Putu Doster Mahayasa
Bagian Obstetri Dan Ginekologi, Fakultas Kedokteraan Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

SAKROKOLPOPEKSI DENGAN LAPAROSKOPI UNTUK PENANGANAN PROLAPS ORGAN PANGGUL Mahayasa, Putu Doster
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prolaps organ panggul merupakan salah satu permasalahan yang cukup sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dimana pasien biasanya datang dengan keluhan penuh pada liang vagina, rasa tidak nyaman, gangguan berkemih, gangguan defekasi, ataupun dispareunia. Untuk mendiagnosa dan menentukan derajat prolaps, ICS (international Continence Society) telah menstandarisasi pengukuran yang dinamakan POP-Q (pelvic Organ Prolapsed Quantification). Tujuan penatalaksanaan dari prolaps organ panggul adalah untuk menghilangkan gejala, mengembalikan fungsi, memperbaiki anatomi, atau bahkan untuk kepentingan kosmetik. Terapi untuk prolaps organ panggul dapat dengan terapi konservatif (non bedah) maupun dengan terapi pembedahan. Pemilihan terapi bergantung kepada jenis, beratnya gejala, umur, keadaan umum penderita, kebutuhan fungsi seksual, fertilitas, maupun faktor resiko kekambuhan. Pada pasien dengan kontraindikasi untuk menjalani pembedahan, pemasangan pesarium dapat mengurangi gejala tanpa resiko pembedahan. Untuk teknik pembedahan, saat ini prolaps organ panggul dapat diterapi dengan berbagai teknik, dengan atau tanpa material sintetis, dengan laparotomi, laparoskopi, maupun pembedahan pervaginam. Pada pembedahan pervaginam, histerektomi adalah tindakan yang paling sering dilakukan, selain itu juga dapat dilakukan fiksasi dari puncak vagina ke ligamentum sakrospinosum. Pada laparotomi dapat dilakukan histerektomi total, histerektomi subtotal, atau dengan mempertahankan uterus, dimana dapat digunakan material sintetik untuk menggantung cervix, uterus, ataupun vagina ke sakrum, yang dikenal dengan teknik abdominal sakrokolpopeksi, dimana teknik tersebut pada saat ini telah menjadi gold standard untuk penanganan prolaps uteri maupun prolaps puncak vagina, karena tingkat keberhasilan yang tinggi dan angka kekambuhan yang rendah. Seiring dengan berkembangnya teknologi dalam bidang kedokteran khususnya pada bidang uroginekologi, para ahli mengembangkan suatu teknik operasi perabdominal tetapi dengan penggunaan laparoskopi, sehingga didapatkan hasil operasi yang maksimal, angka kekambuhan yang rendah, serta waktu pemulihan yang cepat dan rasa ketidak nyamanan pasca operasi yang lebih ringan. Seperti pada komplikasi laparoskopi pada umumnya, komplikasi yang sering terjadi pada sakrokolpopeksi dengan laparoskopi adalah infeksi, hematoma,  perdarahan,  perlukaan pembuluh darah, ureter,  buli-buli, maupun usus. Komplikasi pasca operasi yang cukup sering dijumpai adalah erosi yang disebabkan oleh mesh, insidennya berkisar antara 0-9%. Pengetahuan anatomi yang baik dari dasar panggul maupun keterampilan dalam tindakan laparoskopi dan penjahitan sangat diperlukan untuk mengurangi angka kejadian komplikasi.
TIDAK TERDAPAT PERBEDAAN YANG BERMAKNA ANTARA NILAI ABSOLUT CD4 DAN PERSENTASE CD4 IBU HAMIL TERINFEKSI HIV PADA TRIMESTER II DAN III DI RSUP SANGLAH Doster Mahayasa, Putu
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Transmisi HIV dari ibu ke anak selama kehamilan memiliki nilai yang bervariasi, antara 15-40 % apabila tidak mendapatkan terapi. Sedangkan untuk transmisi melalui ASI diperkirakan dapat mencapai 30-40 %. Seroprevalensi HIV pada kehamilan menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 0.7 % pada tahun 2003–2004 menjadi 0.9 % pada tahun 2005–2006. Nilai persentase CD4 merupakan faktor risiko independen dan dapat digunakan untuk memprediksi risiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat (PJT) pada bayi dengan ibu positif HIV, sedangkan studi yang memakai nilai absolut CD4 gagal menunjukkan korelasi tersebut.   Pada kehamilan terjadi hemodilusi sebesar 40-50 % selama kehamilan dengan puncaknya pada usia kehamilan 32-34 minggu. Nilai absolut CD4 diduga dipengaruhi oleh besaran hemodilusi itu sendiri yang berbeda pada setiap Trimester kehamilan. Pengaruh hemodilusi pada persentase CD4 diduga tidak bermakna. Dengan demikian, penelitian tentang perbandingan antara nilai absolut CD4 dengan persentase CD4 Trimester II dan III pada ibu hamil terinfeksi HIV sangat penting dilakukan untuk melihat variasi dari nilai hitung absolut CD4 dan persentase CD4, sehingga dapat menetukan metode pemeriksaan yang tepat untuk untuk menilai status imun ibu hamil dengan HIV.   Penelitian dengan metode kohort dilakukan pada 20 wanita hamil Trimester II dan III dengan infeksi HIV untuk membuktikan pengaruh kehamilan terhadap variasi nilai hitung absolut CD4 dan persentase CD4 pada kehamilan dengan HIV Trimester II dan III. Hasil uji t-paired didapatkan nilai p > 0,05 pada kedua nilai CD4. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada rerata nilai CD4, baik absolut maupun persentase CD4 antara Trimester II dan Trimester III. Hasil uji chi-square dilakukan untuk menilai pengaruh kehamilan terhadap perubahan nilai absolut CD4 dan persentase CD4 pada kehamilan dengan HIV Trimester II dan III menunjukkan hasil yang tidak bermakna (RR = 1,00, IK 95% = 0,43-2,33, p=1,00). Nilai absolut CD4 dan persentase CD4 cenderung tidak mengalami fluktuasi yang bermakna selama kehamilan Trimester II dan III. Dapat dikatakan nilai absolut CD4 merupakan parameter yang dapat dipercaya dalam menilai status imun ibu hamil dengan HIV tanpa perlu melakukan pemeriksaan tambahan persentase CD4. Nilai hitung persentase CD4 kemungkinan memiliki nilai prediktor tersendiri dalam menilai status imun pasien hamil dengan HIV, apabila terdapat faktor lain di luar kehamilan yang dapat mempengaruhi nilai hitung absolut CD4.
SALINE INFUSION SONOHYSTEROGRAPHY PADA KELAINAN ENDOMETRIUM DAN TES PATENSI TUBA Doster Mahayasa, Putu
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Transvaginal Sonography (TVS) uterus dan tuba telah berkembang menjadi prosedur diagnostik rutin untuk mengevaluasi kelainan – kelainan ginekologi. Telah banyak dibuktikan bahwa TVS sangat akurat dalam menemukan kelainan di kavum uteri dan tuba. Prosedur ini memiliki keuntungan di mana untuk pencitraan normal hampir tidak terdapat perbedaan interpretasi meskipun pemeriksaan dilakukan oleh operator yang berbeda. Namun akurasi diagnostiknya akan menurun jika digunakan untuk kasus abnormalitas dan inkonklusif. Di sisi lain, histeroskopi sering digunakan sebagai metode untuk evaluasi endometrium pada  pasien perdarahan uterus abnormal dan dinilai cukup efektif namun metode ini mahal dan invasif. Hysterosalphingography (HSG) dan Laparoskopi merupakan 2 metode klasik yang digunakan untuk tes patensi tuba, tetapi HSG memiliki kerugian antara lain merupakan prosedur yang tidak nyaman, terekspos terhadap radiasi dan meningkatkan risiko infeksi. Sementara itu Laparoskopi walaupun dapat memberikan gambaran anatomi pelvis lebih baik dari HSG tetapi tetap tidak dapat memberikan gambaran kavum uteri, invasif dan mahal, serta tidak dapat disingkirkan efek dari anestesi umum yang digunakan. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) sudah diakui sebagai teknik yang baik dalam mengevaluasi kelainan kavum uteri, bahkan SIS dapat meningkatkan akurasi pemeriksaan TVS pada kasus abnormalitas dan inkonklusif.  Selain untuk mengevaluasi kavum uteri, SIS juga digunakan untuk tes patensi tuba pada kasus infertilitas. SIS memiliki kelebihan antara lain merupakan prosedur yang tidak invasif, sehingga meminimalisasi rasa tidak nyaman pada pasien serta bebas efek anestesi umum.
TIDAK TERDAPAT PERBEDAAN YANG BERMAKNA ANTARA NILAI ABSOLUT CLUSTER DIFFERENTIATION4 DAN PERSENTASE CLUSTER DIFFERENTIATION4 IBU HAMIL 162 TERINFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA TRIMESTER II DAN III Pangkahila, Evert Solomon; Suwiyoga, Ketut; Mahayasa, Putu Doster
Medicina Vol 46 No 3 (2015): September 2015
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (153.71 KB)

Abstract

Nilai absolut cluster differentiation 4 (CD4) diduga dipengaruhi oleh tingkat hemodilusi yang berbeda pada tiap trimester, sedangkan nilai persentase CD4 diduga tidak dipengaruhi oleh tingkat hemodilusi. Oleh karena itu penelitian mengenai perbandingan antara nilai aboslut CD4 dan persentase CD4 pada trimester yang berbeda pada kehamilan dengan HIV penting untuk dilakukan untuk melihat variasi nilai hitung CD4 (absolut dan persentase).Untuk membuktikan pengaruh kehamilan terhadap variasi nilai hitungabsolut CD4 dan persentase CD4 pada kehamilan dengan HIVtrimester II dan III,penelitian observasional dengan menggunakan rancangan studi kohort dilakukan untuk melihat bagaimana variasi nilai absolut CD4 dibandingkan persentase CD4 pada wanita hamil dengan HIV trimester II dan III. Penelitian dilaksanakan selama dua tahun dimulai dari Oktober 2011 sampai Oktober 2013. Dua puluh sampel penelitian dianalisis secara statistik. Hasil uji t menunjukkan nilai P>0.05 pada nilai absolut CD4 maupun persentase CD4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai absolut CD4 dan persentase CD4 tidak mengalami fluktuasi yang bermakna selama trimester II dan III pada kehamilan dengan HIV. Nilai absolut CD4 merupakan metode yang dapat dipercaya dalam menilai status imun ibu hamil dengan HIV, tanpa perlu melakukan pemeriksaan persentase CD4. Nilai persentase CD4 dapat dipertimbangkan dalam menilai status imun ibu hamil dengan HIV apabila terdapat faktor lain selain kehamilan yang dapat memengaruhi nilai absolut CD4. [MEDICINA 2015;46:162-5].Absolute cluster differentiation 4 (CD4) count is suspected to be influenced by the degree of hemodilution which is different in each trimester of pregnancy, while percentage of CD4 is thought not to be under significant influence of hemodilution. Thus, a study about the comparison between absolut CD4 and percentage of CD4 at different trimester (2nd and 3rd trimester) of pregnancy with HIV infection, are important to evaluate the variation of CD4 (absolute and percentage). To prove the influence of pregnancy to the variation of absolute CD4 count and percentage of CD4 in pregnancy with HIV infection at 2 nd and 3 trimester, an observational study using cohort design was conducted to evaluate the variation of absolute CD4 and percentage of CD4 in pregnant woman with HIV infection at 2 nd and 3 rd rd trimester. This study was held from October 2011 until October 2013.Twenty sample were statistically analyzed. T-paired test showed that the P value >0.05 in both CD4 count. It means that there was no significant difference in mean of CD4, either absolute or percentage in 2 trimester. The result showed that the absolute and percentage of CD4 did not fluctuate significantly during the 2 nd and 3 trimester of pregnancy. Absolute CD4 count is a valid method to asses the immune status of pregnant woman with HIV, and its not necesarry to count the percentage of CD4. Percentage of CD4 probably should be considered if there are any other factors beside the pregnancy itself that can interfere with the absolute CD4 count. [MEDICINA 2015;46:162-5].
KARAKTERISTIK PENDERITA KISTA OVARIUM DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE 1 JANUARI SAMPAI 30 JUNI 2018 Putu Raka Sanistia Sania Savitri; I Nyoman Gede Budiana; Putu Doster Mahayasa
E-Jurnal Medika Udayana Vol 9 No 3 (2020): Vol 9 No 03(2020): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2020.V09.i3.P15

Abstract

ABSTRAK Kista ovarium merupakan benjolan berisi cairan yang terdapat di ovarium. Kista ovarium umumnya bersifat jinak, namun tidak menutup kemungkinan kista tersebut berkembang menjadi tumor ganas. Berdasarkan data yang didapat Survei Demografi Kesehatan Indonesia, angka kejadian kista ovarium di Indonesia adalah sebesar 37,2 %. Kista ovarium paling sering ditemukan pada wanita kelompok usia 20 – 50 tahun. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik penderita kista ovarium di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah berdasarkan usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, ukuran diameter kista, keluhan utama, status haid, penatalaksanaan medis, dan hasil pemeriksaan histopatologi. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder penderita kista ovarium periode 1 Januari sampai 30 Juni 2018 berdasarkan rekam medis dari 102 sampel dengan metode pengambilan sampel total sampling. Data kemudian diolah dan dianalisis dengan software input, dan dipaparkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitian didapatkan distribusi frekuensi kista ovarium tertinggi pada kelompok usia 40 – 47 tahun (23,52%), pendidikan terakhir SMA (51,96%), pekerjaan lain-lain (30,39%), ukuran diameter kista ? 10 cm (72, 55%), keluhan utama perut membesar (58,82%), status haid teratur (59,8%), terapi pembedahan (82,35%), dan tidak mencantumkan hasil pemeriksaan histopatologi (47,06%). Penelitian lebih lanjut terkait kista ovarium dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pertimbangan. Bagi pihak rumah sakit diharapkan agar kualitas penanganan penderita kista ovarium dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Kata kunci: Kista Ovarium, Karakteristik Penderita
Ekspresi tenascin-C yang tinggi pada ligamentum sakrouterina sebagai faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III-IV di RSUP Sanglah Denpasar, Bali-Indonesia I Wayan Megadhana; Riza Firman Satria; Ketut Suwiyoga; I Gusti Putu Mayun Mayura; Putu Doster Mahayasa; I Nyoman Bayu Mahendra
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 2 (2020): (Available online: 1 August 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (442.813 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i2.791

Abstract

Introduction: Uterine prolapse is the descent of the uterus into the vagina or out of the vagina as a result of the failure of the ligament as a pelvic support. Uterine prolapse has multifactorial risk factors, but in every case of uterine prolapse, weakness is found in the pelvic floor supporting tissues, including the sacrouterine ligament. Childbirth is direct trauma that cause damage and weakness of levaor ani muscle, which leads to stretch of sacrouterine ligament that plays important role in maintaining uterus in its normal position. The main structure of the sacrouterine ligament consists of cells and extracellular matrix such as collagen, elastin, glycoproteins (fibronectin, tenascin, link protein, fibromodulin and dan osteopontin) and proteoglycans (agrecan, versican, biglican, dan perlecan). Tenascin is a major oligomeric glycoprotein found in the extracellular matrix. Tenascin has an important role not only during development but also when there are pathological conditions in adulthood such as tissue injury and tumorigenesis. Based on the current research, there are four tenascin groups, that are: tenascin-C, tenascin-R, tenascin-X, tenascin-Y and tenascin-W. If there is an expression of tenascin-C disturbance  in the sacrouterine ligament, it will cause uterine prolapse. The purpose of this study was to prove the high expression of tenascin-C in the sacrouterine ligament as a risk factor for stage III-IV uterine prolapse.Method: This research is an observational study with case control design. Forty four cases was included in this study. Twenty-two cases of III-IV degree uterine prolapse as study group and another 22 non-prolapse cases as a control group. This research was carried out in Sanglah General Hospital and Patobiology Laboratory of the Faculty of Veterinary Medicine UNUD. Samples were taken from the sacrouterine ligament of grade III-IV uterine prolapse patients and uterine non-prolapse patients, that had been performed total hysterectomy.Result: The results showed that high tenascin-C expression was a risk factor for stage III - IV uterine prolapse by 5.9 times (OR = 5.9; IK 95% = 1.59-22.32; p = 0.006).Conclusion: It can be concluded  that high expression of tenascin-C in the sacrouterine ligament is a risk factor of III-IV degree uterine prolapse.  Latar Belakang: Prolaps uterus adalah turunnya uterus ke dalam liang vagina atau keluar liang vagina sebagai akibat gagalnya ligmentum penyokong dasar panggul. Prolaps uterus memiliki faktor risiko yang bersifat multifaktorial, namun pada setiap  kasus prolaps uterus, selalu ditemukan kelemahan pada jaringan penyangga dasar panggul, termasuk ligamentum sakrouterina. Trauma langsung pada jalan lahir yang mengakibatkan kerusakan dan kelemahan otot levaor ani sehingga mengakibatkan ligamentum sakrouterina meregang untuk mempertahankan uterus dalam posisi normal. Struktur utama ligamen sakrouterina terdiri dari sel dan matriks ekstraseluler seperti kolagen, elastin, glikoprotein (fibronectin, tenascin, link protein, fibromodulin ) dan proteoglikan (agrecan, versican, biglican, dan perlecan). Tenascin merupakan suatu glikoprotein oligomerik utama yang terdapat pada matriks ekstraseluler. Tenascin memiliki peranan penting tidak hanya pada masa perkembangan tetapi juga saat terjadi kondisi patologis pada usia dewasa  seperti cedera jaringan dan tumorigenesis. Berdasarkan penelitian saat ini,  dikenal empat kelompok tenascin yaitu : tenascin-C, tenascin-R, tenascin-X, tenascin-Y dan tenascin-W. Apabila terjadi gangguan dalam ekspresi tenascin-C pada ligamentum sakrouterina akan menyebabkan terjadinya prolaps uterus. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan ekspresi tenascin-C yang tinggi pada ligamentum sakrouterina sebagai faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III-IV.Metode: Penelitian ini merupakan rancangan observasional dengan kasus kontrol. Terdapat  22 kasus prolaps uterus derajat III-IV sebagai kelompok kasus dan 22 kasus non prolaps sebagai kelompok kontrol. Penelitian ini dikerjakan di RSUP Sanglah dan Laboratorium Patobiologi FKH UNUD. Sampel diambil dari ligamentum sakrouterina pasien prolaps uterus derajat III-IV dan  non-prolaps uterus yang telah dilakukan histerektomi total.Hasil: Hasil penelitian didapatkan bahwa ekspresi tenacin-C yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III - IV sebesar 5,9 kali (OR =5,9; IK 95% =1,59-22,32; p =0,006).Simpulan: Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekspresi tenascin-C yang tinggi pada ligamentum sakrouterina sebagai faktor risiko terjadinya prolaps uterus derajat III-IV.
The Outcome of Ethanol Directed Sclerotherapy for the Management of Endometrioma: A Systematic Review Kamajaya, I Gusti Ngurah Agung Trisnu; Suardika, Anom; Mahayasa, Putu Doster; Budiana, Nyoman Gede; Abhimantra, Gede Bagus Kantwa
Indonesian Journal of Perinatology Vol. 5 No. 2 (2024): (Available online: 1 December 2024)
Publisher : The Indonesian Society of Perinatology, South Jakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51559/inajperinatol.v5i2.56

Abstract

Background and Objectives: Ovarian endometriomas, commonly known as chocolate cysts, are prevalent gynecological conditions associated with chronic pelvic pain and infertility. Current standard treatment, laparoscopic cystectomy, poses risks such as reduced ovarian reserve. Ethanol-directed sclerotherapy has emerged as a minimally invasive alternative aiming to preserve ovarian tissue while treating endometriomas. This systematic review evaluates the outcome of ethanol directed sclerotherapy for the management of endometrioma. Methods: Following PRISMA guidelines, databases including PubMed, EMBASE, and Cochrane were searched in January 2024 using “endometrioma and sclerotherapy.” Inclusion criteria encompassed studies reporting success rate (SR), RR, and pregnancy rate (PR) post-treatment. Nine studies involving 499 patients were analyzed. Results: Ethanol sclerotherapy demonstrated >80% SR in six studies and <30% RR in seven studies, indicating efficacy in reducing recurrence. However, its impact on ovarian reserve remains inconclusive. Pregnancy outcomes were inconsistently reported, with one study achieving 100% PR, while others ranged from 0% to >30%. Variability in techniques, such as ethanol concentration and retention time, likely influenced outcomes. Conclusions: Ethanol sclerotherapy offers a promising alternative to surgery, showing lower RR and potential preservation of ovarian function. Despite these benefits, inconsistencies in procedural protocols and limited data on long-term fertility outcomes necessitate further research. Standardized guidelines and larger cohort studies are essential to establish sclerotherapy's role in endometrioma management, especially for fertility preservation.
Operative treatment for adenomyosis: update on literature review Winata, Gde Sastra; Suardika, Anom; Mahayasa, Putu Doster; Budiana, Nyoman Gede; Kamajaya, I Gusti Ngurah Agung Trisnu
Indonesian Journal of Perinatology Vol. 5 No. 2 (2024): (Available online: 1 December 2024)
Publisher : The Indonesian Society of Perinatology, South Jakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51559/inajperinatol.v5i2.58

Abstract

Adenomyosis, a condition characterized by the presence of endometrial tissue within the myometrium, poses significant challenges in diagnosis and management due to its widespread and infiltrative nature. Operative treatment remains the primary treatment of choice for patients with symptomatic adenomyosis, especially those seeking fertility preservation or uterine conservation. This review explores the latest surgical techniques, emphasizing the balance between effective lesion removal and preservation of uterine function. Techniques such as asymmetric dissection, wedge resection, and various flap methods are discussed, highlighting their role in minimizing the loss of healthy myometrium while preserving uterine integrity. The evolution of laparoscopic and robotic approaches has improved accuracy and recovery, while innovative procedures such as the PUSH operation offer improved structural healing after excision. The choice of technique is guided by preoperative imaging and intraoperative findings, tailored to the extent and location of adenomyosis involvement. This review underscores the importance of individualized surgical strategy in achieving optimal outcomes in the surgical management of adenomyosis.
Role of hypogastric artery ligation in obstetric and gynecological hemorrhage: narrative review Winata, Gde Sastra Winata; Suardika, Anom; Mahayasa, Putu Doster; Budiana, Nyoman Gede; Kamajaya, I Gusti Ngurah Agung Trisnu
Indonesian Journal of Perinatology Vol. 5 No. 2 (2024): (Available online: 1 December 2024)
Publisher : The Indonesian Society of Perinatology, South Jakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51559/inajperinatol.v5i2.59

Abstract

Hypogastric artery ligation (HAL) is a vital surgical intervention for controlling severe pelvic hemorrhage in obstetric and gynecological cases. This narrative review examines the efficacy, safety, and implications of HAL in managing life-threatening hemorrhages, including postpartum hemorrhage (PPH) and gynecological emergencies. HAL is particularly effective in addressing hemorrhage associated with uterine atony, placenta accreta spectrum disorders, and secondary bleeding following hysterectomy or gynecological surgeries. Success rates vary widely, ranging from 33.3% to 89.2%, depending on the indication and clinical scenario. HAL offers significant advantages in fertility preservation, especially in cases where uterine conservation is desired. The procedure has been shown to reduce arterial pulse pressure by 85% and overall blood flow by nearly 50%, enabling effective hemostasis. Despite these benefits, the success of HAL heavily depends on the surgeon's expertise and the timely identification of hemorrhage. While complications such as organ ischemia and collateral vessel injury are rare, their potential underscores the need for meticulous surgical technique and postoperative monitoring. The search strategy for this review included PubMed databases, focusing on articles published up to 2019 with keywords such as "Hypogastric Ligation," "hypogastric ligation gynecology," and "hypogastric ligation obstetric." A total of 262 studies were initially identified, with 8 meeting the inclusion criteria for detailed analysis. These studies highlight HAL's role as a fertility-sparing, cost-effective option for managing severe pelvic hemorrhage, making it an indispensable tool in obstetric and gynecological practice.
Metastatic breast cancer during pregnancy: a case report Widi, Made Yudha Ganesa Wikantyas; Putra, Wayan Artana; Kusuma, Anak Agung Ngurah Jaya; Wiradnyana, Anak Agung Putra; Sanjaya, I Nyoman Hariyasa; Budiana, I Nyoman Gede; Mahayasa, Putu Doster; Marta, Kadek Fajar
Indonesian Journal of Perinatology Vol. 6 No. 1 (2025): (Available online: 1 June 2025)
Publisher : The Indonesian Society of Perinatology, South Jakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51559/inajperinatol.v6i1.73

Abstract

Introduction: Breast cancer is the most prevalent malignancy among women and a notable comorbidity during pregnancy. Pregnancy-associated breast cancer (PABC) presents unique challenges due to physiological breast changes that complicate early diagnosis. This case report aimed to present a 31-year-old female with a diagnosis of bilateral breast tumors, pleural effusion, and multiple thoracic soft tissue tumors during her second pregnancy, highlighting the complexities and treatment considerations involved. Case presentation: A 31-year-old female patient, referred to Prof. Dr. I. G.N.G Ngoerah General Hospital, Denpasar, was in her second pregnancy at 20-21 weeks of gestation. She presented with bilateral breast lumps, worsening pain, and shortness of breath. Her obstetric history included a previous cesarean delivery and two abortions. Clinical examination revealed pleural effusion and multiple nodules suggestive of metastases. Biopsies confirmed tubular adenoma in the right breast and invasive breast carcinoma in the left breast. Ultrasound and chest x-ray findings indicated metastases to the liver and lungs. The patient was diagnosed with G4P1021 at 20 weeks of gestation with pregnancy-associated bilateral breast cancer and metastases. Conclusion: PABC diagnosis and treatment are fraught with challenges due to the need to balance maternal and fetal health. Delays in diagnosis, limited antenatal care, and the aggressive nature of PABC contribute to poor outcomes. This case underscores the necessity of early detection, prompt multidisciplinary intervention, and tailored treatment strategies to improve PABC patients' prognoses.