Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

MAKNA SIMBOLIS BATIK PADA MASYARAKAT JAWA KUNA Maziyah, Siti; Mahirta, Mahirta; Atmosudiro, Sumijati
Paramita: Historical Studies Journal Vol 26, No 1 (2016): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v26i1.5143

Abstract

This research aims to analyze symbolic meaning of batik in the ancient Javanese society. Next, it is also analyze whether the existence of batik can describe  cultures  in contemporary society. The research uses historical method in order to obtain field data and facts. Because of the required data consist of inscription which contains of sîma area in the Ancient Mataram Kingdom era made approximately in  IX-XV M,  so those data are collected either from Jakarta National Museum or pada National Library in  Jakarta. Then, interpretation is conducted to synthesize any field facts. The final stage is historiography, that is a writing process  of any available facts  becoming history writing. According to discussion above, it can be concluded that batik motif in the Ancient Javanese society has symbolic meaning  and it can be used as communication tools for contemporary society. The Ancient Javanese society realizes that from batik motif, it can be identified the social stratification of society. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna simbolis batik pada masyarakat Jawa Kuna.Kemudian, dianalisis juga tentang apakah melalui keberadaan batik itu dapat mendiskripsikan kebudayaan masyarakat sezaman.Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dalam upaya untuk mendapatkan data dan fakta yang ada di lapangan. Mengingat data yang dibutuhkan berupa prasasti yang berisi tentang daerah sîma pada masa Kerajaan Mataram Kuna yang dibuat sekitar abad IX-XV M, maka data-data tersebut “digali” di Museum Nasional Jakarta maupun pada Perpustakaan Nasional di Jakarta.Selanjutnya dilakukan interpretasi untuk mensintesiskan segala fakta yang terdapat di lapangan. Langkah terakhir adalah historiografi, yaitu proses penulisan segala fakta yang ada menjadi sebuah tulisan sejarah.Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa motif batik pada masyarakat Jawa Kuna itu memiliki makna simbolik dan dapat digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi bagi masyarakat sezaman.Masyarakat Jawa Kuna menyadari bahwa melalui motif-motif batik dapat diketahui stratifikasi sosial masyarakat. 
MAKNA SIMBOLIS BATIK PADA MASYARAKAT JAWA KUNA Maziyah, Siti; Mahirta, Mahirta; Atmosudiro, Sumijati
Paramita: Historical Studies Journal Vol 26, No 1 (2016): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v26i1.5143

Abstract

This research aims to analyze symbolic meaning of batik in the ancient Javanese society. Next, it is also analyze whether the existence of batik can describe  cultures  in contemporary society. The research uses historical method in order to obtain field data and facts. Because of the required data consist of inscription which contains of sîma area in the Ancient Mataram Kingdom era made approximately in  IX-XV M,  so those data are collected either from Jakarta National Museum or pada National Library in  Jakarta. Then, interpretation is conducted to synthesize any field facts. The final stage is historiography, that is a writing process  of any available facts  becoming history writing. According to discussion above, it can be concluded that batik motif in the Ancient Javanese society has symbolic meaning  and it can be used as communication tools for contemporary society. The Ancient Javanese society realizes that from batik motif, it can be identified the social stratification of society. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna simbolis batik pada masyarakat Jawa Kuna.Kemudian, dianalisis juga tentang apakah melalui keberadaan batik itu dapat mendiskripsikan kebudayaan masyarakat sezaman.Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dalam upaya untuk mendapatkan data dan fakta yang ada di lapangan. Mengingat data yang dibutuhkan berupa prasasti yang berisi tentang daerah sîma pada masa Kerajaan Mataram Kuna yang dibuat sekitar abad IX-XV M, maka data-data tersebut “digali” di Museum Nasional Jakarta maupun pada Perpustakaan Nasional di Jakarta.Selanjutnya dilakukan interpretasi untuk mensintesiskan segala fakta yang terdapat di lapangan. Langkah terakhir adalah historiografi, yaitu proses penulisan segala fakta yang ada menjadi sebuah tulisan sejarah.Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa motif batik pada masyarakat Jawa Kuna itu memiliki makna simbolik dan dapat digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi bagi masyarakat sezaman.Masyarakat Jawa Kuna menyadari bahwa melalui motif-motif batik dapat diketahui stratifikasi sosial masyarakat. 
PERILAKU KONSUMSI KERANG OLEH MASYARAKAT PESISIR DESA HALERMAN, ALOR BARAT DAYA, NUSA TENGGARA TIMUR Yuni Suniarti; nfn Mahirta; Susan Lilian O'Connor; Widya Nayati
Forum Arkeologi VOLUME 32, NOMOR 2, OKTOBER, 2019
Publisher : Balai Arkeologi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2827.837 KB) | DOI: 10.24832/fa.v32i2.556

Abstract

Exploitation of aquatic resources has been carried out since the time of hunting and gathering food. Aquatic resources are generally exploited by communities or people living in coastal areas. One area that still exploits aquatic resources is Halerman Village, Alor Barat Daya Regency. People who live on the coast use marine resources as food, one of which is shellfish. The most shellfish that widely exploited is Haliotidae. Research question brought in this article is how shellfish consumption behavior of people in Halerman Village is. The purpose of this research is to record shellfish consumption behavior of people in Halerman Village. The research method used was in the form of observation and interviews regarding all stages of shellfish exploitation conducted by Alor coastal communities in Halerman Village. The use of shellfish is closely related to the consumption behaviors of the community which consists of the search for shellfish carried out during periods of low tide when the intertidal area is exposed. When collecting the shellfish, people use various equipment such as iron, wood, stone, baskets and buckets. The method of processing is done by gouging, burning, boiling, cooking with spices and breaking the shell using stones or other hard tools. Shellfish processing in archaeological assemblages can be demonstrated by the presence of breakage and/or burning patterns on the shell remains. These experimental and ethno-archaeological observations can be used as a reference for understanding the behaviour that resulted in the formation of shells in archaeological deposits. Pemanfaatan sumber daya akuatik telah dilakukan sejak masa berburu dan mengumpulkan makanan. Sumber daya akuatik pada umumnya dieksploitasi oleh komunitas atau masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Salah satu daerah yang masih melakukan eksploitasi sumber daya akuatik yaitu Desa Halerman, Kabupaten Alor Barat Daya. Masyarakat yang bertempat tinggal di pesisir memanfaatkan sumber daya laut sebagai bahan pangan, salah satunya kerangkerangan. Salah satu jenis kerang yang banyak dieksploitasi yaitu Haliotidae. Rumusan masalah penelitian yaitu bagaimana perilaku konsumsi kerang masyarakat Desa Halerman. Tujuan Penelitian untuk mendokumentasikan perilaku konsumsi kerang masyarakat Desa Halerman. Metode penelitian yang digunakan berupa observasi partisipasi dan wawancara yang dilakukan kepada masyarakat pesisir Alor di Desa Halerman. Pemanfaatan kerang erat kaitannya dengan perilaku konsumsi masyarakat yang terdiri dari waktu pencarian kerang, cara pemilihan dan proses pengambilan, alat yang digunakan serta cara pengolahan kerang. Waktu pencarian kerang dilakukan meting surut (air laut surut) pada saat area intertidal terbuka. Jenis kerang yang dikonsumsi pada umumnya jenis kerang yang hidup di area low dan middle intertidal, akan tetapi salah satu jenis yang paling banyak dicari merupakan jenis kerang abalone (Haliotidae), alat yang digunakan untuk mencari kerang berupa besi, kayu, batu, keranjang dan ember. Cara pengolahan yang dilakukan dengan cara dicungkil, dibakar, direbus, dimasak bersama bumbu dan dipecahkan cangkangnya menggunakan batu atau alat keras lainnya. Pola pecah atau bekas pembakaran pada cangkang kerang dapat menjadi referensi untuk penelitian arkeologi yang berkaitan dengan pola kerusakan cangkang kerang pada deposit arkeologi.
Subsistence Strategy of Here Sorot Entapa Cave in Kisar Island, Maluku: Dwelling Site in Island with Limited Terrestrial Resources nfn Alifah; nfn Mahirta
Kapata Arkeologi Vol. 17 No. 1 (2021)
Publisher : Balai Arkeologi Maluku

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/kapata.v17i1.1-12

Abstract

Penelitian di wilayah Wallacea selalu menghasilkan informasi yang menarik, salah satunya adalah mengenai peran pulau-pulau yang berada di wilayah ini dalam jalur migrasi manusia. Beberapa pulau kecil yang ada di wilayah ini merupakan pulau dengan sumber daya alam yang terbatas. Gua Here Sorot Entapa merupakan salah satu situs yang terletak di Kawasan Wallacea bagian Tenggara, yaitu di Pulau Kisar. Hasil ekskavasi yang dilakukan telah menemukan akumulasi artefak, ekofak dan fitur. Lalu bagaimana adaptasi yang dilakukan oleh manusia pada masa itu terhadap lingkungan dengan sumberdaya alam yang terbatas, merupakan hal yang akan dibahas dalam tulisan ini. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis hasil ekskavasi yang dilakukan oleh Tim Penelitian gabungan UGM dan ANU serta Balai Arkeologi Maluku. Untuk mengetahui perubahan lingkungan dan pemanfaatannya akan digunakan data botani yang diperoleh secara langsung maupun studi pustaka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Gua Here Sorot Entapa dihuni sejak sekitar 16.000 BP. Pemanfaatan sumberdaya laut merupakan subsistensi utama di samping pemanfaatan beberapa jenis tumbuhan yang secara kuantitas berbanding lurus dengan pemanfaatan sumberdaya laut. Research in the Wallacea area always produces exciting information, including the role of the islands in this region in human migration routes. Several small islands in this region are islands with limited terrestrial resources. Here Sorot Entapa cave is one of the sites located on Kisar Island, Southeast Wallacea region. The occupation of small islands presents particular challenges for human communities related to limited terrestrial resources and susceptibility to natural disasters. Then how the adaptation made by humans at that time in an environment with limited terrestrial resources is discussed in this study. This study used excavation methods to obtain data accumulation of artifacts, ecofacts, and features. Literature study and botanical data analysis were used to determine environmental changes and resource utilization. The results of this study indicate that the Here Sorot Entapa Cave has been occupied since around 16,000 BP. Marine resources were the primary subsistence along with several types of plants food in the same quantity. The function of the Here Sorot Entapa Cave may also be related to the existence of rock art that spread on Kisar Island. Eventually, Kisar Island was the main purpose of a prehistoric human in carrying out religious and artistic activities, and the Here Sorot Entapa Cave served as a temporary shelter for these activities.
Beberapa Inspirasi untuk Mengkaji Praktek-Praktek Konservasi Tradisional Mahirta Mahirta
Borobudur Vol. 9 No. 2 (2015): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v9i2.142

Abstract

Indonesia memiliki tradisi yang kaya dan panjang dalam praktik konservasi tradisional baik preventif dan konservasi aktif. Praktek-praktek tersebut juga merupakan bagian dari warisan budaya takbenda dari Indonesia, sehingga harus didokumentasikan dan dipelajari secara ilmiah. Tujuannya tidak hanya untuk melestarikan budaya intangible itu sendiri tetapi juga untuk mengembangkannya sehingga praktik dapat diterapkan di dimanapun tanpa diragukan lagi karena efektifitas dan efek budaya materi telah dipelajari berdasarkan penelitian ilmiah. Artikel ini memberikan beberapa latar belakang dan inspirasi untuk memulai studi tersebut. Disarankan bahwa dokumentasi praktek-praktek tradisional harus dilakukan dengan hati-hati dan terperinci karena ada indikasi bahwa praktek hanya bagian dari seluruh proses holistik tidak akan menghasilkan hasil yang memuaskan.
Praktik Konservasi Dasar bagi Staf Museum Nonkonservator di Daerah Istimewa Yogyakarta Mahirta Mahirta; Asies Sigit Pramujo
Bakti Budaya: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Vol 2, No 2 (2019)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (881.934 KB) | DOI: 10.22146/bb.50894

Abstract

Conservation knowledge and practices are very important to be applied in museums to ensure that the collection always in good condition. The problem is that not every museum in Yogyakarta has professional conservator in their management. This condition lead to the collection lack of proper attention from the conservation perspective. Based on the condition found in Yogyakarta, than it is considered necessary to give a basic training in the conservation practices that can be carried out by  each museum staff that are non- conservator. Hopefully the knowledge gained can be usefull and can be applied to conserve the collection in each museum participants.-------------------------------------------------------------------Pengetahuan dan praktik konservasi sangat penting untuk diterapkan di museum oleh para konservator untuk menjamin koleksi museum selalu dalam kondisi baik. Masalahnya adalah tidak setiap museum di Yogyakarta memiliki tenaga konservator profesional dalam sistem manajemennya. Kondisi ini dapat berdampak pada kurangnya perhatian dari sudut pandang konservasi pada koleksi-koleksi yang ada. Berdasarkan pada kondisi yang ditemukan di museum-museum Yogyakarta, dipandang perlu untuk memberikan pelatihan dasar di bidang praktik-praktik konservasi yang dapat dilakukan oleh setiap museum staf nonkonservator. Harapannya, pengetahuan yang diperoleh dapat berguna dan dapat diaplikasikan untuk mengonservasi koleksi yang ada di setiap museum para peserta pelatihan. 
Memperkenalkan Jenis Kerusakan Kertas dan Penanganan Konservasi Interventif Sederhana kepada Staf Museum-Museum di Yogyakarta Mahirta Mahirta
Bakti Budaya: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Vol 3, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/bb.60461

Abstract

Papers and old books are important part of museum collections in many museums in Yogyakarta, even some of them have very significant value and become masterpiece collections. Some old books such as from Islamic and colonial period have unique binding structures that should be preserved too as it become a historical marker. Therefore, special care for paper collections and old books should be carried out by museum conservator. Unfortunately, not all museums in Yogyakarta have professional conservator. Bear in mind that many museums in Yogyakarta has significant value of paper collection, a workshop of paper conservation was conducted on 18-19 September 2019 in Museum UGM, as a community service for museum communities in Yogyakarta. Through this workshop, participants managed to identify types of damage on paper collections, identify the cause of damage, and conduct simple interventive conservation.====Kertas dan buku tua merupakan bagian penting dari koleksi museum di banyak museum di Yogyakarta, bahkan beberapa memiliki nilai yang sangat penting dan menjadi koleksi istimewa. Beberapa buku tua, contohnya dari masa Islam dan kolonial, memiliki struktur jilid yang unik yang juga harus dilestarikan karena menjadi penanda sejarah. Maka dari itu, penanganan khusus untuk koleksi kertas dan buku tua harus dilakukan oleh konservator museum. Sayangnya, tidak semua museum di Yogyakarta memiliki konservator profesional. Mengingat bahwa banyak museum di Yogyakarta memiliki koleksi kertas dengan kandungan nilai penting, workshop konservasi kertas dilaksanakan pada 18—19 September 2019 di Museum UGM sebagai bentuk pengabdian masyarakat kepada komunitas museum di Yogyakarta. Melalui workshop ini, peserta berhasil mengidentifikasi tipe kerusakan dan penyebabnya pada koleksi kertas serta melakukan konservasi interventif sederhana pada koleksi kertas. 
Identifikasi Keanekaragaman Vegetasi di Situs Liyangan: Analisis Sisa-Sisa Tanaman Hery Priswanto; Sofwan Noerwidi; Sugeng Riyanto; Widyanto Dwi Nugroho; nfn. Mahirta
Tumotowa Vol 4 No 2 (2021): Tumotowa
Publisher : Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/tmt.v4i2.100

Abstract

Situs Liyangan yang berada di Dusun Liyangan Desa Purbosari Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung selama 1 dasawarsa ini telah dilakukan penelitian oleh Balai Arkeologi Provinsi D.I. Yogyakarta. Hasil-hasil penelitian itu memberikan informasi mengenai ragam data, kronologi, dan aspek keruangan Situs Liyangan. Salah satu ragam data yang akan dibahas dalam artikel ini adalah data organik yang berasal pollen dan sisa arang. Tujuan penulisan artikel ini adalah memberikan informasi mengenai keanekaragaman tanaman di situs liyangan. Metode yang digunakan dalam artikel ini merupakan kajian desk study berupa kajian referensi hasil penelitian yang telah dilakukan di Situs Liyangan. Hasil kajian desk study keanekaragaman tanaman di situs liyangan diperoleh informasi bahwa Identifikasi sisa-sisa tanaman yang diperoleh di situs Liyangan terdiri atas vegetasi berjenis  rumput-rumputan, semak, dan pohon. Keberagaman jenis tanaman yang dijumpai di Situs Liyangan ini menunjukkan makna karakteristik Situs Liyangan sebagai lokasi penanda kesuburan wilayah.
Human foraging responses to climate change; Here Sorot Entapa rockshelter on Kisar Island Kaharudin, Hendri A. F.; Mahirta, Mahirta; Kealy, Shimona; Hawkins, Stuart; Boulanger, Clara; O’Connor, Sue
Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia Vol. 20, No. 3
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study explores prehistoric human subsistence adaptations within the context of changing marine and terrestrial environments on the tiny Island of Kisar, beginning during the Pleistocene-Holocene transition around 15,000 years ago (ka). We use zooarchaeological data on faunal remains (vertebrates and invertebrates) recovered from Here Sorot Entapa rockshelter (HSE) in temporal relationship to climate data from Flores to document prehistoric human responses to regional sea-level, temperature, and associated habitat changes that occurred after the Last Glacial Maximum (LGM). Human settlement intensity peaked during the colder drier conditions of the Bølling-Allerød period at 14.4-13 ka, and the site was abandoned during a period of unstable sea levels and coastal habitats between 9.4-5 ka. Holocene climate change coincides with increased reefal subsistence, and an increase in crab exploitation over sea urchin use. Rodent abundance increases in the early Holocene, possibly in response to expanding forests during warmer wetter conditions, with a significant increase in the late Holocene as a result of the human introduction of exotic species to the island.
Menginisiasi desain kain Jumput- Batik khas Banyunibo Mahirta, Mahirta; Savitri, Mimi; D.S. Nugrahani; Arumdati, Fayeza Saliz
Bakti Budaya: Jurnal Pengabdian kepada masyarakat Vol 6 No 1 (2023): 2023: Edisi 1
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/bakti.5605

Abstract

Community around Banyunibo temple has been trained to produce hand-painted batik for the last 5 years. This training have improved their skill, enabling them to produce real hand-painted batik. However, their products have not sold well, moreover during the pandemic era caused by Covid-19. After carried out interview and discussion in survey phase, it is known that the community has problem in marketing their hand-painted batik and wish to have unique Banyunibo batik product. Based on the condition, the community service team of Archaeology Department, Faculty of Cultural Sciences conduct a community empowerment program with an intention to help Banyunibo community in creating Banyunibo’s batik motifs inspired by the reliefs of Banyunibo temple, unique, and potentially sale well. This community service conducted using skill building and empowerment approach, with the purpose to create active and direct invlolvement of the community during the activity. Hand-stamp batik introduced as an alternative to produce a less-expensive batik than hand-painted batik, therefore can compete well in batik market. Relief-inspired motifs created through distortion and stylization from the original temple reliefs. These motifs, made by stamp application technique, is also combined with jumput technique, creating a unique jumput - batik product that hopefully can increase the buying power of Banyunibo’s batik. ==== Komunitas pembuat batik di sekitar Candi Banyunibo telah dilatih membuat batik tulis sejak lima tahun terakhir. Hasil kegiatan tersebut telah meningkatkan keterampilan mereka dalam membuat produk batik tulis. Namun, daya jual batik produk mereka masih rendah di pasaran, terlebih lagi pada masa pandemi Covid-19. Setelah melakukan wawancara dan diskusi pada tahap survei, diketahui bahwa masyarakat memiliki kendala berupa kesulitan memasarkan batik tulis dan keinginan untuk memiliki batik khas Banyunibo. Berdasarkan keadaan tersebut, tim pengabdian kepada masyarakat Departemen Arkeologi UGM melakukan program pemberdayaan komunitas dengan pembinaan batik cap dan pembuatan motif batik khas Banyunibo yang terinspirasi dari relief pada Candi Banyunibo. Pengabdian masyarakat ini dilakukan menggunakan pendekatan berupa pendampingan dan pemberdayaan masyarakat dengan tujuan agar masyarakat dapat terlibat langsung dan aktif dalam pelaksanaan pendampingan ini. Batik cap sebagai alternatif diperkenalkan untuk menghasilkan batik yang tidak semahal batik tulis sehingga harganya dapat bersaing di pasaran. Motif inspirasi relief candi diciptakan melalui proses distorsi dan stilasi dari gambar asli relief candi. Motif batik yang dihasilkan dengan teknik cap tersebut juga dikombinasikan dengan teknik jumput sehingga menghasilkan motif khas Banyunibo yang diharapkan dapat meningkatkan daya jual dari batik Desa Banyunibo.