Elfia Farida
Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

EFEKTIVITAS PIAGAM ASEAN (ASEAN CHARTER) BAGI ASEAN SEBAGAI ORGANISASI INTERNASONAL Elfia Farida
Qistie Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 3 (2009): Qistie
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31942/jqi.v3i3.577

Abstract

Berlakunya Piagam ASEAN, akan merubah ASEAN dari suatu asosiasi longgar menjadirule-based organization dan mempunyai legal personality. Piagam ASEAN merupakandokumen konstitusional yang memuat tentang norma-norma, penegasan tentangkedaulatan, hak, kewajiban dan sejumlah kekuasaan dalam proses legislatif, eksekutif danyudisial. Piagam ASEAN juga menegaskan bahwa negara-negara anggota mampumengadopsi nilai-nilai demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Dalam halpengambilan keputusan, ASEAN tetap menggunakan cara konsensus dan KTT ASEANmenjadi tempat tertinggi pengambilan keputusan jika konsensus tidak tercapai atau jikasengketa di antara negara anggotanya terjadi. Sengketa wajib diselesaikan secara damaisesuai dengan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (Treaty of Amityand Cooperation in Southeast Asia /TAC). Oleh karena itu efektivitas Piagam ASEANbagi ASEAN sebagai organisasi internasional dapat dipandang dari kepatuhan dankesediaan negara-negara anggota ASEAN untuk menerapkan Piagam ASEAN dan halhalyang diatur dalam TAC.Kata kunci : ASEAN, Piagam ASEAN
KEWAJIBAN NEGARA INDONESIA TERHADAP PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TELAH DIRATIFIKASI (Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers of Their Families) Elfia Farida
Administrative Law and Governance Journal Vol 3, No 1 (2020): Administrative Law & Governance Journal
Publisher : Administrative Law Department, Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (555.342 KB) | DOI: 10.14710/alj.v3i1.182-191

Abstract

International agreements have advantages over other sources of international law. International agreements are used consistently as a tool for cooperation or peaceful relations between countries regardless of their political, economic and social systems. Indonesia has also taken many binding actions on international treaties. If Indonesia is bound by an international agreement, then it is obliged not to carry out something that is contrary to the essence, purpose and purpose of the international agreement and morally must obey obligations arising from the existence of the international agreement in good faith (pacta sunt servanda). The International Convention on The Protection of the Rights of All Migrant Workers of Their Families has been ratified through Law No. 6 of 2012 so that Indonesia is obliged to realize the rights set out in the Convention into law in force in Indonesia, as a form of State protection for Indonesian migrant workers and members of their families. Keywords: state obligations, international treaties, ratification Abstrak Perjanjian internasional mempunyai kelebihan dibandingkan sumber hukum internasional lainnya. Perjanjian internasional digunakan secara konsisten sebagai alat kerja sama atau hubungan damai antar negara apapun sistem politik, ekonomi dan sosialnya. Indonesia juga telah banyak melakukan tindakan pengikatan terhadap perjanjian internasional. Apabila Indonesia sudah terikat pada suatu perjanjian internasional, maka berkewajiban untuk tidak melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan esensi, maksud dan tujuan perjanjian internasional dan secara moral harus mentaati kewajiban-kewajiban yang timbul akibat adanya perjanjian internasional tersebut dengan iktikad baik (pacta sunt servanda).  International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers of Their Families  telah diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 2012 sehingga Indonesia berkewajiban merealisasikan hak-hak yang diatur dalam Konvensi ke dalam hukum yang berlaku di Indonesia, sebagai wujud pelindungan Negara kepada pekerja migran Indonesia dan anggota keluarganya. Kata Kunci:  kewajiban negara, perjanjian internasional, ratifikasi
PENERAPAN CONVENTION ON THE PREVENTION AND PUNISHMENT OF THE CRIME OF GENOCIDE DALAM SENGKETA ANTARA GAMBIA DAN MYANMAR Michael Frederijk Tampubolon; F. X. Joko Priyono; Elfia Farida
Diponegoro Law Journal Vol 11, No 2 (2022): Volume 11 Nomor 2, Tahun 2022
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (671.604 KB)

Abstract

Di tengah kepesatan kemajuan teknologi, dugaan pelanggaran konvensi genosida terhadap Myanmar atas etnis Rohingya telah menjadi isu HAM di dunia. Dalam kasus ini, Myanmar dituntut oleh negara yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tindakan dalam negeri Myanmar. Negara tersebut adalah Negara Gambia, suatu negara di Afrika Selatan, yang menggugat Myanmar di Mahkamah Internasional pada tahun 2020. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah Gambia memiliki kapasitas hukum untuk memperkarakan Myanmar kepada Mahkamah Internasional, dan bagaimanakah penegakkan hukum terhadap perkara antara Gambia v Myanmar tersebut. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian normatif yang mendasarkan pada analisis bahan-bahan hukum sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gambia memiliki kapasitas hukum dalam menggugat Myanmar dengan berdasarkan pada Konvensi Genosida melalui Mahkamah Internasional. Namun, mengingat Myanmar belum menyerahkan yurisdiksinya kepada Mahkamah Internasional. Dalam hal ini, kasus tersebut bisa dialihkan kepada Dewan Keamanan PBB, yang nantinya dapat membentuk lembaga subsider untuk melakukan penyelidikan terkait genosida, sehingga dapat diselesaikan baik melalui Peradilan Ad Hoc, atau melalui Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
PERANAN PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA DAN AFRICAN UNION (AU) DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK BERSENJATA NONINTERNASIONAL DI DARFU Balqis Hanya Alfiana, Joko Setiyono*), Elfia Farida
Diponegoro Law Journal Vol 2, No 3 (2013): Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (330.6 KB)

Abstract

Non-International armed conflict that occured in Darfur Sudan is the continued conflict between Northern Sudan and Southern Sudan. It seemed a coincidence that the Darfur crisis broke out soon after the signing of Machakos Protocol, 20 July 2002. The conflict involving the Sudan’s government aided militant group called the Janjaweed against the rebel Sudan Liberation Movement / Army (SLM / A) and the Justice Equality Movement (JEM) which is based on the struggle for natural resources between community groups Arab and groups nonArab who’s live in Darfur. Janjaweed accused of human rights violations, including torture, kidnapping, rape, looting and other. This became the international spotlight. Therefore, the United Nations (UN) and African Union (AU) decided to intervention in to Darfur conflict by acting as a mediator to reach a peace agreement between Sudan’s government, SLM/Aand JEM.                The Sudanese government presurred by United Nations and the African Union to support ongoing Peacekeeping Operation. UNAMID managed to bring peace to the Sudan by signing the "Doha Document" on February 23, 2010 in Doha, Qatar. This document contains the ceasefire agreement and agreed to work toward a full peace agreement by the Sudanese government, the Janjaweed, the SLM / A and JEM.
UPAYA NEGARA CHINA DALAM PEMBERSIHAN SAMPAH LUAR ANGKASA MENGGUNAKAN LASER RAKSASA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Farah Habiba; Agus Pramono; Elfia Farida
Diponegoro Law Journal Vol 8, No 3 (2019): Volume 8 Nomor 3, Tahun 2019
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.009 KB)

Abstract

China sebagai salah satu negara yang banyak meluncurkan benda angkasa memiliki kewajiban untuk menjaga kebersihan dan keamanan antariksa sesuai dengan hukum internasional yang berlaku. China melakukan upaya pembersihan antariksa melalui laser raksasa yang ditembakkan dari bumi untuk menghancurkan rongsokan satelit miliknya yang tidak terpakai. Upaya China tersebut menghasilkan banyak kritik karena dinilai tidak sejalan dengan prinsip-prinsip di dalam Space Treaty 1967, The Limited Test Ban Treaty 1963 dan Pedoman Mitigasi Sampah Luar Angkasa. Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Upaya China tidak dapat dipersalahkan berdasarkan ketentuan Space Treaty 1967 karena upaya laser raksasa sama sekali tidak menggunakan senjata nuklir atau senjata pemusnah masal lainnya dan upaya tersebut tidak menimbulkan interferensi terhadap satelit lain. China juga tidak dapat dipersalahkan berdasarkan The Limited test ban Treaty 1963 karena bukan anggota dari perjanjian tersebut, akan tetapi upaya China tersebut mencerminkan pengabaian terhadap ruang lingkup pedoman mitigasi yaitu dengan penghancuran yang disengaja dari pesawat luar angkasa milik China secara signifikan meningkatkan risiko tabrakan ke pesawat angkasa lainnya. Dampak positif yang ditimbulkan yaitu  upaya tersebut dianggap efektif karena dapat menjangkau segala ukuran Sedangkan dampak negatifnya yaitu terdapat suatu ketidaksempurnaan bahwa dalam penghancuran tersebut mengingat tidak semuanya menjadi puing-puing yang berukuran kecil. Sehingga disarankan kepada negara-negara agar selalu tunduk kepada Perjanjian Internasional dalam melakukan pemanfaatan ruang angkasa. Selain itu, China harus bertanggung jawab atas kesalahannya dengan membayarkan ganti rugi kepada Rusia karena telah menimbulkan kerugian terhadap satelit BLITS milik Rusia dan untuk negara lain yang mengalami hal serupa disarankan untuk melakukan tuntutan kepada negara yang benda angkasanya mengakibatkan kerusakan.
TINJAUAN YURIDIS PENYERANGAN TERHADAP STAF PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) OLEH TALIBAN DI AFGHANISTAN Muhammad Ridho Ramadhenta; Peni Susetyorini; Elfia Farida
Diponegoro Law Journal Vol 8, No 3 (2019): Volume 8 Nomor 3, Tahun 2019
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.759 KB)

Abstract

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menjalankan tugasnya melalui utusannya dilindungi oleh hak kekebalan dan keistimewaan yang diatur dalam Konvensi Wina 1975 dan Convention on the privilege and immunities of the United Nations 1946.Namun dalam praktiknya penerapan kekebalan dan keistimewaan belum dapat diterapkan secara maksimal. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus penyerangan terhadap staf PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) oleh Taliban di Afghanistan yang menewaskan diantaranya 2 (dua) delegasi PBB yaitu Lydia Wonwenne dan Jossie Esto yang sedang bertugas mengawal pemilihan presiden di Afghanistan. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait pelindungan terhadap staf PBB menurut ketentuan hukum internasional dan pertanggungjawaban Afghanistan sebagai negara penerima dalam hal terjadi pelanggaran terhadap kekebalan dan keistimewaan staf PBB.
KEWAJIBAN NEGARA MELINDUNGI PEREMPUAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG (STUDI KASUS: PERDAGANGAN 11 PEREMPUAN DI SUKABUMI DENGAN MODUS PERKAWINAN TAHUN 2018) Maureen Sofia Christy; Rahayu Rahayu; Elfia Farida
Diponegoro Law Journal Vol 8, No 3 (2019): Volume 8 Nomor 3, Tahun 2019
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.927 KB)

Abstract

Penelitian ini di latar belakangi oleh perkawinan transnasional yang merupakan bagian dari perdagangan orang yang bertujuan untuk eksploitasi seksual. Bentuk perdagangan orang ini lebih banyak menimpa perempuan dikarenakan masih adanya kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dan secara fisik lebih lemah dibandingkan laki-laki sehingga kecil kesempatan untuk melawan. Misalnya, kasus 11 perempuan di Sukabumi yang di perdagangkan ke China dengan modus perkawinan transnasional. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dimanapun ia berada. Latar belakang ini menimbulkan permasalahan mengenai apakah kasus terhadap 11 perempuan di Sukabumi yang dikirim ke China untuk dinikahkan merupakan kategori perdagangan orang serta bagaimana bentuk pertanggungjawaban negara terhadap korban perdagangan orang. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan doktrinal dengan spesifikasi penelitian yaitu deskriptif analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan. Analisis data dilakukan menggunakan metode kualitatif.Perdagangan orang secara umum merujuk pada perekrutan ataupun pengiriman dengan cara penipuan. Kasus perekrutan dan pengiriman 11 perempuan dari Indonesia ke China dengan cara penipuan menggunakan modus perkawinan merupakan kategori perdagangan orang. Oleh karena itu negara mempunyai kewajiban untuk melindungi, menghormati, memenuhi HAM warga negaranya walaupun belum secara maksimal karena belum adanya putusan akhir dari kasus tersebut. 
ANALISIS PERBEDAAN PERLAKUAN UNI EROPA TERHADAP CATALONIA DAN KOSOVO BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN REFERENDUM Muhammad Yazid Athalla; Elfia Farida; Joko Setiyono
Diponegoro Law Journal Vol 11, No 3 (2022): Volume 11 Nomor 3, Tahun 2022
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Referendum merupakan salah satu bentuk dari hak menentukan nasib sendiri. Kosovo dan Catalonia merupakan contoh wilayah yang pernah melakukan upaya referendum. Kosovo berhasil memerdekakan diri dari Serbia, sedangkan Catalonia gagal memerdekakan diri dari Spanyol. Kegagalan tersebut membuat masyarakat Catalonia meminta kehadiran Uni Eropa untuk hadir membantu. Namun Uni Eropa menolak untuk membantu Catalonia dan menyerahkan penyelesaian isu referendum ke pemerintah Spanyol. Respon yang diberikan oleh Uni Eropa berbeda dengan konflik referendum yang pernah terjadi di Kosovo. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk menganalisis dan mengetahui bagaimana proses pelaksanaan referendum di kedua wilayah tersebut dan mengapa Uni Eropa memiliki respon yang berbeda terhadap Catalonia. Metode pendekatan yang digunakan ialah metode normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat beberapa faktor yang membuat adanya perbedaan respon Uni Eropa terhadap konflik referendum di Catalonia, diantaranya ialah dianggap tidak mengancam keamanan internasional.
PERAN UNODC DALAM MEMBERANTAS PERDAGANGAN NARKOTIKA GLOBAL YANG MELALUI AKSES LAUT Alfirza Dafrin Achmad Ichwani; Lazarus Tri Setyawanta Rebala; Elfia Farida
Diponegoro Law Journal Vol 11, No 4 (2022): Volume 11 Nomor 4, Tahun 2022
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu wujud dari kejahatan transnasional terorganisir yang mengancam stabilitas keamanan dunia adalah perdagangan narkotika global. Pandemi COVID-19 beberapa tahun ini juga telah membuat sindikat perdagangan narkotika global beradaptasi dengan adanya pembatasan perjalanan dan penutupan perbatasan darat dan udara. Akibatnya, terjadi peningkatan penggunaan rute laut dalam perdagangan narkotika global. Semua negara bergantung pada keamanan laut, oleh sebab itu dalam mengatasi perdagangan narkotika global yang melalui akses laut diperlukan pendekatan lintas negara. Dalam penelitian ini permasalahan diuraikan lebih lanjut menggunakan pendekatan yuridis-normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif. UNODC sebagai salah satu kantor PBB yang memiliki misi untuk berkontribusi membuat dunia lebih aman dari kejahatan, khususnya dalam hal ini perdagangan narkotika global yang melaui akses laut beserta dengan negara-negara anggota berkomitmen untuk memberantas perdagangan narkotika global melalui akses laut dengan berbagai program dan kerjasama seperti The Global Maritime Crime Programme (GMCP), Program Governance Committee, serta berbagai macam program lainnya termasuk kampanye dan pelatihan.
INKONSISTENSI HAK VETO ANGGOTA TETAP DEWAN KEAMANAN PBB DENGAN PRINSIP SOVEREIGN EQUALITY (STUDI KASUS VETO RUSIA DALAM REFERENDUM CRIMEA) Mutiria Anastasya Darmansyah; Elfia Farida; Peni Susetyorini
Diponegoro Law Journal Vol 11, No 3 (2022): Volume 11 Nomor 3, Tahun 2022
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hak veto dalam Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB untuk lima anggota tetap Dewan Keamanan memungkinkan Cina, Rusia, Amerika Serikat, Inggris dan Prancis untuk menjatuhkan suara negatif pada rancangan resolusi non-prosedural mengenai pemeliharaan perdamaian internasional dan keamanan. Di sisi lain, PBB mengakui Prinsip Persamaan Kedaulatan yang menjamin posisi yang setara bagi semua negara anggota dan membebankan hak dan kewajiban yang sama. Permasalahan mengenai inkonsistensi antara hak veto dengan prinsip persamaan kedaulatan serta akibat hukum dari penjatuhan sebuah veto terhadap sebuah draft resolusi menjadi relevan. Salah satu kasus yang menggarisbawahi perbedaan ini adalah mengenai draft resolusi mengenai Referendum Crimea yang diveto oleh Rusia pada tahun 2014. Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Hukum Doktrinal dengan penilitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat sebuah inkonsistensi antara Hak veto dan prinsip persamaan kedaulatan, karena keberadaan hak veto menyebabkan sebuah perbedaan kemampuan antara anggota tetap dan tak tetap. Akibat hukum dari veto Rusia pada kasus referendum Crimea adalah kegagalan untuk menghentikan Referendum Crimea yang dinilai tidak sah, serta mengakibatkan ketidakjelasan status hukum Crimea setelah referendum yang tidak diakui oleh masyarakat internasional. Adapun karena itu pula, konflik Rusia dan Ukraina semakin memanas sampai pada tahun 2022.