Ali Marwan HSB, Ali Marwan
Unknown Affiliation

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR Hsb, Ali Marwan; Butar, Hisar Butar
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 13, No 4 (2016): Jurnal Legislasi Indonesia - Desember 2016
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v13i4.82

Abstract

Kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam hal pengujian peraturan perundang-undangan hanya untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Akan tetapi, dalam putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pengujian atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi menyatakan beberapa peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut tidak memenuhi prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Sehingga akan dilihat bagaimana akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tersebut dan bagaimana daya berlaku dari peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tersebut. Pasal 57 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tetap berlaku sepanjang belum ada putusan atau aturan yang menyatakannya tidak berlaku lagi. Untuk menghindari adanya peraturan pemerintah yang diundangkan setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan undang-undang yang menjadi dasar hukum pengundangan peraturan pemerintah tersebut, agar dibuat aturan bahwa pada saat Mahkamah Konstitusi memeriksa dan mengadili suatu undang-undang, maka proses pembentukan peraturan pelaksana atas undang-undang yang diuji tersebut agar dihentikan sementara sampai ada putusan dari Mahkamah Konstitusi.
PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG HSB, Ali Marwan
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 13, No 2 (2016): Jurnal Legislasi Indonesia - Juni 2016
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v13i2.144

Abstract

Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Tetapi, jika mengacu pada hierarki peraturan perundang-undangan, undang-undang mempunyai hierarki yang sama dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Yang menjadi pertanyaan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar? Berdasarkan penelitian dalam tulisan ini, ditemukan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kewenangan untuk menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena materi muatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sama dengan undang-undang. Sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang secara materiil. Putusan tersebut sudah tepat, Mahkamah Konstitusi berwenang menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang secara materiil karena materi muatannya sama dengan undang-undang. Sedangkan pengujian secara formil seyogianya menjadi kewenangan Mahkamah Agung karena peraturan pemerintah pengganti undang-undang secara formal bentuknya adalah peraturan pemerintah.
KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Hsb, Ali Marwan
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 14, No 1 (2017): Jurnal Legislasi Indonesia - Maret 2017
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v14i1.71

Abstract

Dalam dinamika sejarah di Indonesia frasa “kegentingan yang memaksa” memiliki pengertian yang multitafsir dan menjadi wewenang dari Presiden untuk menafsirkan kegentingan yang memaksa tersebut dalam pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Seyogianya, dalam menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, harus ada batasan yang objektif mengenai kegentingan yang memaksa tersebut. Hal inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini, apa saja syarat agar suatu keadaan dapat dikatakan sebagai kegentingan yang memaksa? Dari penelitian dalam tulisan ini, ditemukan bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa kegentingan yang memaksa harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan kendala yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
PELAKSANAAN KEWENANGAN ATRIBUSI PEMERINTAHAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH HSB, ALI MARWAN; JULIANTHY, EVLYN MARTHA
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 15, No 2 (2018): Jurnal Legislasi Indonesia - Juni 2018
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v15i2.164

Abstract

In the practice of the implementation of regional autonomy in Indonesia, the Regional Government has the authority to regulate its own territory by the division of authority as regulated in Act No. 23 of 2014 on Local Government. These powers are matters related to concurrent matters comprising compulsory and optional matters. The question is in the form of a legal product whether local governance regulates these authorities. Based on the search of various provisions of the legislation it can be concluded that the regulation on the exercise of the authority of attribution is to be by local regulations. This is directly related to the content of regional regulatory content, one of which is in the context of regional autonomy. In this regard, it is suggested that in relation to the exercise of the authority of attribution or concurrent affairs of local government shall be governed by regional regulations.
JUDICIAL REVIEW DAN LEGISLATIVE REVIEW TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG HSB, ALI MARWAN
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 17, No 1 (2020): Jurnal Legislasi Indonesia - Maret 2020
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v17i1.515

Abstract

Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang menjadi dasar bagi Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan kewenangan menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai saingan bagi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Hal ini terlihat dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang amar putusannya tidak dapat diterima. Karena objek pengujiannya hilang karena disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Hal ini tentunya merugikan para pencari keadilan yang berjuang di Mahkamah Konstitusi karena harus mengajukan permohonan ulang. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan upaya agar tidak terjadi perlombaan antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Hal yang harus dilakukan  adalah dengan menerapkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, di mana Dewan Perwakilan Rakyat tidak diperkenankan melakukan    pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Sehingga kemudian, Dewan Perwakilan Rakyat tidak perlu lagi bersusah payah untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang jika sudah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi. Ini bisa menjadi bukti nyata bahwa Indonesia adalah negara hukum yang lebih mengedepankan putusan lembaga hukum daripada keputusan lembaga politik.
PERAN KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMENGARUHI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI HSB, ALI MARWAN
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 16, No 2 (2019): Jurnal Legislasi Indonesia - Juni 2019
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v16i2.489

Abstract

Ketidakpercayaan pencari keadilan untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi tentu menjadi satu masalah dalam proses pencarian keadilan di Indonesia. Hanya dikarenakan Ketua Mahkamah Konstitusi diduga melakukan lobi-lobi dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian dianggap Mahkamah Konstitusi tidak lagi objektif dalam memutuskan suatu perkara. Dalam tulisan ini kemudian akan dilihat bagaimana sebenarnya keberadaan atau peran seorang Ketua Mahkamah Konstitusi dalam memengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam proses pengambilan keputusan pada Rapat Permusyawaratan Hakim, orang Ketua tidak bisa mendikte dan memaksakan isi putusan sebagaimana yang diinginkannya kepada semua hakim konstitusi lain. Hal ini jelas terlihat dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, di mana seorang Ketua Mahkamah Konstitusi kalah dalam perdebatan di Rapat Permusyawaratan Hakim dan mengajukan dissenting opinion. Dari hal tersebut juga dapat dilihat bahwa seorang Ketua Mahkamah Konstitusi tidak bisa memengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi dengan kedudukannya, melainkan dengan argumentasinya terhadap suatu perkara. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya dugaan-dugaan lobi antara hakim konstitusi termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi dengan lembaga negara pengusul disarankan agar proses perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi tidak lagi dilakukan fit and proper test.
PUTUSAN FINAL MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM HAL PEMAKZULAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN HSB, Ali Marwan
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 14, No 3 (2017): Jurnal Legislasi Indonesia - September 2017
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v14i3.101

Abstract

Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat dalam melaksanakan kewenangan menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Lebih lanjut dalam Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam melaksanakan kewajiban Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak disebutkan bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini mencoba meneliti sifat putusan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
PEMILIHAN KEPALA DAERAH YANG DEMOKRATIS BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-IX/2013 HSB, Ali Marwan
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 13, No 3 (2016): Jurnal Legislasi Indonesia - September 2016
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v13i3.147

Abstract

Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis. Frasa dipilih secara demokratis kemudian menimbulkan polemik di dalam penerapannya, apakah dipilih secara langsung oleh rakyat atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau ada cara-cara lain. Hal inilah yang coba dijelaskan di dalam tulisan ini. Tulisan ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah dan pendekatan peraturan perundang-undangan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa dalam sejarahnya di Indonesia pernah dilaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung maupun melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan cara-cara lain. Bahwa pemilihan secara demokratis menurut tafsir Mahkamah Konstitusi bisa saja dilaksanakan secara langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat atau dengan cara-cara lain asalkan mengedepankan prinsip demokrasi yaitu langsung, umum, bebas dan rahasia.
IDEAL FORM OF DETERMINATION REGIONAL MEDIUM-TERM DEVELOPMENT PLAN Hsb, Ali Marwan; Irwansyah, Irwansyah
NOMOI Law Review Vol 6, No 2 (2025): November Edition
Publisher : NOMOI Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30596/nomoi.v6i2.26572

Abstract

Development plans at the regional level are included in the regional medium-term development plan, which is then stipulated by legislation. However, in terms of regulations, there is dualism in regulations related to regional medium-term development plans, namely Article 19 paragraph (3) of Law Number 25 of 2004 concerning the National Development Planning System stipulated by the Regional Head Regulation and Article 264 paragraph (1) of Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government stipulated by the Regional Regulation. This research uses a normative research method with a statute approach. This research shows that in the future, ideally, regional medium-term development plans are stipulated by the Regional Head Regulation because regional medium-term development plans are an elaboration of the regional head's vision and mission and for synchronization with regulations at the central level.