Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Hidrotoraks Masif Dekstra dengan Penyulit ARDS Akibat Komplikasi Pemasangan Kateter Vena Sentral Jugular Interna Kinanti Narulita Dewi; Wiwi Jaya; Arie Zainul Fatoni
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 8, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v8n2.2072

Abstract

Hidrotoraks merupakan komplikasi yang jarang terjadi akibat pemasangan kateter vena sentral dengan angka insidensi 0,4–1,0%. Insidensi komplikasi mekanik lebih rendah pada insersi vena jugularis dibanding dengan vena subklavia. Pada kasus ini, kami melaporkan pasien laki-laki berusia 63 tahun dengan berat badan 70 kg. Pasien dengan ASA 4E sepsis dan curiga keganasan. Pasien ini didiagnosis akut abdomen karena  total bowel obstruction dan rencana dilakukan tindakan laparotomi dengan anestesi umum. Pasien ini telah dipasang kateter vena sentral saat di IGD. Pasien dilakukan tindakan anestesi umum selama 3 jam dan mendapatkan cairan intraoperatif 1.500 cc melalui kateter vena sentral. Pascaoperasi, pasien tidak dapat dilakukan ekstubasi karena napas tidak adekuat dan hemodinamik tidak stabil sehingga pasien dirawat di ruang ICU. Saat pasien tiba di ruang ICU, pada pemeriksaan fisis ditemukan suara napas paru kanan menurun dan perkusi redup pada paru kanan. Hasil analisis gas darah menunjukkan hipoksemia berat dan asidosis. Pemeriksaan foto rontgen dada ditemukan gambaran efusi pleura masif. Kami melakukan evakuasi kurang lebih 2,2 liter cairan berwarna kemerahan dari kavum pleura dan memasang selang chest tube pada paru kanan. Pasien mengalami acute respiratory distress syndrome (ARDS). Tata laksana pasien dengan sepsis dan ARDS berfokus pada prinsip lung protective strategy dan sepsis bundle sesuai dengan surviving sepsis campaign (SSC) 2018.Right Massive Hydrothorax with ARDS due to Complication of Internal Jugular Central Venous Catheter InsertionHydrothorax is a rare complication seen in approximately 0.4–1.0 % of all catheter placements. The major mechanical complication incidence of internal jugular vein insertion is lower than the one in the subclavia vein. This study presented a case of a 63-year-old, 70 kg man with ASA 4E sepsis and suspected malignancy. Patient was diagnosed with acute abdomen pain due to total bowel obstruction and underwent exploratory laparotomy with general anesthesia. A right jugular central venous catheter (CVC) was inserted in the ER. Patient was under general anesthesia for 3 hours and 1,500 cc intra operative fluid was administered through the CVC. After surgery, the patient experienced extubation failure and was admitted to ICU because of inadequate spontaneous breathing and hemodynamic instability. Patient experienced reduced breath sound and the resonance to percussion was dull in the right hemithorax. The BGA presented severe hypoxemia and acidosis while the chest x-ray showed right sided massive pleural effusion. Almost 2.2 liter of clear reddish fluid was drained from pleural cavity and a chest tube was inserted. Patient was then diagnosed as having acute respiratory distress syndrome (ARDS). Treatment for sepsis and ARDS was then given by focusing on the principle of lung protective strategy and sepsis bundle according to surviving sepsis campaign (SSC) 2018.
Korelasi Kadar Prokalsitonin dan Jumlah Eosinofil pada Pasien Sepsis di Ruang Intensive Care Unit RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang Ruddi Hartono; Karmini Yupono; Yana Agung Satriasa; Arie Zainul Fatoni
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (15.067 KB) | DOI: 10.14710/jai.v12i1.25713

Abstract

Latar Belakang: Sepsis merupakan suatu kondisi di mana terjadi ketidak seimbangan sistem pertahanan tubuh ketika terjadi infeksi. Prokalsitonin merupakan parameter baru yang  berperan penting dalam diagnosis klinis sepsis dan merupakan parameter yang paling akurat. Eosinopenia diketahui sebagai respons inflamasi tipe akut sehingga dapat digunakan sebagai salah satu penanda diagnosis sepsis.Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara kadar prokalsitonin dengan jumlah eosinofil pada pasien sepsis.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional analitik untuk mengkaji hubungan antara prokalsitonin dengan jumlah eosinofil pada pasien sepsis yang dirawat di intensive care unit (ICU) RSUD Dr. Saiful Anwar Malang. Penelitian ini menggunakan data rekam medis 74 pasien sepsis yang diperiksa kadar prokalsitonin dan jumlah eosinofil. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji korelasi Spearman (p<0.05) menggunakan software SPSS 16.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan jika ada korelasi yang kuat antara kadar prokalsitonin dan jumlah eosinofil (p= 0.000) dengan koefisien korelasi -0.610. Penderita sepsis memiliki kadar prokalsitonin yang berbanding terbalik dengan jumlah eosinofil.Kesimpulan: Eosinofil dibuktikan memiliki korelasi yang kuat dengan prokalsitonin. Eosinofil berpotensi menjadi alternatif biomarker diagnosis sepsis pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan kadar prokalsitonin.
Perbandingan Efek Pemberian Ondansetron dan Petidin Intravena untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Arie Zainul Fatoni; Isngadi Isngadi; Wiwi Jaya
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 2 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v6i2.7718

Abstract

Latar belakang : Menggigil merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca tindakan anestesi umum yang berdampak tidak nyaman pada pasien dan menimbulkan berbagai resiko. Oleh sebab itu, menggigil perlu dicegah atau diatasi. Sampai saat ini obat yang paling sering digunakan di RSSA adalah petidin. Akan tetapi petidin mempunyai efek samping mual, muntah dan depresi napas. Ondansetron merupakan antagonis 5-HT3 yang mempunyai efek anti mual, anti muntah dan anti menggigil.Tujuan : Mengetahui perbedaan efek pemberian ondansetron 0.1 mg/kgbb dengan petidin 0.4 mg/kgbb intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum.Metode : Penelitian eksperimental dengan rancangan “single blind true experimental design” pada 32 pasien dengan usia 18 – 40 tahun yang menjalani operasi 1 – 3 jam dengan anestesi umum. Pada akhir operasi, pasien dibuat bernafas spontan. Dua puluh menit sebelum ekstubasi, pasien dibagi menjadi dua kelompok : kelompok I mendapatkan petidin 0.4 mg/kgbb dan kelompok II mendapatkan ondansetron 0.1 mg/kgbb. Ekstubasi dilakukan setelah pasien bernafas spontan adekuat dan refleks laring sudah ada. Pasca ekstubasi pasien diberi oksigen 8L/menit. Tanda vital, efek samping dan kejadian menggigil dicatat tiap lima menit selama 30 menit. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan Mann Whitney, dengan derajat kemaknaan yaitu nilai p< 0.05.Hasil : Data karakteristik pasien antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05). Kejadian menggigil pada kelompok I terjadi pada 4 pasien (25%), menggigil derajat 1 pada 3 pasien dan sisanya derajat 2. Pada kelompok II, 3 pasien (18.75%) mengalami kejadian menggigil, menggigil derajat 1 pada 2 pasien dan sisanya derajat 2. Kejadian dan derajat menggigil antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05). Suhu membran timpani kelompok I dan kelompok II juga tidak bermakna (p>0.05). Dua pasien (12.5%) pada kelompok I mengalami mual sedangkan pada kelompok II tidak didapatkan efek samping (p=0.151) tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05).Kesimpulan : Petidin 0.4 mg/kgbb dan ondansetron 0.1mg/kgbb mempunyai efek yang sama dalam mencegah menggigil pasca anestesi umum.
Early Percutaneous Dilatational Tracheostomy pada Pasien COVID-19 dengan Gagal Napas: Laporan Kasus Ahmad Feza Fadhlurrahman; Rudy Vitraludyono; Taufiq Agus Siswagama; Arie Zainul Fatoni
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia (Issue in Progress)
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v0i0.37286

Abstract

Latar belakang: Pasien kritis dengan infeksi coronavirus disease 2019 (COVID-19) memiliki kecenderungan untuk perawatan ventilasi mekanik dalam waktu yang lama. Perawatan dengan translaryngeal intubasi dalam waktu lama beserta penggunaan sedasi dan tindakan lainnya di intensive care unit (ICU) dapat memunculkan beberapa komplikasi lebih lanjut.Kasus: Pasien perempuan pascaoperasi sectio caesaria dengan gagal napas akibat infeksi COVID-19.  Pasien mendapat support high flow nasal canule (HFNC) di awal perawatan di ICU. 4 hari perawatan, kondisi distress napas pasien memberat dan dilakukan intubasi translaryngeal. Dari evaluasi kondisi pasien selama 4 hari perawatan dengan ventilasi mekanik, tim ICU memutuskan melakukan tracheostomy melalui pendekatan dilatasi perkutan. Prosedur dilakukan di ruang bertekanan negatif dengan penggunaan alat pelindung diri (APD) level 3. Kondisi pasien berangsur mengalami perbaikan selama 7 hari perawatan dengan tracheostomy. Support ventilasi yang minimal, kebutuhan fraksi oksigen yg menurun dan perbaikan kondisi umum menjadi pertimbangan dilakukan dekanulasi. 3 hari pasca dekanulasi pasien dipindah rawat ke ruangan dengan kondisi stabil.Selama perawatan di ICU, pasien mendapat standar terapi berupa antiviral, antibiotik, antikoagulan, analgesik, steroid, dan obat penunjang lainnya.Pembahasan: Tindakan tracheostomy berhubungan dengan insiden pneumonia yang lebih rendah, penurunan penggunaan obat sedasi dan percepatan masa lepas rawat dari ventilasi mekanik. Early tracheostomy dilakukan sebelum hari ke-10 intubasi. Teknik dilatasi perkutan memiliki kelebihan atas efektifitas dan efisiensi biaya dan alat pendukung. Tindakan percutaneous dilatational tracheostomy (PDT) pada pasien COVID-19 harus dilakukan dengan proteksi tenaga medis yang optimal.Kesimpulan: Early tracheostomy dapat dipertimbangkan dalam tatalaksana pasien kritis COVID-19. Penilaian kondisi klinis pasien dan proteksi tenaga medis merupakan faktor utama menentukan tindakan early tracheostomy pada pasien COVID-19.
Diameter dan Indeks Inferior Vena Cava (IVC) Berkorelasi dengan Central Venous Pressure (CVP) pada Pasien Kritis yang Menggunakan Ventilasi Mekanik di Intensive Care Unit (ICU) Buyung Hartiyo Laksono; Arie Zainul Fatoni; Vilda Prasastri Yuwono; Aswoco Andyk Asmoro
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v13i2.33829

Abstract

Latar belakang: Pengukuran central venous pressure (CVP) merupakan salah satu metode guiding deresusitasi pada pasien dengan kasus tertentu. Kenaikan nilai CVP 1 mmHg dikaitkan dengan peningkatan angka kejadian acute kidney injury (AKI). Namun sebagai sebuah metode yang invasif, pemasangan CVP memiliki risiko yang perlu diperhatikan. Di sisilain, pengukuran diameter dan indeks IVC yang bermuara di atrium kanan dengan menggunakan ultrasonografi (USG) non-invasif dinilai mampu untuk memprediksi nilai CVP pada pasien. Namun beberapa penelitian hubungan antara CVP dengan diameter dan indeks IVC memberikan hasil yang kontroversial.Tujuan: Penelitian untuk mengetahui hubungan antara nilai CVP dengan diameter dan indeks IVC.Metode: Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional pada 30 pasien yang dilakukan ventilasi mekanik dan pemasangan CVC di unit perawatan intensif. Parameter CVP, diameter minimum dan maksimum inferior vein cava (IVC mak, IVC min), distensibillity index (DI-index), dan aortacaval index (Cava/Ao index) diukur. Data dianalisis menggunakan uji korelasi pada SPPS 18.0 (p<0.05).Hasil: Didapatkan korelasi signifikan antara CVP dan semua variabel yang diuji (IVC mak, IVC min, DI-index, dan Cava/Ao index) (p<0.05), dengan korelasi terkuat antara CVP dan IVC min (R= 0,908). Korelasi bersifat positif, kecuali antara DI-index dan CVP.Kesimpulan: Parameter IVC min, IVC mak, Cava/Ao- index, dan DI-index signifikan berkorelasi kuat dengan CVP. Korelasi terjadi bersifat positif, kecuali antara DI-index dan CVP.
Delta Inferior Vena Cava Index Correlated with Mean Arterial Pressure (MAP) in Spinal Anesthesia Wiwi Jaya; Ulil Abshor; Buyung Hartiyo Laksono; Arie Zainul Fatoni
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 2, No 2 (2021): May
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2021.002.02.04

Abstract

Background: Spinal anesthesia has become an alternative to general anesthesia. However, spinal anesthesia has the most common side effects including, bradycardia and hypotension. The aim of this study was to determine the relationship between changes in the inferior vena cava index (delta inferior vena cava index) to changes in mean arterial pressure in spinal anesthesia.Methods: This study was an observational pre-post test study in thirty-two patients who received spinal anesthesia. The inferior vena cava index (inferior vena cava collectibility index and caval-aorta index) was measured before and after spinal anesthesia (5 and 10 minutes after onset). Data were analyzed using the Kolmogorov Smirnov test, Shapiro-Wilk test, T-test, and correlation test with α=5%Result: There was a significant difference in mean arterial pressure (MAP), delta inferior vena cava collectibility index (D-IVC-CI), and delta caval-aorta index (D-CAo-I) before and after spinal anesthesia. D-IVC-CI and D-CAo-I are significantly correlated with MAP. The correlation between D-IVC-CI and MAP had R = -0.371 (P <0.05) at 5 minutes post-anesthesia, while D-CAo-I and MAP had R = 0.472 (P <0.05) at 10 minutes post-anesthesia. Conclusion: The delta inferior vena cava index is correlated with the mean arterial pressure (MAP) value in spinal anesthesia.
Tatalaksana Catheter Related Bloodstream Infection (CRBI) di Intensive Care Unit (ICU) Resa Putra Adipurna; Arie Zainul Fatoni
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 2 (2020): May
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.02.03

Abstract

 Catheter-related bloodstream infection (CRBI) didefinisikan sebagai adanya bakteremia yang berasal dari kateter intravaskular. CRBI adalah masalah iatrogenik yang menyebabkan morbiditas, mortalitas, lama rawat inap yang berlebih, dan biaya berlebih. Diagnosis yang akurat dapat ditegakkan berdasarkan biakan spesimen darah dan kateter yang dikumpulkan dengan tepat. Panduan berbasis bukti tersedia untuk menginformasikan pengobatan antibiotik dan manajemen kateter ketika infeksi terjadi. Risiko CRBI dapat dikurangi dengan mengoptimalkan pemilihan, penyisipan dan pemeliharaan kateter, dan dengan melepas kateter saat tidak diperlukan lagi.
Manajemen Pasien Dekstroskoliosis Berat dengan Kegagalan Napas yang disebabkan oleh Syok Septik dan Pneumonia Aulia Martyana Achsar; Arie Zainul Fatoni
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 2, No 1 (2021): January
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2021.002.01.05

Abstract

Latar belakang: Dekstroskoliosis adalah jenis skoliosis dengan deformitas kurva tulang belakang ke kanan. Dekstroskoliosis berat dengan Cobbs Angle > 70o mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru, Functional Residual Capacity (FRC), volume tidal, dan mempunyai kondisi seperti penyakit paru restriktif. Pada kondisi berat dapat menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia dan gagal napas. Penyebab tersering gagal napas pada pasien dekstroskoliosis berat ialah sepsis/syok septik yang disebabkan oleh pneumonia. Sampai saat ini belum ada tatalaksana khusus yang menjelaskan tentang manajemen pasien dekstroskoliosis berat dengan gagal napas yang disebabkan syok septik dan pneumonia.Kasus: Pria berusia 46 tahun dengan berat badan 40 kg dan tinggi badan 165 cm rujukan dari Rumah Sakit luar dengan riwayat sesak napas dan kehilangan kesadaran sejak satu minggu sebelumnya, masuk ke Instalasi Gawat Darurat dengan laju pernapasan 40 x/menit, dengan menggunakan Nonrebreathing Mask 15 lpm saturasi oksigen terukur hanya 90% dengan tekanan darah 60/40 mmHg dan laju nadi 120 x/menit. Pasien memiliki riwayat batuk dengan dahak kuning dan demam sekitar 1 bulan. Pasien dinilai sebagai gagal napas dengan dekstroskoliosis berat dan penyulit syok septik dan Community Acquired Pneumonia, kami lakukan tindakan intubasi dan resusitasi sesuai sepsis bundle terbaru, pasien kemudian kami rawat di Intensive Care Unit (ICU) selama 10 hari dengan bantuan ventilasi mekanik invasif dengan menggunakan prinsip Lung protective strategy dan Survival Sepsis Campaign Bundle terbaru, hari ke 11 pasien stabil bisa lepas dari ventilator dan dipindahkan ke bangsal.Kesimpulan: Lung protective strategy dan Survival Sepsis Campaign Bundle dapat digunakan untuk manajemen pasien dekstroskoliosis berat dengan gagal napas yang disebabkan syok septik dan pneumonia. 
Kesesuaian antara Persiapan Darah Preoperatif dengan Kebutuhan Darah Durante Operasi Total Hip Replacement (THR) dan Total Knee Replacement (TKR) pada Operasi Elektif di RSSA Devi Ariani; Ristiawan Muji Laksono; Arie Zainul Fatoni
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 1, No 3 (2020): September
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2020.001.03.01

Abstract

 Latar belakang: Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar saat ini belum memiliki tata peraturan permintaan darah sehingga permintaan didasarkan dengan kebiasaan atau pengalaman. Akibatnya, sering terjadi ketidaksesuaian antara jumlah darah yang disiapkan dengan kebutuhan darah intraoperatif pada pasien yang menjalani operasi Total Hip Replacement dan Total Knee Replacement pada pembedahan elektif di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara persiapan darah preoperatif dengan kebutuhan darah durante operasi pada operasi elektif di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional pada 109 subjek yang menjalani  total hip replacement (THR) (63 pasien)  dan total knee replacement (TKR) (46 pasien). Data rekam medis yang didapat diolah dengan menggunakan Ms Office Excell. Data yang diamati berupa kesesuaian jumlah darah yang disediakan dengan jumlah darah yang dibutuhkan. Data dianalisis menggunakan uji Korelasi menggunakan SPSS 18.00.Hasil: Sebanyak 61,90 % dari subjek Total Hip Replacement dan 50% dari operasi Total Knee Replacement tidak memiliki kesesuaian antara darah yang disiapkan dengan darah yang dibutuhkan. Jumlah total darah yang digunakan pada Total Hip Replacement sebanyak 36 labu (31,58%) dari 144 labu darah yang disiapkan, sedangkan pada operasi Total Knee Replacement 45 labu (100%) darah yang disiapkan tidak digunakan. Waktu operasi THR berbanding lurus dengan jumlah perdarahan pada kedua jenis operasi. Rata-rata perdarahan pada operasi TKR sebanyak 134,02 ml sedangkan pada operasi THR sebanyak 601,11 ml. Kesimpulan: Pada operasi THR didapatkan ketidaksesuaian antara persiapan darah preoperatif dengan kebutuhan darah durante operatif yang lebih besar dibandingkan dengan operasi TKR. Perlu dilakukan pengurangan dalam penggunaan darah atau pengetatan aturan transfusi sehingga dapat berefek baik terhadap pasien dan manajemen rumah sakit. 
Peranan C-Reactive Protein (CRP) pada Pasien Sepsis di Intensive Care Unit (ICU) Harri Kurnia Chandra; Arie Zainul Fatoni
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 2, No 1 (2021): January
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2021.002.01.01

Abstract

Sepsis adalah suatu keadaan gawat darurat yang merupakan respons imunologis sistemik tubuh terhadap proses infeksi yang dapat berujung pada kerusakan organ dan kematian. Sepsis merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Tatalaksana sepsis juga terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu marker inflamasi sederhana yang mudah dilakukan, memiliki sensitivitas yang cukup baik terhadap diagnosis sepsis.Kadar CRP yang tinggi telah dipelajari dalam kaitannya dengan prognosis dan mortalitas pada pasien sepsis di intensive care unit (ICU)