Fenomena perundungan (bullying) di lingkungan pesantren menunjukkan adanya pola siklus kekerasan, di mana santri yang sebelumnya menjadi korban kemudian beralih menjadi pelaku saat menduduki posisi senior. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi perubahan peran santri dari korban menjadi pelaku bullying serta mengidentifikasi faktor-faktor psikologis yang mempengaruhinya. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus, untuk menggali pengalaman subjektif santri yang pernah mengalami dan melakukan tindakan bullying. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kebutuhan untuk berkuasa, pengalaman trauma masa lalu, rendahnya empati, serta kurangnya kemampuan pengendalian emosi. Santri yang sebelumnya menjadi korban cenderung mereproduksi perilaku kekerasan sebagai bentuk legitimasi dan penguatan status sosial saat mereka menjadi senior. Temuan ini menegaskan pentingnya intervensi psikologis di pesantren, seperti program pengembangan empati, pelatihan pengelolaan emosi, serta pendampingan bagi santri yang mengalami trauma. Upaya ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan pesantren yang lebih aman, suportif, dan bebas dari siklus kekerasan, serta menjadi dasar pengembangan program pencegahan dan rehabilitasi kasus bullying di pesantren.