Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

Studi Pengaruh Substitusi Hara Makro dan Mikro Media MS dengan Pupuk Majemuk dalam Kultur In Vitro Krisan Shintiavira, Herni; Soedarjo, Mochdar; -, Suryawati; Winarto, Budi
Jurnal Hortikultura Vol 22, No 4 (2012): Desember
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Studi substitusi hara makro dan mikro media Murashige & Skoog (MS) menggunakan pupuk majemuk untuk meningkatkan efisiensi kultur in vitro krisan (Dendranthema grandiflora) dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Kebun Percobaan Cipanas, Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) dari Bulan Januari hingga Desember 2010. Aplikasi pupuk majemuk sebagai substitusi hara makro-mikro MS diharapkan dapat menurunkan biaya produksi benih melalui kultur in vitro, khususnya dalam penyediaan media tanam. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh varietas dan kombinasi pupuk majemuk dalam meningkatkan efisiensi aplikasi kultur in vitro krisan. Varietas yang diuji ialah D. grandiflora cv. Dwina Kencana dan Pasopati, sementara pupuk majemuk yang digunakan ialah Hyponex Hijau (20:20:20), Hyponex Merah (25:5:20), dan Growmore (32:10:10) dengan komposisi uji (1) media ½ MS + 0,1 mg/l indole acetic acid (IAA) sebagai kontrol, (2) 1 g/l Hyponex Hijau + 0,1 mg/l IAA, (3) 2 g/l Hyponex Hijau + 0,1 mg/l IAA, (4) 3 g/l Hyponex Hijau + 0,1 mg/l IAA 0,1, (5) 1 g/l Hyponex Merah + 0,1 mg/l IAA, (6) 2 g/l Hyponex Merah + 0,1 mg/l IAA, (7) 3 g/l Hyponex Merah + 0,1 mg/l IAA, (8) 1 g/l Growmore + 0,1 mg/l IAA, (9) 2 g/l Growmore + 0,1 mg/l IAA, dan (10) 3 g/l Growmore + 0,1 mg/l IAA. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis varietas dan media kultur berpengaruh terhadap keberhasilan kultur in vitro krisan. Varietas Dwina Kencana memiliki respons pertumbuhan yang lebih baik dibanding varietas Pasopati. Konsentrasi 3 g/l Hyponex Hijau yang ditambah dengan 0,1 mg/l IAA merupakan medium pengganti medium ½ MS terbaik yang mampu mendukung pertumbuhan eksplan pada Dwina Kencana maupun Pasopati. Pada umur 8 minggu setelah kultur, perlakuan tersebut memberikan rerata terbaik jumlah daun, jumlah nodus, jumlah akar, panjang akar, dan berat basah planlet. Aplikasi medium tersebut mampu menekan biaya penyediaan medium kultur per liter hingga 34,7% dibanding biaya penyediaan medium ½ MS yang mencapai Rp6.561,00 per liter. Aplikasi hasil penelitian ini memberikan dampak positif terhadap efisiensi biaya produksi kultur  in vitro  krisan, khususnya terkait dengan penyediaan media kultur. Study on Murashige & Skoog (MS) macro-micro element substitution using compound fertilizers to increase in vitro culture efficiency of chrysanthemum was carried out at Tissue Culture Laboratory, Cipanas Research Garden, Indonesian Ornamental Plant Research Institute from January to December 2010. Application of compound fertilizers to substitute MS macro-micro elements expected can reduce in vitro culture seed production cost and keep well growth of chrysanthemum explants. The study was aimed to know the effect of chrysanthemum varieties and concentrations of the compound fertilizers in increasing the efficiency of in vitro culture of chrysanthemum. Two varieties i.e. Dwina Kencana and Pasopati; the fertilizers of Green Hyponex (20:20:20), Red Hyponex (25:5:20), and Growmore (32:10:10) in different concentrations i.e. (1) half-strength MS medium + 0.1 mg/l indole acetic acid (IAA) as control, (2) 1 g/l Green Hyponex + 0.1 mg/l IAA, (3) 2 g/l Green Hyponex + 0.1 mg/l IAA, (4) 3 g/l Green Hyponex + 0.1 mg/l IAA 0.1, (5) 1 g/l Red Hyponex + 0,1 mg/l IAA, (6) 2 g/l Red Hyponex + 0.1 mg/l IAA, (7) 3 g/l Red Hyponex + 0.1 mg/l IAA, (8) 1 g/l Growmore + 0.1 mg/l IAA, (9) 2 g/l Growmore + 0.1 mg/l IAA, and (10) 3 g/l Growmore + 0.1 mg/l IAA were tested in the study. Factorial experiment was arranged in a randomized complete block design with three replications. The results of the study indicated that type of variety and media culture gave significant effect on in vitro culture of chrysanthemum explant. Dwina Kencana variety indicated higher response compared to Pasopati. Concentration of 3 g/l Green Hyponex supplemented with 0,1 mg/l IAA was the most appropriate substitution medium for able to substitute for half-strength MS that gave the highest positive effect on explant growth of both varieties. In 8 weeks after culture, the treatment gave better average results on leaf number, node number, root number, root length, and plantlet fresh weight. The 3 g/l Green Hyponex containing 0.1 mg/l IAA was also successfully reduce medium cost per liter up to 34.7% compared to the half-strength MS medium cost per liter that could reach Rp6,561.00 per liter. Application of the research result will give positive effect on efficiency of in vitro culture of chrysanthemum production cost, especially in culture medium preparation.
Potensi Beberapa Fungisida Nabati dalam Mengendalikan Karat Putih (Puccinia horiana Henn.) dan Perbaikan Mutu Krisan Yusuf, Evi Silvia; Nuryani, Waqiah; Djatnika, Ika; -, Hanudin; -, Suhardi; Winarto, Budi
Jurnal Hortikultura Vol 22, No 4 (2012): Desember
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Puccinia horiana Henn. merupakan patogen penting penyebab penyakit karat putih yang menimbulkan kerugian signifikan dalam budidaya krisan, baik bunga potong atau tanaman pot. Aplikasi fungisida sintetik yang sering diandalkan oleh petani dan pengusaha tidak hanya memerlukan biaya yang lebih mahal, namun juga berdampak pada kerusakan lingkungan. Oleh karena itu pemanfaatan fungisida nabati yang lebih murah dan ramah terhadap lingkungan dapat menjadi alternatif pemecahannya. Beberapa fungisida nabati seperti Cees EC, Neem-plus, Cekam EC, dan Sitron-E berbahan aktif minyak atsiri cengkih, nimba, kayu manis, serai wangi, dan asam salisilat telah diproduksi dan dikomersialisasikan oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Aplikasi fungisida tersebut diduga berpengaruh positif dalam menekan penyakit karat putih. Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi keefektifan empat produk fungisida nabati tersebut dalam  mengendalikan penyakit karat putih dan meningkatkan kualitas pertumbuhan  krisan. Penelitian dilakukan di Rumah Plastik di Poncokusumo, Malang, Jawa Timur sejak Bulan Januari hingga Desember 2010. Bahan tanaman yang digunakan ialah Dendranthema grandiflora cv. Swarna Kencana. Perlakuan yang diuji ialah 3 ml/l untuk Cees EC, Neem-plus, Cekam EC, dan Sitron-E, serta 1,5 ml/l Amistartop 35 EC sebagai kontrol positif dan air sebagai kontrol negatif. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua fungisida nabati yang diuji efektif mengendalikan penyakit karat pada krisan. Perlakuan tersebut menurut uji statistik memiliki kemampuan yang sebanding dengan Amistartop. Penurunan intensitas karat putih oleh  perlakuan Cees EC, Neem-plus, Cekam EC, Sitron-E, dan Amistartop berturut-turut  sebesar  49; 37,74; 32,43; 29,78; dan 48,33%.  Aplikasi  Cees EC, Neem-plus, Cekam EC, dan Sitron-E tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, diameter batang, diameter bunga, dan vaselife bunga. Aplikasi hasil penelitian ini dapat memberi manfaat  untuk petani dan pengusaha dalam menurunkan biaya produksi serta meningkatkan pendapatan petani dan pengusaha karena harga keempat biofungisida murah dan tanpa dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Controlling white rust disease (Puccinia horiana Henn.) on chrysanthemum with some biofungicides P. horiana Henn. is important pathogen causing white rust disease  that may  lead to a significant lost in chrysanthemum cultivation (both for cut flower and pot plant). Synthetic fungicide commonly applied by farmers are causing not only high production costs, but also endangering the environment.  Confronting to this situation, the use of biofungicide that are considered cheaper and more environmental friendly has become  a relevant and promising alternative. Several biofungicides such as Cees EC, Neem-plus, Cekam EC, and Sitron-E with active ingredient of clove oil, neem, cinnamon, citronella, and salicylic acid have been commersialized by the Indonesian Medical and Spice Crops Research Institute. In this study those  biofungicides were hypothesized to have great potential in control the white rust  disease. The main objective of this study was to obtain information regarding  the efficacy of  four  biofungicides in controlling white rust disease on  chrysanthemum. The  experiment was conducted at Plastichouse in Poncokusumo, Malang, East Java from January to December 2010 by using Dendranthema grandiflora cv. Swarna Kencana as planting materials. The treatments were consisted of 3 ml/l application of Cees EC, Neem-plus, Cekam EC, and Sitron-E 1.5 ml/l application of difenokonazol + azoxistrobin (Amistartop 35 EC) as a positive control  and water as negative control. The experiment was set up  using a randomized block design with six treatments and four replications. The results showed that all tested biofungicides  were quite effective in  controlling white rust disease on chrysanthemum and had similar effectiveness in  reducing  disease intensity compared to  Amistartop. Cees EC, Neem-plus, Cekam EC, Sitron-E, and Amistartop had been able to reduce the white rust disease intensity by 49; 37.74; 32.43; 29.78; and 48.33% respectively. In the meantime, those biofungicides did not show significant effect on plant height, stem diameter, flower diameter, and flower vaselife. The use of biofungicides seems potentially promising to increase farmers income because the price of biofungicides were cheap and maintain environmental sustainability.
Peningkatan Pertumbuhan dan Regenerasi Eksplan Hasil Kultur Anther Anthurium Melalui Perbaikan Media Kultur Winarto, Budi
Jurnal Hortikultura Vol 20, No 4 (2010): Desember 2010
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Regenerasi kalus merupakan bagian yang paling sulit dalam kultur anther anthurium (Anthuriumandraeanum), karena respons pembentukan tunas yang lambat. Studi pertumbuhan dan regenerasi eksplan hasil kulturanther anthurium pada media regenerasi yang berbeda dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai PenelitianTanaman Hias dari bulan Januari sampai Desember 2008. Penelitian bertujuan mengetahui respons pertumbuhandan regenerasi variasi eksplan hasil kultur anther anthurium pada media regenerasi yang berbeda. Penelitian inimenggunakan kalus tumbuh lambat, kalus haploid, daun, dan petiol muda tanaman haploid sebagai eksplan. MediumWinarto (MW) dan Winarto-Rachmawati (MWR) merupakan media dasar yang digunakan dalam penelitian ini.Penelitian terdiri atas tiga percobaan untuk mempelajari pertumbuhan dan regenerasi, yaitu (1) kalus tumbuh lambat,(2) kalus haploid pada media regenerasi yang berbeda (MR-1 s/d MR-6), dan (3) daun dan petiol muda dari tanamanhaploid menggunakan medium regenerasi terseleksi. Percobaan pertama dan kedua disusun menggunakan rancanganacak lengkap (RAL), sementara percobaan ketiga disusun menggunakan RAL pola faktorial masing-masing denganempat ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan kemampuan regenerasi eksplan hasil kulturanther anthurium berhasil ditingkatkan melalui perbaikan media kultur. Pertumbuhan kalus terbaik dari eksplan kalustumbuh lambat ditemukan pada MR-4, sedang kalus haploid pada MR-1. Jumlah bakal tunas per eksplan mencapaisekitar 20 bakal tunas, tetapi pembentukan tunas tertinggi yaitu 4,8 tunas per eksplan ditemukan pada MR-6. Daunmuda tanaman haploid no. 400 merupakan jenis eksplan dan tanaman haploid dengan respons pembentukan tunastertinggi yang mencapai 6,0 tunas per eksplan dibandingkan eksplan dan tanaman haploid yang lain. Media terseleksihasil penelitian dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah regenerasi eksplan pada kultur in vitro anthuriumyang lain.ABSTRACT. Winarto, B. 2010. Increase of Growth and Explants Regeneration Derived from Anther Cultureof Anthurium via the Improvement of Culture Medium. Callus regeneration was an important problem in antherculture of anthurium due to slow response in shoot regeneration. A study of growth and regeneration of explantsderived from anther culture of anthurium in different regeneration media were conducted at Tissue Culture Laboratoryof Indonesian Ornamental Crops Research Institute from January to December 2008. The objective of the researchwas to determine the growth and regeneration of explants on different regeneration media. Slow growth, haploidcallus, young leaf, and petiole of different haploid plants were used in the study, while media of MW and MWRwere two basic media applied in the experiment. There were three experiments in the research i.e. to study thegrowth and regeneration of (1) slow growth, (2) haploid callus on different regeneration media, and (3) young leafand petiole of different haploid plants on selected regeneration medium. The experiment I and II were arranged witha completely randomized design (CRD) and the experiment III used factorial CRD with four replications. Resultsof the studies indicated that growth and regeneration capacity of explants derived from anther culture of anthuriumwere successfully increased via culture medium improvement. The best growth response of slow growth callus wasdetermined on MR-4, while haploid callus was on MR-1. Initial shoots produced per explant were up to ± 20 initialshoots, but the highest shoot number up to 4.8 shoots produced per explant was established on MR-6. Young leavesof haploid plant no. 400 were the appropriate explant and the donor plant in obtaining the highest callus formation,growth and regeneration with 6.0 shoots per explant. The selected media established in the study can be applied toovercome explant regeneration problems in in vitro culture of other anthuriums.
Aplikasi 2,4-D dan TDZ dalam Pembentukan dan Regenerasi Kalus pada Kultur Anther Anthurium Winarto, Budi; Mattjik, N A; Purwito, A; Marwoto, Budi
Jurnal Hortikultura Vol 20, No 1 (2010): Maret 2010
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Studi kombinasi konsentrasi 2,4-D dan TDZ dalam pembentukan kalus dan regenerasinya pada kultur anther Anthurium dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias sejak bulan November 2007 hingga Agustus 2008. Penelitian bertujuan  mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap pembentukan dan regenerasi kalus. Spadik Anthurium andraeanum kultivar Tropical yang 50% stigmanya berada dalam kondisi reseptif optimal, kalus hasil regenerasi, dan medium MWR-3 yang mengandung BAP 0,75 mg/l, NAA 0,02 mg/l, sukrosa 30 g/l, dan gelrit 2,0 g/l digunakan dalam penelitian ini. Konsentrasi 2,4-D dan TDZ yang diuji ialah 0, 0,5, 1,0, dan 2,0 mg/l. Rancangan acak lengkap pola faktorial dengan empat ulangan digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi 2,4-D dan TDZ berpengaruh nyata terhadap pembentukan dan regenerasi kalus. Aplikasi 2,4-D 0,5 mg/l yang dikombinasikan dengan TDZ 2,0 mg/l merupakan kombinasi terbaik untuk pembentukan kalus dengan potensi tumbuh anther mencapai 58%, 38% anther beregenerasi dan rerata 2,3 anther membentuk kalus tiap perlakuan. Kombinasi 2,4-D 1,0 mg/l dengan TDZ 0,5 mg/l merupakan kombinasi terbaik untuk regenerasi kalus dengan 5,3 tunas per eksplan. ABSTRACT. Winarto, B., N.A. Mattjik, A. Purwito, and B. Marwoto. 2010. Application of 2.4-D and TDZ on Callus Formation and Its Regeneration of Anthurium Anther Culture. Study of 2.4-D and TDZ concentration combination in callus formation and its regeneration on anther culture of Anthurium was conducted at Tissue Culture Laboratory of Indonesian Ornamental Crops Research Institute from November 2007 to August 2008. This study was aimed to determine the effect of concentration combination of 2.4-D and TDZ on callus formation, growth, and its regeneration. Spadix of Anthurium andraeanum cv. Tropical which 50% of its stigma was in optimum receptive, MWR-3 medium containing BAP 0.75 mg/l, NAA 0.02 mg/l, sucrose 30 g/l, and gelrite 2.0 g/l and callus derived from the anthers were used in the experiments. Concentrations of 2.4-D and TDZ tested in the experiment for callus formation and its regeneration were 0, 0.5, 1.0, and 2.0 mg/l. Factorial experiment with four replications was arranged in a completely randomized design. The results of the study indicated that combination of 2.4-D and TDZ gave significant effect on callus induction and its regeneration. In callus formation, 2.4-D 0.5 mg/l combined with TDZ 2.0 mg/l was the most suitable treatment with potential anther growth up to 58%; and 38% of anther regenerated with average 2.3 of anthers produced callus per treatment. 2.4-D 1.0 mg/l combined with TDZ 0.5 mg/l was the most appropriate treatment for callus regeneration into shoots with 5.3 shoots/explant.
Pewarnaan Kromosom dan Pemanfaatannya dalam Penentuan Tingkat Ploidi Eksplan Hasil Kultur Anter Anthurium Winarto, Budi
Jurnal Hortikultura Vol 21, No 2 (2011): JUNI 2011
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Metode pewarnaan Kromosom yang optimal merupakan prasarat penting dalam penentuan level ploidi tanaman hasil kultur anter, termasuk variasi eksplan hasil kultur anter Anthurium. Aplikasi dan modifikasi metode pewarnaan kromosom pada berbagai eksplan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias dari bulan Februari sampai dengan Agustus 2009 untuk mengetahui keragaman dan tingkat ploidi regeneran hasil kultur anter Anthurium. Penelitian bertujuan mendapatkan metode pewarnaan kromosom dan modifikasinya, jenis eksplan dan akar yang sesuai untuk mempelajari tingkat ploidi regeneran hasil kultur anter Anthurium. Bahan yang digunakan ialah kalus, pucuk tunas, dan ujung akar udara. Penelitian terdiri atas tiga kegiatan, yaitu (1) modifikasi metode pewarnaan kromosom, (2) seleksi eksplan yang sesuai untuk pewarnaan kromosom, dan (3) optimasi metode pewarnaan kromosom terseleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ujung akar dan akar yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung 1% arang aktif merupakan jenis eksplan dan akar yang sesuai untuk mendapatkan hasil pewarnaan kromosom yang baik. Modifikasi metode pewarnaan kromosom dengan pemanasan ujung akar pada 1N HCl : asam asetat glasial 45% (3:1, v/v) selama 10 menit pada suhu 60oC dan perlakuan aseto-orcein selama 15 menit merupakan metode pewarnaan kromosom yang lebih baik dalam menghasilkan obyek kromosom yang mudah dihitung. Penerapan metode pewarnaan kromosom pada kultur anter Anthurium dapat memisahkan tingkat ploidi regeneran. Pada penelitian ini rasio ploidi regeneran kultur anter ialah 33,5% haploid, 62,7% diploid, dan 5,7% triploid. Metode pewarnaan kromosom yang berhasil dikembangkan dalam penelitian ini sangat bermanfaat dalam pengembangan teknologi haploid pada jenis Araceae yang lain.Optimal chromosome staining method is important pre-requisite in determination of plant ploidy level derived from anther culture, involving varied explants regenerated from Anthurium anther culture. Application and modification of chromosome staining methods on different explants were conducted at the Tissue Culture Laboratory of  Indonesian Ornamental Crops Research Institute from February to August 2009 for determination of the ploidy level of regenerants derived from anther culture of Anthurium. The aim of this research was to determine the chromosome staining method and its modifications, type of explant and root suitable to study the ploidy level of explants derived from anther culture of Anthurium. Callus, shoot tips, and root tips were utilized in the experiment. The research was consisted of three experiments, i.e. (1) modification of chromosome staining methods (2) selection of explants suitable for chromosome staining, and (3) improvement of the selected chromosome staining method. Results of the study indicated that root tips and roots cultured on medium containing 1% active carchoal were the most appropriate explants and the root type in obtaining better chromosome staining results. The modification method with root tip boiled in 1N HCl : 45% of acetic acid glacial (3:1, v/v) for 10 minutes in 60ºC and aceto-orcein treatment for 15 minutes gave appropriate chromosome staining results exhibited clearer chromosome pictures and was easy to be counted. The  application of chromosome staining on anther culture of Anthurium was able to distinguish the ploidy level of regenerants. Ploidy ratio of regenerants derived from anther culture was 33.5% of haploid, 62.7% of diploid, and 5.7% of triploid. Chromosome staining method resulted from the study give high benefit in developing haploid technologies on other Araceae plants.
Studi Kultur Anther pada Aksesi Anthurium Lokal Winarto, Budi; Mattji, N A
Jurnal Hortikultura Vol 19, No 4 (2009): Desember 2009
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kultur anther merupakan salah satu terobosan teknologi dalam kultur jaringan untuk menyediakantanaman homozigot dalam waktu yang singkat. Aplikasi kultur anther pada aksesi Anthurium lokal dapat dilakukanuntuk menyediakan tetua homozigot yang tahan terhadap penyakit hawar daun. Penelitian bertujuan menguji responsbeberapa aksesi Anthurium lokal terseleksi dalam kultur anther dan kemampuan regenerasi kalus pada berbagai mediaregenerasi. Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Hias dari bulan Januarihingga Desember 2006. Anther diisolasi dari aksesi Anthurium lokal Cipanas Merah, Cipanas Putih, Cihideung-Lembang Merah, Sukabumi Putih, dan Salatiga Putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa aksesi Anthuriumlokal memberikan respons yang berbeda terhadap kemampuan induksi kalus. Aksesi Cipanas Putih merupakan aksesiyang paling responsif dibandingkan aksesi lainnya dengan persentase pembentukan kalus tertinggi (5,2%). Kalus yangterbentuk dalam kultur anther memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap inkubasi terang dan tumbuh lebihcepat dibandingkan dengan aksesi yang lain. Kalus hasil kultur anther aksesi Cipanas Putih memiliki kemampuanregenerasi yang tercepat (1,5-2,5 bulan) dan jumlah bakal tunas terbanyak (2,2-5,7 tunas). Media MMS-IIIR danMMS-TBN merupakan media yang sesuai untuk regenerasi tunas dari kalus hasil kultur anther aksesi Cipanas Putih.Media tersebut juga sesuai untuk inisiasi kalusABSTRACT. Winarto, B. and N.A. Mattjik. 2009. Studies on Anther Culture of Local Accessions of Anthurium.Anther culture is a technological breakthrough in tissue culture to provide homozygot plants in a shorter periodcompared to conventional method. Anther culture applied for local Anthurium accession for getting desistant motherplant against light blight. Anther culture application aimed to evaluate responses of anther culture of local accessionof Anthurium and capacity of callus regeneration derived from it, in different regeneration media. The study wasconducted at Tissue Culture Laboratory and Glasshouse of Indonesian Ornamental Crops Research Institute fromJanuary to December 2006. Anthers of local accession of Cipanas Merah, Cipanas Putih, Cihideung-Lembang Merah,Sukabumi Putih, and Salatiga Putih were used in this research. The results indicated that among local accessions ofAnthurium tested had different responses in their capacity to produce callus. Cipanas Putih accession was the mostresponsive accession in callus formation (5.2%). Callus derived from this accession grew better and faster than otheraccessions and easily adapted under light incubation. Callus resulted from anther culture of Cipanas Putih accessionexhibited faster regeneration (1.5-2.5 months) and produced highest number of shoots per callus (2.2-5.7 shoots).The MMS-IIIR and MMS-TBN media were the appropriate media for shoot regeneration of callus produced fromanther culture of Cipanas Putih accession. The media was also suitable for callus initiation.
Pengaruh Glutamin dan Serin terhadap Kultur Anter Anthurium andraeanum cv. Tropical Winarto, Budi
Jurnal Hortikultura Vol 21, No 4 (2011): DESEMBER 2011
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kultur anter merupakan salah satu teknologi haploid penting dalam produksi tanaman haploid ganda dan berhasil diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman, namun aplikasi pada Anthurium belum pernah dilaporkan. Penelitian dan pengembangan kultur anter Anthurium yang difokuskan untuk mempelajari pengaruh glutamin dan serin terhadap induksi, pertumbuhan, dan regenerasi kalus dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias dari bulan Januari sampai dengan September 2008. Tujuan penelitian ialah mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi glutamin dan serin terhadap induksi, pertumbuhan, dan regenerasi kalus pada kultur anter Anthurium. Spadik Anthurium andraeanum cv. Tropical, kalus hasil kultur anter serta medium Winarto dan Teixeira digunakan dalam studi ini. Glutamin dan serin pada konsentrasi 0, 250, 500, dan 750 mg/l diuji dalam percobaan ini. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial dengan empat ulangan. Hasil studi menunjukkan bahwa penambahan glutamin dan serin pada medium terseleksi belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap induksi, pertumbuhan, dan regenerasi kalus. Glutamin pada konsentrasi 250 mg/l menginduksi potensi tumbuh anter hingga 48% dengan 21% anter beregenerasi dan 1,3 anter per perlakuan membentuk kalus. Sementara serin pada 500 mg/l merupakan konsentrasi yang paling potensial dalam induksi kalus dengan 55% potensi tumbuh anter, 24% anter beregenerasi, dan 1,4 anter per perlakuan membentuk kalus. Glutamin 250 mg/l merupakan konsentrasi terbaik dibanding konsentrasi yang lain dalam mendukung pertumbuhan dan regenerasi kalus. Perlakuan tersebut tanpa serin mampu menginduksi potensi pertumbuhan kalus hingga 77% dengan volume kalus mencapai 237 mm3 dan empat tunas dihasilkan per eksplan. Sementara perlakuan serin justru mereduksi pertumbuhan dan regenerasi kalus dan menstimulasi senesensi kalus yang berdampak pada pencoklatan dan kematiannya. Dari hasil penelitian ini dapat disarankan penggunaan glutamin dibanding serin dalam meningkatkan keberhasilan kultur anter Anthurium.Anther culture is one of important haploid technologies in producing double haploid lines and successfully applied in many plants, while the application in Anthurium is not reported yet. Research and development in anther culture of Anthurium focusing on studying the effect of glutamine and serine on callus induction, growth, and its regeneration was conducted at Tissue Culture Laboratory of Indonesian Ornamental Crops Research Institute from January untill September 2008. Objective of this study was to know the effect of glutamine and serine on callus induction, growth, and its regeneration in anther culture of Anthurium. Spadix of Anthurium andraeanum cv. Tropical, callus derived from anther and Winarto and Teixeira medium were utilized in the study. Glutamine and serine of 0, 250, 500, and 750 mg/l were tested in the experiments. Factorial experiment was arranged by completely randomized design with four replications. Results of the study indicate that addition of glutamine and serine in selected culture medium gave moderate significant effect on induction, growth, and regeneration of callus. Glutamine in 250 mg/l induced potential growth of anther up to 48% with 21% regenerated anthers and 1.3 anthers per treatment producing calli, while 500 mg/l of serine was better concentration in callus formation with 55% potential growth of callus, 24% regenerated anthers and 1.4 anthers per treatment producing calli. In growth and regeneration of callus, supplementation of serine reduced callus capacity in growth and production of shoots and stimulated callus senescence causing browning and death of it, while 250 mg/l glutamine exhibited positive effect on them. The treatment without serine was able to induce potential growth of callus up to 77% with 237 mm3 per callus and four shoots produced per explants. Results of the study suggest application of glutamine rather than serine in improving anther culture of Anthurium.
Perbedaan Botol Kul tur terhadap Pertumbuhan Eksplan Anyelir Hiperhidrisitas Winarto, Budi
Jurnal Hortikultura Vol 15, No 1 (2005): Maret 2005
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hiperhidrisitas merupakan masalah penting dalam kul tur jaringan anyelir. Kegagalan dalam mengatasimasalah ini akan mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi. Plantlet yang dihasilkan sulit diaklimatisasi, plantletmudah layu, dan mati. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan botol kul tur yang berbedajenis dan ukurannya dalam mengatasi hiperhidrisitas. Percobaan dilakukan di Laboratorium Kul tur Jaringan, IPPT,Fakultas Pertanian, Universiti Putra Ma lay sia dari bulan Juni hingga No vem ber 2002. Enam jenis botol kul tur yangberbeda ukuran yang digunakan dalam percobaan ini adalah tabung, erlenmeyer 100, 150, 250, 500 ml, dan tabungGA7. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat ulangan. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa tabung kul tur merupakan botol kul tur yang pal ing sesuai untuk menumbuhkan eksplanhiperhidrisitas kembali ke pertumbuhan yang lebih nor mal. Pertumbuhan nor mal eksplan hiperhidrisitas yangdikultur dalam botol tersebut ditunjukkan melalui persentase hiperhidrisitas terendah (42%), kandungan klorofil yangtertinggi (0,1377 mg/mg), kandungan air terendah (89%), dan bobot kering biomasa tertinggi (11%) dengan kualitastu nas yang lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain.Cul ture ves sels ef fect on growth of car na tion hyperhydritizy explant.Hyperhydricity is an im por tant prob lem in car na tion tis sue cul ture. Fail in over com ing the prob lem can in flu ence thesuccessful of plantlet acclimatization. Hyperhydritized-plantlets are normally difficult to be acclimatized and easy tobe come wilt ing and die. The aim of this study was to know the ef fect of dif fer ent types and sizes of cul ture ves sel in re -duc ing hyperhydricity. The ex per i ment was con ducted at Tis sue Cul ture Lab o ra tory, IPPT, Fac ulty of Ag ri cul ture,Universiti Putra Ma lay sia from June to No vem ber 2002. Six types dif fer ent in sizes used in the study are tube ves sel,erlenmeyer 100, 150, 250, 500 ml, and GA7 ves sel. Com pletely ran dom ized de sign with four rep li ca tions was ap pliedin this re search. Re sults of this study showed that tube ves sel was the most ap pro pri ate cul ture ves sel to growhyperhydritized-explants re vert ing to nor mal growth. The nor mal growth of them was in di cated by the low est per cent -age of hyperhydricity (42%), the high est leaf chlo ro phyll con tent (0.1377 mg/mg), the low est wa ter con tent (89%),and the high est dry weight of bio mass (11%) with good qual ity of shoots com pared to oth ers.
Pengaruh Media Regenerasi terhadap Pembentukan Tunas Aksiler dan Adventif pada Philodendron c.v. Moon Light Winarto, Budi; Rianawati, S; Herlina, Deborah
Jurnal Hortikultura Vol 17, No 1 (2007): Maret 2007
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Philodendron merupakan tanaman hias daun yang menarik dan banyak digemari oleh konsumen, tetapi pengembangan tanaman ini secara komersial masih dihadapkan pada masalah perbanyakan benih. Studi ini bertujuan mengetahui pengaruh beberapa media regenerasi terhadap induksi tunas aksiler dan adventif, penyiapan plantlet, dan aklimatisasinya. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Hias, Segunung dari bulan November 2004 hingga Mei 2005. Bahan tanaman adalah philodendron c.v. Moon Light. Sebagian percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media MR-2 yang mengandung 0,2 mg/l BAP + 0,01 mg/l NAA + 15 g/l sukrosa dan 15 g/l glukosa merupakan media regenerasi yang terbaik pada perbanyakan philodendron cv. Moon Light secara in vitro. Media ini mampu menginduksi penggandaan tunas aksiler dan tunas adventif terbaik dibanding media regenerasi yang lain dengan persentase regenerasi mencapai 90% untuk tunas aksiler dan 50% untuk tunas adventif. Produksi tunas mencapai 6,2 tunas per eksplan untuk tunas aksiler dan 3,1 tunas per eksplan untuk tunas adventif. Dengan mengganti agar Swallow dengan gelrite, media ini juga menjadi media terbaik untuk penyiapan plantlet untuk tujuan aklimatisasi, terutama pada tunas yang telah mengalami 4-5 subkultur. Plantlet yang dihasilkan juga mudah diaklimatisasi pada media arang sekam dengan keberhasilan mencapai 94%.ABSTRACT. Winarto, B., S. Rianawati, and D. Herlina. 2007. Effect of Regeneration Media on Axillary and Adventitious Shoot Formation of Philodendron c.v Moon Light. Philodendron is one of fascinating ornamental foliage plants which has high preference from user, but for commercial development of the plant is still faced by big problem on its propagation. The study aimed to find out the effect of regeneration media on axillary and adventitious shoot induction, plantlet preparation, and its acclimatization. The research was conducted at Tissue Culture Laboratory and Glass-house of Indonesian Ornamental Crop Research Institute from November 2004 till May 2005. Philodendron cv. Moon Light was used as a donor plant. A part of the experiment was arranged in completely randomized design with 4 replications. Results of this study indicated that MR-2 medium was the appropriate medium for in vitro propagation of the plant. The medium was able to induce the highest axillary and adventitious shoot multiplication compared to others with high percentage of shoot regeneration up to 90% for axillary shoots and 50% for adventitious shoots. Shoot production was up to 6.2 per explant for axillary shoot and 3.1 per explant for adventitious shoot. By changing Swallow agar with gelrite was the best medium for plantlet preparation, especially in 4-5 subcultured-shoots for acclimatization purposes. Plantlets resulted from this experiment were easily acclimatized on burn-rice husk with 94% survivability.
Respons Pembentukan Tunas Aksiler dan Adventif pada Kultur Anthurium secara In Vitro Winarto, Budi
Jurnal Hortikultura Vol 17, No 1 (2007): Maret 2007
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Perbanyakan bahan tanaman merupakan salah satu masalah penting dalam budidaya anthurium untuk tujuan komersial. Secara konvensional, tanaman ini diperbanyak melalui biji dan anakan, tetapi teknik ini memerlukan waktu dan proses yang lama hingga 3 tahun. Penelitian bertujuan mengetahui respons pembentukan tunas aksiler dan adventif pada kultur anthurium secara in vitro. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Balai Penelitian Tanaman Hias dari bulan Juli 2004 hingga Februari 2005. Variasi eksplan, seperti ruas batang kesatu dan kedua digunakan untuk induksi pembentukan tunas aksiler, sementara akar, hipokotil, dan daun muda digunakan untuk induksi tunas adventif. Eksplan-eksplan tersebut dipanen dari beberapa kultivar dan aksesi anthurium. Medium M2, M4, dan modifikasi medium M4 menggunakan 150 ml/l air kelapa, 2,5 mg/l 2,4-D, 2 g/l asam pantotenat, dan 50 ppm cefotaxim diuji dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan kultur jaringan anthurium dipengaruhi oleh kultivar, jenis, dan kondisi eksplan, dan media tumbuhnya. Tiap eksplan dan kultivar/aksesi memiliki kompatibilitas yang berbeda dengan medium tumbuhnya. Induksi tunas adventif merupakan teknik perbanyakan yang lebih potensial dan sesuai dikembangkan pada anthurium dibandingkan induksi tunas aksiler. M4 merupakan medium dasar yang potensial dan sesuai untuk dikembangkan pada perbanyakan anthurium secara in vitro. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam mengembangkan dan mengaplikasikan teknik kultur jaringan pada perbanyakan anthurium.ABSTRACT. Winarto, B. 2007. Response of Axillary and Adventitious Shoot Formation of In Vitro Anthurium Culture. Planting material propagation is one of important problems in anthurium cultivation for commercial purposes. Conventionally, the plant is generally propagated by seed and shoot, however those technique were time consuming. The objective of this experiment was to know response of axillary and adventitious shoot formation of in vitro anthurium culture. The experiment was conducted at Tissue Culture Laboratory, Indonesian Ornamental Crops Research Institute from July 2004 to February 2005. Variation of explant such as first and second node was used for induction of axillary shoot formation, while young root, hypocotyl, and leaf were used for stimulating adventitious shoot regeneration. The explants harvested from several cultivars and accessions of anthurium. Media of M2, M4, and modified-M4 using150 ml/l coconut water, 2.5 mg/l 2,4-D, 2 g/l pantothenic acid, and 50 ppm cefotaxim were used in this experiment. Results of the study indicated that the success of anthurium tissue culture was affected by cultivars, explant type and condition, and growth medium. Each explant and cultivar had its compatibility to different growth media. Adventitious shoot formation was potential and suitable technique to be developed than axillary shoot proliferation. M4 was the appropriate and suitable basic medium that could be developed for in vitro propagation of anthurium. Results of this research could be expected as one of important consideration points in developing and applying tissue culture technique on anthurium propagation.