paragraph (7) of Act No. 30 of 1999 concerning Alternative Dispute Resolution (ADR), the results of the agreement must be made in written form and must be registered with the District Court. This research focuses on studying the method of registration proposed in article 6 paragraph (7). Law No. 30 of 1999. The results of this study found facts regarding the payment of the results of the agreement to the District Court does not have any legal requirements for the parties related to legal certainty, justice and benefi ts for the agreement.
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI MEKANISME ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
I Ketut Tjukup;
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra;
Nyoman A. Martana I Putu Rasmadi Arsha P;
Kadek Agus Sudiarawan
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (972.431 KB)
|
DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.54
Pengaturan class action ke dalam hukum materiil teinspirasi dari pengaturan class action di Amerika pada Pasal 23 Us Federal of Civil Procedure yang telah menentukan persyaratan antara lain numerasity, commonality, typicality dan adequation of representation. Ketentuan hukum materiil di Indonesia belum dilengkapi dengan hukum acara tentang class action. Perkembangan berikutnya untuk lancarnya proses peradilan dan mengisi kekosongan hukum, Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 Hukum Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dengan digantinya UU No. 23 Tahun 1997 dengan UU No. 32 Tahun 2009, penerapan gugatan class action berpedoman pada PERMA tersebut. Pengaturan class action dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 dalam penerapannya masih banyak kekosongan hukum. Proses awal/sertifikasi sangat menentukan sekali apakah gugatan tersebut dapat diterima/masuk sebagai gugatan class action karenanya peran hakim aktif termasuk advocat/kuasa sangat memegang peranan sehingga sambil menunggu UU, hakim berkewajiban menambal sulam PERMA No. 1 Tahun 2002. Oleh karena PERMA No. 1 Tahun 2002 Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) pengaturannya sangat sumir, hakim dalam memeriksa gugatan perwakilan kelompok, khusus dalam proses awal/atau sertifikasi perlu melakukan studi komparasi ke negara-negara yang menganut sistem hukum anglo-saxon yang sudah lama menerapkan class action tersebut. Segala konsekwensi terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam gugatan perwakilan kelompok (class action). Adanya beberapa lingkungan badan peradilan dalam kekuasaan kehakiman sesuai dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman adanya kopetensi yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan (pengadilan negeri) sudah tentu hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus bijak terhadap hal tersebut.
ASAS INTEGRASI DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN VERSUS CITA-CITA KODIFIKASI DAN UNIFIKASI HUKUM ACARA PERDATA
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 4, No 1 (2018): Januari – Juni 2018
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (385.661 KB)
|
DOI: 10.36913/jhaper.v4i1.70
Civil procedure has important role in enforcing civil rights. Therefore codification and unification of civil procedure may guarantee the legal certainty which necessary and urgent in law enforcement. Philosophically, codification and unification is an idea in the development of national legal system. The regulation of civil procedure until nowadays is distributed into many parts of law and regulation, which mostly inherited from the Dutch Colonial Administration or substantive statutory laws enacted by the Indonesian legislative body and government. Since 1967, the bill of civil procedure had been ratifi ed in 13th plenary session of National Legal Reform Task Force (BPLPHN), which expected to be the new Indonesian civil procedure. However, until today, the bill is not ratifi ed yet to be a law by the parliament. There is an idea of codification and unification of civil procedure, on the other side there is integration principle, which adopted in Law of Bankruptcy and Suspension of Payment. The integration principle means that all civil procedural laws should be into one system of civil law. The main issue is that whether integration principle align with the idea of codification and unification. This article will answer the issue as a result of doctrinal research with statutory approach and conceptual approach.
PENERAPAN TEORI HUKUM PEMBANGUNAN DALAM MEWUJUDKAN PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA MURAH
I Ketut Tjukup;
Nyoman A. Martiana;
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra;
Nyoma Satyayudha Dananjaya;
I Putu Rasmadi Arsha Putra
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.8
Hukum Acara Perdata sebagai hukum formil mempunyai fungsi untuk menegakkan hukum perdata materiil apabila ada pelanggaran. Hukum Acara Perdata adalah aturan main yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan. Hukum Acara Perdata yang masih berlaku sampai sekarang ialah hukum acara perdata peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yaitu HIR dan RBg. Banyak bidang Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman. Demikian juga dalam pelaksanaan dan penerapannya tidak dapat mewujudkan asas Trilogi Peradilan (sederhana, cepat dan biaya murah). Melalui penerapan Teori Hukum Pembangunan dalam pemeriksaan perkara perdata. Secara yuridis ketentuan Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR dan RBg memiliki kecenderungan untuk menghambat pelaksanaan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya murah. Dalam hal ini Teori Hukum Pembangunan sangat memegang peranan penting dalam pembaharuan hukum. Dapat disarankan hendaknya kedepan dibentuk hukum acara perdata yang bersifat nasional. Kata kunci: Hukum Acara Perdata, asas Trilogi Peradilan, Teori Hukum Pembangunan.
PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN BERDASARKAN HUKUM ACARA PERDATA YANG PLURALISTIK
I Ketut Tjukup;
Nyoman A. Martana;
Dewa N. Rai Asmara Putra;
Made Diah Sekar Mayang Sari;
I Putu Rasmadi Arsha Putra
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.40
Hukum Acara Perdata yang berlaku sebagai dasar hukum dalam pemeriksaan perkara perdata di Indonesia sampai detik ini sangat pluralistik dan tersebar dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 masih tetap mempergunakan HIR (Reglement Indonesia yang diperbaharui STB 1941 No. 44 berlaku untuk wilayah hukum Jawa dan Madura), dan RBg (Reglement daerah seberang STB 1927 No. 227) berlaku luar Jawa dan Madura. Mencermati pluralistiknya hukum acara perdata Indonesia yang sampai sekarang belum memiliki Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata yang nasional, hukum acara yang demikian dalam penerapannya timbul multi interpretasi, sulit mewujudkan keadilan dan tidak menjamin kepastian hukum. Metode dalam penulisan ini ialah normatif dengan penelusuran bahan hukum primer dan sekunder. Pendekatan untuk menganalisis ialah pendekatan perundang-undangan, konseptual dan kasus. Hakim sebagai penegak hukum dan untuk mewujudkan keadilan tidak boleh mulut undang-undang, hakim harus progresif dan selalu memperhatikan perasaan keadilan para pihak dalam proses pemeriksaan di persidangan. Sebagaimana yang diatur oleh moralitas para pihak yang dilanggar selalu menginginkan keadilan atau penegakan hukum identik dengan penegakan keadilan. Dalam perkara perdata beraneka kepentingan akan dituntut hakim yang kritis, menguasai hukum secara koprehensif dan dapat mewujudkan hakikat keadilan dalam penegakan hukum berdasarkan hukum acara perdata yang fluralistik. Persoalan keadilan ialah persoalan yang sangat fundamental dalam penegakan hukum. Perwujudan keadilan haruslah didahului dengan kepastian hukum sehingga sangat diperlukan hukum acara perdata yang unifikasi atau tidak terlalu banyak multi interpretasi, yang akhirnya putusan Hakim yang adil dapat diketemukan. Jadi hukum acara perdata yang pluralistik dalam penerapannya banyak timbul hambatan, tidak mencerminkan kepastian hukum dan sangat sulit mewujudkan keadilan, sehingga sangat diperlukan satu kesatuan hukum acara perdata (unifikasi hukum).
Akibat Hukum Pendaftaran Penyelesaian Sengketa Alternatif
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra;
I Putu Rasmadi Arsha Putra
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 6, No 1 (2020): Januari - Juni 2020
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36913/jhaper.v6i1.102
Everyone is allowed to be in conflict with legal issues that exist in civil procedural law called cases that contain both disputes and those that do not contain disputes. Disputes are indeed important to mature the way of thinking, but more importantly must be agreed. Managing disputes means fi nding the best way to resolve them. The best way to resolve disputes is by means of a win-win solution in Act No. 30 of 1999 concerning Alternative Dispute Resolution (ADR). Settlement of disputes with ADR has the highest degree because it is really fi nished, not resolved the dispute, as long as each party obeys all the results of the agreement that has been made. In Article 6 paragraph (7) of Act No. 30 of 1999 concerning Alternative Dispute Resolution (ADR), the results of the agreement must be made in written form and must be registered with the District Court. This research focuses on studying the method of registration proposed in article 6 paragraph (7). Law No. 30 of 1999. The results of this study found facts regarding the payment of the results of the agreement to the District Court does not have any legal requirements for the parties related to legal certainty, justice and benefi ts for the agreement.
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI MEKANISME ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
I Ketut Tjukup;
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra;
Nyoman A. Martana I Putu Rasmadi Arsha P;
Kadek Agus Sudiarawan
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.54
Pengaturan class action ke dalam hukum materiil teinspirasi dari pengaturan class action di Amerika pada Pasal 23 Us Federal of Civil Procedure yang telah menentukan persyaratan antara lain numerasity, commonality, typicality dan adequation of representation. Ketentuan hukum materiil di Indonesia belum dilengkapi dengan hukum acara tentang class action. Perkembangan berikutnya untuk lancarnya proses peradilan dan mengisi kekosongan hukum, Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 Hukum Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dengan digantinya UU No. 23 Tahun 1997 dengan UU No. 32 Tahun 2009, penerapan gugatan class action berpedoman pada PERMA tersebut. Pengaturan class action dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 dalam penerapannya masih banyak kekosongan hukum. Proses awal/sertifikasi sangat menentukan sekali apakah gugatan tersebut dapat diterima/masuk sebagai gugatan class action karenanya peran hakim aktif termasuk advocat/kuasa sangat memegang peranan sehingga sambil menunggu UU, hakim berkewajiban menambal sulam PERMA No. 1 Tahun 2002. Oleh karena PERMA No. 1 Tahun 2002 Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) pengaturannya sangat sumir, hakim dalam memeriksa gugatan perwakilan kelompok, khusus dalam proses awal/atau sertifikasi perlu melakukan studi komparasi ke negara-negara yang menganut sistem hukum anglo-saxon yang sudah lama menerapkan class action tersebut. Segala konsekwensi terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam gugatan perwakilan kelompok (class action). Adanya beberapa lingkungan badan peradilan dalam kekuasaan kehakiman sesuai dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman adanya kopetensi yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan (pengadilan negeri) sudah tentu hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus bijak terhadap hal tersebut.
ASAS INTEGRASI DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN VERSUS CITA-CITA KODIFIKASI DAN UNIFIKASI HUKUM ACARA PERDATA
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 4, No 1 (2018): Januari – Juni 2018
Publisher : Departemen Hukum Perdata
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36913/jhaper.v4i1.70
Civil procedure has important role in enforcing civil rights. Therefore codification and unification of civil procedure may guarantee the legal certainty which necessary and urgent in law enforcement. Philosophically, codification and unification is an idea in the development of national legal system. The regulation of civil procedure until nowadays is distributed into many parts of law and regulation, which mostly inherited from the Dutch Colonial Administration or substantive statutory laws enacted by the Indonesian legislative body and government. Since 1967, the bill of civil procedure had been ratifi ed in 13th plenary session of National Legal Reform Task Force (BPLPHN), which expected to be the new Indonesian civil procedure. However, until today, the bill is not ratifi ed yet to be a law by the parliament. There is an idea of codification and unification of civil procedure, on the other side there is integration principle, which adopted in Law of Bankruptcy and Suspension of Payment. The integration principle means that all civil procedural laws should be into one system of civil law. The main issue is that whether integration principle align with the idea of codification and unification. This article will answer the issue as a result of doctrinal research with statutory approach and conceptual approach.