Doddy Tavianto
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 33 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 33 Documents
Search

Keberhasilan Early Goal-Directed Therapy dan Faktor Pengganggu pada Pasien Sepsis Berat di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung yang Akan Menjalani Pembedahan Mira Silviana; Doddy Tavianto; Rudi Kurniadi Kadarsah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1334.707 KB)

Abstract

Early goal directed therapy (EGDT) bertujuan menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien sepsis berat dan syok sepsis namun pelaksanaannya sering menemukan kendala. Tujuan penelitian ini mengevaluasi keberhasilan EGDT pada pasien sepsis berat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung yang menjalani pembedahan serta mencari faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan EGDT. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif observasional pada bulan Juni–Agustus 2014 dengan subjek penelitian pasien IGD berusia >14 tahun dalam kondisi sepsis berat yang menjalani pembedahan. Keberhasilan EGDT ditentukan berdasar atas pedoman surviving sepsis campaign. Hasil penelitian dari 30 pasien didapatkan 27 pasien berhasil dilakukan EGDT, sedangkan 3 pasien meninggal. Faktor yang memengaruhi EGDT, yaitu faktor medis, kecepatan dalam mendiagnosis sepsis berat, lama pemeriksaan penunjang, faktor koagulasi yang memanjang, dan faktor nonmedis, yaitu lamanya keputusan keluarga, prosedur pengurusan administrasi, dan ketersediaan alat. Simpulan, keberhasilan EGDT di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin dengan faktor medis dan nonmedis sebagai faktor pengganggu yang berperan dalam keberhasilan pelaksanaannya. Kata kunci:  Early goal directed therapy (EGDT), pembedahan, sepsis beratThe Success of Early Goal-Directed Therapy and its Confounding Factors in Patients with Severe Sepsis Admitted to the Emergency Room of Dr. Hasan Sadikin General Hospital for SurgeryEarly goal-directed therapy (EGDT) is conducted to reduce morbidity and mortality in patients with severe sepsis and septic shock. The purpose of this study was to evaluate the success of EGDT in patients with severe sepsis in the emergency room (ER) of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung who were going to undergo surgery and the factors that contributed to the success of EGDT. This study was a descriptive observational study that took place in June–August 2014. Subjects were ER patients, aged over 14 years old, who came with severe sepsis condition and were going to undergo surgery. The successful EGDT in this study was determined according to the surviving sepsis campaign (SSC) guideline such as a central venous pressure of 8–12 mmHg, mean arterial pressure of >65 mmHg, and central venous saturation of >70%. In this study, from 30 patients, 27 patients  successfully underwent EGDT and the remaining 3 patients did not survive. Factors that affect the implementation of EGDT were divided into two factors: medical and non-medical factors.  Medical factors were time needed to diagnose patient with severe sepsis, delay in laboratory findings, and abnormality of coagulation factors. The non-medical factors were family consent, procedures related to health insurance, and the availability of central venous catheter. In conclusions, EGDT is successfully achieved in 90% patients with severe sepsis in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.  Factors that contribute to the successful achievement of EGDT include medical and non-medical factors.Key words: Early goal directed therapy, surgery, severe sepsis DOI: 10.15851/jap.v3n2.580
Perbandingan Angka Keberhasilan Pemasangan Laryngeal Mask Airway (LMA) Jenis Klasik pada Usaha Pertama antara Teknik Balon Dikempiskan dan Dikembangkan Sebagian pada Pasien Dewasa Yustisa Sofirina Harahap; Doddy Tavianto; Eri Surahman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (405.299 KB) | DOI: 10.15851/jap.v4n1.743

Abstract

Laryngeal mask airway (LMA) jenis klasik merupakan alat bantu jalan napas supraglotis yang paling sering digunakan sebagai alternatif pilihan dari intubasi endotrakeal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan angka keberhasilan pemasangan LMA jenis klasik pada usaha pertama antara teknik balon dikempiskan dan dikembangkan sebagian pada pasien dewasa. Penelitian dilakukan dengan uji acak lengkap terkontrol tersamar tunggal terhadap 70 pasien yang berusia 18–60 tahun dan status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) I–II yang menjalani operasi terencana dengan anestesi umum, dan tidak terdapat kontraindikasi pemasangan LMA di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Dilakukan randomisasi blok permutasi dan dikelompokkan menjadi kelompok teknik balon dikempiskan dan kelompok teknik balon dikembangkan sebagian. Data hasil penelitian dianalisis dengan uji chi-kuadrat dan Uji Mann-Whitney dengan p<0,05 dianggap bermakna. Penelitian ini berlangsung pada Februari–Maret 2015. Hasil penelitian menunjukkan teknik balon dikembangkan sebagian angka keberhasilan lebih tinggi 33 dari 35 dibanding dengan balon dikempiskan 27 dari 35 pada usaha pertama yang berbeda bermakna (p<0,05). Simpulan, teknik pemasangan LMA jenis klasik pada pasien dewasa dengan teknik balon dikembangkan sebagian angka keberhasilannya lebih tinggi daripada balon dikempiskan.Kata kunci: Laryngeal mask airway jenis klasik, teknik balon dikembangkan sebagian, teknik balon dikempiskanComparison of Success Rate between Fully Deflated and Partially Inflated Cuff Technique in Classic Laryngeal Mask Airway (cLMA) Insertion on First Attempt in Adult PatientsAbstractClassic laryngeal mask airway (cLMA) is the most widely used supraglottic airway device and is a satisfactory alternative to endotracheal intubation. The purpose of this study was to compare the success rate of cLMA insertion using fully deflated technique and partially inflated technique in adult patients. This was a complete randomized controlled single blind trial on 70 patients, 18–60 years old, American Society of Anesthesiologists (ASA) I–II, who underwent elective surgery in general anesthesia and in whom the use of LMA was not contraindicated. This study was performed at the Central Operating Theater, Dr. Hasan Sadikin General Hospital,Bandung. After using a permutation block randomization, the subjects were divided into fully deflated technique group and partially inflated technique group. Correct placement in first attempt was confirmed. Data were analyzed using chi-square test and Mann-Whitney test, where a p value of <0.05 was considered significant. The study was held in a period of February toMarch 2015. The results of this study showed that the partially inflated technique was more successful, 33 of 35, than the fully deflated technique, 27 of 35, on the first attempt. In addition, the statistical analysis results also showed that the ratio of success rate between both treatment groups of cLMA insertion was significantly different (p<0.05). The success rate of partially inflated technique of cLMA insertion iss higher than the fully deflated technique in adult patients.Key words: Fully deflated technique, partially inflated technique, the classic laryngeal mask airway (cLMA) DOI: 10.15851/jap.v4n1.743
Perbandingan Preemptive Analgesia Kombinasi Ibuprofen 75 Miligram dan Parasetamol 250 Miligram per Oral dengan Parasetamol 1 Gram per Oral Terhadap Numeric Rating Scale pada Pasien Pascabedah Odontektomi Hilmy Manuapo; Doddy Tavianto; Reza Widianto Sudjud
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 3 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v7n3.1834

Abstract

Analgesik dosis tinggi dapat menimbulkan berbagai efek samping. Penggunaan kombinasi analgesik bekerja melalui mekanisme yang berbeda dan memiliki efek sinergis. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan lama analgesik antara kombinasi ibuprofen 75 mg dan parasetamol 250 mg per oral dibanding dengan parasetamol 1 g per oral terhadap nyeri pascabedah odontektomi. Penelitian eksperimental dengan uji klinis acak tersamar buta ganda terhadap 26 subjek penelitian yang menjalani odontektomi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Juli–Oktober 2019. Subjek dibagi menjadi kelompok P (Parasetamol) dan kelompok K (Kombinasi). Data hasil penelitian diuji secara statistik menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian ini didapatkan perbandingan lama analgesik pascabedah kelompok K (74,23±15,79 menit) lebih lama dibanding dengan kelompok P (50,76±17,22 menit) dengan p<0,05. Hasil skor nyeri pascabedah odontektomi pada kelompok K (2,92±0,75) lebih rendah dibanding dengan kelompok P (3,92±0,86) dengan p<0,05. Simpulan penelitian ini adalah kombinasi preemptive analgesia ibuprofen dan parasetamol per oral memiliki efek analgesik yang lebih lama dibanding dengan parasetamol per oral pada pascabedah odontektomi. Comparison of Preemptive Analgesia using Oral Combination of Ibuprofen 75 Milligrams and Paracetamol 250 Milligram and Oral Paracetamol 1 Gram on Duration of Analgesics After OdontectomyHigh dose analgesic can cause multiple side effects. Use of analgesics combination enable analgesics to work through different mechanisms and produce a synergistic effect. This study aimed to evaluate the analgesic effects of oral 75 mg ibuprofen and 250 mg paracetamol combination in comparison to oral 1 g paracetamol on post-odontectomy pain. This study was an experimental double blind randomized clinical trial conducted on 26 subjects who underwent odontectomy in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during the period of July‒October 2019. Subjects were divided into P (Paracetamol) group and K (combination) group. Data collected were statistically tested using the Mann-Whitney test. Results showed that the time when post-odontectomy pain started in K group (74.23±15.79 minutes) was significantly longer when compared to that of P group (50.76±17.22 minutes) with p<0.05. The post-odontectomy pain score in K group (2.92±0.75) was also lower than that of P group (3.92±0.86), with p<0.05. In conclusion, oral analgesic agent combinations have a longer analgesic effect than oral paracetamol only in post-odontectomy patients.
Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma Tanpa Gejala Miastenia Gravis : Sebuah Laporan Kasus Fitri Sepviyanti; Doddy Tavianto; U. Kaswiyan
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

LAPORAN KASUSTimoma adalah neoplasma primer yang paling sering ditemukan pada mediastinum, dengan angka kejadian 15% dari seluruh massa mediastinum. Timbul pada pasien berusia 40-60 tahun, dengan insiden yang sama pada laki-laki dan perempuan. Lima puluh persen kasus timoma ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan radiograf dada rutin sebagai massa mediastinum anterior superior. Tatalaksana untuk timoma adalah tindakan pembedahan atau timektomi. Pengkajian menyeluruh pra operasi dibutuhkan untuk memastikan tidak adanya sindrom paraneoplastik. Tingkat kematian perioperatif cukup tinggi pada pasien yang menjalani timektomi sebelum tahun 1970 antara 5% dan 15%. Setelah tahun 1970, tingkat kematian dalam studi terakhir ditemukan secara konsisten kurang dari 1%. Demikian pula angka kematian timektomi pada pasien miastenia gravis dilaporkan kurang dari 1%. Seorang wanita 69 tahun didiagnosis dengan timoma dan direncanakan untuk menjalani timektomi. Ahli anestesi memutuskan untuk tidak menggunakan pelemas otot karena sadar dapat timbulnya sindrom paraneoplastik akibat timoma, myastenia gravis. Myasthenia gravis akan mempengaruhi efek relaksan otot yang tahan terhadap succinylcholine dan sangat sensitif terhadap bloker non depolar. Pasien tidak memiliki morbiditas apapun serta memiliki kondisi yang baik selama pemulihan.Kata kunci : timoma, miastenia gravis syndrome, anesthesia DOI: 10.15851/jap.v1n1.160
Patofisiologi Pintasan Jantung Paru Doddy Tavianto; A. Himendra Wargahadibrata; Chairil Gani C.
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (359.004 KB)

Abstract

Perubahan fisiologi yang disebabkan oleh pintasan jantung paru (PJP) adalah perubahan pulsatilitas, pola aliran darah, pengaruh paparan darah terhadap permukaan nonfisiologis, kerusakan darah akibat tekanan (shear stress), hemodilusi, dan respons stres yang berlebihan. Peningkatan keamanan penggunaan PJP bergatung pada pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap perubahan homeostatis sirkulasi normal. Kontrol sirkulasi selama PJP dilakukan dengan memerhatikan aliran darah sistemik, tekanan arteri, tekanan vena, dan distribusi aliran darah. Perubahan sirkulasi selama PJP dapat terjadi saat PJP dimulai, pada periode hipotemia, pada fase pemulihan temperatur (rewarming), saat PJP dengan temperatur hangat (warm CPB) dan PJP juga akan mengakibatkan perubahan pada mikrosirkulasi, serta keadekuatan perfusi jaringan.Kata kunci: Efek pintasan jantung paru, patofisiologi, pintasan jantung paru Patophysiology of Cardiopulmonary Bypassphysiologic changes introduced by cardiopulmonary bypass include an alteration in pulsatile, blood flow >pattern, exposure of blood to nonphysiologic surface, blood damage due to shear stress, hemodilution, and overload stress response. The increase of cardiopulmonary bypass safety depends on good knowledge and understanding on normal circulatory hemostatis changes. Circulation control during cardiopulmonary bypass was done by observing systemic blood flow, arterial pressure, venous pressure, and blood< flow distribution. Circulatory changes during cardiopulmonary bypass can happen on set of action, hipotermia periode, rewarming phase, during cardiopulmonary bypass with warm temperature, and also cardiopulmonary bypass can cause changes in microsirculation and adequacy of tissue perfusion.Key words: Effect of cardiopulmonary bypass, pathophysiology, cardiopulmonary bypass DOI: 10.15851/jap.v1n2.125
Perbandingan Efek Pemberian Cairan Kristaloid Sebelum Tindakan Anestesi Spinal (Preload) dan Sesaat Setelah Anestesi Spinal (Coload) terhadap Kejadian Hipotensi Maternal pada Seksio Sesarea Zaki Fikran; Doddy Tavianto; Tinni T. Maskoen
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.705 KB)

Abstract

Pemberian cairan secara preload sebagai profilaksis sebelum anestesi spinal telah menjadi prosedur rutin untuk mencegah hipotensi ibu selama tindakan seksio sesarea. Tidak seperti koloid, waktu pemberian cairan kristaloid merupakan hal penting karena singkatnya waktu cairan kristaloid berada di ruang intravaskular. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh waktu pemberian cairan kristaloid terutama Ringerfundin yang lebih baik antara preload dibanding dengan coload dalam mencegah hipotensi maternal selama anestesi spinal pada seksio sesarea. Penelitian dilakukan di Central Operating Theatre (COT) Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juni−Juli 2015 dengan uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 36 pasien yang menjalani seksio sesarea dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) II. Kejadian hipotensi dinilai setelah pemberian anestesi spinal sampai bayi lahir. Data hasil penelitian dianalisis dengan uji-t, Uji Mann-Whitney, dan uji chi-kuadrat dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Insidens hipotensi lebih rendah pada kelompok kristaloid coload dibanding dengan kelompok kristaloid preload (44,4% vs 77,8%; p=0,040). Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian cairan kristaloid secara coload lebih efektif daripada preload untuk pencegahan hipotensi maternal setelah anestesi spinal pada seksio sesarea.Kata kunci: Anestesi spinal, hipotensi, kristaloid, seksio sesareaComparison of the Effect of Crystalloids Fluid Provision Before Spinal Anesthesia (Preload) and Shortly after Spinal Anesthesia (Co-load) on Maternal Hypotension Incidence in Caesarean DeliveryProphylactic fluid as a preload before spinal anesthesia has been a routine procedure to prevent maternal hypotension during cesarean delivery. Unlike colloid, timing of infusion of crystalloid may be important because it has short linger time in the intravascular space. This study aimed to compare the effect of the timing of administration of crystalloid, especially Ringerfundin, which is more effective between preload and co-load in preventing maternal hypotension during spinal anesthesia for cesarean section. This study was performed at the Central Operating Theatre (COT) of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in June−July 2015 using the single blind randomized controlled trial method on 36 patients who underwent caesarean section with American Society of Anesthesiologist (ASA) II physical status. The incidence of hypotension was observed starting from the time the spinal anesthesia was performed to the time when the baby was born. Data were analyzed statistically using t-test, Mann Whitney test, and chi-square test where a p value of <0.05 considered significant. The incidence of hypotension was lower in the co-load group when compared to the preload group (44.4% vs. 77.8%, p value=0.040). In conclusion, the use of crystalloids for cesarean delivery in co-loading manner is more effective than preloading for the prevention of maternal hypotension after spinal anesthesia.Key words: Cesarean delivery, crystalloid, hypotension, spinal anesthesia DOI: 10.15851/jap.v4n2.818
Gambaran Penggunaan, Obat, Teknik, dan Permasalahan yang Dihadapi pada Blokade Kaudal di Kota Bandung Tahun 2016 Handoyo Harsono; Doddy Tavianto; Suwarman Suwarman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (800.395 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1487

Abstract

Penanganan nyeri pada pasien anak merupakan tantangan yang cukup besar bagi dokter spesialis anestesi. Blokade kaudal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang mudah dan sangat efektif sebagai analgetik pada anak yang menjalani operasi di bawah umbilikus. Data yang diperoleh dari Inggris dan Irlandia selama bulan April sampai dengan Juni 2008 menunjukkan bahwa penggunaan blokade kaudal masih rendah ( 61% ). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penggunaan, obat, teknik, dan masalah yang dihadapi pada blokade kaudal di Kota Bandung. Penelitian dilakukan selama bulan Maret hingga April 2018. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan  menggunakan kuesioner yang diberikan kepada 70 dokter spesialis anestesi di kota Bandung yang direspons oleh 64 orang (78%) dengan mengembalikan kuesioner. Dari penelitian ini didapatkan dokter spesialis anestesi yang melakukan blokade kaudal pada tahun 2016 sebesar 55%. Blokade kaudal digunakan untuk kombinasi anestesi dan analgesik pascaoperasi pada 62% responden. Teknik yang digunakan dalam blokade kaudal ini adalah blind technique tanpa alat bantu. Obat yang paling sering digunakan adalah bupivakain (91%). Permasalahan yang dihadapi di Kota Bandung yang mengakibatkan rendahnya penggunaan blokade kaudal adalah keterbatasan waktu tindakan (20%) dan ketersediaan obat dan alat (23%).Kata kunci: Blokade kaudal, bupivakain, teknik butaOverview on Usage, Drug, Technique and Problems on Caudal Blockade Procedure in Bandung City on 2016Pediatric pain management in pediatric is a big challenge for anesthesiologists. The caudal blockade is one of the easy and highly effective analgesic approaches for surgical procedure below umbilicus in children. Data from Ireland and United Kingdom show that the application of caudal blockade is relatively low (61%). The aim of this study was to explore the drug, technique, and challenges faced in caudal blockade application in Bandung City. This study was conducted from March to April 2018. This was a descriptive study using a questionnaire distributed to 70 anesthesiologist in Bandung city. The response rate was 77.65% (64 persons). This study found that 59.09% anesthesiologist had performed caudal block during 2016 which was used for anesthesia and post-operative analgesics by 61,54% respondents. Blind technique was used in this procedure without using additional equipment. The most frequently used was bupivacaine (97.44%). The low application of caudal block in Bandung during 2016 was caused by the limited time for the procedure (23.44%) and the availability of drug and equipment (23.44%).Key words: Caudal block, Bupivacaine, Blind technique
Pengaruh Duduk 5 Menit Dibanding dengan Langsung Dibaringkan pada Pasien yang Dilakukan Anestesi Spinal dengan Bupivakain Hiperbarik 0,5% 10 mg terhadap Perubahan Tekanan Arteri Rata-rata dan Blokade Sensorik Raditya Fauzan; Doddy Tavianto; Ruli Herman Sitanggang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (362.981 KB) | DOI: 10.15851/jap.v4n1.746

Abstract

Anestesi spinal sering kali mengakibatkan hipotensi karena blokade simpatis yang tinggi. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh duduk 5 menit dibanding dengan langsung dibaringkan setelah pemberian anestesi spinal dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 10 mg terhadap tekanan arteri rata-rata dan ketinggian blokade sensorik. Penelitian dilakukan dengan metode acak terkontrol tersamar tunggal pada 36 orang pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I–II yang menjalani operasi perut bagian bawah dan ekstermitas bawah di Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Maret–Mei 2015. Analisis statistik tekanan arteri rata-rata menggunakan Uji Mann-Whitney dan ketinggian blokade sensorik dengan Uji Kolmogorov Smirnov. Penurunan tekanan arteri rata-rata kelompok 1 (duduk selama 5 menit) lebih sedikit dibanding dengan kelompok 2 (langsung dibaringkan) dengan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Ketinggian blokade sensorik rata-rata kelompok 1 terbanyak pada T10 (14 dari 18) dan kelompok 2 pada T6 (8 dari 18). Simpulan, posisi duduk selama 5 menit setelah anestesi spinal dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 10 mg menyebabkan penurunan tekanan arteri rata-rata lebih kecil dan ketinggian blokade sensorik lebih rendah dibanding dengan posisi langsung dibaringkan.Kata kunci: Anestesi spinal, bupivakain 0,5% hiperbarik, blokade sensorik, posisi badan, tekanan arteri rata-rataEffects of 5-Minute Sitting Compared to Immediately Lying Down After 10 mg of 0.5% Hiperbaric Bupivacaine Administration on Mean Arterial Pressure and Level of Sensory Blockade in Patients Receiving Spinal AnesthesiaAbstractSpinal anesthesia frequently results in hypotension due to high sympathetic blockade. The aim of this study was to examine effect of sitting for 5 minutes compared to immediately lying down after 10 mg of 0.5% hiperbaric bupivacaine administration with regards to the mean arterial pressure and level sensory blockade in patients who underwentd spinal anesthesia. This was a single blind randomized controlled trial in 36 patients with American Society of Anesthesiologists (ASA) I–II undergoing lower abdominal and lower extremities surgery under spinal anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during the period of March to May 2015. Data were statistically analyzed using Mann Whitney test for mean arterial pressure and Kolmogorov Smirnov test for level sensory blockade. The results showed a decrease of mean arterial pressure in group 1 (sitting 5 minutes) which was lower than group 2 (immediately lying down) with significant difference (p<0.05). Level of sensory blockade in group 1 at T 10 (14 from 18) was higher than in group 2 at T6 (8 from 18, p=0.001). It is concluded in this study that sitting for 5 minutes after spinal anesthesia using 10 mg 0.5%. bupivacaine hiperbaric decreases the intraoperative sensory of blockade height and mean arterial pressure.Key words: Bupivacaine, body potition, mean arterial preassure, sensory blockade, spinal anesthesia 
Gambaran Pengetahuan Klinisi Ruang Rawat Intensif mengenai Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Bundle di Ruang Rawat Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung M. Fajar Sadli; Doddy Tavianto; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (636.643 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1108

Abstract

Ventilator associated pneumonia (VAP) merupakan infeksi yang terjadi pada pasien yang terintubasi ≥48 jam di ruang rawat intensif. Penanganan VAP merupakan tantangan utama akibat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Ventilator associated pneumonia bundle (VAPb) telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian VAP sehingga pengetahuan dokter dan perawat mengenai VAPb menentukan keberhasilan pencegahan VAP di ruang rawat intensif. Tujuan penelitian ini mengetahui pengetahuan dokter dan perawat mengenai VAPb di ruang rawat intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Data diambil dari bulan November–Desember 2016. Penelitian deskriptif dengan desain potong lintang ini menggambarkan pengetahuan mengenai VAPb dari dokter residen Departemen Anestesi dan Terapi Intensif dan perawat di ruang rawat intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Responden terdiri atas 79 dokter dan 88 perawat. Tingkat pengetahuan VAPb diuji menggunakan 20 pertanyaan kuesioner. Responden perawat terbanyak berjenis kelamin perempuan (74%), berusia ≥30 tahun (92%), status pendidikan diploma III (65%), lama kerja >5 tahun (76%), dan bekerja di Intensive Care Unit (ICU) (32%). Responden dokter terbanyak berjenis kelamin laki-laki (71%), berusia ≥30 tahun (83%), dan telah menyelesaikan stase ICU (61%). Simpulan, nilai kuesioner perawat dan dokter rata-rata berturut-turut 73,63 dan 73,16. Kata kunci: Klinisi ruang rawat intensif, tingkat pengetahuan, ventilator associated pneumonoia bundle Description of Intensive Care Clinician Knowledge about Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Bundle in the Intensive Care Unit of  Dr. Hasan Sadikin Hospital BandungVentilator associated pneumonia (VAP) is an infection that occurs in patients who are intubated ≥48 hours in intensive care. Management VAP is a major challenge due to the high morbidity and mortality. Ventilator associated pneumonia bundle (VAPb) has been shown to reduce the incidence of VAP, so knowledge of doctors and nurses about VAPb determine the success of preventing VAP in intensive care. This study aims to know the description of intensive care clinician knowledge about ventilator associated pneumonia bundle in the intensive care of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Data were collected from November–December 2016. Descriptive study with cross-sectional design depicts VAPb knowledge of resident physicians Department of Anesthesia and Intensive Therapy and nurses in the Intensive Care Department of Dr. Hasan Sadikin Hospital. Respondents consisted of 79 doctors and 88 nurses. The level of knowledge VAPb tested using a 20 question questionnaire. Most nurse respondents were female (74%), aged ≥30 years (92%), educational status diploma III (65%), length of employment >5 years (76%), and work in Intensive Care Unit (ICU) (32%). Most physician respondents were male sex (71%), aged ≥30 years (83%), and had completed stase ICU (61%). In conclution, the mean value of the questionnaire nurses and doctors respectively 73.63 and 73.16. Key words: Intensive care clinician, level of knowledge, ventilator associated pneumonoia bundle
Hubungan antara Lama Puasa Preanestesi dan Kadar Gula Darah Saat Induksi pada Pasien Pediatrik yang Menjalani Operasi Elektif Arsy Felisita Dausawati; Doddy Tavianto; Rudi K. Kadarsah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 3 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (343.248 KB)

Abstract

Puasa preoperatif adalah untuk mengurangi volume, tingkat keasaman lambung, dan mengurangi risiko aspirasi paru. Puasa preoperatif sering kali lebih lama daripada yang direkomendasikan karena berbagai alasan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara lama puasa preanestesi dan kadar gula darah saat induksi pada pasien pediatrik di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian analitik observasional cros sectional dilakukan pada pasien pediatrik pada bulan Januari–Februari 2015 di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Uji distribusi data menurut Kolmogorov-Smirnov kemudian dilakukan Uji kolerasi Spearman. Lama puasa minimum, maksimum, dan rata-rata (SD) puasa dari makanan  4, 15, dan 8,7500 (3,48597) jam. Lama puasa minimum, maksimum, dan rata-rata (SD) dari minuman adalah 2, 15, dan 12,56 (3,26) jam. Tidak ditemukan kejadian hipoglikemia pada penelitian ini dengan gula darah sewaktu induksi terendah 59 mg/dL. Terdapat hubungan yang bermakna antara lama puasa preanestesi dengan GDS induksi (p<0,05). Simpulan, lama puasa preanestesi pada pasien pediatrik yang akan menjalani operasi elektif melebihi dari apa yang dianjurkan oleh ASA. Terdapat hubungan antara lama puasa preanestesi dan kadar gula darah saat induksi. Kata kunci: Kadar gula darah, lama puasa preanestesi, operasi elektif, pediatrik Correlation between Preanesthetic Fasting Duration and Blood Glucose Level During Induction in Pediatric Elective Surgery PatientsPreoperative fasting is to reduce the volume and acidity of gastric and further reduce the risk of pulmonary aspiration. Preoperative fasting period often longer than the recommended time for various reasons in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. The purpose of this study was to determine the correlation between preanesthetic fasting duration and blood sugar level induction in pediatric patients in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. An analytical observational cross-sectional study was conducted on pediatric patients during period of January–Februari 2015 at the Central Surgical Installation of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. The minimum, maximum, and mean (SD) fasting from food duration were 4, 15, and 8.7500 (3.48597) hours. The minimum, maximum, and mean (SD) fasting from drinks durations were 2, 15 and 12.56 (3.26) hours. The incidence of hypoglycemia was not found in this study. Based on the result of Spearman correlation test showed a statistically significant relationship between preanesthetic fasting duration and with blood glucose level during induction (p<0.05). In conclusion, preanesthetic fasting duration in pediatric patients who are undergoing an alective surgerybin this hospital is longer than the duration recommended by ASA. There is a correlation between the preanesthetic fasting period and blood sugar level during induction. Key words: Blood glucose levels, duration of preanesthetic fasting, elective surgery, pediatric DOI: 10.15851/jap.v3n3.614